Hari H tiba. Sembilan belas September dua ribu lima belas. Ekspedisi pendakian Bukit Besak yang terletak
di Desa Tanjung Beringin, Kecamatan Merapi Selatan, Kabupaten Lahat, Sumatera
Selatan. Sebelum tempat ini menjadi sangat popular setelah masuk dalam tayangan
My Trip My Adventure Trans TV beberapa minggu silam, suami saya sudah pernah
satu kali menginjakkan kaki di sana. Sementara saya, menjadi salah satu korban
acara tersebut yang kemudian berencana untuk turut merasakan sensasi berada di
puncak bukit yang menawan seperti yang saya saksikan di acara itu.
Dalam pendakian kali ini, saya ditemani suami serta teman
kami yang sudah bolak-balik ke Bukit Besak begitu seringnya, Heri namanya. Saya
juga mengajak tujuh murid di Sekolah Alam Palembang: Jundi, Jawad, Daffa (kelas
2 SMA), Imad, Aldi, Wili, dan Thoriq (kelas 1 SMA). Berkumpul di loket bus Anugrah di pagi hari,
berangkat pukul 9.15. Perjalanan ke Lahat kali ini masih diselimuti kabut asap
yang rupanya justru belum hendak berkurang kadarnya. Sempat berharap di Lahat
kondisinya berbeda, akan tetapi mengingat dua hari lalu terjadi musibah
kebakaran hutan besar-besaran di Gunung Dempo, rasanya kecil kemungkinan. Gunung
Dempo saja konon bisa terlihat secara samar dari puncak Bukit Besak di kala
cerah. Ini menandakan, jarak Dempo ke Bukit Besak tidak terlalu jauh untuk
berkirim efek asap.
Tiba di Lahat sekitar enam jam kemudian, perjalanan
diteruskan dengan menumpangi mobil L300 menuju Desa Tanjung Beringin. Sekitar
satu jam kami harus menahan tubuh yang diguncang oleh mobil tersebut di atas
jalan meliuk berkelok-kelok. Mobil berhenti di seberang rumah kepala desa. Di sinilah
tempat perizinan pendakian Bukit Besak.
Mobil yang mengangkut pendaki ke desa Tanjung Beringin |
Kabut asap terlihat tebal sekali. Warga mewanti-wanti kami
supaya berhati-hati jika memang tetap mau muncak dalam kondisi bukit yang
begitu kering di musim kemarau panjang ini dan rawan terjadi kebakaran. Apalagi,
sepekan lalu baru saja terjadi musibah kebakaran di bukit sebelahnya yang
memakan satu orang korban jiwa.
Hmm, tak mungkin kami kembali lagi ke Palembang tanpa hasil,
bukan? Sudah capek-capek berpeluh di bus ekonomi lho…. Saya teringat dulu
ketika mau mendaki Gunung Dempo juga seperti itu. Diwanti-wanti bermacam-macam,
yang lagi musim badai lah di atas, yang bahaya lah, abis ada kejadian apa lah,
dan lain-lain. Alhamdulillah pendakian di sana berhasil dan selamat hingga
turun lagi.
Nah, untuk kali ini… ke puncak Bukit Besak…. Bismillahi tawakkaltu
alallah….
Setelah membayar registrasi sebesar tiga ribu rupiah per
kepala, kami mulai menyusuri jalan menuju tepian sungai. Menyeberangi jembatan
gantung dan menikmati pemandangan sekitar: sawah yang kering menguning,
perbukitan, dan sungai besaryang hanya sedikit airnya. Jeda dulu untuk
berwudhu di sungai kemudian shalat jamak qoshor zuhur dan asar. Setelah itu,
perjalanan dilanjutkan. Ada jembatan lagi yang harus kami naiki, bukan jembatan
gantung dan jauh lebih kecil. Masuk hutan, jalan yang dilewati adalah setapak
yang sudah dicor. Motor masih bisa lewat. Kiri kanan pohon karet, kopi, durian,
dan lain-lain. Jam tangan menunjukkan pukul lima lewat.
Di ujung jalan yang dicor itu, berdiri sebuah warung
yang menyediakan makanan kecil dan minuman. Tersedia pula kamar mandi dan kolam
air mancur yang airnya berasal dari mata air alami dari lereng Bukit Besak. Perjalanan
dilanjutkan lagi. Trek tanah yang awalnya saja landai, dan tak lama setelahnya
langsung berubah drastis. Kemiringannya mematikan. Ceruk-ceruk tempat berpijak
tak semuanya aman, butuh konsentrasi penuh untuk melewatinya, serta sebagian
besar tak menyediakan akar atau batang untuk tempat berpegang. Ada juga medan
yang berbatu-batu atau kering kerontang hingga debu-debu beterbangan. Kebayang,
kalau turun nanti, trek ini pasti sebagiannya akan berubah menjadi tempat
perosotan yang tetap saja menuntut kehati-hatian.
Hingga tiba di puncak beberapa jam kemudian, terjalnya medan
tak berubah. Pukul 8 malam, angin puncak menyambut kami. Kencang dan dingin. Khas
puncak. Tapi ternyata suasana seperti itu tak lama.
Mendirikan tenda |
Dua tenda didirikan secara bergotong-royong. Setelah itu,
makan malam berlangsung sambil diselingi cerita demi cerita. Langit yang suram
tanpa bintang tak menyurutkan kegembiraan telah berada di puncak bukit yang
dinanti. Lucunya, begitu masuk tenda, sebagian anak-anak justru tak bisa tidur
karena kepanasan dan banyak nyamuk. Ya, di dalam tenda malah terasa pengap. Rupanya,
musim kemarau panjang serta kabut asap berpengaruh pada cuaca malam di puncak
bukit ini. Hmm, saya pun baru kali ini jadinya memakai sleeping bag hanya
sebagai alas memanjang di atas matras untuk tempat tidur. Pun tetap tak bisa
tidur meski demikian. Malangnya, salah satu murid saya digigit
semacam tawon di dekat mata kanannya, menciptakan benjol besar seperti
benjolnya Sin Chan. Pedih, katanya. Belum
lagi pedih di jari-jari kakinya akibat luka yang dihasilkan dalam pendakian
tadi.
Karena tak bisa tidur, mereka menyalakan kompor, merebus
air, dan menyeduh kopi. Setelah itu saya beergabung bersama mereka keluar dari
tenda dan duduk-duduk di atas batu memandang ke bawah sana. Ke arah lampu-lampu
permukiman. Sekitar pukul 2 dini hari saat itu. Bintang di atas langit tak
terlihat. Tapi cukuplah bintang-bintang jatuh saja yang kami pandangi, ya
lampu-lampu permukiman itu, di bawah sana. Hehe.
Angin yang semakin dingin dan kencang memaksa kami untuk
akhirnya masuk lagi ke tenda. Cuaca yang tak sepanas tadi kini memungkinkan
saya untuk memasukkan tubuh ke dalam sleeping bag, meski itu hanya dari ujung
kaki hingga ke perut, sisanya cukup memakai jaket saja. Sanggup tertidur hanya
satu jam. Jam setengah lima, mata sudah tak bisa terpejam sejak mendengar
suara-suara di luar. Rupanya beberapa murid saya sudah terbangun.
Kami pun bersiap shalat subuh. Setelah itu, rencananya mau
menunggu sunrise. Tapi demi melihat kondisi sekitar yang tetap berkabut, saya
tahu sunrise yang indah tak kan ada.
Kami berjalan ke belakang tenda. ke ujung puncak. Gunung
Jempol yang menjadi latar belakang pemandangan puncak terlihat samar. Jika cerah,
sebenarnya gunung yang puncaknya benar-benar berbentuk jempol ini akan terlihat
sangat jelas, hijau, dan tentu saja indah. Ala kuli haal, Alhamdulillah. View perbukitan
terdekat juga ada, dan tak kalah menawan. Di sisi yang lain malah terhampar
sabana berwarna campuran antara kuning dan hijau. Tanpa kehilangan keceriaan,
tim kami tetap antusias berfoto-foto dengan mengambil latar belakang Gunung
Jempol, bukit-bukit sabana, tenda, dan puncak itu sendiri.
Pendakian ini, akan menjadi catatan yang indah dalam kehidupan
kami. Satu momen yang akan dikenang dan diambil hikmahnya. Tak ada perjalanan
tanpa kesia-siaan, jika kita mampu mengambil pelajaran. Kesyukuran kepada-Nya
adalah yang terbaik, sebab darinyalah kesempatan ini ada.
Menikmati view Gunung Jempol yang berkabut |
Gunung Jempol yang eksotik dan unik |
Berdua denganmu.... |
Keindahan sekitar puncak |
my prince |
Full Team |
Aktivitas tim kami selanjutnya adalah memasak sarapan,
kemudian menyantapnya. Dilanjutkan dengan membongkar tenda dan packing. Perjalanan
turun sekitar pukul delapan. Dan saya tahu, ketujuh anak-anak saya ini sudah
tak sabar lagi untuk tiba di sungai dan menceburkan diri di sana. Mandi sembari
bermain. Kapan lagi bagi mereka mandi di sungai berbatu-batu di desa yang alami
berlatar belakang bukit-bukit yang indah dan berlatar depan jembatan gantung
yang gagah, bukan? :-)
Jembatan Gantung dan Dua Bukit |
Ini dia... Bukit Besak berlatar depan jembatan gantung |
salam kenal dari bengkulu mbak....
BalasHapus