Social Icons

Pages

Azzura Dayana

Azzura Dayana

Minggu, 28 Juni 2015

Altitude 3676 Takhta Mahameru: Inspirasi dari Ketinggian


Sebuah Pengantar*

Semua berawal dari mimpi. Mimpi untuk menjejaki gunung tertinggi. Mimpi menapaki desa bahari di kaki Sulawesi. Mimpi menulis dan memiliki salah satu masterpiece.
Dari obrolan ringan di dalam pelukan dingin angin siang alun-alun mahaluas bernama Padang Suryakencana di punggung Gunung Gede, Jawa Barat, tercetus keinginan kami untuk mendaki tempat tertinggi di tanah Jawa, Mahameru. Rencana ini kemudian terwujud pada medio Mei 2011. Beruntung saya memiliki teman-teman yang selalu merasa hidup dalam tiap-tiap langkah menyusuri jengkal Ibu Pertiwi. Beruntung karena saya telah mengasah minat pada dunia traveling sejak bertahun-tahun sebelumnya, mulai dari perjalanan solo, berdua, hingga dalam tim kecil dan besar. Dan makin beruntung karena setelahnya saya ‘terseret’ ke dunia pendakian gunung meski tak sampai menjadi pendaki sejati. Cukuplah menjadi akhwat backpacker yang sesekali mendaki.
Maka jadilah impian mengunjungi Mahameru saat itu berada di depan mata. Akan tetapi, seperti halnya Raja Ikhsan, saya mulai merancang serangkaian panjang perjalanan, bukan ke satu lokasi saja. Saya naik kereta api ekonomi dari Palembang menuju Bandar Lampung. Menginap satu malam di rumah teman, lalu paginya naik angkot ke Terminal Rajabasa. Dari sana, saya naik bus ke Pelabuhan Bakauheni. Perjalanan solo dilanjutkan dengan menumpangi kapal feri hingga tiba di Pelabuhan Merak. Sebuah bus mengantarkan saya dari Merak ke Terminal Kampung Rambutan dan saya pun menyediakan waktu sejenak menghirup keruwetan Jakarta sebelum bertolak ke Bandara Soekarno-Hatta. Pesawat hemat tujuan Makassar yang saya browsing satu bulan sebelumnya akan terbang jam 00.45 dini hari.
Tiba di Makassar sebelum subuh, saya berdiam di musala bandara megah itu hingga jam setengah enam. Saya mampir sebentar ke rumah kenalan baru di Makassar yang setelah itu menjadi keluarga angkat terbaik saya di kemudian hari. Setelah mandi, sarapan, dan menitipkan ransel yang berat di sana, saya berangkat lagi ke pool bus Damri untuk bertolak menuju Tanjung Bira. Salah satu daerah yang menjadi impian di masa kecil saya. Lagi-lagi, persis seperti Raja Ikhsan di dalam novel ini. J
Makassar hanya sempat saya jelajahi selama satu hari sepulang dari Tanjung Bira, dikarenakan pesawat saya ke Surabaya telah menunggu keesokan harinya. Dari Bandara Juanda, traveling berlanjut dengan menyusuri Suramadu dan kemudian kembali ke Surabaya. Keesokan harinya meluncur ke Malang, menginap semalam, baru setelah itu menuju Stasiun Kota Baru Malang, meeting point dengan teman-teman saya yang datang dari Jakarta, Cilegon, Depok, dan sebagainya. Dari sanalah, ekspedisi Mahameru dimulai.
Apa yang saya dapatkan dalam rangkaian perjalanan panjang nan lengkap itu (perjalanan melintasi beberapa pulau besar dan kecil, dengan moda transportasi lengkap baik bus, sepeda motor, perahu, kapal, kereta api, hingga pesawat terbang; perjalanan menikmati bawah laut hingga atas gunung) adalah segala hal tentang inspirasi pengalaman di tempat-tempat baru, budaya baru, view baru, orang-orang baru, tuturan cerita yang baru, tantangan, keberanian, dan kenekatan, ide-ide unik, antik, hingga mistis. Semuanya berjumlah tak terhitung. Yang kemudian di antara sekian banyak inspirasi tersebut saya jalin menjadi rangkaian baru kata-kata sebagai pengabadi. Ialah novel ini. Menuliskannya… aduhai, begitu lancar rupa-rupanya. Tercatat hanya dalam kurun waktu total dua bulan saya meramu novel ini hingga selesai. Demikian deras ide mengalir, benderang ingatan tentang latar-latarnya, dan begitu saja kata-kata tercurahkan.
Alhamdulillah, Allah kemudian memperpanjang kemudahan itu dengan menjadikan novel ini sebagai juara kedua dalam lomba menulis novel islami tingkat nasional yang diadakan oleh sebuah media cetak terkemuka pada akhir 2011 (pengumuman pemenang pada 2012). Setelah setahun berkibar di bawah naungan penerbit pertamanya, kontrak buku selesai. Kejayaan penjualan novel ini masih terus berlanjut setelah terbit dalam edisi revisinya dengan kaver dan judul terbaru, yaitu Altitude 3676. Pembaca Altitude 3676 meliputi kalangan yang luas dan beragam, mulai dari mahasiswa dan pelajar, orang kantoran dan rumahan, penulis, para traveler, backpacker, hingga pendaki dari berbagai ‘jenis’, usia, etnis, dan agama. Seumur hidup kepenulisan yang saya arungi, baru untuk novel ini pembaca saya sampai seluas itu. Sungguh-sungguh saya merasa ini berkah dari-Nya yang tak ternilai.
Dan, di awal tahun 2014, lagi-lagi saya tercengang, nyaris tak percaya, meski diam-diam dan perlahan-lahan sekali bahagia merambati hati. Kabar mengenai keberhasilan Altitude 3676 menyabet penghargaan sebagai Buku Fiksi Dewasa Terbaik 2014 versi IKAPI menjadi kado Allah kesekian untuk saya. Semoga saja Allah tak akan bosan memberikan hadiah-hadiah kecil-Nya ke dalam kehidupan saya dan keluarga. Semoga dengan ini ibadah kami kepada-Nya menjadi semakin kuat dan akrab.
Kita jangan pernah berhenti bermimpi. Biarkan Allah yang menilai kepantasan kita meraih mimpi-mimpi itu.

Palembang, 20 Februari 2014

Azzura Dayana

(*Dikutipkan dalam pengantar novel Altitude 3676 cetakan ke-2 edisi stempel sebagai peraih penghargaan Fiksi Dewasa Terbaik 2014 versi Islamic Book Fair - IKAPI Award)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar