Pagi
yang cukup dingin di Kamis 14 Mei 2015, sekitar pukul enam. Saya membuka pintu
sambil menggendong si bayi usia lima bulan. Cerah yang menyambut kami keluar.
Jaket tebal berbulu yang dipakai Hanin saya rapatkan. Dari pintu itu, saya
melangkah ke depan, lalu menghadapkan badan ke kiri. Gunung Dempo berdiri
menjulang di hadapan. Saya memandanginya lekat. Begitu hijau, begitu anggun,
begitu indah. Tiga ribu seratus delapan tiga meter dari atas permukaan laut
tingginya.
Masih
menggendong Hanin erat, telunjuk kanan saya angkat sedikit di hadapannya. Saya
arahkan pada gunung itu, lalu setengah berbisik saya berucap padanya.
“Itu
namanya Gunung Dempo, Nak. Ummi pernah satu kali berdiri di puncaknya. Ya,
puncak yang itu. Abi sudah belasan kali naik ke sana dan ke puncaknya juga.
Suatu hari nanti, Hanin akan ke sana juga, ya?”
Dan,
ajaib!
“Iyo,”
jawab Hanin. Ya, bayi saya yang baru belajar bicara ini menjawab!
Tidak
tidak. Saya tidak bercanda. Saya sendiri tercengang takjub dan nyaris tak
percaya mendengarnya. Satu kata itu benar-benar keluar dari mulut Hanin, tepat
satu detik setelah rangkaian kata yang saya ucapkan kepadanya selesai. Bunyinya
benar-benar “iyo,” bukan “iya” atau yang lain. Ya, bahasa Palembang. Hehe.
Sangat terang ucapannya.
Sungguh,
saya takjub. Sebelumnya, Hanin memang sudah bisa mengucapkan “ba ba ba” atau
“bu bu”, “abu”, juga “enggeng, areng” dan sejenisnya. Tapi kali ini, dia
mengucap “iyo.”
Ah,
Nak, kamu menjawab Ummi rupanya. Mengiyakan dengan sebuah janji. Allah, terima
kasih. Engkau memang Maha Indah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar