Social Icons

Pages

Azzura Dayana

Azzura Dayana

Selasa, 10 Desember 2019

[puisi] HUJAN BERBISIK

azzura dayana

hujan berbisikbisik suatu senja ke telinga bumi
akan datang malam tanpa sebaris puisi
tentang mereka yang kembali ke pangkuan sujud
pasrah belaka tanpa selubung maksud

udara laun mencatat, malam katanya akan lama titipkan bulan
tidur di rengkuhan awanawan
sampai ibu pulang
sampai lagu letih didendang
tak lagi ada perlawanan

hujan tak akan pulang sampai engkau mengantar
ikrar anakanak lanang yang kelak tinggikan bubungan rumah
gadisgadis seduhkan teh di meja ayah
sampai ibu pulang

tapi hujan makin meremang selarut ini
udara selesai mencatat nama yang takkan jua kembali

Palembang, 101219


#flpsumsel
#wagflpsumselmenulis
#lampauibatasmu



Minggu, 22 September 2019

Merasakan Mati, Merasakan Hidup

Merasakan Mati, Merasakan Hidup

Mati

Kapan saya pernah merasakan mati itu begitu dekat? Seingat saya, dua kali. Pertama, beberapa waktu lalu saat penyakit menyinggahi badan. Rasa sakit yang senyeri-nyerinya, sehingga hampir saja saya mengira saya mungkin saja akan mati karena ini. Namun ternyata, hanya perkiraan saya. Sebab dengan terus bergerak mencari cara untuk bertahan, akhirnya hidup pun bertahan.

Kapan yang kedua? Di Semeru. Saat itu, pagi buta di gunung pasir menuju puncak tertinggi tanah Jawa, matahari baru separuh nyata, tapi mata tetap harus dipaksa terbuka, melawan kantuk yang tiada tara. Selama dua malam sebelumnya tak bisa tidur. Tak-bisa-tidur yang saya baru pahami sebabnya belakangan ini...

Ibarat duduk di atas perosotan. Bedanya, kalau kita membiarkan diri meluncur, entah kapan akan selesainya. Entah berapa lama. Ini seperti menghadapi semua semesta. Kita duduk bersandar pada tubuh gunung pasir yang curam. Umpama seekor anak semut bersandar gemetar di dinding mangkok terbalik raksasa seukuran rumah gedong. Ya, begitulah rasanya. Terpeleset sedikit saja, maka selamat tinggal semua. Dalam kantuk, tubuh harus tetap melakukan pergerakan. Tak boleh terlalu lama berhenti jika tak ingin mati kedinginan. Tak boleh terlalu lama diam dan tertidur panjang jika tak ingin tersedot ke dalam tidur panjang nan dingin selama-lamanya.

Begitulah. Ternyata kita bisa merasakan amat dekatnya mati ketika dunia terus berputar dan (harus) terus bergerak.


Hidup

Kapan saya merasakan bahwa perjalanan telah mempertemukan dengan betapa hidupnya hidup? Pada dua momen yang hampir serupa namun tak sama tempatnya.
Pertama, pada suatu malam di lembah antara puncak Gunung Gemuruh dan puncak Gunung Gede. Langit begitu dekat. Purnama bak bola emas raksasa. Bintang hadir berjuta. Sesi menatap adalah sesi surga. Dan di situlah waktu menjadi berhenti berputar. Semua berpusar pada pesona malam itu.

Yang kedua, suatu malam di desa kecil di kecamatan Bayah, pesisir barat daya Banten. Pertama kalinya menyaksikan jutaan, atau mungkin trilyunan bintang kecil berwarna putih dengan jarak kerapatan tingkat tinggi. Maha cantik. Dan waktu seolah harus berhenti di sana untuk bisa menyaksikannya lebih lama. Inilah indahnya hidup yang sesungguhnya. Jika tak hidup, mana bisa mata menyaksikan ini.

Kita merasakan hidup ketika dunia seperti berhenti.


Palembang, 21 September 2019



#WAGFLPSumselMenulis
#flpsumsel
#lampauibatasmu



Sabtu, 20 Juli 2019

[Review] KALILUNA: LUKA DI SALAMANCA

Judul Novel: KALILUNA: LUKA DI SALAMANCA
Penulis: Ruwi Meita
Penerbit: Moka Media, Jakarta
Tahun terbit: 2014
Tebal: 270 halaman


Kaliluna: Luka di Salamanca, sebuah novel dengan tampilan kaver tak begitu cerah yang saya temukan berada di dalam tumpukan bazaar novel lama di salah satu pusat perbelanjaan di Palembang. Saya menyempatkan diri membaca cepat beberapa resensi tentang buku ini sebelum akhirnya memutuskan membeli. Setting Salamanca, sebuah kota antik di Spanyol, yang menjadi salah satu pemicu ketertarikan saya.

Ditulis oleh seorang penulis asal Indonesia, novel ini bercerita tentang tokoh utama yang berasal dari Indonesia. Namun, Indonesianya sendiri sama sekali tak menjadi satu pun setting di dalam novel ini, melainkan hanya disebut amat sekadarnya sebagai kilas balik kisah di masa lalu tokoh-tokohnya. Selebihnya, semua tentang Salamanca: alam, lingkungan sekitar tempat tinggal beberapa tokohnya, budaya dan arsitektur, aktivitas relijius (Katholik), serta kuliner.

Kaliluna, seorang gadis tujuh belas tahun yang piawai dalam olahraga panahan, memutuskan pindah ke Salamanca dengan membawa perihnya luka. Impiannya untuk lolos seleksi Sea Games dan menjadi kebanggaan telah hancur seiring hancurnya kehormatan sebagai seorang perempuan pada suatu malam. Kejadian tragis itu terus menghantuinya dalam mimpi-mimpi tidurnya. Ia lalu menemui Frida, ibu kandung yang meninggalkannya saat kecil dan tinggal di Salamanca. Frida tinggal di sebuah apartemen di tepi Sungai Tormes, tempat yang indah dan tenang, namun tetap saja tak berhasil mengembalikan Kaliluna menjadi gadis ceria dan enerjik lagi.

Sampai akhirnya, pertemuannya dengan Ibai, seorang pemuda Vasco yang perhatian dan gigih, lambat laun mengubah semuanya. Tentu saja, novel setebal hampir tiga ratus halaman ini banyak menceritakan apa yang mereka berdua lakukan sebagai healing, dan tak bisa saya sebutkan satu per satu tempat mana saja yang mereka kunjungi dan renungi, puisi mana yang mereka bahas dan nikmati, tumbuhan apa yang mereka amati dan hayati, makanan apa saja yang mereka cicipi.... Sangat banyak dan cukup detail. Bahkan tentang makanan, saya sampai agak 'mabuk' membacanya. Bukan tentang adegan makan sup yang kuahnya berasal dari darah babi itu juga, sih... Tapi terutama karena begitu banyak nama makanan dalam bahasa Spanyol dan untuk nama-nama tertentu disebut terlalu berulang. Padahal, menurut saya, sudah pas jika kemudian disebutkan dalam bahasa Indonesia saja. Apalagi ketika nama makanan yang dimaksud tidak terdiri dari satu atau dua kata saja. Jadinya, kan, ribet.

Novel ini sesungguhnya sangat manis dan indah, meskipun memang, torehan luka yang sulit sembuh adalah pokok ceritanya. Dan bagi orang yang suka jalan, novel ini akan memberikan kesan yang cukup mendalam. Bagaimana view Sungai Tormes dengan latar Jembatan Enrique Estevan dan Katedral Salamanca dari sudut dermaga kecil tempat favorit Kaliluna, bagaimana gambaran filosofis musim semi, kebun cantik di dekat Katedral, dan sumur dengan gembok-gembok bertulis nama yang bergelantungan di atasnya, suasana kota, dan sebagainya.

Kota Pendidikan, itulah julukan yang disematkan pada kota ini lantaran di sana terdapat University of Salamanca yang kenamaan. Kota yang sunyi di waktu pagi, dan riuh di malam hari. Usai menamatkan novel yang saya baca selama dua hari ini, saya browsing di internet untuk mengetahui lebih banyak tentang kota ini. Tentang suasana, cukup sama dengan apa yang digambarkan di novel. Mahasiswanya berdatangan dari berbagai penjuru dunia untuk kuliah di sana, tapi di malam hari sudah menjadi kebiasaan (banyak) mahasiswanya hura-hura dan mabuk-mabukan di kafe dan bar.

"Lalu kapan mereka belajarnya?" tanya Kaliluna yang keheranan melihat fenomena itu, dan dijawab Ibai secara abstrak.

Dengan kekayaan bangunan arsitektur dari salah satu kota tertua di Eropa ini, Salamanca memang termasuk kota favorit tujuan wisata di Spanyol. Dulunya, kota ini pernah berada dalam naungan kejayaan peradaban Islam Kerajaan Cordoba, namun kini jejak warisan Islam tak bisa ditemui barang secuil lagi di sini.

Secara keseluruhan, novel ini asyik untuk dibaca. Dengan diksinya yang ringan namun apik, membuatnya tidak membosankan.

Sebagai penutup, saya tuliskan kembali di sini beberapa dialog dan kalimat unik-cantik yang menjadi favorit saya:

"Kata mamaku, jangan pernah percaya pada laki-laki yang menyukai puisi."
"Kenapa?"
"Sebab laki-laki seperti itu biasanya kantongnya kosong." (hal 13)

"Seseorang baru matang jiwanya jika dia bergelut dengan api kehidupan, ditempa terus-menerus. Namun ada juga orang yang matang jiwanya hanya dengan berdiam diri dan menerima apa yang terjadi dengannya. Kadang kala bertahan, kadang kala hanyut." (hal 65)

"Saat kamu menarik senar busur menjauh dari busurmu, sebenarnya semua yang ada dalam dirimu baik yang berlawanan maupun yang searah justru berkumpul di suatu tempat. Kamu tahu di mana? Di batinmu. Mereka berkumpul untuk menentukan takdirmu." (hal 90)

"Aku ingin melakukan denganmu apa yang musim semi lakukan dengan pohon ceri." (penggalan Pablo Neruda, hal 96)


~αzzurα dαyαnα
Palembang, 20 Juli 2019

#flpsumsel
#WAGFLPSumselMenulis
#literasiberkeadaban