Social Icons

Pages

Azzura Dayana

Azzura Dayana

Selasa, 22 September 2015

Catatan Pendakian Bukit Besak, Lahat



Hari H tiba. Sembilan belas September dua ribu lima belas. Ekspedisi pendakian Bukit Besak yang terletak di Desa Tanjung Beringin, Kecamatan Merapi Selatan, Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan. Sebelum tempat ini menjadi sangat popular setelah masuk dalam tayangan My Trip My Adventure Trans TV beberapa minggu silam, suami saya sudah pernah satu kali menginjakkan kaki di sana. Sementara saya, menjadi salah satu korban acara tersebut yang kemudian berencana untuk turut merasakan sensasi berada di puncak bukit yang menawan seperti yang saya saksikan di acara itu.

Dalam pendakian kali ini, saya ditemani suami serta teman kami yang sudah bolak-balik ke Bukit Besak begitu seringnya, Heri namanya. Saya juga mengajak tujuh murid di Sekolah Alam Palembang: Jundi, Jawad, Daffa (kelas 2 SMA), Imad, Aldi, Wili, dan Thoriq (kelas 1 SMA).  Berkumpul di loket bus Anugrah di pagi hari, berangkat pukul 9.15. Perjalanan ke Lahat kali ini masih diselimuti kabut asap yang rupanya justru belum hendak berkurang kadarnya. Sempat berharap di Lahat kondisinya berbeda, akan tetapi mengingat dua hari lalu terjadi musibah kebakaran hutan besar-besaran di Gunung Dempo, rasanya kecil kemungkinan. Gunung Dempo saja konon bisa terlihat secara samar dari puncak Bukit Besak di kala cerah. Ini menandakan, jarak Dempo ke Bukit Besak tidak terlalu jauh untuk berkirim efek asap.

Tiba di Lahat sekitar enam jam kemudian, perjalanan diteruskan dengan menumpangi mobil L300 menuju Desa Tanjung Beringin. Sekitar satu jam kami harus menahan tubuh yang diguncang oleh mobil tersebut di atas jalan meliuk berkelok-kelok. Mobil berhenti di seberang rumah kepala desa. Di sinilah tempat perizinan pendakian Bukit Besak.

Mobil yang mengangkut pendaki ke desa Tanjung Beringin


Kabut asap terlihat tebal sekali. Warga mewanti-wanti kami supaya berhati-hati jika memang tetap mau muncak dalam kondisi bukit yang begitu kering di musim kemarau panjang ini dan rawan terjadi kebakaran. Apalagi, sepekan lalu baru saja terjadi musibah kebakaran di bukit sebelahnya yang memakan satu orang korban jiwa. 

Hmm, tak mungkin kami kembali lagi ke Palembang tanpa hasil, bukan? Sudah capek-capek berpeluh di bus ekonomi lho…. Saya teringat dulu ketika mau mendaki Gunung Dempo juga seperti itu. Diwanti-wanti bermacam-macam, yang lagi musim badai lah di atas, yang bahaya lah, abis ada kejadian apa lah, dan lain-lain. Alhamdulillah pendakian di sana berhasil dan selamat hingga turun lagi. 

Nah, untuk kali ini… ke puncak Bukit Besak…. Bismillahi tawakkaltu alallah….

Setelah membayar registrasi sebesar tiga ribu rupiah per kepala, kami mulai menyusuri jalan menuju tepian sungai. Menyeberangi jembatan gantung dan menikmati pemandangan sekitar: sawah yang kering menguning, perbukitan, dan sungai besaryang hanya sedikit airnya. Jeda dulu untuk berwudhu di sungai kemudian shalat jamak qoshor zuhur dan asar. Setelah itu, perjalanan dilanjutkan. Ada jembatan lagi yang harus kami naiki, bukan jembatan gantung dan jauh lebih kecil. Masuk hutan, jalan yang dilewati adalah setapak yang sudah dicor. Motor masih bisa lewat. Kiri kanan pohon karet, kopi, durian, dan lain-lain. Jam tangan menunjukkan pukul lima lewat. 

Di ujung jalan yang dicor itu, berdiri sebuah warung yang menyediakan makanan kecil dan minuman. Tersedia pula kamar mandi dan kolam air mancur yang airnya berasal dari mata air alami dari lereng Bukit Besak. Perjalanan dilanjutkan lagi. Trek tanah yang awalnya saja landai, dan tak lama setelahnya langsung berubah drastis. Kemiringannya mematikan. Ceruk-ceruk tempat berpijak tak semuanya aman, butuh konsentrasi penuh untuk melewatinya, serta sebagian besar tak menyediakan akar atau batang untuk tempat berpegang. Ada juga medan yang berbatu-batu atau kering kerontang hingga debu-debu beterbangan. Kebayang, kalau turun nanti, trek ini pasti sebagiannya akan berubah menjadi tempat perosotan yang tetap saja menuntut kehati-hatian. 

Hingga tiba di puncak beberapa jam kemudian, terjalnya medan tak berubah. Pukul 8 malam, angin puncak menyambut kami. Kencang dan dingin. Khas puncak. Tapi ternyata suasana seperti itu tak lama. 



Mendirikan tenda

Dua tenda didirikan secara bergotong-royong. Setelah itu, makan malam berlangsung sambil diselingi cerita demi cerita. Langit yang suram tanpa bintang tak menyurutkan kegembiraan telah berada di puncak bukit yang dinanti. Lucunya, begitu masuk tenda, sebagian anak-anak justru tak bisa tidur karena kepanasan dan banyak nyamuk. Ya, di dalam tenda malah terasa pengap. Rupanya, musim kemarau panjang serta kabut asap berpengaruh pada cuaca malam di puncak bukit ini. Hmm, saya pun baru kali ini jadinya memakai sleeping bag hanya sebagai alas memanjang di atas matras untuk tempat tidur. Pun tetap tak bisa tidur meski demikian. Malangnya, salah satu murid saya digigit semacam tawon di dekat mata kanannya, menciptakan benjol besar seperti benjolnya Sin Chan.  Pedih, katanya. Belum lagi pedih di jari-jari kakinya akibat luka yang dihasilkan dalam pendakian tadi.

Karena tak bisa tidur, mereka menyalakan kompor, merebus air, dan menyeduh kopi. Setelah itu saya beergabung bersama mereka keluar dari tenda dan duduk-duduk di atas batu memandang ke bawah sana. Ke arah lampu-lampu permukiman. Sekitar pukul 2 dini hari saat itu. Bintang di atas langit tak terlihat. Tapi cukuplah bintang-bintang jatuh saja yang kami pandangi, ya lampu-lampu permukiman itu, di bawah sana. Hehe.

Angin yang semakin dingin dan kencang memaksa kami untuk akhirnya masuk lagi ke tenda. Cuaca yang tak sepanas tadi kini memungkinkan saya untuk memasukkan tubuh ke dalam sleeping bag, meski itu hanya dari ujung kaki hingga ke perut, sisanya cukup memakai jaket saja. Sanggup tertidur hanya satu jam. Jam setengah lima, mata sudah tak bisa terpejam sejak mendengar suara-suara di luar. Rupanya beberapa murid saya sudah terbangun.

Kami pun bersiap shalat subuh. Setelah itu, rencananya mau menunggu sunrise. Tapi demi melihat kondisi sekitar yang tetap berkabut, saya tahu sunrise yang indah tak kan ada.

Kami berjalan ke belakang tenda. ke ujung puncak. Gunung Jempol yang menjadi latar belakang pemandangan puncak terlihat samar. Jika cerah, sebenarnya gunung yang puncaknya benar-benar berbentuk jempol ini akan terlihat sangat jelas, hijau, dan tentu saja indah. Ala kuli haal, Alhamdulillah. View perbukitan terdekat juga ada, dan tak kalah menawan. Di sisi yang lain malah terhampar sabana berwarna campuran antara kuning dan hijau. Tanpa kehilangan keceriaan, tim kami tetap antusias berfoto-foto dengan mengambil latar belakang Gunung Jempol, bukit-bukit sabana, tenda, dan puncak itu sendiri.

Pendakian ini, akan menjadi catatan yang indah dalam kehidupan kami. Satu momen yang akan dikenang dan diambil hikmahnya. Tak ada perjalanan tanpa kesia-siaan, jika kita mampu mengambil pelajaran. Kesyukuran kepada-Nya adalah yang terbaik, sebab darinyalah kesempatan ini ada.

Menikmati view Gunung Jempol yang berkabut

Gunung Jempol yang eksotik dan unik

Berdua denganmu....

Keindahan sekitar puncak

my prince
Full Team

Aktivitas tim kami selanjutnya adalah memasak sarapan, kemudian menyantapnya. Dilanjutkan dengan membongkar tenda dan packing. Perjalanan turun sekitar pukul delapan. Dan saya tahu, ketujuh anak-anak saya ini sudah tak sabar lagi untuk tiba di sungai dan menceburkan diri di sana. Mandi sembari bermain. Kapan lagi bagi mereka mandi di sungai berbatu-batu di desa yang alami berlatar belakang bukit-bukit yang indah dan berlatar depan jembatan gantung yang gagah, bukan? :-) 

Jembatan Gantung dan Dua Bukit

Ini dia... Bukit Besak berlatar depan jembatan gantung

1 komentar: