Sebuah Pengantar*
Semua berawal dari mimpi. Mimpi untuk menjejaki gunung
tertinggi. Mimpi menapaki desa bahari di kaki Sulawesi. Mimpi menulis dan
memiliki salah satu masterpiece.
Dari obrolan ringan di dalam pelukan dingin angin siang
alun-alun mahaluas bernama Padang Suryakencana di punggung Gunung Gede, Jawa
Barat, tercetus keinginan kami untuk mendaki tempat tertinggi di tanah Jawa,
Mahameru. Rencana ini kemudian terwujud pada medio Mei 2011. Beruntung saya
memiliki teman-teman yang selalu merasa hidup dalam tiap-tiap langkah menyusuri
jengkal Ibu Pertiwi. Beruntung karena saya telah mengasah minat pada dunia traveling sejak bertahun-tahun
sebelumnya, mulai dari perjalanan solo, berdua, hingga dalam tim kecil dan
besar. Dan makin beruntung karena setelahnya saya ‘terseret’ ke dunia pendakian
gunung meski tak sampai menjadi pendaki sejati. Cukuplah menjadi akhwat backpacker yang sesekali mendaki.
Maka jadilah impian mengunjungi Mahameru saat itu berada di
depan mata. Akan tetapi, seperti halnya Raja Ikhsan, saya mulai merancang
serangkaian panjang perjalanan, bukan ke satu lokasi saja. Saya naik kereta api
ekonomi dari Palembang menuju Bandar Lampung. Menginap satu malam di rumah
teman, lalu paginya naik angkot ke Terminal Rajabasa. Dari sana, saya naik bus
ke Pelabuhan Bakauheni. Perjalanan solo dilanjutkan dengan menumpangi kapal
feri hingga tiba di Pelabuhan Merak. Sebuah bus mengantarkan saya dari Merak ke
Terminal Kampung Rambutan dan saya pun menyediakan waktu sejenak menghirup
keruwetan Jakarta sebelum bertolak ke Bandara Soekarno-Hatta. Pesawat hemat
tujuan Makassar yang saya browsing
satu bulan sebelumnya akan terbang jam 00.45 dini hari.
Tiba di Makassar sebelum subuh, saya berdiam di musala
bandara megah itu hingga jam setengah enam. Saya mampir sebentar ke rumah
kenalan baru di Makassar yang setelah itu menjadi keluarga angkat terbaik saya
di kemudian hari. Setelah mandi, sarapan, dan menitipkan ransel yang berat di
sana, saya berangkat lagi ke pool bus
Damri untuk bertolak menuju Tanjung Bira. Salah satu daerah yang menjadi impian
di masa kecil saya. Lagi-lagi, persis seperti Raja Ikhsan di dalam novel ini. J
Makassar hanya sempat saya jelajahi selama satu hari
sepulang dari Tanjung Bira, dikarenakan pesawat saya ke Surabaya telah menunggu
keesokan harinya. Dari Bandara Juanda, traveling
berlanjut dengan menyusuri Suramadu dan kemudian kembali ke Surabaya. Keesokan
harinya meluncur ke Malang, menginap semalam, baru setelah itu menuju Stasiun
Kota Baru Malang, meeting point
dengan teman-teman saya yang datang dari Jakarta, Cilegon, Depok, dan
sebagainya. Dari sanalah, ekspedisi Mahameru dimulai.
Apa yang saya dapatkan dalam rangkaian perjalanan panjang
nan lengkap itu (perjalanan melintasi beberapa pulau besar dan kecil, dengan
moda transportasi lengkap baik bus, sepeda motor, perahu, kapal, kereta api, hingga pesawat terbang;
perjalanan menikmati bawah laut hingga atas gunung) adalah segala hal tentang
inspirasi pengalaman di tempat-tempat baru, budaya baru, view baru, orang-orang baru, tuturan cerita yang baru, tantangan,
keberanian, dan kenekatan, ide-ide unik, antik, hingga mistis. Semuanya
berjumlah tak terhitung. Yang kemudian di antara sekian banyak inspirasi
tersebut saya jalin menjadi rangkaian baru kata-kata sebagai pengabadi. Ialah
novel ini. Menuliskannya… aduhai, begitu lancar rupa-rupanya. Tercatat hanya
dalam kurun waktu total dua bulan saya meramu novel ini hingga selesai.
Demikian deras ide mengalir, benderang ingatan tentang latar-latarnya, dan begitu
saja kata-kata tercurahkan.
Alhamdulillah, Allah kemudian memperpanjang kemudahan itu
dengan menjadikan novel ini sebagai juara kedua dalam lomba menulis novel
islami tingkat nasional yang diadakan oleh sebuah media cetak terkemuka pada
akhir 2011 (pengumuman pemenang pada 2012). Setelah setahun berkibar di bawah
naungan penerbit pertamanya, kontrak buku selesai. Kejayaan penjualan novel ini
masih terus berlanjut setelah terbit dalam edisi revisinya dengan kaver dan
judul terbaru, yaitu Altitude 3676.
Pembaca Altitude 3676 meliputi kalangan
yang luas dan beragam, mulai dari mahasiswa dan pelajar, orang kantoran dan
rumahan, penulis, para traveler, backpacker, hingga pendaki dari berbagai
‘jenis’, usia, etnis, dan agama. Seumur hidup kepenulisan yang saya arungi,
baru untuk novel ini pembaca saya sampai seluas itu. Sungguh-sungguh saya
merasa ini berkah dari-Nya yang tak ternilai.
Dan, di awal tahun 2014, lagi-lagi saya tercengang, nyaris
tak percaya, meski diam-diam dan perlahan-lahan sekali bahagia merambati hati.
Kabar mengenai keberhasilan Altitude 3676
menyabet penghargaan sebagai Buku Fiksi Dewasa Terbaik 2014 versi IKAPI menjadi
kado Allah kesekian untuk saya. Semoga saja Allah tak akan bosan memberikan
hadiah-hadiah kecil-Nya ke dalam kehidupan saya dan keluarga. Semoga dengan ini
ibadah kami kepada-Nya menjadi semakin kuat dan akrab.
Kita jangan pernah berhenti bermimpi. Biarkan Allah yang
menilai kepantasan kita meraih mimpi-mimpi itu.
Palembang, 20 Februari 2014
Azzura Dayana
(*Dikutipkan dalam pengantar novel Altitude 3676 cetakan ke-2 edisi stempel sebagai peraih penghargaan Fiksi Dewasa Terbaik 2014 versi Islamic Book Fair - IKAPI Award)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar