“Kan teh botol S***o ngambil airnya dari sungai ini, tinggal ditambah gula sama sodium,” seloroh Yiyi, teman baruku di Kalteng.
Aku kaget, tapi tentu hanya beberapa detik saja karena aku langsung mengerti bahwa Yiyi cuma bercanda. Saat itu kami baru saja tiba di tepian Danau Tangkiling, yang sebenarnya merupakan aliran sungai Kahayan—sungai yang membelah kota Palangka Raya. Disebut danau karena letaknya yang sedikit ‘keluar’ dari jalur lurus sungai dan merupakan dermaga tempat pemberangkatan klotok (sebutan umum untuk perahu di Kalimantan) yang menawarkan jasa menyusur sungai perawan dan melihat langsung habitat orangutan bebas di Pulau Kaja.
Danau Tangkiling |
Di Arboretum Nyaru Menteng, yang kutemukan berbeda lagi. Kali ini bukan air teh botol S***o, tapi produk lain. Arboretum Nyaru Menteng jelasnya adalah sebuah hutan konservasi seluas 65,2 hektar untuk beragam flora dan fauna yang dilindungi, termasuk sekitar ratusan ekor orangutan, kantong semar 4 jenis, jelutung, gelam tikus, dan puluhan jenis flora fauna lainnya.
Ada sebuah penangkaran besar khusus untuk reintroduksi 200an orangutan, dikelola oleh BOS (Borneo Orangutan Survival) yang menurutku jauh lebih atraktif untuk dilihat daripada sekadar kandang monyet di kebun-kebun binatang.
Nah, ketika kami menelusuri kawasan inilah, kami menemukan sebuah parit yang mengalirkan air jernih dan... berwarna semerah darah! Masih efek gambut juga yang menjadi penyebabnya. Kalau saja saat itu aku membawa botol F***a atau M**j*n kosong dan mengisinya dengan air ini, maka tipuan kita akan terlihat sangat perfect.
“Langsung minum saja, Mbak. Bersih, kok,” kata petugas yang stand by dekat pos souvenir di depan BOS.
Aku memang tidak pernah ragu-ragu untuk minum langsung dari mata air di pegunungan, atau saat aku dan teman-teman trekking ke perkampungan Baduy di bukit-bukit alami Lebak Banten sana. Malah lebih nikmat rasanya daripada air mineral dalam kemasan botol. Tapi di sini... Ahaay... aku tidak berani. Bagaimanapun, ini adalah tempat wisata untuk umum, meski letaknya di pedalaman. Dan ini bukan sungai alami, tapi semacam parit. Okelah, bukan seperti parit biasa, tapi siapa yang tahu kalau ada yang pernah buang sampah atau buang air kecil di sana.
Temanku Choky yang asli Palangka Raya serta-merta menangkup air itu dengan tangannya dan langsung meminumnya. Aku, yang sudah menangkup air juga, melihat aksi temanku itu, lalu mengamati dengan saksama air merah di telapakku, membauinya, untuk kemudian mengembalikan lagi air itu ke tempat asalnya. Hahaha. Aku tak tega :D
Masih di Arboretum, kami melihat sebuah jembatan kayu yang entah berujung ke mana. Kami pun menapakinya, berharap ada sesuatu yang hebat menanti kami di ujung sana (sebab memang tak ada penjelasan apapun tentang itu). Kiri kanan kami hutan saja. Jembatan kayu itu sebagian sudah rapuh dan menuntut kehati-hatian. Alhasil, aku pun tidak terlalu banyak memperhatikan vegetasi di sekitar kami, karena fokus pada pijakan, sayang sekali. Untunglah Choky lebih atentif. Dialah yang banyak menemukan spesies flora di sana dan memotretnya.
Panjaaang sekali perjalanan meniti jembatan kayu itu. Keringat mulai menetes-netes. Harapan kami bertambah untuk menemukan hal baru di ujung sana. Namun, ketika jembatan itu berakhir di sebuah hutan yang makin dalam, kami tercengang. “Hah, masa sih begini doang?”
Beberapa pengunjung lain yang berada di depan kami jadi tertawa-tawa, sebab ternyata mereka sama “ngarepnya” dengan kami. Belok kiri dari jembatan yang berakhir drastis itu, kami melihat sebuah rumah kecil tanpa penghuni. Di sisinya ada lapangan tanah yang tidak cukup lebar untuk tempat main kasti. Dan di depan rumah itu, ada sungai kecil berair F***a, lagi. Dan kali ini bukan berbentuk parit.
Inilah akhir dari perjalanan panjang meniti jembatan kayu tanpa nama di Arboretum (sepulangnya dari sana dan browsing kembali, barulah aku tahu kalau panjang jembatan itu adalah 5 kilometer, merupakan fasilitas hutan wisata tersebut “hanya” untuk mengamati pedalaman hutan). Dengan ngos-ngosan dan membayangkan jalan pulang yang sama yang harus kami lalui, kami menyusur kembali, kemudian berhenti di tengah perjalanan, mampir ke sebuah lokasi outbond.
Selain melihat anak-anak, remaja, dan dewasa yang mengikuti rangkaian outbond, ada sungai-sungai merah lagi yang alami karena dinaungi pohon-pohon yang tinggi dan rimbun. Selain itu kami juga melihat orangutan yang bergelantungan di pohon dan ‘dijaga’ oleh pawangnya. Banyak pengunjung yang antusias berfoto dengan makhluk berbulu cokelat itu, kadang sambil memegang tangannya, meski tetap harus dengan penjagaan si pawang.
Masih banyak hal unik lain yang kami temukan selama eksplorasi di Kalteng. Banyak yang tidak terekspos ke dunia luar tentang ragam daya tarik yang berbeda ini. Kata Choky, promosi pariwisata dari pemerintah memang masih kurang. Para travelers alias penjelajah lepaslah yang kadang lebih berperan dalam menarik wisatawan untuk berkunjung, melalui promosi lisan, jurnal perjalanan, atau foto-foto penjelajahan.
Ya, daya tarik apa sih yang tidak dimiliki negeri ini? Semuanya ada, kan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar