Someday, somewhere….
Di saat saya merasa cukup lelah.
Tetapi debur ombak yang terdengar telinga sepanjang hari
sepanjang malam adalah pesona. Pesona keindahan yang tak akan bisa terjumpa di
setiap saat yang kita inginkan. Sebab terpisah oleh jarak.
Siapakah yang lebih lelah di antara peserta dan pekerja
suatu acara?
Siapa yang lebih berat tugasnya? Yaah, pekerja suatu acara yang saya maksud di sini mungkin lebih familiar disebut committee alias panitia. Mereka umumnya adalah warga lokal yang berkaitan langsung dengan tempat atau lembaga penyelenggara. Mereka yang mengonsep, merumuskan, hingga kemudian menyiapkan, mengawal dan mengurus pelaksanaan hingga selesai dan sampai kepada tahap evaluasi. Lelah, pasti. Sementara, yang namanya peserta, bisa juga adalah warga asal dan juga warga luar yang datang dari jauh, mereka yang datang melintasi antar kota, desa, provinsi, pulau, negara, bahkan benua dan samudera untuk bergabung pada suatu kegiatan acara. Ukuran lelah bagi mereka ini tentu bisa diukur termasuk dari jarak dan waktu tempuh.
Siapa yang lebih berat tugasnya? Yaah, pekerja suatu acara yang saya maksud di sini mungkin lebih familiar disebut committee alias panitia. Mereka umumnya adalah warga lokal yang berkaitan langsung dengan tempat atau lembaga penyelenggara. Mereka yang mengonsep, merumuskan, hingga kemudian menyiapkan, mengawal dan mengurus pelaksanaan hingga selesai dan sampai kepada tahap evaluasi. Lelah, pasti. Sementara, yang namanya peserta, bisa juga adalah warga asal dan juga warga luar yang datang dari jauh, mereka yang datang melintasi antar kota, desa, provinsi, pulau, negara, bahkan benua dan samudera untuk bergabung pada suatu kegiatan acara. Ukuran lelah bagi mereka ini tentu bisa diukur termasuk dari jarak dan waktu tempuh.
Aha… saya ini sedang tercenung, sebenarnya. Bukan berarti
ingin berpikir bahwa mereka yang lebih lelah tidak bisa menolerir
ketidakberesan atau ketidaknyamanan pernak-pernik suatu acara, dan mereka yang
tidak lebih lelah adalah mereka sebagai orang-orang yang salah. Sebab antara
keduanya, sama-sama bekerja dan bertanggung jawab sesuai tempat dan porsinya.
Panitia, ingatlah, jika pesertamu berjumlah ratusan atau lebih,
itu bukan kerja kecil untuk mengurus mereka. Kesungguhan dan keikhlasan bekerja
dan melayani dibutuhkan betul, untuk hasil yang maksimal. Dan peserta, jika ada
remeh-temeh yang tak sepatutnya terjadi, itu bukan berarti panitia tak bekerja
dengan baik, tetapi karena memang tak ada sesuatu yang sempurna dibuat oleh
manusia.
Sambil berjalan dalam ritme tak terlalu cepat dan tak
terlalu lambat, melintasi lautan pasir tebal yang terkadang membenamkan sandal
saya dan mengharuskan saya bekerja keras untuk menyeret langkah, dan mata saya
menatap pantai, saya masih terus berpikir. Kenapa saya harus berpikir sambil
berjalan dan menatap pantai? Sebab padatnya rangkaian acara nyaris tidak
membolehkan saya untuk sekadar duduk di beranda cottage barang setengah jam
untuk berpikir sambil menikmati suasana pantai. Ini yang saya sayangkan.
Jauh-jauh kita dibawa ke sini, terpisah sekian kilometer dari pusat-pusat
peradaban, tetapi sayangnya rangkaian acara yang dijalin tak menyatu dengan
alam sekitarnya. Jadi, ini hanya semacam acara-di-kawasan-indoor-terintegrasi
yang dipindahkan lokasinya ke tempat yang terbuka (tapi tidak sepenuhnya
terbuka).
Dan saya (agak sedikit) kelaparan di sini. Ups. Sekali lagi,
mengurus peserta yang mencapai dua ratus atau lebih bukan hal gampang. Masalah makan
termasuk yang utama. Logika tak akan jalan tanpa logistik. Sehebat apapun acara
dirangkai, peserta bisa jadi tak akan maksimal mengikutinya hanya gara-gara
persoalan makan. Apalagi, mengingat, mereka yang datang jauh-jauh dari luar
daerah: jarak, kadar lelah, atau persoalan yang mereka alami sepanjang
perjalanan bisa saja memengaruhi pola dan nafsu makan mereka. Belum lagi jika
ada catatan sakit.
Saya sendiri, termasuk yang kemudian agak bermasalah dalam
urusan makan. Dari faktor internal, perjalanan panjang pastilah menyisakan sedikit
lelah. Belum lagi pikiran saya yang sebenarnya masih tertinggal di rumah,
memikirkan anak dan kabut asap serta hujan yang tak kunjung mengguyur Palembang
yang kemarau panjang. Tak ada sakit maag, tapi entah kenapa nafsu makan saya
sungguh berantakan. Sedikit ataupun banyak jumlah makanan yang saya masukkan ke
piring, tetap saja tak akan habis hingga setengahnya. Eneg dan malas. Bahkan walaupun
masakannya enak. Di hari kedua, panitia nampak kelimpungan karena mungkin ada
kasus peserta belum semuanya makan sementara makanan sudah menipis. Alhasil, di
hari kedua itu panitia meja makan tak lagi hanya berdiri memantau, tetapi
mereka masing-masing memegang satu sendok makan, lalu bertugas mengambilkan
nasi, sayur, lauk, sambal ke dalam piring peserta. Cerita yang beredar terkait
sistem baru itu: ada yang tak puas karena panitia mengambilkan nasi yang banyak
sedangkan lauknya sedikit, sehingga dia tidak bisa menghabiskan makannya. Ada
juga yang tak suka lauk ikan dan menanyakan apakah boleh meminta lauk lain akan
tetapi tidak diizinkan, dan kecewalah dia. Ada juga yang berasa kayak makan ala
di penjara karena makannya dibatasi sedemikian rupa….
Kadang saya dapat menyimpulkan sendiri kenapa saya malas
makan. Intinya adalah yang segar-segar. Dalam kondisi eneg dan malas makan,
perut saya sebenarnya sangat kompromi pada buah, sayuran hijau berkuah, bukan
bersantan, dan bukan lauk yang dimasak pedas-pedas atau terlalu berlebih minyak
dan rempah-rempahnya. Di saat eneg dan malas makan, justru menu paling
sederhana seperti bayam atau oyong berkuah bening, tempe goreng, cah kangkung, dan tentunya buah-buahan akan menjadi amat bersahabat dengan perut. Tapi, yang tersaji justru yang
tampak indah di mata tapi tidak indah di perut, hehehe.
Dan, berhubung saya mendapat cottage peserta perempuan terjauh
dari pusat kegiatan acara, dan jumlah peserta dalam cottage cukup membludak
sehingga antrean mandi mengular, sementara selepas sesi acara saya sering
mampir sana-sini dulu (bazaar, pantai, dll) maka jadilah saya selalu menjadi
peserta di barisan akhir yang mengambil makan. Biasanya sayurnya tinggal
menyisakan kuah yang menggenang, lauknya tinggal irisan-irisan akhir, kerupuk
tinggal remah-remah, dan buah-buahan tinggal kenangan (wadahnya saja). Jarak dari
cottage ke aula dan tempat makan bukan hanya yang terjauh, tetapi juga harus
melintasi lautan pasir yang tebal yang agak menyulitkan untuk berjalan cepat.
Entah hari/malam keberapa, lauknya rendang daging. Sayangnya,
pilihan lauknya hanya itu (atau saya yang kehabisan), dan sayurnya hampir
ludes. Saat makan, saya menatap sepotong kecil rendang yang hanya berteman nasi
dan kuah. Ujung-ujungnya, pasti, tak habislah makanan saya. Di malam terakhir,
lebih tragis lagi. Saya mendapat dua kali sendokan lauk. Lauknya ikan samba berukuran
besar waktu itu. Sayurnya bersantan. Untung irisan semangka masih banyak dan
bagus-bagus. Sayang, ketika duduk dan siap menyantap, saya memeriksa lauk
tersebut. Ternyata oh ternyata, dua sendokan lauk yang terlihat besar dan
menggoda itu ternyata telurnya semua. Bayangkan, telur ikan laut yang besar
begitu, betapa enegnyaaaa…. Terkikislah semangat saya untuk makan. Untunglah teman
di sebelah saya dengan baiknya menyumbang sedikit daging ikannya untuk saya. Saya
hanya sanggup makan beberapa sendok nasi. Sisanya, oh maafkanlah saya ya Allah,
saya buang lagi makanan saya….
Tengah malam itu, dalam perjalanan kami di mobil dari pantai
menuju ibukota provinsi itu (karena besok pagi harus naik kereta api pulang ke kota saya), saya
memuntahkan semua isi perut saya yang tak seberapa itu. Akhirnya benar-benar
masuk angin juga saya.
Itu tadi soal pangan. Sekarang soal papan. Papannya itu tak
lain cottage kami. Untuk peserta yang jumlahnya mencapai dua ratus ini, para
pekerja acara menyiapkan beberapa villa, cottage, dan tenda. jumlah cottage
lebih banyak daripada villa. Tenda diperuntukkan bagi peserta laki-laki apabila
villa dan cottage tidak mencukupi lagi. Letak villa hanya beberapa langkah saja
dari aula dan tempat makan. Sedangkan cottage dan tenda letaknya berdampingan,
berhadapan dengan pantai, dan letaknya lebih jauh dari aula dan tempat makan,
melintasi lautan pasir. Cottage 1 masih lumayan dekat dengan aula. Semakin tinggi
nomor cottage semakin jauh jaraknya. Saya menempati cottage 6. Setelah cottage
6, ada dua cottage lagi yang ditempati peserta laki-laki.
Pertama kali masuk dan memeriksa kondisi, saya dan
teman-teman di cottage 6 cukup shock. Cottage itu lebih nampak seperti rumah
tua. Bentuknya panggung, kamar mandinya ada di bawah, melewati tangga turun
yang seperti terowongan. Nampak lama tak disentuh manusia. Gelap dan berdebu. Ketika
menyalakan lampu di malam itu, ternyata lampunya putus. Ketika menuruni tangga
terowongan kamar mandi itu, kami beramai-ramai membaca ta'awudz, ayat kursi, dan
lain-lain, saking tegangnya dengan kondisi itu. Kamar mandinya luas sekali,
tapi hanya ada dua benda di dalamnya, yaitu kloset dan ember. Bahkan tak ada
satu paku kecil pun untuk menyangkutkan handuk. Papan dan kayu pembentuk rumah
sudah rapuh. Lantainya berderit. Berandanya agak bergoyang-goyang. Jendela kamar
kami bisa dibuka dan tak bisa ditutup kembali dengan aman, karena ternyata
kuncinya tidak ada lagi. Pintu depan bisa dikunci dengan cara digembok dari
luar, dan kunci kayu yang hanya ‘nyantol’ seadanya dari dalam. Jika sudah
dikunci, pintu tak bisa rapat. Sekali tendang saja oleh saya, pasti langsung
roboh pintu itu.
Satu kali pernah saya mampir ke villa yang ditempati teman
peserta untuk menitipkan barang. Kondisi villa ternyata berbeda langit dan bumi dari cottage. Rumah batu yang indah arsitekturnya. Pintunya
kaca dan bertirai. Ada AC dan kipas angin di dalamnya. Lantainya keramik. Di kamar
mandinya tersedia shower serta kenyamanan dan keharuman kamar mandi mewah. Serta
dilengkapi peralatan masak praktis yang tersedia di dapur dan meja.
Masya Allah….
Luar biasa. Malam yang pertama di
cottage, saya sangat khawatir dengan keamanan dan nyaris tak bisa tidur. Untunglah
akhirnya saya terlelap juga. Setiap malam hanya bisa tidur dua jam di cottage. Karena
padatnya acara juga. Lama-kelamaan, saya mulai terbiasa dengan kondisi cottage.
Dan bersyukur bahwa kami semua aman-aman saja. Di antara berbagai cerita horor
yang beredar selepas acara, untunglah saya tidak mengalami yang aneh-aneh amat.
Inilah yang saya maknai sebagai survive. Survive di hutan itu sudah biasa. Ternyata
malah survive di tempat seperti ini yang lebih berat. Dan di sinilah
pembelajaran itu perlu. Dan menjadi catatan, bahwa selain logistik yang
diperlukan supaya logika bisa berjalan, prinsip-prinsip KEADILAN jangan sampai
terlalai untuk kita tegakkan.
Ala kuli haal, Alhamdulillah…
saya bersyukur masih banyak remah-remah hikmah yang bisa dipunguti dari
pengalaman ini. Bertemu dan berbagi bersama teman-teman baru dari berbagai
daerah, adalah keberuntungan. Wawasan yang kita serap dari setiap kajian,
adalah ilmu baru yang mengayakan jiwa raga. Perjalanan yang panjang dan penuh
cerita, adalah harga yang mahal.
Mari tutup malam ini, dengan memejamkan mata dalam-dalam dan mengucap hamdalah sekali lagi. Deburan ombak menemani detik demi detik. Cottage ini akan menjadi kenangan, di mana ada sesuatu yang paling mengesankan, mengalahkan segala unek-unek berbau keresahan di atas tadi: saat pagi hingga sore hari, ketika membuka pintu, saya disambut oleh pantai. Pasir putihnya terhampar luas sepanjang garis pantai yang melengkung indah. Di ujung kiri, gunung yang gagah melatarbelakanginya. Di sisi kanan, gugusan karang hitam menghiasinya. Dan di kala malam, deburan ombak itu menemani tidur, semakin malam semakin kencang bunyinya. Bukannya mengganggu, tetapi malah makin indah di telinga, menjadi lagu merdu yang akan jarang-jarang diputar. Hanya di sini. Atau nanti, di tempat seperti ini lagi.
This is something that I can’t
see everyday….
Enjoy, then. Keep in mind thoroughly,
safely.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar