Social Icons

Pages

Azzura Dayana

Azzura Dayana

Selasa, 08 Januari 2013

Catatan Ekspedisi Pendakian Gunung Dempo (#Bagian 2 - tamat)


Ekspedisi Dempo (#Bagian 2 tamat)

Memang, setiap gunung memiliki misteri dan pesonanya masing-masing. Pun demikian Dempo. Apa yang kami lihat selama satu jam sepanjang menuruni Puncak Dempo (puncak II) menuju lembah adalah sebuah pesona sekaligus misteri: hutan Harry Potter! Itu julukan yang diberikan teman-teman.

Entah di film Harry Potter yang mana yang ada setting hutan-hutan seperti itu, karena saya sendiri hanya menonton Harry Potter yang pertama (Harry Potter & The Sorcerer Stone), lainnya tidak. Tapi memang hutan ini berbeda dari hutan-hutan yang kami lewati sebelumnya. Hutan yang menutupi langit, akar-akarnya menggembung ke luar tanah, lumut-lumut menyelimuti batang dan tanah, alur trek yang menyelinap di antara akar-akar liar dan gembung itu, cabang-cabang pohonnya seperti urat atau otot manusia, warna hijau pucat memenuhi ruang pandang,  didukung suasana mendung dan hampir gelap ala Maghrib. Somewhat frightening!

Pingin berteriak takut, tapi justru takut berteriak. Saya berusaha menepis semua ingatan tentang beragam kisah angker nan mistis tentang gunung ini yang sudah begitu tenar ke mana-mana. Ketakutan atau sekadar keluhan yang keluar dari mulut saya justru saya khawatirkan akan memicu saya tersesat. Saya takut melihat keadaan itu, takut tertinggal langkah teman-teman yang justru semakin cepat. Padahal tadi saya bertahan di barisan belakang untuk memback-up dua akhwat yang drop, eh justru sekarang saya jadi berjalan paling ujung. Interval kami sempat berjauhan, dan saya hanya bisa menenangkan diri dengan terus berzikir. Tasbih, istighfar, dan shalawat. Tiga itulah kalimat favorit saya saat itu untuk menenangkan diri saya yang penakut. Saya tidak berani lirik kiri kanan, selain menatap tanah mencermati pijakan. Memang keren sekali tim kami ini: tidak ada sweepernya! Ckckck.

Terus berzikir dan terus melangkah cepat. Interval saya dengan teman di depan saya mulai mendekat. Kemudian saya meminta dua teman laki-laki membiarkan saya jalan duluan karena saya tidak mau berada di paling belakang. Saya mengejar teman-teman perempuan, bersama mereka menuruni tanah berair. Serupa menuruni air terjun yang dangkal. Lembah sudah terlihat di depan mata. Dataran tinggi terbuka yang membentang di bawah langit yang mulai kelam. Inilah lembah yang berada di antara dua puncak gunung. Satu puncak yang sedang kami turuni ini, satunya lagi menjulang di depan mata kami, nun jauh di sana. Puncak Merapi.


Kemping Menggigil

Bahkan untuk sekadar tiduran pun tidak bisa dengan mudahnya kami lakukan, setelah tenda selesai didirikan malam itu. Semuanya serba repot. Dinginnya suhu nol derajat tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Rekan perempuan yang mengalami kantuk dan kedinginan baru saja selesai kami ‘amankan’. Tapi begitu saya dan beberapa teman perempuan lainnya masuk tenda, rekan perempuan yang drop satunya tiba-tiba pingsan di samping saya. Kedinginan juga. Langsung saya memeluknya dan merebahkannya di pangkuan saya. Saya sudah khawatir dia terkena hipotermia--tapi saya lihat gejalanya berbeda. Bersicepat kami melakukan pertolongan pertama.

Alhamdulillah beberapa saat kemudian, dia siuman.

Entah kenapa teman-teman laki-laki tidak bersiap sedia untuk masak makan malam. Sepertinya semuanya kelelahan dan kedinginan. Kami yang perempuan pun hanya menghabiskan sebungkus nasi beramai-ramai. Entah mereka makan berapa bungkus. Selesai makan dan mengganti semua pakaian yang basah dan kotor dengan pakaian yang bersih dan hangat, saya mendengar teman melirihkan azan dan iqamah di luar tenda. Saya langsung berseru. “Mau shalat ya? Ikuut. Tunggu bentar ya.”

Teman-teman perempuan yang lain juga beranjak ikut. Kami bertayammum di luar, lalu melangkahkan kaki ke atas matras dan terpal dan mengatur shaf di sana. Shalat jamak Maghrib dan Isya didirikan. Rasanya… subhanallah. Shalat di atas tanah yang tidak halus permukaannya, hanya dilapisi terpal tipis; dinaungi langit malam yang mendung dan hanya ditaburi satu dua bintang. Sementara udara yang dingin seperti hendak membekukan tulang-tulang kami. Jaket tebal sudah berlapis-lapis saya pakai, kaki sudah terbungkus kaos kaki tebal, begitupun semua jari tangan.

Usai shalat, beberapa dari kami mengungsi ke kumpulan tetangga sebelah. Para pendaki lainnya yang sedang asyik membuat api unggun. Batang tumbuhan kayu panjang umur yang mereka gunakan. Batang yang cukup awet menjaga nyala api.

Tidak sampai satu jam kemudian, kami kembali ke tenda. Sudah tidak sabar ingin segera meluruskan pinggang dan kedua kaki yang penat, sambil bergelung di dalam sleeping bag. Saya tahu saya tidak akan jatuh tertidur dengan mudah, seperti yang sudah-sudah saat saya tidur di gunung. Paling-paling saya hanya bisa tidur lelap selama satu jam.

Terkejut saat tengah malam kembang api dinyalakan oleh pendaki-pendaki dari tenda lain yang berjauhan dari kami. Kami sih tidak membawa kembang api. Dan walaupun di luar jadi agak riuh karena kembang api tengah malam pertanda pergantian tahun itu, saya sudah telanjur malas keluar dari sleeping bag. Lanjut tidur-tiduran lagi, sampai kemudian hujan turun. Rintik-rintiknya terasa jelas menimpa tenda kami. Keriuhan di luar usai. Kesempitan di dalam tenda makin terasa karena teman-teman yang tadinya di luar semuanya masuk ke dalam. Sampai hujan pun reda.

Saya dan teman sebelah sudah tidak bisa lagi memejamkan mata, lalu kami putuskan untuk tahajud. Tadinya mau tahajud di luar tenda. Tapi untuk tayammum di luar saja kami sudah kedinginan setengah mati. Akhirnya kami tahajud sambil duduk di dalam tenda.


Puncak Merapi

Pagi-pagi setelah shalat, masak mie rebus, menyeduh energen dan kopi jahe, serta berfoto-foto berlatarbelakang Puncak Dempo dan Puncak Merapi, kami bersiap mendaki Puncak Merapi, yaitu si puncak I alias puncak tertinggi di gunung Dempo ini. 

Masih dengan formasi berjaket beberapa lapis, kali ini kami tidak membawa ransel. Hanya bawa badan dan perlengkapan kecil seperti minuman dan kamera. Saya siap naik pakai rok :). Trek menuju Puncak Merapi adalah tanah tinggi yang terbuka, kering, dan berbatu-batu.

Lumayan terengah-engah mendaki trek puncak yang cukup curam ini. Kuncinya adalah kesabaran, dan mengatur ritme napas dan ritme langkah. Berkali-kali berpapasan dengan pendaki dari kelompok lain yang juga naik turun. Setiap kali berpapasan, saya menyapa mereka, dan mereka menyemangati yang masih dalam perjalanan naik ini. “Ayo, sebentar lagi. Semangat. Cuaca cerah di atas,” kata mereka.

Mendengar kabar bahwa cuaca cerah di atas sana, alangkah gembira hati ini. Saya tak peduli danau kawahnya berwarna apa, yang penting saya bisa melihat kawahnya tanpa terhalang mendung dan kabut. Itu doa saya sejak di awal pendakian, yang saya ingat betul.
Tidak sampai satu jam kemudian, kami tiba satu per satu di atas puncak. Dan inilah…. view terbaik yang sudah siap saya saksikan. Kami berada di pinggiran bibir kawah bekas letusan gunung Dempo ratusan tahun lalu. Kawah lebar yang menganga. Tebing-tebing bagian dalamnya berupa tangga batu atau tebing bergaris-garis. Tebing kawah ini benar-benar mengingatkan saya pada tebing kawah di Puncak Gunung Gede. Bedanya, di tengah kawah gunung ini terdapat danau kawah. Airnya berwarna putih keabuan, warna kulit telur bebek, kata para pendaki. Terletak nun jauh di bawah sana, sekitar satu kilometer jaraknya. Saya bertanya pada teman pendaki yang asli sana, adakah orang yang berjalan mendekati danau itu sampai benar-benar tiba di sana? Dia menjawab, ada. Bahkan dia sudah dua kali turun ke danau itu, melalui tebing di seberang sana, bukan dari sisi tinggi tempat kami berada sekarang.

Di waktu-waktu tertentu, air danau kawah itu berwarna hijau terang atau kebiruan. Konon katanya tergantung niat terbaik dari lubuk hati pendaki yang datang, atau imbalan dari kelakuan seperti apa yang mereka bawa ke gunung ini. Jika niat dan kelakuan itu baik, maka mereka akan mendapatkan kawah dengan air danau berwarna hijau atau biru. Hmm… Dua ratusan pendaki yang turun naik bersama kami di pergantian tahun ini. Kami sendiri tidak bisa memastikan niat kami sesuci embun pagi, dan tidak bisa menuduh pendaki lain tidak bersih niatnya. Sepanjang jalur pendakian saya melihat sampah di mana-mana. Setiap satu meter terdapat botol kosong yang dibalikkan dan dimasukkan ke batang atau ranting. Di lembah, saya dan seorang teman juga menemukan kotoran manusia yang sengaja dibuang di sumber air yang tidak begitu mengalir. Saya sempat merasa dongkol. Ini benar-benar bukan watak pendaki sejati. Bagaimana mungkin dia tidak tahu bahwa air adalah sumber kehidupan pendaki? Sejatinya seorang pendaki tidak akan membuang kotoran langsung di air, tetapi di tanah yang berjarak dari sana.

Di sisi lain saya pun yakin, perubahan warna air danau kawah pastilah tersebab oleh faktor alam juga. Segini saja saya sudah bersyukur: bisa melihat kawahnya, tidak hujan dan tidak mendung. Bisa melihat awan-awan yang cerah di bawah sana, di hadapan, dan di belakang. Itu adalah salah satu anugerah Allah yang paling indah.

Rasanya belum puas berfoto-foto, dan belum puas saya menghabiskan waktu duduk terdiam di titik ini untuk menikmati keindahan yang mencerminkan keagungan-Nya ini. Semua letih seperti terbayar lunas, begitu menyaksikan semua ini. Segala beban di pundak terlupa, segala sakit dan luka terobati. Ingin sekali berlama-lama duduk diam menikmatinya. Menikmati kebahagiaan yang mahal ini, jauh dari segala tekanan. Tapi sayang kami tidak boleh berlama-lama sebab cuaca cepat berubah di musim ini.

Selamat tinggal Puncak Merapi. Selamat tinggal danau kawah dan awan-awan yang menjadi dekat. Selamat tinggal pemandangan bukit barisan dari atas dan pemandangan Puncak Dempo dari sini.


Turun Gunung

Kami kembali turun ke lembah. Jam sebelas siang, setelah beres-beres pribadi dan tim, kami meninggalkan tempat itu. Menyusuri lembah hingga naik kembali ke Puncak Dempo. Dari sana, perjalanan turun gunung dimulai. Menuruni tanjakan demi tanjakan, serupa menuruni tangga yang tak habis-habis. Trek-trek tali dilewati lagi.

Di awal-awal turun gunung, saya masih membersamai salah satu teman perempuan yang kemarin drop di belakang. Tapi setelah dua trek tali yang letaknya tertinggi itu dilewati, posisi saya berubah jadi ke tengah. Ternyata dua teman perempuan yang kemarin drop posisinya malah di belakang semua. Kemudian saya melihat bahwa sandal gunung saya yang kiri sedikit terbuka bagian depannya. Saya pun bergumam, kayaknya nih sandal bakalan rusak di Dempo deh. Ini semata saya katakan karena ketidakyakinan saya bahwa sandal ini akan mampu bertahan di trek yang becek bukan main ini (sungguh pada akhirnya baru saya sadar, bahwa seharusnya saya tidak berkata demikian di trek. Seharusnya saya katakan pada sandal saya: bertahanlah, antar aku sampai ke bawah lagi.)

Kembali saya harus menentukan pilihan, apakah saya harus terus di belakang atau bertahan di tengah. Tim kami terpecah-pecah saat itu. Makanan dan minuman ada di kelompok depan. Minuman saya sendiri sudah kosong karena diminum bersama. Kelompok belakang sudah terlalu jauh jaraknya. Hujan mulai turun, semakin deras, dan mengubah trek menjadi lumpur. Sandal gunung saya yang kiri makin mengkhawatirkan karena seringkali terbenam ke dalam tanah lumpur dan sulit ditarik. Begitu berhasil ditarik, rekahan alasnya semakin lebar.

Saya pun berhitung kemampuan diri sendiri. Di belakang ada tiga teman lelaki membersamai dua teman perempuan kami yang kemarin drop itu. Tapi kondisi mereka berdua sekarang baik-baik saja. Yang satu malah terlihat cukup kuat dan tidak mengantuk lagi, sedangkan yang satunya bisa terus berjalan seperti biasa, hanya saja dengan tempo yang pelan. Dengan kondisi saya sekarang, saya tidak yakin keberadaan saya di sana akan membantu. Justru saya akan menambah kesulitan mereka seandainya saya terpaksa berjalan dengan tempo lambat dengan kondisi sandal mulai rusak. Belum jika saya jatuh atau terluka di medan yang masih sangat ekstrem di atas sana.

Saya pun memutuskan untuk bertahan di tengah, bersama dua orang teman. Salah satu di antara dua teman saya ini rupanya mengalami nasib sandal yang sama. Itulah sebabnya kami mengejar tiba di tugu Rimau secepat mungkin. Sebelum sampai di shelter 1 b, sandal kiri saya benar-benar tamat riwayatnya. Saya yang sebelumnya tadi masih leluasa turun dengan cara melompat ke tanah bawah, kini tak bisa lagi. Sandal kiri itu saya lepaskan, dan saya pun mulai berjalan dengan kekuatan satu kaki. Oh, alangkah susahnya. Tapi saya menyimpan keluhan itu serapat-rapatnya di dalam hati dan menggantinya menjadi semangat.

Karena kebanyakan trek tanah sudah berubah menjadi lumpur, maka kami pun memilih untuk sering berseluncur saja. Melompat bisa membahayakan telapak kaki kiri saya yang tanpa sandal, sedangkan akar dan batu bisa saja mengintai dari dalam tanah.


Tugu Rimau Kembali

Sepenuh ketabahan, dengan cara turun yang demikian tak leluasa, akhirnya kami tiba di pintu Rimau, dengan keadaan hanya wajah dan kepala yang masih terbilang bersih dari lumpur. Beberapa pendaki yang sudah tiba lebih dulu menyambut kami. “Selamat datang kembali…,” kata mereka.

Jam 17.15 saat itu. Saya buru-buru ke kamar mandi dan mengganti semua pakaian kotor. Lalu bergegas ke mushola dan shalat jamak di sana. Dalam sujud saya yang terakhir, saya tidak dapat menahan air mata saya. Setelah salam, saya makin tersedu. Sujud lagi. Menangis lagi. Hanya ada saya sendiri pula saat itu di mushola. Teman saya yang satunya masih di kamar mandi, yang satunya lagi sedang tidak shalat.

Sungguh baru kali ini saya sampai menangis seperti itu setelah turun gunung. Sebuah kelegaan yang luar biasa. Saya rasakan, Allah benar-benar memberi saya terlalu banyak, padahal saya hanya meminta sedikit. Saya hanya meminta tidak hujan saat kami mendaki, tidak hujan saat kami ke puncak, supaya kami bisa melihat pemandangan kawah dengan baik. Tapi DIA memberi lebih dari itu. Pendakian ini… memberikan banyak hal, banyak arti. Pendakian ini memberi banyak pelajaran dan pengalaman berharga. Belajar tentang ketabahan dan kepayahan. Belajar tentang kebersamaan dan kesendirian. Belajar tentang kelemahan dan kekuatan. Mendapatkan teman dan saudara. Memahami karakter: mana yang tangguh atau tak seimbang, mana yang mandiri dan bertanggung jawab, mana yang egois dan yang peduli, mana yang baik atau pura-pura baik, mana yang tulus dan mana yang modus. Diberi-Nya kami cuaca yang baik saat mendaki hingga melihat kawah di puncak. Disingkirkan-Nya badai dari kami, padahal kemarin-kemarin badai itu selalu terjadi. Hujan hanya diturunkan-Nya saat tengah malam dan saat pendakian kami hampir usai, supaya kami tahu bagaimana rasanya berjalan bersama hujan. Sungguh Allah Maha Baik.


Epilog

Kelompok terakhir tiba di tugu Rimau satu jam setelah kami, sempat disusul balik pula oleh anggota tim yang pertama kali tiba di bawah. Salah satu perempuannya mengalami keseleo setelah melewati shelter 1. Dan satu yang laki-laki sempat tergelincir ke jurang dengan posisi tubuh telentang ke bawah. Untung kedua kakinya masih tersangkut tumbuhan sehingga dengan cepat segera ditarik oleh dua teman laki-laki yang lain. Sungguh mengerikan.

Tangis haru dua teman perempuan kami itu menutup semua kepayahan mereka berdua, begitu tiba di tugu Rimau. Alhamdulillah kondisi mereka akhirnya segera pulih. Tidak ada yang cedera di antara kami. Mobil pick up sudah menunggu untuk mengantarkan kami ke kota di bawah sana. Pendakian berakhir, dengan sejuta cerita (termasuk satu hal mistis yang dialami kelompok belakang saat maghrib, tapi tidak perlu diceritakan di sini:)). Sampai jumpa lagi, Dempo. Dan terima kasih wahai Rabb kami Yang Maha Baik. Semoga kami terus bisa selalu bersyukur atas apa yang Engkau berikan.

***


Di waktu mengenang rahmat-Mu, terasa diri kurang bersyukur
Pada-Mu harus kumemohon, moga syukurku bertambah
Alangkah susahnya mendidik nafsuku yang tidak melihat kebenaran-Mu
Ya Allah Tuhanku bantulah hamba-Mu dalam mendidik jiwaku ini
  --(Harapanku Subur Kembali, by Nazrey Johani)




Senin, 07 Januari 2013

Catatan Ekspedisi Pendakian Gunung Dempo (#Bagian 1)


EKSPEDISI PENDAKIAN DEMPO (#Bagian 1)

Ketika mengenang ghaffar-Mu, putus asa tiada lagi
Semangatku pulih semula, harapanku subur kembali
Ujian menimpa menekan di jiwa, tak sanggup meneruskan perjuanganku
Mehnah-Mu itu penghapus dosaku, mengganti hukuman-Mu di akherat


Prolog

Saat menuliskan catatan perjalanan ini, saya menemukan lirik nasyid yang pas mengiringi apa yang saya rasakan, sejak memulai pendakian kemarin, di dalam tapak-tapak perjalanannya, hingga ketika pendakian itu usai. Nasyid Harapanku Subur Kembali-nya Nazrey Johani yang salah satu baitnya saya kutip di atas.

Tidak banyak orang yang mengerti, atau mau mengerti, mengapa seseorang atau orang-orang lain di sekitarnya menyukai aktivitas naik gunung. Pun hingga berbuih-buihlah kita menceritakan, niscaya belum dapat dipastikan ia akan mengerti atau mendukung kita. Mendaki bagi beberapa orang tertentu, terkadang, memang harus dirasakan sendiri, bukan dijelaskan tentang apa, mengapa dan bagaimana.

Saya pernah mendengar suatu kisah tentang seorang anak lelaki asal Palembang yang sedang kuliah di pulau Jawa. Ia ketularan virus mendaki gunung dari teman-temannya di sana. Beberapa gunung di Jawa ia daki bersama teman-temannya itu. Saat liburan datang, ia bermaksud pulang dan meminta izin pada ayahnya supaya memperbolehkan ia, saudara lelakinya, dan temannya, untuk mendaki gunung Dempo yang masih terletak dalam wilayah provinsi Sumsel. Ayahnya tidak setuju. Anaknya membujuk dengan sungguh-sungguh. Ketika si anak hampir putus asa, akhirnya si Ayah berkata, “ Ya sudah, kalian boleh mendaki, dengan syarat, Ayah ikut bersama kalian untuk memantau.”

Tentu saja anak-anak bergembira menyambut ide itu. Maka mereka pun berangkat menuju Pagaralam, setelah segala perlengkapan disediakan. Pendakian dimulai. Perjuangan susah senang dan kebersamaan dalam segala rintangan dan keterbatasan dirasakan. Sampai akhirnya pendakian berakhir sukses. Sejak saat itu, sang Ayah mengerti dengan sendirinya, mengapa anaknya suka naik gunung.


Akhir Tahun 2012

Tentu bukan untuk merayakan pergantian tahun Masehi, tapi hanya karena kebetulan kami ada waktu kosong yang bersamaan, maka ide untuk mendaki gunung Dempo ini pun tercetus oleh saya. Kami pun segera membentuk tim, siapa saja yang akan kami ajak, siapa koordinator lapangan di sana nanti, serta segala persiapan peralatan dan stamina. 

Ahad 30 Desember 2012, kami berangkat dari Palembang ke Pagaralam dari Terminal Karya Jaya dengan menumpangi bus ekonomi Melati Indah (Rp.40.000), berangkat jam delapan kurang.

Alhamdulillah, perkiraan macet yang sempat kami khawatirkan tidak terjadi. Perjalanan berlangsung lancar jayaa. Jam 15.30 kami tiba di kota Pagaralam, langsung menuju rumah seorang rekan tempat kami menginap dan mempersiapkan pendakian.

Sayangnya, kabar-kabar yang mencemaskan mulai berembus ke telinga kami: mulai dari cerita tentang jalur pendakian yang dipastikan sangat berbahaya karena musim hujan, badai yang terus terjadi di gunung beberapa minggu terakhir, sampai ada yang menasihati kami untuk membatalkan pendakian saja. Ditambah lagi beberapa warning mistis yang hampir membuat saya emosi jiwa. Bagaimana tidak, sungguh tidak patut menyebarkan hal semacam itu di saat kami belum mendaki. Seolah kami adalah anak kecil yang tidak paham bahwa setiap gunung mengandung misteri masing-masing. Dan lagi, ini bukan pertama kali kok saya pergi mendaki. Teman-teman akhwat sudah saya siapkan mentalnya, sudah saya kasih tahu apa-apa yang harus mereka jaga. Jadi, mereka bukannya buta sama sekali tentang gunung. Akan tetapi, karena khawatir sanggahan saya akan dikira kesombongan, maka saya biarkan saja, dan tetap menenangkan teman-teman akhwat. Kami sudah jauh-jauh ke sini. Tidak akan kami melangkah mundur. Kami meminta supaya hujan tidak turun saat kami mendaki, jikapun ia turun, semoga tidak membuat kami kesulitan. Kami ingin melihat kawah di puncak. Itu saja yang sungguh-sungguh kami minta kepada Yang Maha Mengatur Segalanya.

Senin 31 Desember 2012, kami keluar rumah ba’da Subuh, mampir sebentar di warung nasi uduk dan lontong untuk mengisi perut, lalu memborong semua lontong yang dibuat si ibu setengah baya. Nambah-nambahin bekal makan siang di gunung nanti, jaga-jaga kemungkinan seandainya kondisi menyebabkan kami tidak sempat atau tidak bisa masak.

Tim kami terdiri dari 14 orang; 7 laki-laki dan 7 perempuan, gabungan Palembang dan Pagaralam. Perjalanan dimulai dengan menggunakan mobil pick up menuju gerbang jalur pendakian. Pemandangan luar biasa indah menyambut kami. Kebun teh menghampar hijau sejauh mata memandang. Jalan aspal berkelok-kelok menuju ketinggian. Pemandangan kota yang makin terlihat jauh. Udara dingin mulai memeluk kami. Jaket dirapatkan. Tapi kami tahu, dingin ini belum ada apa-apanya sama sekali dibanding suhu di atas gunung nanti.

Jam setengah sembilan, kami tiba di pos lapor pendakian. Di sinilah letak gerbang pendakian Jalur Rimau, yang ditandai dengan adanya Tugu Rimau (simbolisasi Harimau Sumatera). Sampai di sini, saya masih belum sadar bahwa pendakian kami ternyata dimulai bukan dari Pintu Rimba, seperti yang saya pahami sebelumnya tentang Dempo.

Kami berdoa bersama dipimpin salah seorang pak tua di pos lapor—doa yang sebagian kecilnya aneh menurut saya, karena diubah-ubah di beberapa bagian tertentu oleh si bapak sehingga artinya menjadi lain (lagi-lagi menurut pemahaman saya), dan karena itu saya hanya mengaminkan di bagian tertentu saja, dan lebih fokus pada doa saya sendiri saja.


Trek ABRI

Tepat jam 9, pendakian dimulai. Sudah terlihat dari tanah di sekitar tugu Rimau, bahwa trek yang akan kami tempuh kondisinya basah bekas hujan. Saya sudah mengetahui bahwa trek gunung ini menanjak terus, dengan jalan setapak penuh akar, dan tinggi tanjakan mulai setengah dengkul sampai puluhan meter. Tapi ternyata, begitu trek tersebut nyata hadir di depan mata, tetap saja saya masih tercengang. Trek Rimau ini seperti menaiki tangga yang tidak pernah selesai. Terus naik dan naik terus. Tidak ada tanah landai. Dan jangan harap ada turunan.

Shelter 1 pun mengejutkan saya. Saya mengira seperti di gunung-gunung di Jawa, yang namanya shelter atau pos adalah tanah rata tempat para pendaki bisa duduk santai sejenak, dan terdapat pondokan kecil tanpa dinding. Shelter 1 jalur Rimau ini, ternyata, hanya tanah tak rata dengan ukuran yang tak simetris, dan tentu saja tanpa pondokan.

Perjalanan berlanjut, menuju shelter 1 b dan shelter 2. Dari tadi sebenarnya saya menanti-nanti munculnya Tanjakan Dinding Lemari. Sebuah tanjakan tegak lurus setinggi 4 meter yang hanya bisa dilewati dengan bergelantung pada akar atau memanjat tali. Tapi yang muncul melulu tanjakan-tanjakan setengah dengkul, sedengkul, sepinggang, sedada, yang memang tak ada habisnya. Semua tanjakan ini dilewati dengan berpegangan pada akar dan batang pohon.

Kami hitung-hitung, ternyata ada 4 tanjakan terpanjang yang mesti dilewati dengan tali. Trek tali pertama (paling bawah) panjangnya hanya sekitar 5 meter, bentuknya agak bengkok. Trek tali kedua sekitar 15 meteran, dengan kemiringan sekitar 45 derajat dan merupakan tanjakan yang tidak bengkok, serta pijakannya cukup jelas. Trek tali terpanjang adalah trek tali yang ketiga: lurus, dengan ceruk-ceruk tanah yang sangat jelas sebagai pijakan kaki kiri dan kanan. Panjang tanjakan ini mencapai 19 meter.

Bagaimana dengan trek tali keempat? Nah, walaupun panjangnya hanya sekitar 12 meter, tapi trek tali yang terakhir (paling atas) ini adalah empunya trek tali. Sudahlah tanjakannya bengkok patah ke kanan atas, tanahnya licin tiada tara, pegangan berupa akar-akar di kiri kanan tanjakan tidak cukup meyakinkan untuk bisa membantu, serta pijakannya pun tidak jelas! Luar biasa…. Trek tali keempat inilah yang membuat saya mati gaya alang-kepalang. Tapi alhamdulillah berhasil dilewati juga dengan cukup menyedihkan dan menciptakan luka di pergelangan tangan saya. Hehe.

Sudah tidak ada lagi pakaian yang bersih melekat di tubuh kami. Semuanya kotor oleh tanah. Sempat ada teman yang terjatuh dari trek tali dan jarinya bengkak. Lainnya, lecet-lecet di ujung-ujung jari karena selalu berinteraksi dengan akar dan batang pohon.

Melampaui antara trek tali yang satu ke trek tali yang lain, barulah saya sadar, Jalur Rimau bukanlah Jalur Rimba. Mereka adalah dua jalur yang berbeda. Tanjakan Dinding Lemari pantas saja tidak saya temui di sini. Sebagai gantinya, inilah dia empat trek tali yang luar biasa. Lebih dahsyat.

Ternyata pula, berdasar cerita teman-teman yang orang sana, jalur Rimau ini memang terhitung trek baru. Dulu biasanya para pendaki menempuh jalur dari pintu Rimba. Jalur itu lebih jauh dan panjang, serta tidak semuanya terjal. Sekarang, sudah sedikit yang melewati Jalur Rimba, karena pintu tugu Rimau memang lebih mudah dicapai daripada pintu Rimba.

Jalur Rimau awalnya dibuka oleh Brimob, dan dikhususkan untuk ujian tentara. Mereka diberi waktu 3 jam untuk melewati trek. Jika para tentara berhasil melewati trek jalur Rimau ini dalam waktu 3 jam, maka mereka lulus ujian.

Lalu bagaimana dengan kami? Apakah berhasil? Dan berapa lama? Hehehe.


Shelter 2 – Taman Bunga

Kalau tidak salah, trek tali ketiga dan keempat ditemui setelah lewat dari shelter 2. Shelter 2 ini kondisinya lebih mengagetkan saya. Tanah di shelter 2 malah miring. Sebenarnya ia lebih tepat dikatakan sebagai tanjakan yang lebar dan luas, bukan shelter. Saat berada di sini, kita bisa kebingungan mau duduk di mana, karena semuanya miring, semuanya berbahaya (setidaknya menurut saya sebagai perempuan). Terus, kalau sudah tahu mau duduk di mana, jangan lupa berpegangan atau bersandar pada pohon supaya tidak jatuh, kecuali bagi yang sudah terbiasa.

Ketinggian tanah yang kami pijak mulai mencapai dua ribu delapan ratusan meter dari atas permukaan laut. Jalan setapak yang kami lewati setelah shelter 2 dan sebelum trek tali ke-empat adalah tempat yang paling indah sepanjang jalur naik ini. Jalan setapak tersebut berada di pinggir tebing. Sebelah kiri kami adalah jurang, dan andaikata cuaca tidak tertutup kabut setebal ini, niscaya kami bisa melihat pemandangan yang indah di bawah sana, hanya terbatasi oleh rerimbunan tanaman hutan sub alpin. Udara dingin sekali. Tumbuhan paku yang saya lihat di sini bentuknya makin menyempit, rapat, dan rapi berjajar. Sangat indah. Belum lagi bunga kesayangan saya di pegunungan, yaitu cantigi, bertebaran di sini. Subhanallaah. Terasa mimpi bisa melihat cantigi lagi. Dengan jumlah yang begini banyaknya seperti tak habis-habis. Cantigi yang cantik dan kuat. Cantigi yang tegar dan sangat bermanfaat bagi pendaki. Akan tetapi di Dempo, cantigi biasa disebut sebagai kayu/bunga panjang umur oleh para pendaki dan warga lokal.

Tak ada edelweiss di gunung Dempo ini, memang. Tapi benalu-benalu yang melekati batang-batang cantigi mengingatkan saya pada perjalanan sepanjang Kalimati menuju Arcopodo di jalur gunung Semeru. Bedanya, trek menanjak di sekitaran ‘taman bunga’ ini tidak lagi seekstrem trek sebelumnya yang betul-betul menguras energi dan emosi. Tanah di sini tetap menanjak, tapi dengan ketinggian hanya setengah dengkul, dan berliku-liku. Rasanya seperti bermain di labirin taman bunga, berputar-putar walaupun harus sangat berhati-hati saat melangkah. Sayangnya, saya tetap tidak mengeluarkan kamera DSLR saya. Pertama, karena memang kalau sedang ngetrek, saya tidak akan bisa fokus motret, bahaya buat pijakan saya, dan saya bisa berisiko tertinggal tim pula kalau sibuk motret. Kedua, tangan saya kotor oleh tanah, kasihan kamera saya kalau harus ikutan kotor.

Jadi saya lebih memilih untuk menikmati keberadaan saya di sana dengan mata yang memandangi keindahan rerimbunan paku-pakuan, benalu, dan cantigi. Cantigi atau kayu panjang umur ini adalah tumbuhan berupa batang-batang yang dirimbuni daun-daun kecil yang rapat, di mana makin ke ujung tangkai maka daun-daun itu berwarna merah. Dengan kata lain, pucuknya yang berwana merah, dan inilah yang disebut ‘bunga’nya. Bunga ini konon tidak akan berubah warna setelah dipetik berhari-hari lamanya. Lambat laun setelah itu, barulah ia akan berubah menjadi hitam, namun bentuknya tetap cantik dan tidak berubah.


Puncak Dempo (Puncak II)

Hari sudah sore, dan kami masih berkeliaran di hutan. Puncak sepertinya tidak jauh lagi. Teriakan “Semangat pagiii…” terus mengisi udara. Jam berapa pun sekarang, teriakannya selalu Semangat Pagi. Biar semangat selalu pagi dan baru, bukan sisa-sisa semangat.

Salah seorang teman kami, perempuan, terkena ngantuk yang luar biasa. Dia katakan dia tidak sanggup melangkah lagi saking ngantuknya. Tapi tentu tidak mungkin kami memenuhi keinginannya untuk ditinggalkan saja dan membiarkannya tidur sebentar. Sungguh berbahaya. Udara yang mulai dingin mencekam karena kibasan angin yang kencang mendekati tanah puncak bisa-bisa membuat ia tidur tanpa bisa bangun lagi. Kami mengalami dilema, antara ingin cepat-cepat bertemu tanah rata di puncak supaya bisa shalat jamak, atau menunggui teman kami yang ngantuk dan langkahnya sudah sangat mengkhawatirkan.

Tapi kami tidak bisa memilih satu. Tetap saja kami harus terus melangkah meski semakin lambat, sementara teman kami tersebut terus kami semangati dan kami bantu melangkah. Kami bantu ia makan, minum, dan mencuci wajah dan kedua matanya.

Akhirnya, kami tiba di Puncak Dempo, puncak kedua yang ada di gunung ini. Allahu akbar! Tanah rata, agak luas, dan masih berupa hutan. Pemandangan sekitar tertutup pohon-pohon. Dalam dingin yang menusuk kulit dan menampar-nampar tubuh, kami mendirikan shalat jamak qashar Zuhur dan Ashar di tanah kedua tertinggi di gunung ini. Wudunya dengan tayamum saja. Saat shalat, terasa tubuh hampir terhuyung-huyung diterpa angin.

Legaaa sekali rasanya seusai shalat berjamaah. Perjalanan langsung kami lanjutkan setelah itu. Jaket bertumpuk-tumpuk di tubuh teman kami yang ngantuk dan kedinginan tadi. Angin dingin terus mengejar. Langit sore mulai menggelap menyusul mendung. Titik-titik hujan sempat jatuh, lalu menghilang kembali.

Kami bersicepat menuruni puncak gunung menuju lembah. Tempat kami akan kemping. Lembah itu terletak di antara dua puncak gunung ini, yaitu Puncak Dempo dan Puncak Merapi. Selama perjalanan menuruni Puncak Dempo, sebuah kejutan lain menemui kami.

(to be continued)