Sumber: internet |
Sudah lama ingin menuliskan ini. A
simple review about Everest. Sebuah film yang saya tonton di jelang akhir
penayangannya di bioskop, sekira awal Oktober ini. Agak terlambat menontonnya,
dan sekarang sangat terlambat menulis dan memosting review-nya. Hehe. Tapi tujuan
tulisan ini memang bukan sebagai persuasi bagi pembaca untuk segera ikut
menyaksikan filmnya, karena film ini tidak ada lagi di bioskop. Maka, jadinya,
tulisan ini adalah sekadar sharing. Dan kalau pun pembaca jadi tertarik juga
untuk menontonnya, masih ada dua cara, yaitu dengan cara mencari CD-nya atau
menunggunya muncul di televisi.
Film Everest diangkat dari sebuah
kisah nyata pendakian tragis yang berlangsung di tahun 1996. Melibatkan beberapa
pendaki sungguhan dan bintang-bintang Hollywood, film besutan sutradara Baltasar
Kormakur, Everest tampak seperti sangat luar biasa. Berkisah tentang
serombongan pendaki dari berbagai latar belakang yang berjuang untuk mencapai
puncak gunung tertinggi di dunia, Everest. Berbagai aral melintang mereka
hadapi. Namun perjuangan itu akhirnya kalah oleh badai dahsyat yang melanda
mereka, sehingga akhirnya beberapa anggota tim tewas.
Saya melihat Everest sebagai film
yang ingin menampilkan kejadian nyata secara totally real. Proses alurnya tahap
demi tahap dan klimaksnya tidak ditambahi bumbu-bumbu supaya lebih dramatis
atau bombastis. Sebab alam Pegunungan Himalaya dan Puncak Everest di Nepal itu
sendiri sudah lebih dari bombastis. Pendakinya adalah orang-orang terpilih. Bahkan
yang terpilih saja masih berisiko untuk gagal mencapai puncak, apalagi mereka
yang tak terpilih, dalam artian hanya pendaki amatiran yang tak tahu banyak tentang pendakian pada umumnya dan
pendakian gunung es pada khususnya.
Alam tak bisa dilawan. Meski manusia
berencana selengkap dan serapi mungkin, faktor alam yang notabene adalah
kekuasaan sepenuhnya milik Tuhan tak bisa dianggap sampingan. Salah satu
anggota tim ekspedisi Everest tersebut, Yasuko Namba dari Jepang yang sudah
mendaki enam dari Seven Summits of the World, bahkan harus mengakui
kekalahannya di puncak terakhir yang sedianya akan melengkapi prestasinya
mencapai tujuh gunung pencakar langit dunia.
Mungkin kemudian Everest akan
menjadi tempat yang menakutkan tersebab keekstreman lokasinya. Tetapi bisa juga
malah menjadi pelecut untuk menyuburkan semangat menaklukkan tantangan tingkat
tinggi. Apapun itu, Everest bukan gunung biasa. Itulah sebab kemudian terlahir
kelompok bisnis pemandu pendakian Everest semacam Adventure Consultant dan
Mountain Madness yang memasang tarif fantastis.
Dengan menyaksikan film ini, wawasan
budaya hingga wawasan sebagai insan penikmat dan penjelajah alam saya meningkat.
Dari sisi hiburan, sajian pemandangan alam bentang Himalaya hingga puncak
tertingginya benar-benar memanjakan mata. Dari segi cerita, karena ini adalah
kisah nyata tragis yang dibuat semirip mungkin dengan kejadian aslinya, maka
tentu jangan berharap banyak untuk mendapati happy ending atau percikan konflik
yang dibuat-buat. Dari sisi spiritual, membuat keimanan dan tawakkal kepada
Sang Maha Memiliki Alam Semesta dan Maha Mengatur-nya bertambah-tambah. Hingga
satu pelajaran terpetik terkait kisah ini, bahwa ketika kita hendak menjelajah
alam dengan beragam bentuk dan level risikonya, alangkah lebih baiknya jika
kita justru menyungkur di hadapan Pemilik Alam itu, memohon keridhoan-Nya agar
diberi keberhasilan, bukan malah menyongsongnya dengan bersenang-senang tiada
batas dan tiada arti. Ya, meski itu adalah momen yang layak dihargai dengan
cara pikir kita masing-masing.
Terakhir, saya teringat pada satu
adegan, ketika para pendaki dalam tim itu ditanyai tentang motivasi mereka
mendaki. Jawaban terakhir yang paling mengesankan beramai-ramai diserukan oleh
beberapa pendaki, “Because it’s thereee!”
A fenomenal slogan. Sejuta makna. Wow!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar