Social Icons

Pages

Azzura Dayana

Azzura Dayana

Sabtu, 21 November 2015

Ketika Mas Gagah Pergi (Roadshow Promo di Palembang)

Datang yuk besok! Ketemu dan ngobrolin film "Ketika Mas Gagah Pergi" langsung dengan penulis sekaligus produsernya, Helvy Tiana Rosa.
Beragam hiburan musik turut mewarnai acara ini, keren dan seru pastinya. Doorprize pun menanti Anda smile emoticon
So, don't miss it guys!



Minggu, 22 November 2015
Pukul 08.00-11.30 WIB
Di Hotel Garudamas, Jalan Kapten A Rivai, Palembang, depan DPRD Sumsel

Dimeriahkan oleh: 
- Azzura Dayana
- Ady Azzumar
- Nasyid Nahwan
- Grup Musik GONG SaPa
- Live Music

Bertabur doorprize...!
See u there

Kamis, 05 November 2015

Catatan Pendakian Gunung Anak Krakatau

Krakatau: Pesona Gunung Mungil yang Menyembul di Tengah Lautan


Krakatau.

Krakatau Purba.

Anak Krakatau.

Setiap kali mendengar nama-nama ini, pikiran saya pasti langsung terasosiasi pada letusan dahsyat. Ya, gunung yang terletak di perairan Selat Sunda, pemisah pulau Sumatera dan Jawa ini adalah gunung berapi dengan tingkat keaktifan yang luar biasa.

Koleksi pribadi. Difoto oleh Azzura Dayana.
Ribuan tahun lalu Krakatau Purba diperkirakan adalah sebuah gunung berapi menjulang berbentuk kerucut, yang pada suatu ketika (tahun 416 Masehi) meledak dengan kekuatan tak terbayangkan oleh manusia. Hingga konon daya ledak tersebut mampu memisahkan pulau Sumatera dan Jawa yang tadinya bersatu menjadi terpisah. Tentu saja, ledakan tersebut memakan korban jutaan manusia dan menyebabkan efek nyata terhadap alam sekitarnya hingga radius ribuan mil.

Tiga perempat tubuh gunung ini hancur dan hanya menyisakan sisi-sisi tepi kawahnya yang menjadi tiga pulau yaitu Pulau Sertung, Pulau Rakata, Pulau Panjang, serta sebuah kaldera di tengah-tengahnya. Kemudian muncul dua gunung di sana yaitu Gunung Danan dan Gunung Perbuatan, yang lama-kelamaan menyatu dengan Pulau Rakata. Kesatuan pulau dan gunung ini kemudian dikenal sebagai Gunung Krakatau. Ketinggiannya mencapai 813 meter dari permukaan laut.

Sumber: internet
Di tahun 1883, gunung ini kembali beraksi dengan meledakkan dirinya kembali secara dahsyat. Tercatat sebanyak 36 ribu korban jiwa akibat bencana alam tersebut. Suara letusannya mencapai Australia, Amerika dan Afrika, menimbulkan awan panas, kegelapan matahari bercampur debu hingga tahun berikutnya, dan tsunami dengan ketinggian 40 meter.

Letusan maha dahsyat yang menggemparkan dunia ini lagi-lagi memusnahkan tubuh Krakatau hingga hanya menyisakan setengah kerucut.

Empat puluh tahun kemudian, dari tengah kaldera yang ada, tiba-tiba pada suatu hari muncullah cikal bakal anak dari sang gunung yang telah hilang. Para nelayan yang sedang melaut pada akhir tahun 1929 menjadi saksi kemunculan kepulan asap hitam dari permukaan laut di tengah kaldera.  Ternyata itulah awal kelahiran Gunung Anak Krakatau.

Gunung mungil yang tumbuh menyembul perlahan dari dalam lautan dan terus bertambah ketinggiannya ini adalah fenomena alam luar biasa yang bisa kita saksikan di perairan Selat Sunda sambil berdecak kagum. Arungilah selat ini berawal dari Pelabuhan Canti di selatan Lampung dengan menumpangi kapal nelayan. Sekitar tiga jam kemudian, setelah melewati beberapa pulau yang indah besar dan kecil, mata kita akan terperangkap takjub saat menyaksikan pulau yang bentuk dan warnanya unik, berbeda sendiri. Khas. Itulah yang terekam kuat di ingatan hingga kita pulang nanti dan seterusnya.

Dalam perjalanan menuju Krakatau, kapal kecil yang saya tumpangi bersama teman-teman sempat mogok dua kali karena mesinnya rusak. Mogok yang kedua sampai menyemburkan asap yang membuat kami terkejut dan bahkan sudah siap jika kondisi mengharuskan kami meloncat ke laut (agak lebai dikit, hehe…). Dua kali pula jadinya kami terombang-ambing terdampar di tengah lautan lepas sambil menunggu kapal lain yang kiranya akan menjadi bala bantuan bagi kami para castaways.

Sementara dalam perjalanan pulangnya dari Krakatau, ceritanya beda lagi. Kapal kami sudah diganti dengan kapal yang lebih baik kondisi mesinnya. Tetapi kali ini ombak tak setenang saat kami berangkat tadi. Ombak sore telah lebih buas. Mengguncang-guncang bukan hanya tubuh kami di dalam kapal, tetapi juga kapal itu sendiri sampai terempas-empas. Ada kalanya tinggi ombak bahkan lebih tinggi dari tinggi kapal. Subhanallah. Alhamdulillah meski demikian kami semua selamat sampai tiba lagi di Pelabuhan Canti yang sederhana.

Kembali membahas si Krakatau.

Sejak kelahirannya, Gunung Anak Krakatau ini tak pernah tenang. Aktivitas vulkaniknya terus berlangsung. Gempa vulkanik, semburan asap, hingga lontaran abu dan lava pijar, telah terjadi belasan kali.

Dari penjelasan petugas Cagar Alam Krakatau yang saya dapatkan, lokasi ini rupanya selalu ramai didatangi pengunjung tiap akhir pekan. Kondisinya saat ini aman untuk didaki, walaupun tetap saja kita tidak diperkenankan mendaki hingga benar-benar ke puncak. Pendakian hanya bisa dilakukan sampai ke bibir kawah.




Anak Krakatau saat ini ketinggiannya sekitar 450 meter tepat dari atas permukaan laut. Dan ketinggian ini akan semakin bertambah karena berdasarkan penelitian, gunung ini pertumbuhannya mencapai 7 meter setiap tahunnya, terus membesar, serta terus melebar tepian pulaunya. Di tepian pulau masih terlindung oleh pepohonan hutan. Memulai trek pendakian, kita masih akan melewati jalan yang kiri kanannya pepohonan. Kemudian pepohonan akan semakin berkurang dan jalan pasir yang ditapaki semakin lebar, sedikit berliku. Setelah itu, view mulai terbuka dan sedikit menanjak. Makin lama makin panjang dan terus menanjak, dengan trek pasir yang kering, tak ada lagi pepohonan.

Suasana sedemikian tandus sehingga menciptakan cuaca panas yang permanen. Semakin tinggi, pemandangan indah mulai terlihat. Dua pulau di sekitar Anak Krakatau tampil memesona. Tibalah kita di bibir kawah. Posisi jelasnya adalah begini: kita berdiri di bibir kawah setengah lingkaran, di hadapan kita adalah lembah yang memisahkan kita dari puncak Gunung Anak Krakatau yang gagah, bertekstur bebatuan keras dan hitam, serta menampakkan belerang hijau berasap yang menambah kesan fantastik sebuah puncak gunung berapi superaktif. Di sanalah terdapat kawah Anak Krakatau yang jika dilihat dari udara akan terlihat serupa lubang menganga bekas letusan yang hebat.


Nah, begini posisi dan bentuk si Anak Krakatau dari atas. Bagian hijau (hutan/pepohonan) itu adalah titik awal ketika kita menginjakkan kaki di pulau gunung ini. Pendakian dimulai dengan melintasi hutan tersebut, berjalan ke arah kiri dan naik hingga tiba di setengah bagian gunung. Sumber foto: simomot.files.wordpress.com

photo by azzura dayana

Saya, berlatarbelakang puncak Krakatau

Zoom puncak dari dekat, dari bibir kawah

Tipe dan karakteristik Gunung Anak Krakatau sama seperti induknya. Serius dan mematikan. Kandungan silica dalam magmanya sangat tinggi. Kandungan silica yang tinggi terkait dengan letusan tingkat tinggi pula. Bayangkan, dalam puluhan atau ratusan tahun ke depan, sudah berapa ketinggian gunung ini?

Maha Besar Allah. Pencipta langit bumi dan segala isinya….



Selasa, 03 November 2015

Sawarna: Hidden Pearls

Pantai-pantai di desa Sawarna, pesisir Banten selatan adalah mutiara-mutiara tersembunyi yang sangat layak untuk dinikmati oleh pecinta alam sekaligus pecinta petualangan. Dari Jakarta, jarak tempuh untuk mencapai desa Sawarna sekira lima hingga tujuh jam perjalanan darat, melewati Serang, Pandeglang, hingga ke Bayah.

Pantai Ciantir adalah salah satu pantai tercantik yang menjadi kebanggaan Sawarna. Pantai ini sudah bisa ditemukan sejak dalam perjalanan sebelum mencapai desa. Dari ketinggian bukit yang dilewati, seperti inilah view Pantai Ciantir yang bisa kita intip. Tampak di kejauhan dua batu karang bernama Tanjung Layar berdiri kokoh di ujung tanjung, menjorok ke pantai yang biru dan tenang.

Pantai Ciantir yang biru permai

Tiba di desa Sawarna, berjalan kaki melewati jembatan gantung, lalu beristirahat sejenak. Setelah itu kita bisa melanjutkan perjalanan ke arah barat dengan berjalan kaki. 

Tibalah kita di pantai menawan berikutnya. Sebuah pantai dengan ikon khasnya yaitu dua batu karang nan gagah berdampingan berbentuk serupa layar kapal. Oleh karena itulah pantai ini dinamakan Pantai Tanjung Layar. You can see one of your best sunsets here guys....

Here it is the wonderful sunset.... The best sunset I've ever seen....
Sunset Pantai Tanjung Layar
Pagi hari, berjalan kakilah menaiki bukit di sebelah timur, lalu temukanlah sebuah pantai cantik lainnya yang disajikan Sawarna. Jadilah saksi salah satu sunrise terindah... di Pantai Laguna Pari.

Sunrise di Pantai Laguna Pari
Laguna Pari alias Legon Pari

Me, at Legon Pari Beach
Setelah pagi mulai terang, berjalanlah lagi ke arah timur, menyusuri sisi lain Pantai Legon Pari yang berupa lengkungan landai yang sangat indah dan berpasir putih bersih.

Kita akan menemukan satu pantai luar biasa lainnya. Pantai Karang Taraje namanya. Taraje artinya tangga. Di pantai ini memang banyak terdapat karang-karang hitam berbentuk bertangga-tangga. Karang-karang nan kokoh menghadang empasan ombak.

Pantai Karang Taraje
Pantai Karang Taraje
Demikianlah Sawarna. Dan setiap kali mengingat Sawarna, saya selalu rindu untuk kembali ke sana....


Minggu, 18 Oktober 2015

EVEREST

Sumber: internet


Sudah lama ingin menuliskan ini. A simple review about Everest. Sebuah film yang saya tonton di jelang akhir penayangannya di bioskop, sekira awal Oktober ini. Agak terlambat menontonnya, dan sekarang sangat terlambat menulis dan memosting review-nya. Hehe. Tapi tujuan tulisan ini memang bukan sebagai persuasi bagi pembaca untuk segera ikut menyaksikan filmnya, karena film ini tidak ada lagi di bioskop. Maka, jadinya, tulisan ini adalah sekadar sharing. Dan kalau pun pembaca jadi tertarik juga untuk menontonnya, masih ada dua cara, yaitu dengan cara mencari CD-nya atau menunggunya muncul di televisi.

Film Everest diangkat dari sebuah kisah nyata pendakian tragis yang berlangsung di tahun 1996. Melibatkan beberapa pendaki sungguhan dan bintang-bintang Hollywood, film besutan sutradara Baltasar Kormakur, Everest tampak seperti sangat luar biasa. Berkisah tentang serombongan pendaki dari berbagai latar belakang yang berjuang untuk mencapai puncak gunung tertinggi di dunia, Everest. Berbagai aral melintang mereka hadapi. Namun perjuangan itu akhirnya kalah oleh badai dahsyat yang melanda mereka, sehingga akhirnya beberapa anggota tim tewas.

Saya melihat Everest sebagai film yang ingin menampilkan kejadian nyata secara totally real. Proses alurnya tahap demi tahap dan klimaksnya tidak ditambahi bumbu-bumbu supaya lebih dramatis atau bombastis. Sebab alam Pegunungan Himalaya dan Puncak Everest di Nepal itu sendiri sudah lebih dari bombastis. Pendakinya adalah orang-orang terpilih. Bahkan yang terpilih saja masih berisiko untuk gagal mencapai puncak, apalagi mereka yang tak terpilih, dalam artian hanya pendaki amatiran yang tak tahu  banyak tentang pendakian pada umumnya dan pendakian gunung es pada khususnya.

Alam tak bisa dilawan. Meski manusia berencana selengkap dan serapi mungkin, faktor alam yang notabene adalah kekuasaan sepenuhnya milik Tuhan tak bisa dianggap sampingan. Salah satu anggota tim ekspedisi Everest tersebut, Yasuko Namba dari Jepang yang sudah mendaki enam dari Seven Summits of the World, bahkan harus mengakui kekalahannya di puncak terakhir yang sedianya akan melengkapi prestasinya mencapai tujuh gunung pencakar langit dunia.

Mungkin kemudian Everest akan menjadi tempat yang menakutkan tersebab keekstreman lokasinya. Tetapi bisa juga malah menjadi pelecut untuk menyuburkan semangat menaklukkan tantangan tingkat tinggi. Apapun itu, Everest bukan gunung biasa. Itulah sebab kemudian terlahir kelompok bisnis pemandu pendakian Everest semacam Adventure Consultant dan Mountain Madness yang memasang tarif fantastis.

Dengan menyaksikan film ini, wawasan budaya hingga wawasan sebagai insan penikmat dan penjelajah alam saya meningkat. Dari sisi hiburan, sajian pemandangan alam bentang Himalaya hingga puncak tertingginya benar-benar memanjakan mata. Dari segi cerita, karena ini adalah kisah nyata tragis yang dibuat semirip mungkin dengan kejadian aslinya, maka tentu jangan berharap banyak untuk mendapati happy ending atau percikan konflik yang dibuat-buat. Dari sisi spiritual, membuat keimanan dan tawakkal kepada Sang Maha Memiliki Alam Semesta dan Maha Mengatur-nya bertambah-tambah. Hingga satu pelajaran terpetik terkait kisah ini, bahwa ketika kita hendak menjelajah alam dengan beragam bentuk dan level risikonya, alangkah lebih baiknya jika kita justru menyungkur di hadapan Pemilik Alam itu, memohon keridhoan-Nya agar diberi keberhasilan, bukan malah menyongsongnya dengan bersenang-senang tiada batas dan tiada arti. Ya, meski itu adalah momen yang layak dihargai dengan cara pikir kita masing-masing.

Terakhir, saya teringat pada satu adegan, ketika para pendaki dalam tim itu ditanyai tentang motivasi mereka mendaki. Jawaban terakhir yang paling mengesankan beramai-ramai diserukan oleh beberapa pendaki, “Because it’s thereee!”

A fenomenal slogan. Sejuta makna. Wow!


This is Something That I Can't See Everyday

Someday, somewhere….

Di saat saya merasa cukup lelah.

Tetapi debur ombak yang terdengar telinga sepanjang hari sepanjang malam adalah pesona. Pesona keindahan yang tak akan bisa terjumpa di setiap saat yang kita inginkan. Sebab terpisah oleh jarak.
Siapakah yang lebih lelah di antara peserta dan pekerja suatu acara?

Siapa yang lebih berat tugasnya? Yaah, pekerja suatu acara yang saya maksud di sini mungkin lebih familiar disebut committee alias panitia. Mereka umumnya adalah warga lokal yang berkaitan langsung dengan tempat atau lembaga penyelenggara. Mereka yang mengonsep, merumuskan, hingga kemudian menyiapkan, mengawal dan mengurus pelaksanaan hingga selesai dan sampai kepada tahap evaluasi. Lelah, pasti. Sementara, yang namanya peserta, bisa juga adalah warga asal dan juga warga luar yang datang dari jauh, mereka yang datang melintasi antar kota, desa, provinsi, pulau, negara, bahkan benua dan samudera untuk bergabung pada suatu kegiatan acara. Ukuran lelah bagi mereka ini tentu bisa diukur termasuk dari jarak dan waktu tempuh.

Aha… saya ini sedang tercenung, sebenarnya. Bukan berarti ingin berpikir bahwa mereka yang lebih lelah tidak bisa menolerir ketidakberesan atau ketidaknyamanan pernak-pernik suatu acara, dan mereka yang tidak lebih lelah adalah mereka sebagai orang-orang yang salah. Sebab antara keduanya, sama-sama bekerja dan bertanggung jawab sesuai tempat dan porsinya.

Panitia, ingatlah, jika pesertamu berjumlah ratusan atau lebih, itu bukan kerja kecil untuk mengurus mereka. Kesungguhan dan keikhlasan bekerja dan melayani dibutuhkan betul, untuk hasil yang maksimal. Dan peserta, jika ada remeh-temeh yang tak sepatutnya terjadi, itu bukan berarti panitia tak bekerja dengan baik, tetapi karena memang tak ada sesuatu yang sempurna dibuat oleh manusia.

Sambil berjalan dalam ritme tak terlalu cepat dan tak terlalu lambat, melintasi lautan pasir tebal yang terkadang membenamkan sandal saya dan mengharuskan saya bekerja keras untuk menyeret langkah, dan mata saya menatap pantai, saya masih terus berpikir. Kenapa saya harus berpikir sambil berjalan dan menatap pantai? Sebab padatnya rangkaian acara nyaris tidak membolehkan saya untuk sekadar duduk di beranda cottage barang setengah jam untuk berpikir sambil menikmati suasana pantai. Ini yang saya sayangkan. Jauh-jauh kita dibawa ke sini, terpisah sekian kilometer dari pusat-pusat peradaban, tetapi sayangnya rangkaian acara yang dijalin tak menyatu dengan alam sekitarnya. Jadi, ini hanya semacam acara-di-kawasan-indoor-terintegrasi yang dipindahkan lokasinya ke tempat yang terbuka (tapi tidak sepenuhnya terbuka).

Dan saya (agak sedikit) kelaparan di sini. Ups. Sekali lagi, mengurus peserta yang mencapai dua ratus atau lebih bukan hal gampang. Masalah makan termasuk yang utama. Logika tak akan jalan tanpa logistik. Sehebat apapun acara dirangkai, peserta bisa jadi tak akan maksimal mengikutinya hanya gara-gara persoalan makan. Apalagi, mengingat, mereka yang datang jauh-jauh dari luar daerah: jarak, kadar lelah, atau persoalan yang mereka alami sepanjang perjalanan bisa saja memengaruhi pola dan nafsu makan mereka. Belum lagi jika ada catatan sakit.

Saya sendiri, termasuk yang kemudian agak bermasalah dalam urusan makan. Dari faktor internal, perjalanan panjang pastilah menyisakan sedikit lelah. Belum lagi pikiran saya yang sebenarnya masih tertinggal di rumah, memikirkan anak dan kabut asap serta hujan yang tak kunjung mengguyur Palembang yang kemarau panjang. Tak ada sakit maag, tapi entah kenapa nafsu makan saya sungguh berantakan. Sedikit ataupun banyak jumlah makanan yang saya masukkan ke piring, tetap saja tak akan habis hingga setengahnya. Eneg dan malas. Bahkan walaupun masakannya enak. Di hari kedua, panitia nampak kelimpungan karena mungkin ada kasus peserta belum semuanya makan sementara makanan sudah menipis. Alhasil, di hari kedua itu panitia meja makan tak lagi hanya berdiri memantau, tetapi mereka masing-masing memegang satu sendok makan, lalu bertugas mengambilkan nasi, sayur, lauk, sambal ke dalam piring peserta. Cerita yang beredar terkait sistem baru itu: ada yang tak puas karena panitia mengambilkan nasi yang banyak sedangkan lauknya sedikit, sehingga dia tidak bisa menghabiskan makannya. Ada juga yang tak suka lauk ikan dan menanyakan apakah boleh meminta lauk lain akan tetapi tidak diizinkan, dan kecewalah dia. Ada juga yang berasa kayak makan ala di penjara karena makannya dibatasi sedemikian rupa….

Kadang saya dapat menyimpulkan sendiri kenapa saya malas makan. Intinya adalah yang segar-segar. Dalam kondisi eneg dan malas makan, perut saya sebenarnya sangat kompromi pada buah, sayuran hijau berkuah, bukan bersantan, dan bukan lauk yang dimasak pedas-pedas atau terlalu berlebih minyak dan rempah-rempahnya. Di saat eneg dan malas makan, justru menu paling sederhana seperti bayam atau oyong berkuah bening, tempe goreng, cah kangkung, dan tentunya buah-buahan akan menjadi amat bersahabat dengan perut. Tapi, yang tersaji justru yang tampak indah di mata tapi tidak indah di perut, hehehe.

Dan, berhubung saya mendapat cottage peserta perempuan terjauh dari pusat kegiatan acara, dan jumlah peserta dalam cottage cukup membludak sehingga antrean mandi mengular, sementara selepas sesi acara saya sering mampir sana-sini dulu (bazaar, pantai, dll) maka jadilah saya selalu menjadi peserta di barisan akhir yang mengambil makan. Biasanya sayurnya tinggal menyisakan kuah yang menggenang, lauknya tinggal irisan-irisan akhir, kerupuk tinggal remah-remah, dan buah-buahan tinggal kenangan (wadahnya saja). Jarak dari cottage ke aula dan tempat makan bukan hanya yang terjauh, tetapi juga harus melintasi lautan pasir yang tebal yang agak menyulitkan untuk berjalan cepat.

Entah hari/malam keberapa, lauknya rendang daging. Sayangnya, pilihan lauknya hanya itu (atau saya yang kehabisan), dan sayurnya hampir ludes. Saat makan, saya menatap sepotong kecil rendang yang hanya berteman nasi dan kuah. Ujung-ujungnya, pasti, tak habislah makanan saya. Di malam terakhir, lebih tragis lagi. Saya mendapat dua kali sendokan lauk. Lauknya ikan samba berukuran besar waktu itu. Sayurnya bersantan. Untung irisan semangka masih banyak dan bagus-bagus. Sayang, ketika duduk dan siap menyantap, saya memeriksa lauk tersebut. Ternyata oh ternyata, dua sendokan lauk yang terlihat besar dan menggoda itu ternyata telurnya semua. Bayangkan, telur ikan laut yang besar begitu, betapa enegnyaaaa…. Terkikislah semangat saya untuk makan. Untunglah teman di sebelah saya dengan baiknya menyumbang sedikit daging ikannya untuk saya. Saya hanya sanggup makan beberapa sendok nasi. Sisanya, oh maafkanlah saya ya Allah, saya buang lagi makanan saya….

Tengah malam itu, dalam perjalanan kami di mobil dari pantai menuju ibukota provinsi itu (karena besok pagi harus  naik kereta api pulang ke kota saya), saya memuntahkan semua isi perut saya yang tak seberapa itu. Akhirnya benar-benar masuk angin juga saya.

Itu tadi soal pangan. Sekarang soal papan. Papannya itu tak lain cottage kami. Untuk peserta yang jumlahnya mencapai dua ratus ini, para pekerja acara menyiapkan beberapa villa, cottage, dan tenda. jumlah cottage lebih banyak daripada villa. Tenda diperuntukkan bagi peserta laki-laki apabila villa dan cottage tidak mencukupi lagi. Letak villa hanya beberapa langkah saja dari aula dan tempat makan. Sedangkan cottage dan tenda letaknya berdampingan, berhadapan dengan pantai, dan letaknya lebih jauh dari aula dan tempat makan, melintasi lautan pasir. Cottage 1 masih lumayan dekat dengan aula. Semakin tinggi nomor cottage semakin jauh jaraknya. Saya menempati cottage 6. Setelah cottage 6, ada dua cottage lagi yang ditempati peserta laki-laki.

Pertama kali masuk dan memeriksa kondisi, saya dan teman-teman di cottage 6 cukup shock. Cottage itu lebih nampak seperti rumah tua. Bentuknya panggung, kamar mandinya ada di bawah, melewati tangga turun yang seperti terowongan. Nampak lama tak disentuh manusia. Gelap dan berdebu. Ketika menyalakan lampu di malam itu, ternyata lampunya putus. Ketika menuruni tangga terowongan kamar mandi itu, kami beramai-ramai membaca ta'awudz, ayat kursi, dan lain-lain, saking tegangnya dengan kondisi itu. Kamar mandinya luas sekali, tapi hanya ada dua benda di dalamnya, yaitu kloset dan ember. Bahkan tak ada satu paku kecil pun untuk menyangkutkan handuk. Papan dan kayu pembentuk rumah sudah rapuh. Lantainya berderit. Berandanya agak bergoyang-goyang. Jendela kamar kami bisa dibuka dan tak bisa ditutup kembali dengan aman, karena ternyata kuncinya tidak ada lagi. Pintu depan bisa dikunci dengan cara digembok dari luar, dan kunci kayu yang hanya ‘nyantol’ seadanya dari dalam. Jika sudah dikunci, pintu tak bisa rapat. Sekali tendang saja oleh saya, pasti langsung roboh pintu itu.

Satu kali pernah saya mampir ke villa yang ditempati teman peserta untuk menitipkan barang. Kondisi villa ternyata berbeda langit dan bumi dari cottage. Rumah batu yang indah arsitekturnya. Pintunya kaca dan bertirai. Ada AC dan kipas angin di dalamnya. Lantainya keramik. Di kamar mandinya tersedia shower serta kenyamanan dan keharuman kamar mandi mewah. Serta dilengkapi peralatan masak praktis yang tersedia di dapur dan meja.

Masya Allah….                 

Luar biasa. Malam yang pertama di cottage, saya sangat khawatir dengan keamanan dan nyaris tak bisa tidur. Untunglah akhirnya saya terlelap juga. Setiap malam hanya bisa tidur dua jam di cottage. Karena padatnya acara juga. Lama-kelamaan, saya mulai terbiasa dengan kondisi cottage. Dan bersyukur bahwa kami semua aman-aman saja. Di antara berbagai cerita horor yang beredar selepas acara, untunglah saya tidak mengalami yang aneh-aneh amat. Inilah yang saya maknai sebagai survive. Survive di hutan itu sudah biasa. Ternyata malah survive di tempat seperti ini yang lebih berat. Dan di sinilah pembelajaran itu perlu. Dan menjadi catatan, bahwa selain logistik yang diperlukan supaya logika bisa berjalan, prinsip-prinsip KEADILAN jangan sampai terlalai untuk kita tegakkan.

Ala kuli haal, Alhamdulillah… saya bersyukur masih banyak remah-remah hikmah yang bisa dipunguti dari pengalaman ini. Bertemu dan berbagi bersama teman-teman baru dari berbagai daerah, adalah keberuntungan. Wawasan yang kita serap dari setiap kajian, adalah ilmu baru yang mengayakan jiwa raga. Perjalanan yang panjang dan penuh cerita, adalah harga yang mahal.

Mari tutup malam ini, dengan memejamkan mata dalam-dalam dan mengucap hamdalah sekali lagi. Deburan ombak menemani detik demi detik. Cottage ini akan menjadi kenangan, di mana ada sesuatu yang paling mengesankan, mengalahkan segala unek-unek berbau keresahan di atas tadi: saat pagi hingga sore hari, ketika membuka pintu, saya disambut oleh pantai. Pasir putihnya terhampar luas sepanjang garis pantai yang melengkung indah. Di ujung kiri, gunung yang gagah melatarbelakanginya. Di sisi kanan, gugusan karang hitam menghiasinya. Dan di kala malam, deburan ombak itu menemani tidur, semakin malam semakin kencang bunyinya. Bukannya mengganggu, tetapi malah makin indah di telinga, menjadi lagu merdu yang akan jarang-jarang diputar. Hanya di sini. Atau nanti, di tempat seperti ini lagi.

This is something that I can’t see everyday….

Enjoy, then. Keep in mind thoroughly, safely.



Selasa, 22 September 2015

Catatan Pendakian Bukit Besak, Lahat



Hari H tiba. Sembilan belas September dua ribu lima belas. Ekspedisi pendakian Bukit Besak yang terletak di Desa Tanjung Beringin, Kecamatan Merapi Selatan, Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan. Sebelum tempat ini menjadi sangat popular setelah masuk dalam tayangan My Trip My Adventure Trans TV beberapa minggu silam, suami saya sudah pernah satu kali menginjakkan kaki di sana. Sementara saya, menjadi salah satu korban acara tersebut yang kemudian berencana untuk turut merasakan sensasi berada di puncak bukit yang menawan seperti yang saya saksikan di acara itu.

Dalam pendakian kali ini, saya ditemani suami serta teman kami yang sudah bolak-balik ke Bukit Besak begitu seringnya, Heri namanya. Saya juga mengajak tujuh murid di Sekolah Alam Palembang: Jundi, Jawad, Daffa (kelas 2 SMA), Imad, Aldi, Wili, dan Thoriq (kelas 1 SMA).  Berkumpul di loket bus Anugrah di pagi hari, berangkat pukul 9.15. Perjalanan ke Lahat kali ini masih diselimuti kabut asap yang rupanya justru belum hendak berkurang kadarnya. Sempat berharap di Lahat kondisinya berbeda, akan tetapi mengingat dua hari lalu terjadi musibah kebakaran hutan besar-besaran di Gunung Dempo, rasanya kecil kemungkinan. Gunung Dempo saja konon bisa terlihat secara samar dari puncak Bukit Besak di kala cerah. Ini menandakan, jarak Dempo ke Bukit Besak tidak terlalu jauh untuk berkirim efek asap.

Tiba di Lahat sekitar enam jam kemudian, perjalanan diteruskan dengan menumpangi mobil L300 menuju Desa Tanjung Beringin. Sekitar satu jam kami harus menahan tubuh yang diguncang oleh mobil tersebut di atas jalan meliuk berkelok-kelok. Mobil berhenti di seberang rumah kepala desa. Di sinilah tempat perizinan pendakian Bukit Besak.

Mobil yang mengangkut pendaki ke desa Tanjung Beringin


Kabut asap terlihat tebal sekali. Warga mewanti-wanti kami supaya berhati-hati jika memang tetap mau muncak dalam kondisi bukit yang begitu kering di musim kemarau panjang ini dan rawan terjadi kebakaran. Apalagi, sepekan lalu baru saja terjadi musibah kebakaran di bukit sebelahnya yang memakan satu orang korban jiwa. 

Hmm, tak mungkin kami kembali lagi ke Palembang tanpa hasil, bukan? Sudah capek-capek berpeluh di bus ekonomi lho…. Saya teringat dulu ketika mau mendaki Gunung Dempo juga seperti itu. Diwanti-wanti bermacam-macam, yang lagi musim badai lah di atas, yang bahaya lah, abis ada kejadian apa lah, dan lain-lain. Alhamdulillah pendakian di sana berhasil dan selamat hingga turun lagi. 

Nah, untuk kali ini… ke puncak Bukit Besak…. Bismillahi tawakkaltu alallah….

Setelah membayar registrasi sebesar tiga ribu rupiah per kepala, kami mulai menyusuri jalan menuju tepian sungai. Menyeberangi jembatan gantung dan menikmati pemandangan sekitar: sawah yang kering menguning, perbukitan, dan sungai besaryang hanya sedikit airnya. Jeda dulu untuk berwudhu di sungai kemudian shalat jamak qoshor zuhur dan asar. Setelah itu, perjalanan dilanjutkan. Ada jembatan lagi yang harus kami naiki, bukan jembatan gantung dan jauh lebih kecil. Masuk hutan, jalan yang dilewati adalah setapak yang sudah dicor. Motor masih bisa lewat. Kiri kanan pohon karet, kopi, durian, dan lain-lain. Jam tangan menunjukkan pukul lima lewat. 

Di ujung jalan yang dicor itu, berdiri sebuah warung yang menyediakan makanan kecil dan minuman. Tersedia pula kamar mandi dan kolam air mancur yang airnya berasal dari mata air alami dari lereng Bukit Besak. Perjalanan dilanjutkan lagi. Trek tanah yang awalnya saja landai, dan tak lama setelahnya langsung berubah drastis. Kemiringannya mematikan. Ceruk-ceruk tempat berpijak tak semuanya aman, butuh konsentrasi penuh untuk melewatinya, serta sebagian besar tak menyediakan akar atau batang untuk tempat berpegang. Ada juga medan yang berbatu-batu atau kering kerontang hingga debu-debu beterbangan. Kebayang, kalau turun nanti, trek ini pasti sebagiannya akan berubah menjadi tempat perosotan yang tetap saja menuntut kehati-hatian. 

Hingga tiba di puncak beberapa jam kemudian, terjalnya medan tak berubah. Pukul 8 malam, angin puncak menyambut kami. Kencang dan dingin. Khas puncak. Tapi ternyata suasana seperti itu tak lama. 



Mendirikan tenda

Dua tenda didirikan secara bergotong-royong. Setelah itu, makan malam berlangsung sambil diselingi cerita demi cerita. Langit yang suram tanpa bintang tak menyurutkan kegembiraan telah berada di puncak bukit yang dinanti. Lucunya, begitu masuk tenda, sebagian anak-anak justru tak bisa tidur karena kepanasan dan banyak nyamuk. Ya, di dalam tenda malah terasa pengap. Rupanya, musim kemarau panjang serta kabut asap berpengaruh pada cuaca malam di puncak bukit ini. Hmm, saya pun baru kali ini jadinya memakai sleeping bag hanya sebagai alas memanjang di atas matras untuk tempat tidur. Pun tetap tak bisa tidur meski demikian. Malangnya, salah satu murid saya digigit semacam tawon di dekat mata kanannya, menciptakan benjol besar seperti benjolnya Sin Chan.  Pedih, katanya. Belum lagi pedih di jari-jari kakinya akibat luka yang dihasilkan dalam pendakian tadi.

Karena tak bisa tidur, mereka menyalakan kompor, merebus air, dan menyeduh kopi. Setelah itu saya beergabung bersama mereka keluar dari tenda dan duduk-duduk di atas batu memandang ke bawah sana. Ke arah lampu-lampu permukiman. Sekitar pukul 2 dini hari saat itu. Bintang di atas langit tak terlihat. Tapi cukuplah bintang-bintang jatuh saja yang kami pandangi, ya lampu-lampu permukiman itu, di bawah sana. Hehe.

Angin yang semakin dingin dan kencang memaksa kami untuk akhirnya masuk lagi ke tenda. Cuaca yang tak sepanas tadi kini memungkinkan saya untuk memasukkan tubuh ke dalam sleeping bag, meski itu hanya dari ujung kaki hingga ke perut, sisanya cukup memakai jaket saja. Sanggup tertidur hanya satu jam. Jam setengah lima, mata sudah tak bisa terpejam sejak mendengar suara-suara di luar. Rupanya beberapa murid saya sudah terbangun.

Kami pun bersiap shalat subuh. Setelah itu, rencananya mau menunggu sunrise. Tapi demi melihat kondisi sekitar yang tetap berkabut, saya tahu sunrise yang indah tak kan ada.

Kami berjalan ke belakang tenda. ke ujung puncak. Gunung Jempol yang menjadi latar belakang pemandangan puncak terlihat samar. Jika cerah, sebenarnya gunung yang puncaknya benar-benar berbentuk jempol ini akan terlihat sangat jelas, hijau, dan tentu saja indah. Ala kuli haal, Alhamdulillah. View perbukitan terdekat juga ada, dan tak kalah menawan. Di sisi yang lain malah terhampar sabana berwarna campuran antara kuning dan hijau. Tanpa kehilangan keceriaan, tim kami tetap antusias berfoto-foto dengan mengambil latar belakang Gunung Jempol, bukit-bukit sabana, tenda, dan puncak itu sendiri.

Pendakian ini, akan menjadi catatan yang indah dalam kehidupan kami. Satu momen yang akan dikenang dan diambil hikmahnya. Tak ada perjalanan tanpa kesia-siaan, jika kita mampu mengambil pelajaran. Kesyukuran kepada-Nya adalah yang terbaik, sebab darinyalah kesempatan ini ada.

Menikmati view Gunung Jempol yang berkabut

Gunung Jempol yang eksotik dan unik

Berdua denganmu....

Keindahan sekitar puncak

my prince
Full Team

Aktivitas tim kami selanjutnya adalah memasak sarapan, kemudian menyantapnya. Dilanjutkan dengan membongkar tenda dan packing. Perjalanan turun sekitar pukul delapan. Dan saya tahu, ketujuh anak-anak saya ini sudah tak sabar lagi untuk tiba di sungai dan menceburkan diri di sana. Mandi sembari bermain. Kapan lagi bagi mereka mandi di sungai berbatu-batu di desa yang alami berlatar belakang bukit-bukit yang indah dan berlatar depan jembatan gantung yang gagah, bukan? :-) 

Jembatan Gantung dan Dua Bukit

Ini dia... Bukit Besak berlatar depan jembatan gantung

Minggu, 28 Juni 2015

Altitude 3676 Takhta Mahameru: Inspirasi dari Ketinggian


Sebuah Pengantar*

Semua berawal dari mimpi. Mimpi untuk menjejaki gunung tertinggi. Mimpi menapaki desa bahari di kaki Sulawesi. Mimpi menulis dan memiliki salah satu masterpiece.
Dari obrolan ringan di dalam pelukan dingin angin siang alun-alun mahaluas bernama Padang Suryakencana di punggung Gunung Gede, Jawa Barat, tercetus keinginan kami untuk mendaki tempat tertinggi di tanah Jawa, Mahameru. Rencana ini kemudian terwujud pada medio Mei 2011. Beruntung saya memiliki teman-teman yang selalu merasa hidup dalam tiap-tiap langkah menyusuri jengkal Ibu Pertiwi. Beruntung karena saya telah mengasah minat pada dunia traveling sejak bertahun-tahun sebelumnya, mulai dari perjalanan solo, berdua, hingga dalam tim kecil dan besar. Dan makin beruntung karena setelahnya saya ‘terseret’ ke dunia pendakian gunung meski tak sampai menjadi pendaki sejati. Cukuplah menjadi akhwat backpacker yang sesekali mendaki.
Maka jadilah impian mengunjungi Mahameru saat itu berada di depan mata. Akan tetapi, seperti halnya Raja Ikhsan, saya mulai merancang serangkaian panjang perjalanan, bukan ke satu lokasi saja. Saya naik kereta api ekonomi dari Palembang menuju Bandar Lampung. Menginap satu malam di rumah teman, lalu paginya naik angkot ke Terminal Rajabasa. Dari sana, saya naik bus ke Pelabuhan Bakauheni. Perjalanan solo dilanjutkan dengan menumpangi kapal feri hingga tiba di Pelabuhan Merak. Sebuah bus mengantarkan saya dari Merak ke Terminal Kampung Rambutan dan saya pun menyediakan waktu sejenak menghirup keruwetan Jakarta sebelum bertolak ke Bandara Soekarno-Hatta. Pesawat hemat tujuan Makassar yang saya browsing satu bulan sebelumnya akan terbang jam 00.45 dini hari.
Tiba di Makassar sebelum subuh, saya berdiam di musala bandara megah itu hingga jam setengah enam. Saya mampir sebentar ke rumah kenalan baru di Makassar yang setelah itu menjadi keluarga angkat terbaik saya di kemudian hari. Setelah mandi, sarapan, dan menitipkan ransel yang berat di sana, saya berangkat lagi ke pool bus Damri untuk bertolak menuju Tanjung Bira. Salah satu daerah yang menjadi impian di masa kecil saya. Lagi-lagi, persis seperti Raja Ikhsan di dalam novel ini. J
Makassar hanya sempat saya jelajahi selama satu hari sepulang dari Tanjung Bira, dikarenakan pesawat saya ke Surabaya telah menunggu keesokan harinya. Dari Bandara Juanda, traveling berlanjut dengan menyusuri Suramadu dan kemudian kembali ke Surabaya. Keesokan harinya meluncur ke Malang, menginap semalam, baru setelah itu menuju Stasiun Kota Baru Malang, meeting point dengan teman-teman saya yang datang dari Jakarta, Cilegon, Depok, dan sebagainya. Dari sanalah, ekspedisi Mahameru dimulai.
Apa yang saya dapatkan dalam rangkaian perjalanan panjang nan lengkap itu (perjalanan melintasi beberapa pulau besar dan kecil, dengan moda transportasi lengkap baik bus, sepeda motor, perahu, kapal, kereta api, hingga pesawat terbang; perjalanan menikmati bawah laut hingga atas gunung) adalah segala hal tentang inspirasi pengalaman di tempat-tempat baru, budaya baru, view baru, orang-orang baru, tuturan cerita yang baru, tantangan, keberanian, dan kenekatan, ide-ide unik, antik, hingga mistis. Semuanya berjumlah tak terhitung. Yang kemudian di antara sekian banyak inspirasi tersebut saya jalin menjadi rangkaian baru kata-kata sebagai pengabadi. Ialah novel ini. Menuliskannya… aduhai, begitu lancar rupa-rupanya. Tercatat hanya dalam kurun waktu total dua bulan saya meramu novel ini hingga selesai. Demikian deras ide mengalir, benderang ingatan tentang latar-latarnya, dan begitu saja kata-kata tercurahkan.
Alhamdulillah, Allah kemudian memperpanjang kemudahan itu dengan menjadikan novel ini sebagai juara kedua dalam lomba menulis novel islami tingkat nasional yang diadakan oleh sebuah media cetak terkemuka pada akhir 2011 (pengumuman pemenang pada 2012). Setelah setahun berkibar di bawah naungan penerbit pertamanya, kontrak buku selesai. Kejayaan penjualan novel ini masih terus berlanjut setelah terbit dalam edisi revisinya dengan kaver dan judul terbaru, yaitu Altitude 3676. Pembaca Altitude 3676 meliputi kalangan yang luas dan beragam, mulai dari mahasiswa dan pelajar, orang kantoran dan rumahan, penulis, para traveler, backpacker, hingga pendaki dari berbagai ‘jenis’, usia, etnis, dan agama. Seumur hidup kepenulisan yang saya arungi, baru untuk novel ini pembaca saya sampai seluas itu. Sungguh-sungguh saya merasa ini berkah dari-Nya yang tak ternilai.
Dan, di awal tahun 2014, lagi-lagi saya tercengang, nyaris tak percaya, meski diam-diam dan perlahan-lahan sekali bahagia merambati hati. Kabar mengenai keberhasilan Altitude 3676 menyabet penghargaan sebagai Buku Fiksi Dewasa Terbaik 2014 versi IKAPI menjadi kado Allah kesekian untuk saya. Semoga saja Allah tak akan bosan memberikan hadiah-hadiah kecil-Nya ke dalam kehidupan saya dan keluarga. Semoga dengan ini ibadah kami kepada-Nya menjadi semakin kuat dan akrab.
Kita jangan pernah berhenti bermimpi. Biarkan Allah yang menilai kepantasan kita meraih mimpi-mimpi itu.

Palembang, 20 Februari 2014

Azzura Dayana

(*Dikutipkan dalam pengantar novel Altitude 3676 cetakan ke-2 edisi stempel sebagai peraih penghargaan Fiksi Dewasa Terbaik 2014 versi Islamic Book Fair - IKAPI Award)