Social Icons

Pages

Azzura Dayana

Azzura Dayana

Rabu, 17 April 2024

Bagian 1. Selamat Datang di Jepang

#JapanJournal


Bagian 1
Selamat Datang di Jepang


Hidup boleh sederhana, tapi pengalaman harus kaya. Sebuah prinsip yang senantiasa membuat saya, seorang ibu beranak tiga ini, akan terus berupaya sesekali tetap menjelajah meski dengan cukup banyak keterbatasan yang ada. Bumi Allah yang mahaluas menyediakan hamparan hikmah yang dapat kita raup dari tiap-tiap langkah, pertemuan, dan penemuan. Sebab itulah, mari kita berjalan lagi. Kali ini, ke Negeri Sakura atau yang kerap juga digelari dengan Negeri Matahari Terbit.

Terletak di belahan timur bola dunia, Jepang memang merupakan salah satu negeri yang menyambut kedatangan matahari terlebih dahulu. Di Ramadan 2024, saat saya berkesempatan mengunjungi Jepang, waktu subuh tiba di jam 4 lebih sedikit. Dan kira-kira satu setengah jam kemudian, negeri ini sudah mulai bermandikan cahaya pagi. Subuh yang begitu awal dan magrib yang nyaris sama dengan jadwal magrib di Indonesia menyebabkan durasi berpuasa di Negeri Sakura ini menjadi sekira 15 jam. Namun, meski pagi datang lebih cepat, denyut aktivitas warga baru terlihat sedikit lebih siang. Contohnya, jam kantor dan jam perkuliahan saja umumnya dimulai di jam 9 atau 10. Kemudian biasanya aktivitas warga Jepang akan terus berlanjut sampai malam.

Perjalanan saya dari Palembang ke Tokyo menghabiskan total 15 jam, karena harus terbang ke Jakarta dulu, lalu menunggu penerbangan dini hari, transit satu jam di bandara Ninoy Aquino Manila (yang pernah dinobatkan sebagai salah satu bandara terburuk di dunia beberapa waktu lalu), baru setelah itu terbang lagi ke Narita, Jepang. Kebalikan dari bandara Ninoy Aquino, bandara Narita justru masuk di antara 10 bandara terbaik di dunia. Alhamdulillah, episode transit pagi di Manila membuat saya dapat teman baru. Seorang gadis Jakarta yang usianya 10 tahun lebih muda dari saya, enerjik dan berparas mirip artis Marissa Christina, serta sudah pernah tiga kali 'main' ke Jepang sebelumnya. Berdua jadi terasa lebih mudah untuk 'mengarungi' luasnya Narita dan panjangnya proses imigrasi. Tidak kalah penting, jadinya ada yang bisa motoin saya di spot berlatar belakang 'Welcome to Japan' yang ada di sana. Haha. Tujuan kami di jam 2 siang itu sama-sama Tokyo, namun beda wahana. Dia memilih (dan sempat menyarankan ikut) naik Skyliner dengan harga tiket 2.400 yen. Itu sih terlalu mahal. Di buku catatan, saya sudah menetapkan bahwa saya akan ke Tokyo dari Narita dengan keisei line (kereta listrik). Harganya 1.700 yen atau sekitar 180.000 rupiah. Kami pun berpisah.




Saya sempat mengecek suhu udara di Narita saat itu. Wah, 10°! Saya juga sempat bertanya pada pak petugas tentang "di mana ini" dan "di mana itu". Agak ribet karena tak selalu warga Jepang mengerti Bahasa Inggris. Maka, bahasa tubuh adalah jalan ninjaku. Hehe. Saya bergegas ke toilet, bersih-bersih sedikit dan mengisi botol minum kosong saya dengan air keran (yang memang seantero Jepang aman untuk diminum). Gegas lagi ke konter keisei untuk antre beli tiket. Lanjut jalan agak ngebut menuju peron dan langsung naik kereta setelah memastikan itu kereta yang benar.

Pemandangan di sepanjang perjalanan kereta membuat perasaan saya membuncah. Masya Allah, saya sudah di Jepang! Ini bukan mimpi lagi. Di awal musim semi ini, penampakan pohon-pohon masih didominasi ranting tanpa daun, boro-boro bunga, ya! Semoga sakura bisa saya jumpai di tempat-tempat yang sudah ada dalam rencana saya. Aamiin. Kisaran satu jam kemudian, saya tiba di stasiun tujuan. Honjo Azumabashi nama stasiunnya. Sengaja memilih stasiun kecil untuk mengurangi ribet. Keluar dari badan kereta, saya terkejut bukan main. Udara yang menerpa dinginnya kebangetan! Seperti tak ada artinya jaket yang sudah saya kenakan. Ya wajar, sih, 10° kan tadi? Sambil menggigil saya tap karcis mungil di mesinnya, melangkah ke kursi kosong dekat tangga, membongkar ransel dan mengeluarkan jaket tebal yang saya simpan paling bawah. Barulah terasa mendingan setelah berjaket dua lapis.

Keluar dari stasiun, saya berseru bahagia sekaligus terkejut lagi. Bahagia karena mata saya langsung bertemu dengan si menara menjulang Tokyo Skytree yang cakep sekali, dan terkejut karena ternyata saya masih kedinginan juga di luar stasiun itu, di naungan kota Tokyo. Kepala saya agak berdenyut karena dingin yang kelewatan. Sambil mencoba bertahan, saya sempat minta bantuan ibu muda yang lewat untuk mengambilkan foto saya berlatar Skytree yang berketinggian 634 meter itu. Setelah cukup banyak foto yang saya hasilkan sendiri, saya sudah tak tahan untuk terus berdiri di situ. Harus segera bergerak nih, mudah-mudahan dengan itu bisa mengurangi rasa dingin. Saya buka Gmaps untuk menentukan ke arah mana saya harus memulai langkah di perempatan lampu merah ini.




Di Jepang, pejalan kaki sangat tertib. Mereka hanya boleh menyeberang jalan di zebra cross, ketika lampu merah menyala dan tanda orang berjalan menyala hijau. Saat itulah suara 'kicau burung' akan terdengar, pertanda pejalan kaki boleh menyeberang. Konon, 'kicau burung' di semua zebra cross besar yang ada di Jepang ini akan menimbulkan kerinduan bagi telinga turis ketika telah meninggalkan Jepang (dan ternyata saya pun begitu).

Dengan ransel yang masih setia di punggung, serta tas selempang di depan badan, saya mulai melangkahkan kaki, menuju Genmori Bridge sambil terus mengagumi Skytree, melewati Kuil Ushijima yang cantik, menyeberang Sumida River yang besar itu untuk tiba di Sumida Park. Sungguh perjalanan panjang yang tak akan pernah saya lupakan. Dan, di taman apik tepi sungai itulah akhirnya saya melihat deretan pohon berbunga sakura merah muda, lengkap dengan sekerumunan turis, juga beberapa gadis berkimono tebal.


(bersambung ke bagian 2)


#japantrip
#japan
#tokyo

2 komentar:

  1. Kok ke Jepangnya pas puasa mbak? Ada momen khusus ya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alasan pertama, jelang akhir Maret 2024 di Jepang sudah masuk musim semi di mana bunga sakura mulai bermekaran

      Alasan kedua, ingin merasakan pengalaman berpuasa di negeri orang yang notabene di sini muslim adalah minoritas

      🙂

      Hapus