Social Icons

Pages

Azzura Dayana

Azzura Dayana

Featured Posts

Rabu, 23 Desember 2020

Surga Ibu

 "Bahkan jika kau gendong ibumu dari rumah hingga ke Mekkah bolak-balik, bolak-balik, tidak akan bisa menggantikan darah yang dikeluarkan ibumu untuk melahirkanmu."

Kalimat yang diucapkan dengan bergetar dan penuh penekanan dalam nada suaranya itu disampaikan oleh seorang ustadz di hadapan murid-muridnya. Dan kalimat ini adalah salah satu yang berkumandang dalam pembuka sebuah film apik bertahun-tahun lalu, namun nyata masih tergiang jelas di telinga hingga kapan pun, seolah akan terpatri dalam benak ini selama-lamanya. Film yang sungguh mengentak sanubari sejak di awal pembukanya. Tak terlupakan.

Ada pun judul film yang saya maksud itu adalah Ada Surga di Rumahmu. Besutan Aditya Gumay, sutradara kelahiran Sumsel, dan kisahnya terinspirasi dari Ustadz Abu Bakar Al Habsy yang juga merupakan tokoh asal Sumsel. Film ini ditayangkan perdana pada 2 April 2015 dan saya menjadi salah satu penonton di hari perdana pemutarannya tersebut. Saat itu, qadarullah saya sudah diberi karunia dan amanah Allah sebagai seorang ibu. Putri pertama saya saat itu berumur hampir empat bulan.

Sontak, kalimat menggetarkan di awal tulisan ini tadi langsung membuat mata dan hati saya menangis. Ya Allah, betapa mulianya kedudukan seorang ibu. Betapa tak dapat diukur dengan apa pun pengorbanan seorang ibu. Film yang mengambil setting di Palembang, tepatnya di sebuah kawasan konvensional di tepi Sungai Musi ini (kita bahkan dapat menikmati suasana berlayar dengan perahu di atas sungai terbesar di Sumatera itu, lengkap dengan rumah-rumah rakitnya) menyematkan pesan moral yang begitu berharga bagi penontonnya. Semakin kota disadarkan untuk berbuat baik kepada ibu kita, tidak melukai hatinya, dan bersyukur jika sosok ibu masih ada di dekat kita sebab itu adalah kesempatan emas seorang anak untuk mengoptimalkan baktinya. Jangan sampai kita jauh-jauh membawa diri melanglang buana, demi katanya mencari kebahagiaan, kesejahteraan serta ketenteraman hidup, padahal ternyata surga paling sejati di dunia ini ada di rumah kita sendiri, di pelukan cinta seorang ibu dan hangatnya ridha ibu. 

Semakin mengerti saya, bahwa betul tak ada duanya kasih sayang dan pengorbanan seorang ibu dalam eksistensinya. Titik balik kesadaran itu sebetulnya telah bermula sejak saya mengetahui secara terang benderang bagaimana proses mengandung dan melahirkan; bagian paling luar biasa dari hidup seorang perempuan sebagai istri sekaligus ibu. Sejak saya melahirkan anak sulung, saya betul-betul disadarkan. Betul-betul menyesali kesalahan dan dosa-dosa selama ini pada ibu sendiri. Dan saat menonton film itu bersama suami, kesadaran itu digedor-gedor lagi. Saat melahirkan, ribuan urat syaraf perempuan putus, dan tingkat rasa sakitnya juga ribuan kali lebih sakit daripada semua rasa sakit yang pernah ada di dunia. Maka wajar, jika seorang ibu wafat ketika atau karena melahirkan, maka ia dianugerahi jannah oleh-Nya.

Allah, berkahilah semua ibu salihah di dunia ini, yang telah menghadirkan generasi tiap lapisnya di muka bumi.


Palembang, 22 Desember 2020


#HariIbu

#mothersday

#myweddinganniversaryday

#wagflpsumselmenulis

#lampauibatasmu

Rabu, 11 November 2020

Sekelumit Pernik dari Masa Kecil

Banyak hal yang masih saya ingat betul dari masa kecil saya. Semua yang kebanyakan indah-indah. Kalaupun pernah ada hal-hal menyedihkan dari masa kecil saya, amat sedikit yang saya berhasil ingat, dan rasanya tak penting pula untuk terlalu dibahas. Kenangan indah masa kecil, bagi saya bak harta. Karenanya, saya berupaya untuk selalu menjaganya, dan bila perlu, akan saya bagikan kisahnya hingga ke anak cucu.

Dulu, rumah kami nyempil di antara rumah kakek dan dua paman. Semuanya dari keluarga pihak bapak saya. Tanah Kakek luas memanjang, paling depan adalah halaman, lalu ada rumah Paman Kedua, lalu rumah Kakek (yang ukurannya paling besar), dan di belakangnya barulah rumah kami. Di belakang rumah kami, ada rumah Paman Pertama, si sulung dari tujuh bersaudara Bapak.

Halaman rumah Kakek yang luas dan terletak persis di tepi jalan raya itu, saya ingat betul, adalah lahan eksplorasi saya, kadang bersama kakak atau sepupu-sepupu saya juga. Di sana, tumbuh bermacam pohon, mulai dari kelapa, jambu air, nangka, hingga belimbing. Ada juga kebun serta kolam yang kami sebut kambang. Salah satu tumbuhan yang paling saya ingat di kebun itu adalah kumis kucing. Sebetulnya ada satu lagi jenis tumbuhan yang saya ingat, namun sayang saya kurang tahu namanya. Di kebun itu, sepulang sekolah biasanya saya main, berkejaran dan menangkap kinjang besar warna-warni (sebutan kami untuk capung). Saya menangkapnya dengan menggunakan ranting panjang dan di ujungnya diberi getah dari pohon nangka. Dengan itu, mudah sekali bagi saya untuk membuat kinjang tak berkutik di ujung ranting. Kalau saya ingat lagi sekarang, kasihan juga nasib kinjang-kinjang itu.

Saya juga sering memetiki kumis kucing, mematahkan bagian di bawah kelopak dan mengisap secuil air yang terkandung di dalamnya. Ada rasa manis-manisnya. Aneh memang, sering betul saya dan sepupu-sepupu berbuat demikian walaupun jadi kenyang juga tidak.

Spot main kami berikutnya adalah kambang kecil yang terletak di pinggir tanah luas Kakek. Kecil katanya, tapi bagi kami kambang itu besar juga untuk kami ceburi bersama-sama. Kadang sambil menariki tetumbuhan yang rajin berkembang di sekitaran kambang itu. Dan tak lama kemudian, setelah kehebohan cebur-cebur dan air kambang menjadi keruh luar biasa, kami pun tergopoh-gopoh naik setelah mendengar teriakan Kakek yang membahana. Kakek memang paling jengkel kalau kami telah beraksi habis-habisan di kambang.

Saat malam tiba, usai sudah durasi bermain di luar rumah. Saya tak pernah begadang dan tak begitu merasakan letih. Mungkin kegembiraan masa anak-anak telah menjadi faktor yang melatih raga untuk tetap sehat-sehat saja. Sambil belajar, saya rajin menyaksikan tayangan di layar hitam putih televisi 21 inchi milik kami. Filmnya bagus-bagus. Dan tayangan sore juga kadang bagus-bagus. Ada Oshin, Ohara, Little House on The Prairie, dan lain-lain. Yang paling saya sukai adalah drama-drama yang mengangkat budaya dari bermacam daerah di Indonesia. Dari situ saya banyak belajar tentang kekayaan negeri. Kelak, karenanya saya menjadi penyuka pelajaran Geografi dan Sejarah saat SMP. Makin dewasa, saya makin kecanduan menikmati peta. 

Sebetulnya amat banyak yang berkesan dari kenangan-kenangan dan pengalaman-pengalaman masa kecil. Mudah-mudahan nanti ada kesempatan lagi untuk bercerita. Intinya, masa kecil itu membahagiakan. Pantas saja kalau ada orang dewasa yang berangan-angan untuk tetap menjadi anak kecil saja. Hehe.

---


#flpsumsel

#wagflpsumselmenulis

#lampauibatasmu

Kamis, 01 Oktober 2020

Mengapa Saya Ingin Terus di FLP?

 *Mengapa Saya Ingin Terus di FLP*


Awalnya saya hanya mencari satu, tetapi akhirnya menemukan banyak. Sederhana, dulu saya hanya ingin belajar banyak tentang kepenulisan. Itulah sebabnya saya bergabung dalam inisiasi pembentukan FLP Sumsel. Berjumpa dan berkumpul dengan orang-orang pertama yang menginisiasi FLP Sumsel, dan ternyata, langkah-langkah bersama mereka masih diridhai Allah hingga detik ini. Meski memang, jumlah personel lama yang bertahan sampai jelang usia kedua puluh organisasi ini tak lagi sama. Namun alhamdulillah, patah tumbuh hilang berganti. Roda organisasi berhasil bertahan hingga hari ini dengan generasi-generasi terbarunya. 


Kini, jika dihitung-hitung, alangkah banyak yang saya peroleh selama ikut menggerakkan organisasi kepenulisan ini. Hampir dua puluh tahun sudah saya ikut melangkah dan bergerak bersama FLP. Tiga pilar FLP terus digembleng. Kepenulisan, seiring sejalan dengan Keorganisasian dan juga Keislaman. Selama perjalanan itu, bukan tak pernah kita merasai yang namanya lelah, bosan, atau sedih. Tapi semua proses dan pengalaman yang pernah terjadi bersama FLP selalu saja menjadi harga. Harga yang saking bernilainya, tak bisa lagi dibeli.



Bagaimana dan dengan cara apa engkau akan membelinya jika ia telah memberimu begitu banyak hal? Keluarga, sahabat, guru, mitra, hingga jaringan di hampir segala penjuru negeri. Bersamanya engkau diajarinya membaca dan menulis, hingga engkau terbaca tak hanya oleh dirimu sendiri. Engkau diberinya tangis dan tawa, bahkan kadang secara bersamaan. Engkau diberinya hal-hal yang dimiliki, sekaligus bersama kehilangan-kehilangan. Engkau diajarinya kesetiaan, pengertian, hingga kematangan.


Aku akan terus di sini. Meski sesekali patah, sesekali payah. Setiap proses yang ada semakin memantapkan jiwa.

Senin, 17 Agustus 2020

Merdeka atau Cinta

 


#puisi
#HUT75RI
#DirgahayuIndonesia
#wagflpsumselmenulis
#lampauibatasmu

Selasa, 28 Juli 2020

Meski Tak Berhaji atau Berkurban, 8 Ibadah Ini Bisa Menjadikan Iduladha Kita Penuh Berkah dan Pahala


Seperti halnya hari raya Idulfitri di tahun 2020 yang telah kita lalui tadi, kali ini suasana lebaran Iduladha akan berlangsung sama, yakni tak bisa banyak bersilaturahmi fisik secara leluasa. Meskipun demikian, kita harus dapat melalui ujian pandemi ini dengan sabar dan tawakal, hingga Allah memperkenankannya berakhir kelak.
Sebagaimana kita ketahui bahwa tahun ini kegiatan ibadah haji bagi jamaah asal Indonesia tidak diselenggarakan. Di Arab Saudi sendiri, ibadah haji sebetulnya tetap dilaksanakan, akan tetapi diperuntukkan hanya kalangan khusus dan terbatas.

Lalu bagaimana jika kita tak bisa berhaji dan belum bisa pula berkurban tahun ini? Jangan berkecil hati, kita bisa tetap menjadikan lebaran kali ini penuh hikmah, berkah, dan menuai pahala. Berikut ini adalah 8 jenis ibadah yang bisa kita lakukan:

1.Puasa Arafah

Arafah artinya mengetahui. Di hari Arafah, yakni tanggal 9 Zulhijah Nabi Ibrahim mengetahui makna dari mimpinya, yakni sebagai wahyu dari Allah. Dan ia pun tak ragu lagi untuk melaksanakan perintah Allah. Bagi kita yang melakukan ibadah puasa Arafah dengan ikhlas, Allah akan mengampuni dosanya selama dua tahun.

2. Puasa pada 1-9 Zulhijah

Awal-awal bulan Zulhijah dipenuhi banyak keutamaan, sehingga kita dianjurkan untuk mengisinya amalan-amalan shalih. Selain Puasa Arafah di tanggal 9 Zulhijah, kita juga bisa melengkapinya dengan berpuasa selama delapan hari sebelumnya sejak hari pertama Zulhijah. Disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan Abu Daud, bahwa Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam biasa melakukan puasa pada sembilan hari awal Zulhijah.

Adapun di antara para sahabat yang tekun melaksanakan puasa Sunnah 1-9 Zulhijah ini adalah Ibnu Umar.

3. Memperbanyak Salat Sunnah

Ibadah selanjutnya yang dapat kita lakukan pada Iduladha di masa pandemi ini adalah dengan memperbanyak salat sunnah. Baik itu salat rawatib sebelum dan sesudah salat fardu, salat dhuha, ataupun qiyamulail.

4. Zikir

Selanjutnya, perbanyak juga zikir baik selepas salat ataupun di luar waktu salat fardu. Tasbih, tahmid, istighfar, Asmaul Husna, dan sebagainya.

5. Takbiran

Di malam Iduladha dan pagi Iduladha, gemakanlah takbir sebagai penyemarak jiwa. Suasana sakral Iduladha tetap akan dapat kita teguk meskipun kita tak dapat berhaji, bersilaturahmi, atau juga belum dapat berkurban.

6. Doa

Doa adalah perisai kaum muslimin. Dalam kitab Al-Umm, Imam Syafi’i berkata, terdapat lima malam untuk menghaturkan doa yang mudah diijabah, antara lain malam Jumat, malam Iduladha, malam Idulfitri, malam pertama Rajab, dan malam Nishfu Sya’ban.

7. Sedekah

Meski sebetulnya dapat dilakukan kapan saja, bersedekah kepada orang-orang yang membutuhkan di sekitar kita dapat menambah makna dan kebahagiaan tersendiri bagi kita dalam menyambut Iduladha.

8. Mengeluarkan Zakat Harta

Zakat harta berfungsi menyucikan harta dan jiwa. Bagi muslim yang hartanya telah mencapai nisab, tak ada salahnya memaknai Iduladha dengan mengeluarkan zakat harta atau zakat mal. Adapun ukuran nisab bagi muslim adalah ketika ia memiliki harta yang jumlahnya setara dengan 20 dinar dan telah dimiliki selama minimal satu tahun, maka ia berkewajiban mengeluarkan zakat harga sejumlah setengah dinar.


Nah, itulah delapan ibadah selain berhaji, berkurban, dan bersilaturahim yang dapat kita lakukan untuk membuat lebaran kali ini tetap penuh makna dan bermandi pahala. Semoga bermanfaat dan Allah memberikan kemudahan bagi kita untuk melaksanakannya. Aamiin.



~Azzura Dayana
Palembang, 28 Juli 2020


#wagflpsumselmenulis
#lampauibatasmu

Minggu, 12 Juli 2020

Kaya Laut, Miskin Air


Indonesia dijuluki negara maritim dikarenakan banyaknya pulau-pulau yang dimiliki, diperantarai selat, lautan kecil dan besar, serta dikelilingi dua samudera. Luasnya perairan mencapai 71% dari seluruh wilayah negeri kepulauan ini. Namun, meski dengan luasnya lautan yang kita miliki itu, nyatanya cukup banyak di bagian-bagian negara kita ini yang kekurangan air.

Beberapa tahun yang lalu saya pernah mendatangi sebuah pulau mungil di Kepulauan Spermonde. Letaknya kurang lebih hanya satu jam berperahu dari kota Makassar. Luas pulau yang memiliki pesona bawah laut yang cukup indah ini hanya 3,4 hektare saja. Dengan mudahnya kita bisa menyelesaikan penjelajahan keliling pulau dalam hitungan menit saja dan menikmati suasana lautan dari sudut mana saja.

Selesai snorkeling sendirian di laut yang sepi sunyi (karena kebetulan satu-satunya kawan yang menemani saya ke pulau itu tidak mau ikut snorkeling), saya dikejutkan oleh sesuatu. Kalau harga sewa peralatan snorkeling sih masih wajar, ya. Yang berada di atas rata-rata itu adalah, tarif untuk buang air kecil, buang air besar, dan mandinya di tempat bersih-bersih yang disediakan. Rumah-rumah di pulau itu memang sedikit. Penduduknya tentu sesedikit yang bisa ditampung oleh rumah-rumah itu. Melihat tarif tadi, barulah saya sadar, meski mereka kaya oleh air (laut) yang mengelilinginya, tapi mereka miskin air bersih; air untuk minum, masak, mandi, dan mencuci.

Pernah tak sengaja terminum air laut ketika sedang berenang di pantai atau snorkeling? Ya, asin. Kita semua tahu tentunya dengan karakteristik air satu itu. Beda dengan sungai, danau, dan air hujan. Air laut mengandung kadar garam 3%. Jika diminum oleh manusia, bukannya menghilangkan haus, air laut justru semakin membuat kita dahaga. Makin banyak air laut yang masuk ke perut, ginjal akan menggunakan lebih banyak air yang tersimpan dalam tubuh untuk menetralisir kadar garamnya, sehingga akhirnya justru kita terancam dehidrasi.

Tak hanya pulau kecil yang saya singgahi itu, pulau-pulau kecil lainnya di Spermonde dan rata-rata kepulauan lain di hamparan Nusantara atau juga daerah pesisir yang jauh dari perkotaan dan sumber air tawar, mengalami kekurangan itu. Memang, ada beberapa pulau yang memiliki sumur, namun kapasitas airnya terbatas. Mereka yang tanpa ketersediaan sumur, hanya mengandalkan hujan atau pula harus mengangkut air bersih dari kota-kota terdekat, dan berlayar melintasi lautan untuk membawanya tiba di rumah.

Selepas itu saya kemudian berpikir, adakah teknologi yang memungkinkan untuk 'mengubah' air asin menjadi tawar, supaya dapat dinikmati manusia? Saya pun mencari tahu informasinya dari jagat maya. Rupanya, ada beberapa solusi selama ini yang pernah diupayakan. Air laut bisa diproses melalui penyulingan dengan beberapa teknologi dan metode. Salah tiganya adalah teknologi Reverse Osmosis (RO), Seawater Reverse Osmosis (SWRO), dan Piramid Desalinator. Mungkin masih ada yang lain lagi selain ini. Namun, masing-masing teknologi ini masih memiliki kelemahannya tersendiri, mulai dari mahalnya peralatan, hingga hasil penyulingan yang cukup jauh dari standar sempurna (misalnya tingkat kekeruhan, hasil sulingan masih mengandung unsur solid/padat di dalamnya yang terbilang masih tinggi, dan sebagainya).

Seiring makin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, saya berharap semoga makin banyak temuan baru yang dapat dijadikan solusi bagi penduduk di daerah pesisir, pulau-pulau terpencil, atau daerah-daerah tandus. Dengan demikian, kebutuhan mereka akan air bersih yang menjadi prasyarat sehat raga jiwa dapat tertangani.

Ah, kalau mengingat hal-hal begini, kadang saya betul-betul tersadar, betapa zalimnya jika di sini kita dengan seenaknya menghambur-hamburkan air...


Palembang, 11 Juli 2020


#wagflpsumselmenulis
#lampauibatasmu


Jumat, 12 Juni 2020

Memanfaatkan Kepala Udang menjadi Pempek nan Lezat


~Azzura Dayana


Kebetulan anak-anak saya suka sekali makan nasi dengan lauk udang. Namun, namanya juga anak-anak, pasti mereka enggan memakan bagian kepala udangnya juga. Saya pun selanjutnya selalu menyiasati untuk memisahkan terlebih dahulu bagian kepala udang dengan badannya. Badan udangnya saja yang dimasak untuk anak-anak.


Kemudian, daripada mubazir, kumpulan kepala udangnya saya olah menjadi bahan untuk membuat pempek. Ya, pempek kepala udang jadinya. Untuk warga Palembang yang menggemari pempek lahir batin, boleh juga nih dicoba.

Berikut ini saya bagikan resep ala saya, ya. 🙂

Bahan-bahan:
- 250 gram kepala udang
- 300 gram tepung tapioka
- 1 sdt garam halus
- 1/2 sdt gula pasir
- 1/2 penyedap rasa (opsional)


Cara membuat:

1. Bersihkan kepala udang terlebih dahulu. Buang kotoran dan kulitnya. Lalu cuci.

2. Haluskan kepala udang hingga sehalus mungkin.

3. Tambahkan garam, gula, dan penyedap rasa. Aduk rata. Saya menggunakan penyedap rasa Halawa karena mengandung probiotik dan tidak mengandung MSG. Namun silakan jika tidak ingin menambahkan penyedap.

4. Campur dengan tepung tapioka sedikit demi sedikit hingga adonan bisa diuleni. Sisakan untuk mengalasi telapak tangan supaya tidak lengket ketika membentuk pempek satu per satu. Hindari menekan-nekan ulenan terlalu sering supaya pempek tidak menjadi keras.

5. Rebus pempek dalam air mendidih. Diamkan minimal satu menit setelah pempek mengapung, baru angkat. Tiriskan.

6. Goreng pempek dengan minyak goreng di atas api sedang.


Nah, selamat mencoba variasi pempek yang satu ini ya, Teman.



#resepmasakan
#wagflpsumselmenulis
#lampauibatasmu