Social Icons

Pages

Azzura Dayana

Azzura Dayana

Selasa, 17 Mei 2016

Refreshing Singkat Keluarga ke Negeri Singa




oleh Azzura Dayana

Singapura, salah satu kota dan negeri termahal di Asia ini bisa menjadi alternatif tujuan liburan praktis keluarga. Selain jaraknya yang dekat dan terdapat beberapa rute penerbangan langsung dari berbagai kota di Indonesia, ada berbagai cara lainnya untuk menyiasati supaya anggaran berlibur di sini tidak begitu membengkak. Salah satunya, dengan mempersingkat durasi perjalanan menjadi dua hari saja seperti yang baru saja kami lakukan. 

Kecanggihan teknologi Singapura dalam setiap infrastruktur dan kemewahan arsitekturnya memang sungguh menawan untuk kita saksikan. Meski begitu, nuansa etnik tetap dapat ditemukan di negeri yang warganya heterogen ini jika kita berkunjung ke beberapa kawasan, semisal Bugis dengan nuansa Arabnya, Little India dengan khas Indianya, dan Chinatown dengan pernak-pernik kultur Cinanya yang kental.


Menelisik Dua Masjid Tercantik di Negeri Singa

Di hari pertama tiba di Singapura, kami langsung membeli dua kartu Singapore Tourist Pass (STP) yang akan kami gunakan sebagai tiket transport dalam kota. Untuk dua hari, harganya 16 dolar Singapura (SGD) plus 10 SGD deposit yang akan kita dapatkan kembali ketika mengembalikan kartu. Ini jauh lebih hemat daripada kartu EZ-link biasa seharga 30 SGD. Dari Stasiun MRT (Mass Rapid Transportation) Bugis, kami berjalan kaki menuju Masjid Sultan sambil memanggul ransel di pundak dan mendorong stroller Hanin, putri kami yang berusia satu tahun empat bulan.

Masjid Sultan adalah masjid tertua dan terbesar di Singapura. Bernuansa putih dan kuning emas, masjid yang dibangun pada 1924 oleh Sultan pertama di Singapura yakni Sultan Hussein Shah ini terlihat sangat elok dan berkilau ditimpa sinar matahari. Bagian dalam masjid sangat bersih, rapi, dan segar. Kamar wudhunya bahkan dilengkapi beberapa kipas angin besar yang menyamankan pengunjung. Melakukan ibadah di masjid ini berhasil menghadirkan sensasi mengesankan tersendiri. Karena Masjid Sultan adalah lokasi wisata religi, maka terdapat peraturan bagi pengunjung untuk berbusana sopan. Pihak masjid bahkan menyediakan kerudung untuk dikenakan oleh pengunjung wanita.




Suasana di sekitar masjid siang itu sungguh ramai, baik itu oleh wisatawan, anak-anak sekolah, dan hiruk pikuk toko yang berjajar menyajikan makanan dan souvenir. Tepat di sebelah masjid, berhadapan dengan gerbang masjid yang artistik, terdapat sebuah bangunan berwarna kekuningan dengan lapangan luas dan kolam air mancur di depannya. Malay Heritage Centre namanya. Konon bangunan tersebut adalah hasil restorasi dari Istana Kampong Glam yang sekarang difungsikan sebagai museum pusat sejarah budaya melayu Singapura.

Masjid kedua yang kami kunjungi adalah Masjid Abdul Gafoor di Dunlop Street, dekat dengan penginapan kami. Nuansa India di masjid yang dibangun pada 1907 bagi muslim India Selatan yang banyak bermukim di Kampong Kapor ini sungguh terasa. Terdapat banyak pintu besar dengan bentuk dan ukiran bernilai seni tinggi. Bentuk dan ukiran yang sama indahnya juga dapat kita temukan pada bagian dalam masjid baik di lantai satu maupun lantai dua, serta pada menara masjid yang berbentuk heksagonal.




Wisata Malam Bertabur Cahaya

Setelah melepas lelah sejenak di penginapan, membiarkan Hanin puas bermain-main di kasur sambil dengan asyiknya menikmati view dari jendela yang langsung menghadap jalan raya yang sibuk nan teratur, dan menunggu terik mentari berangsur hilang, kami bersiap melakukan wisata senja hingga malam. Setelah menaiki MRT dan turun di Raffles Place, langkah berlanjut menyusuri Singapore River sambil memandangi Elgin Bridge dan Cavenagh Bridge, dua jembatan pejalan kaki yang klasik lagi elok. Berlanjut lagi menyeberangi jalan raya lalu turun tangga untuk tiba di Merlion Park, tempat patung singa yang ikonik itu berdiri. Sayangnya, di sini Hanin malah jatuh tertidur di stroller karena terbuai angin sore dengan perutnya yang sudah kenyang.




Singapura memang amat memanjakan wisatawannya dengan banyak membangun taman-taman gratis, jembatan dan jalan khusus pejalan kaki yang nyaman, juga water tap gratis di beberapa titik public area sehingga kita bisa mengisi botol air minum yang kosong. Jembatan dan jalan yang tersedia untuk pejalan kaki sambil menikmati pemandangan Teluk Marina dan sekaligus bisa dijadikan jogging walk didesain menghubungkan Merlion Park, gedung teater Esplanade, hingga The Helix Bridge dan seterusnya.



Betapa kota modern satu ini sungguh memukau dari segi pembangunannya. Itulah yang saya rasakan dalam tiap langkah, senja itu hingga tiba di jembatan lengkung pertama di dunia, The Helix Bridge. Semua bangunan masterpiece seputaran Teluk Marina bertabur cahaya. Bahkan ketika langkah berbelok ke kiri setelah turun dari The Helix, dan suasana berganti dari kota modern menjadi hutan dan kebun, gemerlap cahaya tetap ada. Gardens By The Bay, kebun raya dengan koleksi tumbuhan terlengkap dari berbagai penjuru dunia ini dibangun di atas tanah reklamasi seluas 101 hektare tepat di belakang Marina Bay Sands. Yang terunik, di sini terdapat Supertree Grove, yakni 18 bangunan setinggi 90 meter berbentuk pohon yang sangat indah pada siang hari dan akan bercahaya warna-warni sepanjang malam. Supertrees ini juga berfungsi sebagai pengumpul air hujan dan penyeimbang suhu taman. Kombinasi kecanggihan, kecerdasan, dan konsistensi keseimbangan alam yang akan membuat kita terkagum-kagum. 


Banyak Belajar dari Sini

Saya banyak belajar dari negeri maju yang satu ini. Selain hal terakhir yang baru saja saya sebutkan di atas, saya belajar banyak tentang toleransi. Negeri ini memang tidak lagi pure status Timur atau Melayunya. Bertemu dan berinteraksi dengan orang Barat sama mudahnya dengan bertemu orang Cina, India, Arab, dan Melayu itu sendiri. Keheterogenan ini justru membuat tingkat toleransi mereka amat tinggi. Dari dulu penduduk Singapura terkenal ramah pada pejalan kaki. Saat menyeberang jalan selain di persimpangan lampu merah, beberapa kali saya alami langsung pengendara mobilnya mempersilakan kami menyeberang di depan mereka dan mereka bersedia menunggu sambil memperlambat laju mobilnya. Dua kali saya ke Singapura, dua kali pula saya selalu mereguk kekaguman yang bertambah-tambah tersebab pengalaman-pengalaman terkait transportasi. Salut! Bayangkanlah, betapa rasa aman dan nyaman akan hadir dengan sendirinya ketika berada di negeri mereka.



Ketika berada di Immigration Check Point pun, kami sangat dimudahkan. Ketika petugas melihat saya berdiri sambil menggendong Hanin mengantre di antara ratusan orang, buru-buru mereka mempersilakan saya memroses urusan imigrasi lebih dulu dan setelah itu barang-barang bawaan kami tidak dibongkar satu pun. Belum kalau saya cerita tentang toleransi di dalam kereta MRT. Hmm… jempol!


Satu Prinsip dalam Trip Singkat

Sebelum menyiapkan perjalanan pulang, kami menyempatkan diri menyusuri kawasan Little India dengan full jalan kaki mulai dari sudut Dickson Road, Jalan Besar, hingga Syed Alwi Road dan mampir ke Mustafa Centre untuk membeli oleh-oleh; berlanjut lagi menyusuri Serangon Road. Makin ke sini, makin terasa seperti berada di negeri India saja. Pertokoan bercat warna-warni memenuhi tepi jalanan, pernak-pernik etnis India juga menghiasi pemandangan dan menghadirkan aroma, mulai dari rempah-rempah hingga bebungaan.




Traveling itu tak perlu lama dan mahal. Cukup sebentar, asal berhasil mengunjungi icon-icon pentingnya. Bersiap saja dengan tenaga ekstra yang akan digunakan, meski tetap upayakan kenyamanan bagi anggota keluarga, termasuk tidur yang efektif dan makan yang cukup.