Social Icons

Pages

Azzura Dayana

Azzura Dayana

Senin, 21 April 2014

Mengunjungi Dua Situs Megalitikum di Pagaralam

Pagaralam, Sumatera Selatan, 2014

Satu sore, saya ditemani suami menjelajahi dua desa di Pagaralam yang merupakan sebagian kecil dari begitu banyak situs Megalitikum yang ada di kabupaten ini. Desa tersebut adalah Desa Tegur Wangi Lama dan Desa Tanjung Aro. Situs-situs bersejarah Pagaralam ini oleh UNESCO telah ditetapkan sebagai World Heritage Sites alias Situs-situs Warisan Dunia.

Di Kabupaten Pagaralam memang telah banyak sekali ditemukan peninggalan prasejarah yang berumur ribuan tahun. Beberapa di antara penemuan tersebut berupa arca, dolmen, kubur batu atau bilik batu, dinding batu relief, guci batu, kursi batu, batu tulis berukir, dan sebagainya.

Berikut adalah foto plang keterangan dan beberapa peninggalan megalitikum dari dua desa yang kami kunjungi:

Klik untuk memperjelas teks

Kubur Batu di Desa Tanjung Aro

Kamera menangkap lebih dekat bagian dalam yang sempit dari Kubur Batu

Beginilah kondisi Kubur Batu, letaknya diapit rumah-rumah warga dan diberi kandang pelindung


Arca Manusia Dililit Ular

Arca Manusia Dililit Ular

Bebatuan Megalith lainnya yang tersebar di sekitar arca

Situs Tegur Wangi Lama: Di sini ditemukan beberapa bilik batu, dolmen, arca, dsb

Kubur Batu, Situs Tegur Wangi

Lebih dekat menyorot Kubur Batu

Add caption

Arca Manusia

Arca Manusia

Kubur Batu

Dolmen & Batuan Megalith lainnya

Dolmen, alias Meja Batu

Dari Kejauhan, Arca Manusia yang dipagari (kiri) dan batuan megalith raksasa (kanan)

Jumat, 18 April 2014

Jelajah Jejak-jejak Kerajaan Banten

Akhir pekan itu saya rencanakan sebagai hari penjelajahan situs-situs Kerajaan Banten yang berpusat di Kota Banten Lama, Provinsi Banten. Tadinya saya sudah yakin akan menjelajah sendirian saja. Tapi tengah malam buta sebelumnya, sebuah sms masuk. Dari seorang teman, katanya ia mau ikut dengan saya menjelajah Banten Lama pagi ini nanti. Yuuk mare… J

Jakarta – Serang

Jam 6 pagi saya dan teman saya, Rahma, berangkat menuju terminal Kampung Rambutan. Dari sana, kami naik bus Primajasa jurusan Merak. Ongkosnya Rp17.000 per orang. Perjalanan sebenarnya terhitung lancar tanpa macet, kecuali beberapa ruas jalan Tol sekitar Cikupa yang sedang mengalami perbaikan sehingga sesekali bus harus berjalan pelan-pelan, padat merayap. Tapi pemandangan indah Gunung Karang cukup menghibur perjalanan.

Gunung Karang, dalam perjalanan menuju Banten Lama

Waktu menunjukkan pukul 9 lebih sedikit ketika kami turun di Terminal Pakupatan, Serang. Dari sana, kami naik angkot 01 (sebenarnya nomor angkot di sini cenderung tidak berfungsi) berwarna biru jurusan Royal (Pasar Lama). Waktu tempuh ke sana rupanya tidak terlalu jauh, ongkosnya Rp2.500 per orang. Saya duduk di belakang sopir, dan meminta padanya untuk menunjukkan pada kami dari mana kami bisa naik angkot jurusan Karangantu. Kami turun di simpang tiga Jl. Maulana Hasanuddin-Jl. Sama’un Bakrie-Jl. Raya Banten. Di sanalah angkot jurusan Karangantu sedang menunggu penumpang. Kami pun berpindah kendaraan. Dari sini, perjalanan menuju Masjid Agung Banten terhitung agak lama, melewati plang-plang yang menunjukkan keberadaan situs-situs makam raja, pangeran, dan panglima Kerajaan Banten di titik-titik itu . Ongkos angkot yang kedua ini adalah Rp5.000 per orang.

Kraton Surosowan

Kami tiba pada pukul 10 dan langsung mendekati Kraton Surosowan. Saya lihat pintu masuknya digembok. Kami lalu meluncur ke Museum Purbakala yang berada di dekat Kraton itu dan mencari informasi (selain melihat meriam tua bernama Ki Amuk dan Batu Penggilingan di halaman luar museum). Rupanya, sejak beberapa waktu lalu dua pintu masuk menuju Kraton ini sudah digembok karena dulu sering terjadi penyalahgunaan oleh oknum tertentu untuk melakukan perbuatan maksiat di areal dalam kraton. Saya sih sudah sempat mengira pasti itu alasannya, karena memang ada beberapa tempat-tempat teduh atau tersembunyi di areal dalam Kraton. Selain itu, tidak ada pungutan apapun untuk masuk ke sana. Tentu ini mengundang ide jahil di kepala orang yang moralnya jeblok.

Surosowan, terkunci

Di museum yang bertarif Rp1.000 itu, kami melihat miniatur situs-situs Kerajaan Banten Lama yang berada di dalam kotak kaca. Dari situ kami mengatur rute perjalanan kami supaya spot-spot itu dapat kami singgahi dengan waktu kami yang terbatas ini.

Museum Kerajaan Banten

Kami kembali ke Kraton Surosowan, terlebih dahulu gemboknya dibuka oleh petugas. Wah, senangnya bisa masuk. Di sinilah tempat para raja dan sultan Banten bertahta dan memerintah. Tadinya Banten adalah sebuah kerajaan kecil beragama Hindu dan berada dalam kekuasaan Kerajaan Sunda/Pajajaran. Kemudian kerajaan ini ditaklukkan oleh Fatahillah dari Kerajaan Demak dan berubah menjadi sebuah Kesultanan Islam, dengan Sultan Maulana Hasanuddin sebagai sultan pertamanya.

Surosowan

Kami hanya sebentar menjelajah puing-puing kraton berbentuk persegi panjang seluas 4 hektare itu, sebab tak lama kemudian, gerimis mengundang. Padahal baru saja kami ingin menikmati keindahan kolam pemandian yang terdapat di tengah kraton. Dari jauh, petugas memanggil kami, katanya pintunya akan segera ditutup kembali. Well

Masjid Agung Banten

Kami beranjak ke Masjid Agung Banten yang berada di dekat kraton itu. Masjid ini didirikan sejak pemerintahan Sultan Banten yang pertama dan dijadikan pusat penyebaran agama Islam. Yang paling menarik dari masjid ini adalah menaranya yang gemuk dan berwarna putih. Sayang, saat itu kami tidak bisa naik ke atas menara karena kuncinya sedang dibawa oleh pengurus yang saat itu sedang tidak ada di tempat. Kami pun berfoto-foto saja sambil menunggu azan zuhur.

Masjid Agung Banten

Saya sebenarnya ingin sekali bisa merasakan shalat di dalam bangunan utama masjid yang terlihat apik itu. Sayangnya, ternyata tempat itu hanya diperuntukkan bagi jamaah laki-laki, sedangkan untuk perempuan adalah sebuah mushala kecil di samping kanan masjid. Berkali-kali saya mencatat hal-hal yang tidak enak yang ada di tempat ini. Para peminta-minta berkeliaran di sini, juga para penjual benda-benda sepele seperti kantong kresek yang menjual barangnya dengan cukup memaksa.

Kesan tak sedap lainnya adalah mushala perempuan itu, kondisinya kurang bersih dan apek, tidak nyaman untuk tempat beribadah. Satu hal yang aneh, setelah kulihat dengan saksama, letak mushala ini berada lebih depan dibanding bangunan utama masjid Agung itu. Dengan kondisi seperti ini, apa boleh para jamaah perempuan shalat dengan imam laki-laki yang secara posisi berada di belakang mereka? Atau, memang ada imam perempuan yang khusus menjadi imam bagi jama’ah di mushala ini? Ilmuku yang sedikit memang belum sampai untuk memahami ini rupanya.

Masjid Pecinan Tinggi

Selepas shalat, kami berdua berjalan kaki menyusur jalan besar yang berada di sebelah kanan masjid. Tidak persis di sampingnya sih, melainkan dipisahkan juga oleh warung dan rumah-rumah penduduk. Kami mesti menyeberang rel kereta api juga, kemudian terus berjalan lagi. Setelah sekitar 200 meter berjalan kaki, kami tiba di sebuah gerbang putih dan bertemu jalan raya yang dilintasi angkot. Benteng Portugis Speelwijk berada di arah kanan, tapi kami memutuskan untuk ke kiri dulu, karena tak jauh dari situ ada sebuah bangunan tua berupa menara yang dikenal sebagai Masjid Pecinan Tinggi.

Situs Masjid Pecinan Tinggi

Ya, masjid ini hanya tinggal menaranya saja. Tapi kita masih dapat memperkirakan luas masjid dari beberapa tumpuk batu yang ada di dekatnya, sebuah bangunan kecil yang tampaknya seperti sebuah mimbar tempat imam shalat, dan sebuah sumur tua yang mungkin digunakan sebagai tempat mengambil air wudhu.

Vihara Avalokitesvara

Kami berbalik arah menuju Benteng Speelwijk. Lagi-lagi para lelaki nongkrong di pinggir jalan sibuk memanggil-manggil kami. Baik itu para pemuda, ataupun bapak-bapak. Rahma berkata, “Memang kalo yang jalan cuma cewek-cewek aja dan nggak ada yang cowoknya, pasti ada yang suka manggil-manggil gak jelas kayak gitu.” Iya, benar. Dan yang seperti ini sih terjadi di mana-mana, tidak hanya di Banten saja.

Candaan mereka kadang lebai. Kebanyakan kami cuekin mereka, kecuali yang cara bertanyanya agak sopan, atau mereka yang mengucapkan salam –meski mungkin niat sebenarnya adalah main-main). Tapi kadang ada bapak-bapak yang tidak putus asa memanggil atau berbicara panjang lebar tidak jelas. Akhirnya saya menoleh, tersenyum, menjawab omongan mereka sesopan mungkin, lalu setelah saya membalikkan pandangan lagi ke depan, saya ngedumel sendiri. Lama-lama “irama perjalanan” itu bikin bete juga ternyata, hahaha.

Benteng Speelwijk sudah ada di depan kami kini. Persis di seberangnya ada sebuah vihara yang arsitekturnya cantik sekali. Vihara ini juga dibuka untuk wisatawan. Kami masuk dan menjelajah sampai ke dalam. Bangunan ini selain indah, juga sangat bersih. Termasuk toiletnya yang kami lihat keadaannya berbeda seratus delapan puluh derajat dengan toilet wanita (dan pria) yang ada di Masjid Agung Banten. Miris. Pun, tak ada peminta-minta dan “pemaksa-maksa” di sini.

Vihara Avalokitesvara

Benteng Speelwijk

Di antara vihara dan benteng tersebut, mengalirlah sebuah sungai (sayangnya di sepanjang perjalanan saya tak pernah menemukan satu sungaipun yang airnya jernih). Air sungai itu menuju Teluk Banten di arah utara sana. Ya, Banten Lama memang terletak di tepi Teluk Banten. Aroma pesisir sangat terasa di sini.


Kami menyeberang jembatan kecil dan tiba di benteng yang didirikan oleh Portugis itu. “Irama perjalanan” yang lebih cerewet kami temui lagi. Bapak-bapak yang mengatakan bahwa kami salah jalan lah, itu jalan buntu lah, atau harusnya lewat sebelah sana atau sebelah sini lah. Kami menanggapi sebaik mungkin. Untunglah, ada seorang anak laki-laki usia tujuh belas tahunan yang kemudian membantu kami. Wajahnya terlihat tulus. Dia berkata, “Sudah benar, Kak, lewat sini.” Kami mengikutinya. Di dalam areal benteng ia bercerita tentang sejarah tempat yang dibangun oleh Portugis itu. Ada sebuah pintu terowongan kecil menuju beberapa kamar, juga sebuah ruangan yang dulu dipakai untuk bermain judi. Ada dua lubang di atas yang memungkinkan cahaya masuk dan memberi sedikit penerangan.

Dipandu Alwan (nama anak lelaki yang hanya lulus SMP itu; tadinya saya kira namanya Aloan –terdengar sangat Cina dong, hehe), kami menaiki tangga batu dan tiba di atas ruang main judi tadi. Dari sini pemandangan keseluruhan benteng dapat disaksikan, bahkan keberadaan vihara di seberang sana juga terlihat.

Benteng Speelwijk

Ada menara intip di sudut. Saya memanjat ke sana dan memotret laut lepas yang dapat diintip dari sebuah lubang berbentuk segituga. “Dari sanalah kapal-kapal pasukan Fatahillah dari Kerajaan Demak datang untuk menaklukkan Banten,” kata Alwan. Saya yakin, pengetahuannya yang banyak mengenai tempat itu bukanlah sengaja ia pelajari, tapi sudah mendarah daging dengan sendirinya, sebab ia tumbuh dan hidup di sana.

Indah sekali laut lepas Teluk Banten nun jauh di sana itu. Terlihat pula beberapa kapal yang sedang berlayar. Saya juga memotret makam Portugis yang bisa dilihat dari lubang batu yang lain di menara intip itu.


Pelabuhan Karangantu

Keluar dari areal benteng yang dihiasi oleh keindahan pohon berbunga merah bernama Albasia itu, kami menunggu angkot di sebuah jembatan kecil. Sekitar lima menit kemudian angkot tiba, kami naik. Sepanjang jalan yang dilewati, kami melihat tambak-tambak yang berlapis-lapis hingga ke laut sana. Kata Alwan, zaman dahulu tambak-tambak itu tidak ada, dan Speelwijk berada persis di tepi laut. Tapi sekarang, laut Teluk Banten seolah makin “menjauh”.

Tambak-tambak
Pelabuhan Karangantu

Pelabuhan Karangantu yang berada kira-kira 1,5 km dari Speelwijk itu juga tadinya berada di tepi laut. Mulai dari jembatan yang tegak di dekat Speelwijk hingga Pelabuhan Karangantu inilah dulu yang dikenal dengan Pelabuhan Banten. Pelabuhan besar yang ramai disinggahi kapal-kapal dagang internasional sejak Pelabuhan Malaka ditutup di bawah penaklukan Portugis.

Kraton Kaibon

Kraton Kaibon, Pelabuhan Karangantu, Benteng Speelwijk, dan Pecinan Tinggi sebenarnya sudah kami lewati dalam perjalanan menuju Surosowan tadi. Karena jalur angkot akan kembali lagi ke sini, jadilah rute kami seperti ini, menjadikan Surosowan sebagai tempat kunjungan pertama dan Kaibon menjadi yang terakhir. Setelah itu, tinggal naik angkot yang lewat di depan kraton menuju ke kota. Pulang.

Sesuai namanya, “Kaibon” berarti “Keibuan”. Kraton ini memang sengaja dibangun untuk ibunda Sultan Syafiudin, Ratu Aisyah, mengingat pada waktu itu, sebagai sultan ke 21 dari kerajaan Banten, Sultan Syafiudin masih sangat muda (masih berumur 5 tahun) untuk memegang tampuk pemerintahan. Kraton Kaibon ini dihancurkan oleh pemerintah Belanda pada tahun 1832. Namun, berbeda dengan Surosowan yang sudah hampir tak terbaca lagi bentuknya selain tembok tebal berbentuk persegi panjang yang mengelilingi areal kraton, Kaibon masih menyisakan bentuk-bentuk pintu, tangga dan gapuranya yang megah. Terbayang keindahan dan kemegahan kraton yang satu ini.

Di samping kraton mengalir sungai Cibanten. Airnya coklat susu, namun rupanya merupakan tempat mandi favorit bagi anak-anak yang tinggal di sekitar situs. Kaibon sendiri sebenarnya hanya berjarak sekitar 500 meter dari Surosowan. Bisa ditempuh dengan jalan kaki. Namun karena kami tiba lebih dulu di Surosowan, rasanya tak mungkin kami berjalan dari Surosowan ke Kaibon lalu balik lagi ke Surosowan dan kemudian berjalan ke Speelwijk. Jadi kami memilih menuju Kaibon dengan angkot, meski rutenya menjadi lebih jauh karena mesti melewati Pelabuhan Karangantu.

Kraton Kaibon
Kita bisa lihat denah berikut. Situs sebelah kiri agak ke bawah adalah Kraton Kaibon. Jalan di depannya, ke arah kiri adalah menuju kota Serang. 500 m dari Kaibon ke arah barat laut adalah Kraton Surosowan (situs yang berada di tengah denah. Lihat menara putih di dekatnya, itulah Masjid Agung Banten). Sekitar 250 m dari Surosowan ke arah barat laut, ada Benteng Speelwijk (dengan Pecinan Tinggi dan vihara tadi di dekatnya). Pelabuhan Karangantu terletak di sudut kanan bawah. Rute angkot: dari Serang melewati Kaibon – Pelabuhan Karangantu – Speelwijk – Pecinan Tinggi – Surosowan & Masjid Agung Banten. Kemudian dari Surosowan, angkot balik lagi menyusur Pecinan Tinggi – Speelwijk – Pelabuhan Karangantu – Kaibon, menuju ke kota Serang.


Kami meninggalkan Kaibon pada pukul 15.15, mampir dulu ke rumah makan Padang di simpang tiga untuk makan siang yang terlambat, dan tiba di Jakarta sekitar pukul 18.30, lumayan cepat karena kami naik bus ke Rambutan setelah bus tersebut keluar dari terminal Pakupatan, sesuai petunjuk pak sopir angkot di suatu tempat, di dekat Tol Serang Timur.

 ***



~ by Azzura Dayana
~ Catatan dari sebuah trip lama (Sabtu 21 November 2009) 
yang sampai sekarang masih teringat kesannya
~ Foto2 diambil menggunakan kamera 5 MP hp Sonny Ericcson