Merasakan Mati, Merasakan Hidup
Mati
Kapan saya pernah merasakan mati itu begitu dekat? Seingat saya, dua kali. Pertama, beberapa waktu lalu saat penyakit menyinggahi badan. Rasa sakit yang senyeri-nyerinya, sehingga hampir saja saya mengira saya mungkin saja akan mati karena ini. Namun ternyata, hanya perkiraan saya. Sebab dengan terus bergerak mencari cara untuk bertahan, akhirnya hidup pun bertahan.
Kapan yang kedua? Di Semeru. Saat itu, pagi buta di gunung pasir menuju puncak tertinggi tanah Jawa, matahari baru separuh nyata, tapi mata tetap harus dipaksa terbuka, melawan kantuk yang tiada tara. Selama dua malam sebelumnya tak bisa tidur. Tak-bisa-tidur yang saya baru pahami sebabnya belakangan ini...
Ibarat duduk di atas perosotan. Bedanya, kalau kita membiarkan diri meluncur, entah kapan akan selesainya. Entah berapa lama. Ini seperti menghadapi semua semesta. Kita duduk bersandar pada tubuh gunung pasir yang curam. Umpama seekor anak semut bersandar gemetar di dinding mangkok terbalik raksasa seukuran rumah gedong. Ya, begitulah rasanya. Terpeleset sedikit saja, maka selamat tinggal semua. Dalam kantuk, tubuh harus tetap melakukan pergerakan. Tak boleh terlalu lama berhenti jika tak ingin mati kedinginan. Tak boleh terlalu lama diam dan tertidur panjang jika tak ingin tersedot ke dalam tidur panjang nan dingin selama-lamanya.
Begitulah. Ternyata kita bisa merasakan amat dekatnya mati ketika dunia terus berputar dan (harus) terus bergerak.
Hidup
Kapan saya merasakan bahwa perjalanan telah mempertemukan dengan betapa hidupnya hidup? Pada dua momen yang hampir serupa namun tak sama tempatnya.
Pertama, pada suatu malam di lembah antara puncak Gunung Gemuruh dan puncak Gunung Gede. Langit begitu dekat. Purnama bak bola emas raksasa. Bintang hadir berjuta. Sesi menatap adalah sesi surga. Dan di situlah waktu menjadi berhenti berputar. Semua berpusar pada pesona malam itu.
Yang kedua, suatu malam di desa kecil di kecamatan Bayah, pesisir barat daya Banten. Pertama kalinya menyaksikan jutaan, atau mungkin trilyunan bintang kecil berwarna putih dengan jarak kerapatan tingkat tinggi. Maha cantik. Dan waktu seolah harus berhenti di sana untuk bisa menyaksikannya lebih lama. Inilah indahnya hidup yang sesungguhnya. Jika tak hidup, mana bisa mata menyaksikan ini.
Kita merasakan hidup ketika dunia seperti berhenti.
Palembang, 21 September 2019
#WAGFLPSumselMenulis
#flpsumsel
#lampauibatasmu
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar