Social Icons

Pages

Azzura Dayana

Azzura Dayana

Selasa, 19 Januari 2016

:: Rindu ::

Kadang rindu masa ketika tangan ini kebas sehingga untuk membukakan tutup botol atau menyobek bungkus snack saja harus minta tolong Icha...

Atau ketika mengurangi kecepatan motor saat melewati tanjakan atau polisi tidur demi yang ada di naungan rahim...

Kita memang akan rindu pada kemanjaan. Dan akan sedih karena kemarahan...

Rabu, 13 Januari 2016

Catatan Perjalanan Menjelajahi Taman Nasional Sembilang (part 2)

Ahad pagi 10 Januari 2016 lalu saya menyaksikan tayangan My Trip My Adventure di Trans TV. Kebetulan perjalanan kru MTMA kali itu adalah ke Pulau Bintan di Kepulauan Riau. Hostnya adalah Nadine Candrawinata dan Denny Sumargo. Mereka berperahu menyusuri Sungai Segong yang pemandangan kiri kanannya adalah hutan mangrove. Sesekali sang guide menjelaskan tentang jenis-jenis mangrove yang mereka lihat sepanjang perjalanan tersebut. Nadine juga mengatakan bahwa di sekitar sungai itu merupakan habitat buaya. Perjalanan sempat berhenti sejenak dengan menyinggahi nelayan yang mereka temui. Bincang-bincang dengan sang nelayan pun terjadi, sambil kemudian sang nelayan menunjukkan hasil tangkapannya yaitu kepiting-kepiting bakau.

Hmm…. perjalanan Nadine dan Densu ini betul-betul mengingatkan saya akan penjelajahan yang pernah saya lakukan sebulan lalu ke Taman Nasional Sembilang. Taman alami seluas dua ratusan hektar itu terdiri dari kawasan daratan, hutan, dan perairan. Perairannya meliputi sungai-sungai besar dan kecil (ada sekitar 70 anak sungai) sedangkan perairannya meliputi laut dan selat (Selat Bangka). Hutannya didominasi hutan bakau dengan 17 spesies mangrove sejati dan 6 spesies mangrove ikutan. Dan kawasan daratannya meliputi daratan lumpur, pulau, pantai, dan beberapa semenanjung. Kawasan yang dilindungi ini saking luasnya dibagi-bagi lagi menjadi 4 wilayah. Wilayah awal dimulai dari Sungsang dan wilayah akhir berbatasan dengan provinsi Jambi, bertemu dengan Taman Nasional Berbak yang juga banyak didominasi kawasan hutan rawa.














TN Sembilang sangat kaya akan flora dan fauna. Jika ingin berpuas menikmati semua sajian alamnya di empat pembagian wilayah, tampaknya kita butuh waktu seminggu. Kami hanya sempat mengunjungi hanya sampai 2 wilayah. Menjelajahi sungai-sungai besar hingga kecil dengan pemandangan hutan mangrove yang menawan dengan akar-akarnya yang berada di atas air seolah mencakar-cakar permukaan air. Aktivitas lainnya adalah mencari buaya, lumba-lumba sungai, biawak, harimau Sumatra, lutung, ular, dan lain-lain. Serta menikmati ‘pertemuan’ yang indah dan tak terlupakan bersama ratusan burung-burung elang, camar laut, dan bangau yang menemani kami berenang di perairan antara sungai dan selat Bangka, sehingga airnya terasa begitu asin. Kami juga menyinggahi nelayan-nelayan ikan dan kepiting bakau. Ngomong-ngomong, kata guide kami, kepiting bakau itu masih berada dalam perdebatan soal halal haramnya. Yaa… karena hewan pencapit ini hidup di dua alam, yaitu darat dan air. Kalau soal rasa ya sebenarnya konon nggak kalah saing dengan kepiting laut.


Dan, Sembilang bukanlah satu-satunya taman nasional yang dimiliki oleh provinsi saya Sumatera Selatan ini. TN Sembilang terletak di kabupaten Banyuasin. Berbatasan dengan Jambi dan juga Bangka. Sedangkan di sebelah barat Sumsel, yaitu Kabupaten Musi Rawas, ada juga Taman Nasional Kerinci Seblat. Walaupun bagian di Musi Rawas hanya sekian persen dari seluruh wilayah TNKS, sebab TNKS yang luasnya melebihi satu juta hektar itu meliputi kawasan di empat provinsi yaitu Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, dan Sumatera Selatan. Saya mesti sangat berbangga kondisi ini, karena sesungguhnya Sumsel amat kaya dan kita wajib melestarikan serta mempromosikan keunggulan ini.


Sampai di sini dulu kisah singkat ini. Bagian ketiga yang akan menjadi bagian terakhir dari kisah penjelajahan di TN Sembilang adalah tentang Dusun/Desa Sembilang. Tentang hal yang pastinya seru, mengejutkan, sampai menegangkan dan mengerikan bakal ada di sana!

Kamis, 07 Januari 2016

Menjawab Rengganis


Sebuah review penulis Rengganis: Altitude 3088

Saya banyak membaca review yang ditulis oleh rekan-rekan pembaca untuk novel kedelapan saya, Rengganis Altitude 3088, baik itu review yang mereka tulis di blog atau social media personal masing-masing, maupun yang disetorkan ke situs publik seperti Goodreads (untuk Rengganis, link Goodreadsnya bisa diklik di sini). Saya sangat berbahagia dan berterima kasih kepada mereka, para pembaca saya ini, yang tanpa keberatan memberikan pemikiran dan penilaian tertulis usai membacanya.

Respon positif banyak sekali saya terima melalui isi review para pembaca tersebut. Alhamdulillah. Mayoritas merasa puas, bahagia, terpesona, serta terinspirasi oleh gambaran setting di novel Rengganis. Ya, memang novel ini lengkap sekali membahas jalur pendakian Gunung Argopuro, utamanya dari jalur Baderan hingga ke Bermi. Jalur tersebut meliputi: KSDA Pegunungan Yang Timur Banyuwangi—Mata Air Pertama—Sabana Kecil—Sabana Besar—Sabana Cikasur—Cisentor—Rawa Embik—Sabana Lonceng—Puncak Rengganis—Puncak Argopuro—Puncak Arca—kembali ke Sabana Lonceng—Cisentor—Cemara Lima—Aeng Poteh—Danau Taman Hidup—hingga tiba di Desa Bermi. Tiap tempat dieksplorasi secara detail dan visual, sehingga pembaca—konon katanya—seolah bisa melihat sendiri pemandangan tersebut di depan mata dan seolah ikut diajak ke dalam petualangan pendakian para tokoh-tokoh muda di dalamnya. Kepuasan juga tercipta dari bahasa yang ringan, manis, lembut, dan sedikit romantis. Ini kata pembaca. Selain itu, ketakjuban juga tercipta dari penceritaan tentang misteri Dewi Rengganis sang putri Majapahit yang pernah mendiami puncak dan memiliki istana dan taman di sana, plus misteri bekas unfinished airport Belanda di sabana terluas di sana.

 Namun, di sisi lain, ada juga sejumlah kritikan, lontaran kekecewaan, kejenuhan, atau bahkan pertentangan terhadap bagian-bagian atau unsur tertentu dari novel ini. Dan saya justru, lagi-lagi sangat berterima kasih atas evaluasi dari pembaca sekalian. Sebagai penulisnya, saya menyadari betul, Rengganis Altitude 3088 memiliki banyak kekurangan. Tak ada karya sempurna, meski kita pastinya selalu berusaha untuk menulis dengan sebaik-baiknya.

Mari saya tuangkan satu per satu ya keluhan pembaca-pembaca tersayang, dan kemudian saya berikan sedikit pandangan yaa….

1.       Rengganis Altitude 3088 ini tipis sekali. Cerita di dalamnya pun jadinya kurang panjang. Kalau dibandingkan dengan Altitude 3676 Takhta Mahameru, kalah jauuh.
~ Betul. Jika dibandingkan dengan Altitude 3676 Takhta Mahameru, Rengganis paling hanya setengahnya. Hehe.

2.       Begitu detailnya unsur perjalanan dan tempat-tempat yang dilewati, bagi kalangan tertentu justru memantik rasa jenuh alias bosan. Alurnya lambat, konfliknya renggang.
~ Betul. Sejak membuat draft novel ini, bahkan sejak rencana membuat novel ini bentuknya masih di dalam otak, memang ceritanya khusus tentang pendakian full dari awal sampai akhir, dengan sedetail-detailnya. Se-riil mungkin, meski tokoh-tokohnya fiktif.

3.       Latar belakang dan kisah hidup masing-masing tokoh kurang tereksplor. Mungkin karena kebanyakan tokoh juga, sehingga kurang fokus. Lebih menarik jika kisah hidup tokoh-tokoh diceritakan, misal si A ikut tim ke Argopuro setelah patah hati. Atau si B mendapat mimpi berbau mistis atau apalah sehingga dia memutuskan untuk pergi mendaki.
~Right. Thanks, Readers. Luv u. Betul juga ya. Coba kalau kisah hidup yang melatarbelakangi sifat dan alasan mereka pergi mendaki dipaparkan, novel ini akan menjadi lebih tebal. Tapi ya itu, mungkin karena saya terlalu murni mengikuti rencana awal, yaitu bercerita tentang pendakian thok, ya jadinya begitu deh. Hehe. But thanks much for those suggestions, guys.

4.       Si tokoh pemuda yang lenyap karena mengejar Dewi Rengganis terlalu cepat ditemukan. Kirain bakal lama ditemukannya, atau sangat panjang dan berbelit-belit proses penemuannya, sehingga cerita makin seru dan menegangkan.
~ Sebab jika dia ditemukan lebih lama daripada itu, maka dia harus ditemukan dalam keadaan mati. Begitulah Argopuro. Pertama, saya sedang ‘tidak berminat ‘membunuh’ tokoh dalam novel kali ini. Kedua, lagi-lagi karena niat saya sejak awal adalah menceritakan pendakian Argopuro se-riil mungkin, sedekat mungkin dengan kenyaataan yang jamak terjadi pada pendakian-pendakian ke Argopuro. Mereka yang hilang ‘dipanggil’ oleh Rengganis dan lama tak kembali, lebih dari satu hari saja, maka biasanya ia memang tak akan benar-benar kembali lagi. Mereka yang hanya melihat sang dewi, atau dayangnya, atau pengawalnya, atau entah siapanya lagi, mereka lebih beruntung karena mereka ‘hanya melihat’ dan masih sempat pergi menyelamatkan diri. Beberapa kejadian mistis seperti yang diceritakan dalam novel Rengganis sungguh mendekati kejadian-kejadian nyata yang pernah dialami pendaki ke Argopuro, temasuk cerita Fathur tentang tiga teman pendaki di akhir novel.

5.       Tidak ada kisah cintanya, misal kisah cinta antara dua tokoh pendaki di dalamnya.
~ Hmm. Memang saya sedang ingin bercerita tentang cinta di taraf permukaannya saja sih. Tidak benar-benar menjadikannya sebagai unsur plot yang penting di dalam novel Rengganis ini. Maaf yaa… guys.

6.       Profil kedelapan tokoh kok malah letaknya di bagian belakang. Setelah ending cerita. Ini malah aneh.
~ Ssttt… kalau yang ini sih… sebenarnya kekecewaan saya juga. Ketika pertama menerima novel ini dalam bentuk buku, saya sempat mencari-cari profil kedelapan tokoh di halaman depan. Ketika tidak menemukannya, saya mengira bagian yang justru sangat krusial tu dihapus oleh editor. Dan saya terkaget-kaget ketika menemukannya di bagian akhir cerita. Oh, tidak! Padahal tujuan saya membuat profil tokoh-tokoh itu adalah supaya pembaca mendapat gambaran awal tentang mereka, karena tokoh utamanya ini cukup banyak, jadi saya berharap profil tersebut dapat membantu pembaca untuk mengingat mereka. Semoga jika novel ini dicetak ulang nanti, bagian profil tokoh-tokoh ini bisa dipindahkan lagi ke bagian depan yaa… aamiin J

Oke… sedemikian saja dulu yaa sharing saya tentang behind the novel. Intinya sih, saya berbahagia dengan respon apapun dan bagaimanapun dari pembaca sekalian. Doakan semoga saya konsisten untuk terus menulis novel-novel berikutnya, sehingga dapat kembali menemui pembaca dalam kisah yang berbeda. C u….





Selasa, 05 Januari 2016

Catatan Perjalanan Menjelajah Taman Nasional Sembilang

Saya kira tubuh saya akan terasa sakit atau penat bukan kepalang selepas bangun tidur, setelah sebelumnya naik speedboat selama sekira tiga jam--perjalanan yang mengempas-empas perut  secara luar biasa demi menerjang perairan bergelombang. Tapi ternyata tidak. Alhamdulillah... Kala fajar, ketika mata terbuka, memang tulang-tulang belakang punggung dan pinggang terasa sakit. Tapi, bermenit kemudian, ketika telah kembali beraktivitas dalam kegiatan ekspedisi kali ini, rasa sakit itu tak menyisa sedikit pun. Tubuh saya terasa sangat fit.

Begitulah. Jika ingin melakukan petualangan Taman Nasional Sembilang, kita memang harus melalui perjalanan tiga jam dari dermaga Simpang PU Tanjung Siapi-Api, setelah sebelumnya melewati perjalanan darat dari pusat kota Palembang ke dermaga Simpang PU selama satu hingga dua jam.

Beginilah pemandangan desa Sembilang, permukiman di atas air yang kami singgahi setiba di lokasi TN. Kami menginap di kantor STPN Wilayah II TN Sembilang, sebuah bangunan yang cukup nyaman dan di sepanjang berandanya dapat digunakan untuk tempat memancing ikan dengan ketinggian sekitar lima meter.






Sore hari pertama, spot yang kami kunjungi adalah anak sungai di belakang perkampungan Sembilang, untuk melihat hutan mangrove tepian sungai dari dekat. Beginilah penampakannya:



Unik sekali, bukan? Sepanjang mata memandang, mangrove dan mangrove-lah yang kita lihat di sini.
Usai menyusuri anak sungai tersebut, kami menyeberang menuju persimpangan-demi-persimpangan anak sungai lainnya (maklum, di TN ini konon ada lebih dari 70 anak sungai). Kali ini tujuan kami adalah menemui nelayan-nelayan kepiting dan ikan kerapu yang telah berbulan-bulan mencari buruan mereka di sini. Selain itu, ceritanya kali ini kami melakukan hunting buaya dan lumba-lumba tanpa sirip. Buayanya berhabitat di sungai yang dangkal dan berair hitam, sedangkan lumba-lumbanya berhabitat di sungai yang dalam dan jernih.












Ada beberapa spot lagi yang harusnya kami kunjungi, yaitu teluk, semenanjung, dan pantai. Akan tetapi dikarenakan hujan yang acap mengguyur wilayah ini, kami pun terpaksa harus menelan kekecewaan karena agenda kami banyak yang terganggu. Pada akhirnya, di hari kedua kami hanya sempat pergi menyaksikan atraksi ratusan burung-burung migran asal Australia dan Siberia yang hinggap di dataran tepi rawa untuk mencari makan, kemudian terbang beramai-ramai membentuk formasi, lalu hinggap lagi. Begitu seterusnya. Keren sekali.

Sebelum bertolak kembali ke Palembang, dari spot atraksi burung migran kami singgah dulu ke Sungai Barong Kecil untuk melihat pusat penyemaian mangrove. Dulu di sini ada mangrove trail, yaitu semacam jembatan kayu yang sangat panjang yang dapat digunakan untuk mengamati mangrove. Tapi sayang sekali, kondisi mangrove trail tersebut sangat memprihatinkan sehingga tak dapat difungsikan lagi. Namun, sangat banyak informasi terkait jenis-jenis mangrove, sifat, dan penyemaiannya yang berhasil kami peroleh dari petugas di pusat penyemaian itu.


(Bersambung)