Social Icons

Pages

Azzura Dayana

Azzura Dayana

Rabu, 24 April 2024

Bagian 3. Episode Tokyo hingga Tokyo Bay Makuhari

 #MyJapanJournal


Sayonara, Ibaraki!
Ya, setelah dua setengah hari menjelajahinya, tiba saatnya meninggalkan Prefektur Ibaraki untuk kembali ke Tokyo. Hari yang spesial karena teman saya dari kota Mito akan menemani dengan mobil pribadi mereka dan diantar sang suami. Perjalanan ke Tokyo akan menghabiskan waktu dua jam atau lebih.


Kembali Menjumpai Tokyo

Begitu memasuki Tokyo, kami kembali melewati si menara menjulang Tokyo Skytree, namun kali ini view-nya melalui jalan tol. Lalu, kami pun tiba di tujuan pertama: Zojoji Temple dan Shibakoen (taman Shiba) dengan latar belakang menara ikonik lainnya dari kota Tokyo, yaitu Tokyo Tower. Ada sedikit sakura yang mekar di halaman kuil, dan pohon ume kuning; serta pohon ume putih di Taman Shiba. Perlu diketahui, saat musim semi, banyak sekali jenis bunga yang mekar di Jepang. Bunga ume (Japanese plum) adalah penanda tibanya musim semi. Bunga ini tak kalah indah, nyaris mirip sakura namun ukuran bunganya mungil-mungil. Warnanya pun beragam, ada merah muda, putih, kuning, juga ungu. Selain ume, ada satu lagi bunga pink seindah sakura, yaitu bunga persik (berbuah persik atau peach). Ume pink dan bunga persik pink inilah yang sering pula disalahkirakan sebagai sakura oleh para turis.

Background Tokyo Tower


Suhu udara tak sedingin sebelumnya, namun langit tampak mendung. Kami pun gegas beranjak untuk melanjutkan perjalanan ke destinasi kedua.

Melewati kawasan Shibuya, ternyata ada cukup banyak pohon sakura yang sudah mulai mekar dan menghiasi sisi kiri kanan jalan. Saya terpukau dengan indahnya pemandangan! Namun karena sudah sore, jalanan cukup padat, dan kami mengejar waktu berbuka puasa di Masjid Tokyo alias Tokyo Camii, kami pun tak sempat turun.

Tokyo Camii


Dan inilah, Tokyo Camii and Turkish Culture Centre, sebuah masjid bergaya Turki yang didirikan pada tahun 1930-an. Bukan karena masjid ini adalah tempat akad nikahnya Syahrini dan juga Maia Estianty, saya ngebet pingin ke sini karena ini adalah masjid terbesar dan termegah yang dimiliki Jepang saat ini. Di sini, terutama di momen Ramadan, kita dapat menjumpai muslim dari berbagai belahan bumi, terkhusus karena sekarang hari Ahad, biasanya digelar buka puasa bersama selepas salat Magrib berjamaah. Masyaallah, suasananya indah dan syahdu.


Tokyo Bay Makuhari

Pukul 20 kami melanjutkan perjalanan lagi. Teman saya mengantar ke tujuan terakhir hari ini yaitu Apa Hotel & Resort Tokyo Bay Makuhari, sebuah hotel di kawasan Makuhari tepian Teluk Tokyo. Perjalanan malam yang indah dan tak terlupakan, meski diliputi gerimis panjang. Tokyo di malam hari sangat mirip Jakarta. Jalan tol dan jalan layang mengular, gedung-gedung menjulang, bermandikan cahaya gemerlap lampu. Sempat saya lihat gedung megah dan cantik sekali di sisi kanan, yang ternyata itu adalah Tokyo Disneyland.

Meski hotel tujuan saya ada label Tokyo-nya, namun sebetulnya letaknya tak lagi di kota Tokyo, melainkan sudah masuk kawasan Makuhari, Prefektur Chiba. Letak hotel tersebut memang menghadap Teluk Tokyo. Perjalanan saya di Jepang sudah hampir berakhir. Besok adalah hari terakhir penjelajahan saya dan lusa saya sudah harus menuju bandara. Selamat tinggal Tokyo, kota canggih di negara maju ini. Kota yang mengajarkan saya banyak hal baru, di antaranya tentang toilet dan self-service.

Toilet? Ya, klosetnya canggih. Tombolnya banyak, dengan fungsi beragam. Ada tombol siram untuk buang air kecil, tombol siram untuk buang air besar, tombol bilas kloset dengan jumlah air banyak, tombol bilas dengan jumlah air sedikit, juga tombol suara untuk menyamarkan aktivitas di kloset. Saya sempat mencari-cari kotak sampah untuk membuang tisu saat berada di toilet bandara atau stasiun. Eh, ternyata tisu toilet Jepang dirancang untuk cepat hancur di dalam kloset, oleh karena itu tempat buangnya ya justru di dalam kloset itu sendiri.

Tombol-tombol toilet Jepang (foto dari Google)


Self-service? Contohnya, bayar parkir, kita pencet-pencet sendiri tombolnya di parking machine, lalu bayar sendiri. Di swalayan, kita scan sendiri barang-barang yang kita beli dan masukkan sendiri ke mesinnya nominal uang yang diminta. Wah, ini berarti tingkat kejujuran warganya tinggi dong, ya? Lalu, di beberapa restoran, contohnya resto suki, setelah kita pencet-pencet tombol di layar komputer untuk memilih makanan dan di-submit, pesanan kita akan diantar oleh robot berbentuk mobil-mobilan atau kereta. Tak ada waiter. Setelah kita mengambil antaran tersebut dan menyusunnya di meja, si mobil atau kereta akan melesat kembali ke dapur.

Akan tetapi, tampaknya, selain karena faktor kecanggihan teknologi, mode self-service seperti ini juga disebabkan turunnya tingkat populasi penduduk Jepang, sehingga SDM untuk beberapa posisi nyaris tak tersedia.

Malam itu, saya baru bisa rebahan di kamar hotel pada jam 22 lebih, setelah salat dan bersih-bersih singkat tanpa mandi. Selama di Jepang, tercatat saya tak pernah mandi sore (ataupun malam), selain tak sanggup karena suhunya, juga karena tak berkeringat sama sekali. Di sini bebas debu, bebas keringat, bebas bau badan. Hehe. Baju yang dipakai berhari-hari pun bisa tetap wangi, lho.

Tampilan utama TV kamar Apa Hotel


Saya sempat menyibak gorden jendela untuk melihat pemandangan di luar kamar. Gemerlap lampu jalanan, lalu lintas agak lengang, lautan yang agak gelap beberapa ratus meter di depan sana, dan hujan yang masih setia. 

Baiklah, saatnya istirahat.


(bersambung ke bagian 4)


#JapanTrip
#Japan


Tidak ada komentar:

Posting Komentar