Social Icons

Pages

Azzura Dayana

Azzura Dayana

Minggu, 12 Juli 2020

Kaya Laut, Miskin Air


Indonesia dijuluki negara maritim dikarenakan banyaknya pulau-pulau yang dimiliki, diperantarai selat, lautan kecil dan besar, serta dikelilingi dua samudera. Luasnya perairan mencapai 71% dari seluruh wilayah negeri kepulauan ini. Namun, meski dengan luasnya lautan yang kita miliki itu, nyatanya cukup banyak di bagian-bagian negara kita ini yang kekurangan air.

Beberapa tahun yang lalu saya pernah mendatangi sebuah pulau mungil di Kepulauan Spermonde. Letaknya kurang lebih hanya satu jam berperahu dari kota Makassar. Luas pulau yang memiliki pesona bawah laut yang cukup indah ini hanya 3,4 hektare saja. Dengan mudahnya kita bisa menyelesaikan penjelajahan keliling pulau dalam hitungan menit saja dan menikmati suasana lautan dari sudut mana saja.

Selesai snorkeling sendirian di laut yang sepi sunyi (karena kebetulan satu-satunya kawan yang menemani saya ke pulau itu tidak mau ikut snorkeling), saya dikejutkan oleh sesuatu. Kalau harga sewa peralatan snorkeling sih masih wajar, ya. Yang berada di atas rata-rata itu adalah, tarif untuk buang air kecil, buang air besar, dan mandinya di tempat bersih-bersih yang disediakan. Rumah-rumah di pulau itu memang sedikit. Penduduknya tentu sesedikit yang bisa ditampung oleh rumah-rumah itu. Melihat tarif tadi, barulah saya sadar, meski mereka kaya oleh air (laut) yang mengelilinginya, tapi mereka miskin air bersih; air untuk minum, masak, mandi, dan mencuci.

Pernah tak sengaja terminum air laut ketika sedang berenang di pantai atau snorkeling? Ya, asin. Kita semua tahu tentunya dengan karakteristik air satu itu. Beda dengan sungai, danau, dan air hujan. Air laut mengandung kadar garam 3%. Jika diminum oleh manusia, bukannya menghilangkan haus, air laut justru semakin membuat kita dahaga. Makin banyak air laut yang masuk ke perut, ginjal akan menggunakan lebih banyak air yang tersimpan dalam tubuh untuk menetralisir kadar garamnya, sehingga akhirnya justru kita terancam dehidrasi.

Tak hanya pulau kecil yang saya singgahi itu, pulau-pulau kecil lainnya di Spermonde dan rata-rata kepulauan lain di hamparan Nusantara atau juga daerah pesisir yang jauh dari perkotaan dan sumber air tawar, mengalami kekurangan itu. Memang, ada beberapa pulau yang memiliki sumur, namun kapasitas airnya terbatas. Mereka yang tanpa ketersediaan sumur, hanya mengandalkan hujan atau pula harus mengangkut air bersih dari kota-kota terdekat, dan berlayar melintasi lautan untuk membawanya tiba di rumah.

Selepas itu saya kemudian berpikir, adakah teknologi yang memungkinkan untuk 'mengubah' air asin menjadi tawar, supaya dapat dinikmati manusia? Saya pun mencari tahu informasinya dari jagat maya. Rupanya, ada beberapa solusi selama ini yang pernah diupayakan. Air laut bisa diproses melalui penyulingan dengan beberapa teknologi dan metode. Salah tiganya adalah teknologi Reverse Osmosis (RO), Seawater Reverse Osmosis (SWRO), dan Piramid Desalinator. Mungkin masih ada yang lain lagi selain ini. Namun, masing-masing teknologi ini masih memiliki kelemahannya tersendiri, mulai dari mahalnya peralatan, hingga hasil penyulingan yang cukup jauh dari standar sempurna (misalnya tingkat kekeruhan, hasil sulingan masih mengandung unsur solid/padat di dalamnya yang terbilang masih tinggi, dan sebagainya).

Seiring makin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, saya berharap semoga makin banyak temuan baru yang dapat dijadikan solusi bagi penduduk di daerah pesisir, pulau-pulau terpencil, atau daerah-daerah tandus. Dengan demikian, kebutuhan mereka akan air bersih yang menjadi prasyarat sehat raga jiwa dapat tertangani.

Ah, kalau mengingat hal-hal begini, kadang saya betul-betul tersadar, betapa zalimnya jika di sini kita dengan seenaknya menghambur-hamburkan air...


Palembang, 11 Juli 2020


#wagflpsumselmenulis
#lampauibatasmu


Tidak ada komentar:

Posting Komentar