Sejak mendapat info bahwa Inferno sudah tayang di bioskop-bioskop di Indonesia, saya sudah kepincut berat pingin nonton. Saya lalu men-screenshoot jadwal film di tsb di web cineplex, saya kirim ke suami via whatsapp. Senangnya ketika suami menjawab dengan cepat dan positif. Maka jadilah weekend kemarin kami meluncur ke Palembang Indah Mall XXI.
Saya jarang-jarang nonton film thriller, kecuali beberapa saja. Dan karena saya pengagum berat Dan Brown terutama untuk karya masterpiecenya yakni, The Da Vinci Code, terang saja Inferno ini jadinya menarik untuk saya. Saya belum sempat baca bukunya. Ada tawaran e-booknya dari teman tapi saya sendiri tidak yakin sanggup menamatkan bacaan yang tebalnya nggak kira-kira itu melalui layar hp/laptop. Pening dan nggak leluasa, pasti. Jadi alternatifnya adalah menonton filmnya, meski saya tahu dan sudah siap dengan adanya perbedaan yang pasti ada dan menganga dengan versi bukunya.
Saya bukan lantas ingin menulis review lengkap tentang film ini, tetapi hanya menceritakan sudut pandang. Inferno dibuka dengan adegan keterkejutan Robert Langdon (Tom Hanks) yang bangun dengan kondisi setengah amnesia di sebuah rumah sakit di Firenze (Florence), Italy. Entah apa yang terjadi sampai ia terdampar di rumah sakit itu dengan luka di kepala dan potongan adegan-adegan mencekam yang terus melintas di pikirannya.
Tetapi usaha untuk bernostalgia dengan ingatan dan kejadian sesungguhnya tak bisa berlangsung lama. Denyut petualangan segera dimulai. Pemburu-pemburu yang datang menyeruak hendak menghabisi Langdon segera berdatangan. Sembari terus berlari menyelamatkan diri dan kita diajak keluar masuk bangunan-bangunan bersejarah lagi elok rupawan di sekujur kota Florence, sang profesor Simbologi Universitas Harvard ini terus berusaha memecahkan labirin misteri tentang Dante, mimpi-mimpi neraka Inferno, pembantaian manusia, dan beberapa wajah yang kemungkinan ia kenal. Apakah benang merah yang mengaitkan itu semua?
Saya sungguh menikmati setiap aksi dalam film ini, tanpa melewatkan sedetik pun, walaupun harus sedikit melawan gigil di dalam bioskop karena tidak bawa jaket. Hehe. Twistnya betul menyentak, walau itu adalah hal yang sudah dapat dipahami dari hampir tiap karya Dan Brown, petualangannya hidup, latar/settingnya memabukkan mata (kecantikan Florence, Venezia, dan Istanbul begitu diekspos), dialognya cepat dan tajam, cinematografinya keren. Soal plot, yah, plot Dan Brown memang selalu mematikan, walau kali ini tidak sekontroversial The Da Vinci Code karya pertamanya, atau The Lost Symbol yang karenanya diputuskan untuk tidak difilmkan.
Tetapi memang, soal simbol, kode, ikon, dan kontroversinya, Dan Brown memang ahlinya. Dan sampai kapan pun saya akan menyukai itu.
So, Inferno? Recommended to watch.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar