Social Icons

Pages

Azzura Dayana

Azzura Dayana

Rabu, 10 September 2014

Telah Terbit & Beredar: Novel Pendakian Terbaru by Azzura Dayana





Foto2 by Lilik Kurniawan



Sumber: Kultwit @azzura_dayana

Keterangan buku:
Judul: RENGGANIS Altitude 3088
Penulis: Azzura Dayana
Penerbit: Indiva Media kreasi, Solo
Tebal: 232 halaman
Harga: Rp46.000
Untuk pemesanan bertanda tangan penulis & diskon menjadi Rp40.000 via toko online AzzuraDshop dengan mengirim sms ke 085367094116

BORNEO Time Trap (Catatan Perjalanan bagian 2 ke Kalteng)

Tiga jam berada dalam perjalanan menuju Kuala Kapuas; kukira bakalan melewati pemandangan hutan perawan thok, seperti hamparan maha luas yang terlihat dari kaca jendela pesawat Garuda, tapi ternyata perkiraanku lumayan. Lumayan salah.

Memang hutan-hutan yang kami lewati. Tapi hampir mirip kok dengan hutan-hutan yang akan kita temui di perjalanan dari Ogan Komering Ulu (Sumsel) hingga ke Tulang Bawang (Lampung). Dalam artian, hutannya banyak, tapi ada sedikit-sedikit pemukiman juga. Selain itu kami juga melewati yang namanya Kampung Bali, di mana warganya berasal dari Bali dan sebagian besarnya menjadi juragan nanas yang kaya. Gapura khas Bali cukup banyak terlihat. Kata supir travel (namanya travel, tapi mobilnya Kijang lama, butut pula) yang kami tumpangi, "Nggak perlu jauh-jauh melihat Bali. Lihat di sini juga bisa."

Ya, cukup mewakili. Meski tidak-sepersis-aslinya. Hehe. Di Bali jarak gapura(atau pura)nya kan tidak sejarang ini, terutama di Bedugul dan Denpasar. Dan tentu gapuranya tinggi dan sangat artistik, jauh beda dengan yang di sini yang terkesan sangat seadanya. Bahkan Kampung Bali yang bisa kita temui di jalan Lintas Timur (Sumatra) masih lebih artistik dan "rame" lho. Ini kalau mau membandingkan yaaa :) Tapi Kampung Bali di Kalteng tetap unik dan menarik kok.



Ada Keanehan

Jam 1 siang by my watch, kami berdua tiba di kota Kuala Kapuas, ibukota kabupaten Kapuas. Settingan jam-ku tentu saja masih WIB, apalagi kan nggak ada perbedaan waktu antara Palangka Raya dan Jakarta. Nah, sejak di travel aku sudah heran sama waktu. Pak supir mendengarkan liputan berita dari radio RRI. Sepertinya hanya RRI yang bisa ditangkap oleh radio pak supir. "Gaya" RRI-nya jadul pula, sampai aku ngerasa kayak balik ke jaman SD dulu, apalagi ketika si penyiar dengan aristokratnya mengatakan "Pemirsa, waktu saat ini menunjukkan pukul satu lewat tiga belas menit..."

Perasaan, saat itu baru jam dua belasan deeh...
pikirku.

perjalanan di dalam mobil travel, keluar dari Palangkaraya melewati jalan bagus nan panjang ini di tengah padang sepi

melintasi jembatan

Singgah di rumah makan di daerah Pulang Pisau. Awalnya saya selalu kesulitan menyebut nama tempat ini menjadi "Pulau Pisang :-D

sungai di Pulang Pisau

Sekitar 45 menit kemudian, kami tiba di Kuala Kapuas. Kami langsung menuju dermaga. Sebelumnya mesti melewati pasar-pasar dulu. Aku heran saat menemukan jam dinding di sebuah toko yang menunjuk ke angka 2. Sementara jamku masih ke angka 1.


Terus menyusur, aku masih sambil memperhatikan jam-jam di toko. Dan lucunya, saat itu aku melihat dua jam dinding di dua toko yang berdampingan. Jam di toko yang satu menunjuk ke angka 1, sedang di toko sebelahnya ke angka 2. Padahal dua jam itu bisa dilihat dari depan, dari titik yang sama.


Menyeberang Sungai Kapuas

Di dermaga, kami memandangi aliran sungai Kapuas yang melintasi kota dan kabupaten ini. Seru juga. Kami sempat menawar sebuah klotok untuk membawa kami menyusur sungai. Tapi karena si bapak tawarannya cukup mahal dibanding klotok di Palangka Raya, kami pun mencari alternatif lain. Dari jauh kami melihat kapal-kapal penyeberangan yang mengangkut warga dan motor-motor untuk menyeberang sungai. Terlihat padat. Kami pun menyusur dermaga dan tiba di tempat pemberangkatannya. Ternyata tidak dipungut biaya untuk ikut menyeberang, tapi kalau bawa motor harus bayar Rp1.000.








Nah, mumpung gratis, dan kami pikir kapan lagi mau menikmati suasana di tengah sungai Kapuas, kami pun ikut menyeberang dengan kapal itu sampai 4 kali bolak-balik. Di atas kapal, kami sibuk memotret dan mengajak warga mengobrol apa saja. Termasuk soal jam!

Misteri pun terpecahkan. Sesuai di peta, Kuala Kapuas berada di antara Palangka Raya dan Banjarmasin. Aku ingat sewaktu dulu aku ke Banjarmasin, waktunya adalah WITA, satu jam lebih dulu dari WIB. Sementara Palangka Raya 'menganut' WIB. Dan untuk 'mengantisipasi' perbedaan waktu yang terlalu signifikan begitu seseorang menyeberang dari Banjarmasin ke Palangka dan sebaliknya, maka waktu di Kuala Kapuas adalah setengah jam lebih lambat dari Banjarmasin dan setengah jam lebih cepat dari Palangka. Jadi, jika di Palangka Raya masih jam 1, di Banjarmasin sudah jam 2, maka di Kuala Kapuas jam 1.30.

Hohoho...
Berarti dua jam yang berbeda di dua toko berdampingan tadi? Jangan-jangan, yang satunya adalah Banjarmasin mania dan yang lain adalah simpatisan Palangka Raya (opo tho iki? :D).


Sayur Umbut Rotan

Aku dan temanku penasaran pada jenis makanan yang satu ini dikarenakan majalah travel-nya Garuda yang kami baca saat di penerbangan ke Borneo. Sayur Umbut Rotan. Umbut rotan mungkin nggak terlalu berbeda sama rebung (bambu muda) yang juga dibuat sayur. Selain sayur bersantan ini, kami juga menargetkan untuk mencicipi berbagai jenis ikan yang sangat kaya di sini.

Masih dari liputan di majalah Garuda, rekomendasi untuk mencicipi sayur ini adalah di restoran Samba. Restoran ini terletak tak begitu jauh dari kantor Gubernur Kalteng. Sayangnya, saat disambangi, resto tersebut masih tutup karena masih dalam suasana lebaran. Kami pun mengelilingi Jl. Yos Sudarso yang terkenal sebagai pusat jajanan malam di kota Palangka Raya. Warung-warung tenda bertebaran, dan beberapa di antaranya menawarkan menu sayur umbut rotan itu!

Namun, sayang disayang. Ada tulisan B-2 (babi) dan R-W (anjing) di sana. Temanku Choky yang asli kota itu turun duluan untuk mengecek. Dan yaa, ternyata, katanya masakannya sudah campuran. Kami pun tidak jadi mencicipi umbut rotan.



Terkabul

Kami yang tadinya sudah menggugurkan obsesi untuk makan sayur umbut rotan, pada akhirnya diberi kejutan di Kuala Kapuas. Setelah menikmati suasana Sungai Kapuas, aku dan temanku mencari objek wisata lain (yaitu Rumah Betang khas Dayak) dan kemudian shalat Ashar di masjid kota. Pada saat menelusuri jalan itulah, kami menemukan restoran muslim yang menyajikan menu sayur umbut rotan. Aha!

Di depan rumah adat suku Dayak. Rumah Betang alias Rumah Panjang.

tangga unik rumah Betang

rumah Betang

Dan... inilah dia... makan siang kami yang sangat terlambat. Sayur umbut rotan (yang ternyata memang mirip-mirip rebung, tapi rasanya lebih enak yang ini), ikan Lais bakar ala Sungai Kapuas (tahu kan ikan Lais, teman2? Hehehe) dan sambel. Selamat makaaan... :-D

sayur umbut rotan dan ikan lais bakar


Selasa, 09 September 2014

Unexposed Borneo Exoticism (Catatan Perjalanan bagian 1 ke Kalteng)

“Kan teh botol S***o ngambil airnya dari sungai ini, tinggal ditambah gula sama sodium,” seloroh Yiyi, teman baruku di Kalteng. 

Aku kaget, tapi tentu hanya beberapa detik saja karena aku langsung mengerti bahwa Yiyi cuma bercanda. Saat itu kami baru saja tiba di tepian Danau Tangkiling, yang sebenarnya merupakan aliran sungai Kahayan—sungai yang membelah kota Palangka Raya. Disebut danau karena letaknya yang sedikit ‘keluar’ dari jalur lurus sungai dan merupakan dermaga tempat pemberangkatan klotok (sebutan umum untuk perahu di Kalimantan) yang menawarkan jasa menyusur sungai perawan dan melihat langsung habitat orangutan bebas di Pulau Kaja.
Danau Tangkiling
Air sungai-sungai besar di salah satu provinsi terluas di Indonesia ini memang berwarna cokelat, meski tidak kotor. Warna itu berasal dari gambut yang merupakan dasar sungai. Borneo—alias pulau Kalimantan—memang kaya akan sungai. Tapi jangan bayangkan akan menemukan sungai-sungai berair bening, meski sisi alamiahnya belum tentu akan bisa kita dapati di tempat-tempat lain. Ya, setiap tempat memang memiliki perbedaan yang menjadikan negeri kita benar-benar kaya rasa dan warna.

Di Arboretum Nyaru Menteng, yang kutemukan berbeda lagi. Kali ini bukan air teh botol S***o, tapi produk lain. Arboretum Nyaru Menteng jelasnya adalah sebuah hutan konservasi seluas 65,2 hektar untuk beragam flora dan fauna yang dilindungi, termasuk sekitar ratusan ekor orangutan, kantong semar 4 jenis, jelutung, gelam tikus, dan puluhan jenis flora fauna lainnya.

Ada sebuah penangkaran besar khusus untuk reintroduksi 200an orangutan, dikelola oleh BOS (Borneo Orangutan Survival) yang menurutku jauh lebih atraktif untuk dilihat daripada sekadar kandang monyet di kebun-kebun binatang.

Nah, ketika kami menelusuri kawasan inilah, kami menemukan sebuah parit yang mengalirkan air jernih dan... berwarna semerah darah! Masih efek gambut juga yang menjadi penyebabnya. Kalau saja saat itu aku membawa botol F***a atau M**j*n kosong dan mengisinya dengan air ini, maka tipuan kita akan terlihat sangat perfect.



“Langsung minum saja, Mbak. Bersih, kok,” kata petugas yang stand by dekat pos souvenir di depan BOS. 

Aku memang tidak pernah ragu-ragu untuk minum langsung dari mata air di pegunungan, atau saat aku dan teman-teman trekking ke perkampungan Baduy di bukit-bukit alami Lebak Banten sana. Malah lebih nikmat rasanya daripada air mineral dalam kemasan botol. Tapi di sini... Ahaay... aku tidak berani. Bagaimanapun, ini adalah tempat wisata untuk umum, meski letaknya di pedalaman. Dan ini bukan sungai alami, tapi semacam parit. Okelah, bukan seperti parit biasa, tapi siapa yang tahu kalau ada yang pernah buang sampah atau buang air kecil di sana.

Temanku Choky yang asli Palangka Raya serta-merta menangkup air itu dengan tangannya dan langsung meminumnya. Aku, yang sudah menangkup air juga, melihat aksi temanku itu, lalu mengamati dengan saksama air merah di telapakku, membauinya, untuk kemudian mengembalikan lagi air itu ke tempat asalnya. Hahaha. Aku tak tega :D

Masih di Arboretum, kami melihat sebuah jembatan kayu yang entah berujung ke mana. Kami pun menapakinya, berharap ada sesuatu yang hebat menanti kami di ujung sana (sebab memang tak ada penjelasan apapun tentang itu). Kiri kanan kami hutan saja. Jembatan kayu itu sebagian sudah rapuh dan menuntut kehati-hatian. Alhasil, aku pun tidak terlalu banyak memperhatikan vegetasi di sekitar kami, karena fokus pada pijakan, sayang sekali. Untunglah Choky lebih atentif. Dialah yang banyak menemukan spesies flora di sana dan memotretnya.

Panjaaang sekali perjalanan meniti jembatan kayu itu. Keringat mulai menetes-netes. Harapan kami bertambah untuk menemukan hal baru di ujung sana. Namun, ketika jembatan itu berakhir di sebuah hutan yang makin dalam, kami tercengang. “Hah, masa sih begini doang?” 

Beberapa pengunjung lain yang berada di depan kami jadi tertawa-tawa, sebab ternyata mereka sama “ngarepnya” dengan kami. Belok kiri dari jembatan yang berakhir drastis itu, kami melihat sebuah rumah kecil tanpa penghuni. Di sisinya ada lapangan tanah yang tidak cukup lebar untuk tempat main kasti. Dan di depan rumah itu, ada sungai kecil berair F***a, lagi. Dan kali ini bukan berbentuk parit.

Inilah akhir dari perjalanan panjang meniti jembatan kayu tanpa nama di Arboretum (sepulangnya dari sana dan browsing kembali, barulah aku tahu kalau panjang jembatan itu adalah 5 kilometer, merupakan fasilitas hutan wisata tersebut “hanya” untuk mengamati pedalaman hutan). Dengan ngos-ngosan dan membayangkan jalan pulang yang sama yang harus kami lalui, kami menyusur kembali, kemudian berhenti di tengah perjalanan, mampir ke sebuah lokasi outbond. 

Selain melihat anak-anak, remaja, dan dewasa yang mengikuti rangkaian outbond, ada sungai-sungai merah lagi yang alami karena dinaungi pohon-pohon yang tinggi dan rimbun. Selain itu kami juga melihat orangutan yang bergelantungan di pohon dan ‘dijaga’ oleh pawangnya. Banyak pengunjung yang antusias berfoto dengan makhluk berbulu cokelat itu, kadang sambil memegang tangannya, meski tetap harus dengan penjagaan si pawang.




Masih banyak hal unik lain yang kami temukan selama eksplorasi di Kalteng. Banyak yang tidak terekspos ke dunia luar tentang ragam daya tarik yang berbeda ini. Kata Choky, promosi pariwisata dari pemerintah memang masih kurang. Para travelers alias penjelajah lepaslah yang kadang lebih berperan dalam menarik wisatawan untuk berkunjung, melalui promosi lisan, jurnal perjalanan, atau foto-foto penjelajahan.

Ya, daya tarik apa sih yang tidak dimiliki negeri ini? Semuanya ada, kan?


Lomba Cerpen-Fotografi-Puisi Berhadiah Jutaan Rupiah Plus Plus & Talkshow bersama Penulis Nasional Boim Lebon

IKUTI DAN SAKSIKAN!!

PENTAS SENI 2014
“SUMSEL BERBUDAYA SUMSEL BERKARYA”

LOMBA FOTOGRAFI
Syarat dan ketentuan:
1. Peserta adalah masyarakat umum yang berdomisili di Sumsel
2. Tema Foto “Sumsel Berbudaya”
3. Foto diambil paling lama 3 bulan sebelum deadline pengumpulan foto (10 Juni – 10 September)
4. Kamera yang diunakan adalah kamera Handphone (bukan kamera pocket, miroless, atau DSLR)
5. Foto diberi judul dan keterangan
6. Foto adalah karya orisinil, tanpa editan kecuali sebatas pencahayaan
7. Sertakan biodata dan fotokopi identitas
8. Foto dikirim ukuran 10R beserta softfile dalam bentuk CD
9. Semua karya akan dipamerkan pada rangkaian acara Pentas Seni 2014

LOMBA CIPTA CERPEN
Syarat dan ketentuan:
1. Cipta Cerpen terdiri atas dua kategori:
A) Siswa SMP dan SMA se-Sumsel
B) Mahasiswa dan masyarakat umum se-Sumsel
2. Tema Cerpen “Sumsel Berbudaya”
3. Panjang Cerpen 5 sampai 10 halaman diketik di kertas kwarto spasi 1,5 font Times New Roman 12
4. Sertakan biodata dan fotokopi identitas

LOMBA MUSIKALISASI PUISI
Syarat dan Ketentuan:
1. Peserta adalah siswa SMA/Sederajat se-Sumsel
2. Peserta tampil berkelompok terdiri dari 3 sampai 8 orang
3. Puisi yang ditampilkan sudah disiapkan panitia
4. Biaya pendaftaran Rp 75.000,-/kelompok
5. Tehnical meeting hari kamis tanggal 11 September 2014 di secretariat FLP Sumsel
6. Pelaksanaan lomba hari sabtu tanggal 13 September 2014 bertempat di Aula Kampus Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Bhakti Pertiwi (STIFI) Palembang (samping Global English Course Jalan Demang Lebar Daun)
7. Durasi penampilan antara 7 sampai 10 menit
8. Pemenang akan tampil pada acara PENTAS SENI 2014

KETENTUAN UMUM
1. Deadline pendaftaran dan pengumpulan karya 10 September 2014 pukul 16.00
2. Pendaftaran lomba fotografi dan cipta cerpen tidak dipungut biaya
3. Cerpen dan foto adalah karya sendiri. Panitia tidak bertanggung jawab jika dikmudian hari ada pihak yang memuat atau mengakui karya tersebut
4. Pendaftaran di secretariat FLP dari tanggal 18 Agustus sampai 10 September 2014 setiapjam kerja
5. Karya cerpen dan fotografi dapat diserahkan langsung ke: Sekretariat FLP Wilayah Sumsel, Jl. Srijaya Negara No.75 Rt.71 Bukit Besar Palembang atau dikirim via email. Untuk cerpen ke email lombaciptacerpenflpsumsel@gmail.com dengan subjek Cipta Cerpen FLP 2014. Konfirmasi pengiriman ke nomor 089650899042. Untuk fotografi ke email lombafotografiflpsumsel@gmail.com dengan subjek Lomba Fotografi FLP 2014. Konfirmasi pengiriman ke 081933376137.
6. Pengiriman via email dalam betuk atachmen (lampiran) disertai scan identitas
7. Semua karya menjadi hak panitia
8. Pengumuman pemenang dilaksanakan pada acara PENTAS SENI 2014 juga melalui situs http://www.flpsumsel.org/
9. Hadiah Pemenang
Juara I : Uang Pembinaan Rp 1.000.000,- + Tropy + Piagam + Bingkisan
Juara II : Uang Pembinaan Rp 700.000,- + Tropy + Piagam + Bingkisan
Juara III : Uang Pembinaan Rp 500.000,- + Tropy + Piagam + Bingkisan

TALKSHOW KEPENULISAN dan PENTAS SENI
1. Menghadirkan penulis nasional Boim Lebon
2. Tema : Memotret Kekayaan Budaya dalam Bingkai Karya
3. Peserta terbatas 400 orang
4. HTM Rp 20.000,- dapat dibeli di secretariat FLP Sumsel Bukit Besar Palembang
5. 30 orang peserta pertama mendapatkan souvenir berupa buku
6. Penampilan kesenian oleh pemenang lomba dan perwakilan FLP cabang se-Sumsel
7. Pelaksanaan: Minggu, 14 September 2014 pukul 09.00 WIB bertempat di Aula Kampus Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Bhakti Pertiwi (STIFI) Palembang (samping Global English Course Jalan Demang Lebar Daun)

HOTLINE: 089650899042
OFFICE: Jl. Srijaya Negara No.75 Rt.71 Bukit Besar Palembang

Presented by Forum Lingkar Pena - FLP Wilayah Sumatera Selatan