oleh Azzura Dayana
Singapura, salah satu kota dan negeri
termahal di Asia ini bisa menjadi alternatif tujuan liburan praktis keluarga.
Selain jaraknya yang dekat dan terdapat beberapa rute penerbangan langsung dari
berbagai kota di Indonesia, ada berbagai cara lainnya untuk menyiasati supaya
anggaran berlibur di sini tidak begitu membengkak. Salah satunya, dengan
mempersingkat durasi perjalanan menjadi dua hari saja seperti yang baru saja
kami lakukan.
Kecanggihan teknologi Singapura dalam
setiap infrastruktur dan kemewahan arsitekturnya memang sungguh menawan untuk
kita saksikan. Meski begitu, nuansa etnik tetap dapat ditemukan di negeri yang
warganya heterogen ini jika kita berkunjung ke beberapa kawasan, semisal Bugis
dengan nuansa Arabnya, Little India dengan khas Indianya, dan Chinatown dengan
pernak-pernik kultur Cinanya yang kental.
Menelisik Dua Masjid Tercantik di Negeri Singa
Di hari pertama tiba di Singapura, kami
langsung membeli dua kartu Singapore Tourist Pass (STP) yang akan kami gunakan
sebagai tiket transport dalam kota. Untuk dua hari, harganya 16 dolar Singapura
(SGD) plus 10 SGD deposit yang akan kita dapatkan kembali ketika mengembalikan
kartu. Ini jauh lebih hemat daripada kartu EZ-link biasa seharga 30 SGD. Dari
Stasiun MRT (Mass Rapid Transportation) Bugis, kami berjalan kaki menuju Masjid
Sultan sambil memanggul ransel di pundak dan mendorong stroller Hanin, putri
kami yang berusia satu tahun empat bulan.
Masjid Sultan adalah masjid tertua dan
terbesar di Singapura. Bernuansa putih dan kuning emas, masjid yang dibangun pada
1924 oleh Sultan pertama di Singapura yakni Sultan Hussein Shah ini terlihat
sangat elok dan berkilau ditimpa sinar matahari. Bagian dalam masjid sangat
bersih, rapi, dan segar. Kamar wudhunya bahkan dilengkapi beberapa kipas angin
besar yang menyamankan pengunjung. Melakukan ibadah di masjid ini berhasil
menghadirkan sensasi mengesankan tersendiri. Karena Masjid Sultan adalah lokasi
wisata religi, maka terdapat peraturan bagi pengunjung untuk berbusana sopan.
Pihak masjid bahkan menyediakan kerudung untuk dikenakan oleh pengunjung
wanita.
Suasana di sekitar masjid siang itu sungguh
ramai, baik itu oleh wisatawan, anak-anak sekolah, dan hiruk pikuk toko yang
berjajar menyajikan makanan dan souvenir. Tepat di sebelah masjid, berhadapan
dengan gerbang masjid yang artistik, terdapat sebuah bangunan berwarna
kekuningan dengan lapangan luas dan kolam air mancur di depannya. Malay
Heritage Centre namanya. Konon bangunan tersebut adalah hasil restorasi dari
Istana Kampong Glam yang sekarang difungsikan sebagai museum pusat sejarah
budaya melayu Singapura.
Masjid kedua yang kami kunjungi adalah
Masjid Abdul Gafoor di Dunlop Street, dekat dengan penginapan kami. Nuansa
India di masjid yang dibangun pada 1907 bagi muslim India Selatan yang banyak
bermukim di Kampong Kapor ini sungguh terasa. Terdapat banyak pintu besar
dengan bentuk dan ukiran bernilai seni tinggi. Bentuk dan ukiran yang sama
indahnya juga dapat kita temukan pada bagian dalam masjid baik di lantai satu
maupun lantai dua, serta pada menara masjid yang berbentuk heksagonal.
Wisata Malam Bertabur Cahaya
Setelah melepas lelah sejenak di penginapan,
membiarkan Hanin puas bermain-main di kasur sambil dengan asyiknya menikmati view dari jendela yang langsung menghadap
jalan raya yang sibuk nan teratur, dan menunggu terik mentari berangsur hilang,
kami bersiap melakukan wisata senja hingga malam. Setelah menaiki MRT dan turun
di Raffles Place, langkah berlanjut menyusuri Singapore River sambil memandangi
Elgin Bridge dan Cavenagh Bridge, dua jembatan pejalan kaki yang klasik lagi
elok. Berlanjut lagi menyeberangi jalan raya lalu turun tangga untuk tiba di
Merlion Park, tempat patung singa yang ikonik itu berdiri. Sayangnya, di sini
Hanin malah jatuh tertidur di stroller karena terbuai angin sore dengan
perutnya yang sudah kenyang.
Singapura memang amat memanjakan
wisatawannya dengan banyak membangun taman-taman gratis, jembatan dan jalan
khusus pejalan kaki yang nyaman, juga water tap gratis di beberapa titik public area sehingga kita bisa mengisi
botol air minum yang kosong. Jembatan dan jalan yang tersedia untuk pejalan
kaki sambil menikmati pemandangan Teluk Marina dan sekaligus bisa dijadikan jogging walk didesain menghubungkan
Merlion Park, gedung teater Esplanade, hingga The Helix Bridge dan seterusnya.
Betapa kota modern satu ini sungguh
memukau dari segi pembangunannya. Itulah yang saya rasakan dalam tiap langkah,
senja itu hingga tiba di jembatan lengkung pertama di dunia, The Helix Bridge.
Semua bangunan masterpiece seputaran
Teluk Marina bertabur cahaya. Bahkan ketika langkah berbelok ke kiri setelah
turun dari The Helix, dan suasana berganti dari kota modern menjadi hutan dan
kebun, gemerlap cahaya tetap ada. Gardens By The Bay, kebun raya dengan koleksi
tumbuhan terlengkap dari berbagai penjuru dunia ini dibangun di atas tanah
reklamasi seluas 101 hektare tepat di belakang Marina Bay Sands. Yang terunik,
di sini terdapat Supertree Grove, yakni 18 bangunan setinggi 90 meter berbentuk
pohon yang sangat indah pada siang hari dan akan bercahaya warna-warni
sepanjang malam. Supertrees ini juga berfungsi sebagai pengumpul air hujan dan
penyeimbang suhu taman. Kombinasi kecanggihan, kecerdasan, dan konsistensi
keseimbangan alam yang akan membuat kita terkagum-kagum.
Banyak Belajar dari Sini
Saya banyak belajar dari negeri maju
yang satu ini. Selain hal terakhir yang baru saja saya sebutkan di atas, saya
belajar banyak tentang toleransi. Negeri ini memang tidak lagi pure status Timur atau Melayunya. Bertemu
dan berinteraksi dengan orang Barat sama mudahnya dengan bertemu orang Cina,
India, Arab, dan Melayu itu sendiri. Keheterogenan ini justru membuat tingkat
toleransi mereka amat tinggi. Dari dulu penduduk Singapura terkenal ramah pada
pejalan kaki. Saat menyeberang jalan selain di persimpangan lampu merah, beberapa
kali saya alami langsung pengendara mobilnya mempersilakan kami menyeberang di
depan mereka dan mereka bersedia menunggu sambil memperlambat laju mobilnya. Dua
kali saya ke Singapura, dua kali pula saya selalu mereguk kekaguman yang
bertambah-tambah tersebab pengalaman-pengalaman terkait transportasi. Salut!
Bayangkanlah, betapa rasa aman dan nyaman akan hadir dengan sendirinya ketika
berada di negeri mereka.
Ketika berada di Immigration Check Point
pun, kami sangat dimudahkan. Ketika petugas melihat saya berdiri sambil
menggendong Hanin mengantre di antara ratusan orang, buru-buru mereka
mempersilakan saya memroses urusan imigrasi lebih dulu dan setelah itu barang-barang
bawaan kami tidak dibongkar satu pun. Belum kalau saya cerita tentang toleransi
di dalam kereta MRT. Hmm… jempol!
Satu Prinsip dalam Trip Singkat
Sebelum menyiapkan perjalanan pulang,
kami menyempatkan diri menyusuri kawasan Little India dengan full jalan kaki mulai dari sudut Dickson
Road, Jalan Besar, hingga Syed Alwi Road dan mampir ke Mustafa Centre untuk
membeli oleh-oleh; berlanjut lagi menyusuri Serangon Road. Makin ke sini, makin
terasa seperti berada di negeri India saja. Pertokoan bercat warna-warni
memenuhi tepi jalanan, pernak-pernik etnis India juga menghiasi pemandangan dan
menghadirkan aroma, mulai dari rempah-rempah hingga bebungaan.
Traveling itu tak perlu lama dan mahal.
Cukup sebentar, asal berhasil mengunjungi icon-icon
pentingnya. Bersiap saja dengan tenaga ekstra yang akan digunakan, meski tetap upayakan
kenyamanan bagi anggota keluarga, termasuk tidur yang efektif dan makan yang
cukup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar