Social Icons

Pages

Azzura Dayana

Azzura Dayana

Featured Posts

Selasa, 30 April 2024

Bagian 5. Bersyukur untuk Sejauh Ini

#myJapanJournal


Berjalan kaki di kota Chiba sebetulnya seasyik itu. Sebentar-sebentar ada taman. Sebentar-sebentar ada taman. Tamannya bersih, dinaungi pepohonan sakura yang walaupun tak satu pun saya temukan berbunga, tetap khas dan terasa menenangkan. Setiap taman, sekecil apa pun itu, selalu ada namanya. Sayang, waktu saya terbatas dan pula didominasi turunnya hujan.

Jam 3.30 sore saya keluar lagi dari hotel dan naik monorel menuju stasiun Kenchomae. Turun, pucuk Kastel Chiba yang cantik sudah tampak. Nama lainnya adalah Inohana Castle, yang di dalamnya difungsikan sebagai City Folk Museum. Pengunjung hanya sedikit sore itu. Tiket masuk gratis. Dengan lift, langsung saya menuju lantai 5. Dari teras di sekeliling lantai 5 itu, saya sedikit sedih karena mendung yang masih bergelayut di langit membuat Gunung Fuji lagi-lagi tak dapat saya lihat. Betul-betul belum direzekikan Allah untuk saya. Alhamdulillaah ala kulli haal.



Destinasi saya selanjutnya dari sini sebetulnya adalah Aobanomori Park, sebuah taman besar lengkap dengan museumnya, untuk melihat jajaran indah pohon sakura. Letaknya lebih ke timur lagi, setengah kilometer dari kastel ini, lumayan ya kalau mau jalan kaki. Kalau mau berkereta, hitungannya juga sama saja untuk berjalan ke stasiun Honchiba ditambah berjalan lagi setelah turun di stasiun Chibadera. Karena sejak di Chiba tak satu kuntum sakura pun terlihat mekar, maka kemungkinan besar di Aobanomori Park juga saya akan menemukan pemandangan yang sama. Akhirnya, taman tersebut pun saya skip.

Saya lanjut jalan menuju Stasiun Honchiba, melewati Hagoromo Park, lanjut lagi hingga Stasiun Chibachuo, melewati Chibashi Honchiba Park. Di salah satu supermarket besar di stasiun Chibachuo, terdapatlah Daiso, toko pernak-pernik kenamaan di Jepang dan menjadi salah satu pilihan untuk belanja camilan dan oleh-oleh. Usai berbelanja di situ, lanjut jalan sebentar dan sampailah saya di restoran halal milik imigran Turki. Duduk di kursi sudut, hanya menunggu 5 menit, tibalah waktu berbuka. Rekomendasi menu di sini adalah beef and chicken rice-nya seharga 750 yen atau sekitar 80.000 rupiah. Perbandingannya, kalau di Tokyo, seporsi nasi ayam atau daging sudah pasti harganya di atas 1000 yen.

Sekian banyak perempatan telah saya lewati, dan bunyi "kicau burung" itu makin akrab di telinga saya. "Kicau burung" yang menandakan lampu untuk pejalan kaki menyala hijau dan pejalan kaki boleh menyeberang. Saya mencatat, memang, seramai apapun orang yang menyeberang, mereka tertib sekali.

Saya melewati taman lagi. Hibashi Yoshikawa Park namanya. Tamannya cukup luas, persis menghadap jalan raya yang sibuk, dan banyak kursi taman tersedia. Cocok sekali untuk bersantai sambil menikmati suasana kota yang tenang, dingin, dan dihiasi cahaya lampu. Saya lanjut lagi melewati jalan persis di bawah jembatan lengkung dengan lampu berganti-ganti warna serta 2 rel berdampingan di atas kepala, tempat kereta monorel bergantung berlawanan arah. Saya seolah sedang berada di Film Doraemon Stand by Me ketika sebuah kereta monorel melintas di atas kepala saya, dengan atap kereta tersebut yang menggantung menempel di salah satu rel. Ajaib sekali. Saking ajaibnya, saya bahkan terlewat untuk menikmati indah dan gemerlapnya Chiba City Chuo Park di sisi kanan saya.


Tiba di hotel, usai salat magrib, beres-beres sedikit, saya pun keluar lagi. Kali ini ke minimarket Familymart yang hanya berjarak 50 meter dari depan hotel dan mendengar "kicau burung" lagi di satu-satunya perempatan yang harus saya lalui. Di minimarket itu, saya membeli onigiri (nasi kepal campur ikan khas Jepang) untuk sahur nanti, ditambah camilan lainnya. Setelah ini, saya akan istirahat saja di hotel sampai pagi.

Pagi harinya, ternyata hujan turun lagi. Memang di prakiraan cuaca katanya hujan akan terus turun sampai beberapa hari ke depan. Usai sudah penjelajahan saya rupanya. Waktunya berkemas dan menuju bandara dengan menaiki kereta Narita Line dari Stasiun Chiba.

Throwback sedikit. 
Di hari pertama saya tiba di Jepang dan bertemu teman malam harinya, sebetulnya saya disambut dengan berita gempa. Ternyata, di pagi harinya saya masih di pesawat, Jepang dilanda gempa yang berpusat di beberapa bagian Ibaraki. Jepang memang bisa dibilang negara dengan frekuensi potensi gempa paling tinggi. Dan terkait gempa seperti ini akan selalu masuk e-mail dari pemerintah setempat ke setiap warganya. Malam itu seusai makan malam, teman saya membacakan isi e-mail yang diterimanya tadi pagi. Isinya kira-kira berbunyi, "Waspadai potensi gempa besar susulan yang akan terjadi 2 atau 3 hari ke depan, dst."

Bayangkan, di hari pertama saya datang, dong! Gimana saya tidak panik? Mana besok saya kan mau ke Ibaraki. Namun, ternyata besoknya saya tetap melanjutkan perjalanan sambil terus berdoa. Dan sekarang hari terakhir saya di Jepang. Kelak, beberapa hari setelah saya sudah di Indonesia, sering sekali saya dengar terjadi gempa di Jepang. Meski begitu, seperti cerita teman saya, warga Jepang memang sudah akrab dengan kondisi tersebut dan mereka sudah dibekali bermacam hal sebagai mitigasi.

Alhamdulillah hingga tiba lagi di Bandara Narita, semua kondisi aman-aman saja. Sayonara, Japan! Terima kasih kepada Allah Maha Baik yang memudahkan perjalanan panjang saya seorang diri. Sungguh banyak hal yang saya pelajari, pun amat banyak yang mesti saya syukuri:

1. Manusia sebaik-baik perencana, Allah jua Maha Penentu atas segala. Dari sekian banyak destinasi yang ada dalam itinerary saya, lumayan jumlah yang tidak tercapai, akan ada juga yang tergantikan dengan beberapa spot lain, walaupun jumlahnya tidak menutupi yang tak tercapai. Tak apa.

2. Meski sakura belum banyak yang mekar (apalagi di Chiba, tak sekuntum pun), alhamdulillah di beberapa tempat masih dapat saya jumpai. Selain di tempat wisata, saya dua kali bisa melihat alaminya hamparan padang bunga canola yang indah dalam perjalanan melintasi Ibaraki. 

3. Meski tak berhasil mendapatkan view Gunung Fuji dari Tokyo dan Chiba, alhamdulillah cuaca sangat cerah ketika pesawat hendak transit di Filipina, sehingga saya dapat melihat pegunungan yang indah di Filipina dengan jelas dari jendela pesawat. Selama perjalanan ini di pesawat saya memang selalu memilih kursi dekat jendela.

4. Meski tak sempat makan ramen di negara asalnya, alhamdulillah saya sempat makan udon (jenis mi lainnya khas Jepang). Hehe.

5. Meski banyak sekali jalan kaki, sebagian tetap dengan memanggul ransel berat di pundak pula, disertai udara dingin yang melampaui perkiraan, alhamdulillah saya tetap sehat seutuhnya hingga tiba di Palembang. Paling hanya pegal-pegal di kaki, dan kurang tidur sewaktu perjalanan pulang, karena mesti menunggu di Soetta tengah malam hingga pagi untuk pulang ke Palembang.

6. Setelah melewati auto gate di Bandara Soetta lanjut ke pemeriksaan bagasi, saya tetap diperbolehkan lewat begitu saja dengan mudah meskipun saya belum mengisi Electronic Custom Declaration sebelumnya. What a lucky night! Mungkin karena petugasnya melihat jumlah barang bawaan saya yang paling simple di antara bejibun orang yang bawaannya berkoper-koper raksasa.

May Allah give me other chances for the next big trips. Aamiin ya Rabb.


(Selesai)


#JapanTrip
#Japan


Sabtu, 27 April 2024

Bagian 4. Hujan yang Setia di Chiba

#MyJapanJournal

Makuhari

Saya dan Bu Ketua FLP Jepang sebetulnya sudah mengagendakan kopdar. Beliau bahkan jauh-jauh dari Kanazawa berencana datang dan menginap satu malam bersama. Untuk itulah beliau memesankan satu kamar di Apa Hotel area Makuhari, yang secara geografis sudah masuk Prefektur Chiba. Qadarullah, kondisi kesehatan beliau jelang hari H kurang fit, akhirnya beliau membatalkan kedatangan, namun hotel tetap beliau pesankan untuk saya. Masyaallah. Semoga Allah menganugerahkan rezeki yang lancar lagi barokah untuk orang baik ini. Aamiin.

Sejak sore kemarin di Tokyo Camii, hujan mulai turun, berlanjut hingga malam dan pagi ini di hari ke-5 saya di Jepang. Pupuslah harapan saya untuk bisa melihat Gunung Fuji dari hotel berketinggian 181 meter dan memiliki 50 lantai ini (jika kondisi cuaca sedang cerah), hehe.

Karena semalam tidur cukup larut, tubuh lumayan lelah, dan sudah harus selesai sahur jam 4 fajar (azan subuh kira-kira jam 4 lebih 11 menit), saya pun masih diserang kantuk berat di pagi harinya. Dari jendela, saya lihat hujan pun tampak sedikit lebih deras. Jam 8, saya pun mencoba bath up yang tersedia di kamar mandi. Luar biasa lengkapnya fasilitas tamu di kamar hotel Jepang ini, walaupun ukuran kamarnya sepengetahuan saya memang lebih sempit dari kamar standar hotel di Indonesia. Mandi berendam di air hangat ternyata cukup membuat tubuh bugar dan nyaman.

Pemandangan dari jendela hotel, horison laut tidak terlihat karena kondisi mendung


Beres mandi, saya packing barang. Hujan ternyata masih setia. Andai jarak pantai tak sejauh itu (kira-kira 500 meter jaraknya dari hotel dan harus menyeberangi jalan raya terlebih dahulu), saya pasti nekat ke sana pakai payung. Memang, sayang sama momen, sih. Kapan lagi kan saya bisa ke sini? Tapi lagi-lagi, 500 meter bukan jarak yang gampang dalam kondisi hujan-hujanan, dan di tepi pantai pun nanti tak akan bisa melihat apa-apa jika hujan begini, pun tak akan ada siapa-siapa.

Jam 10, jadwalnya check out. Sebelum turun ke basement saya melewati minimarket Lawson, mampir sejenak beli beberapa item untuk oleh-oleh. Di lantai 1 dan 2 hotel ini memang terdapat beberapa toko dan kafe. Itulah mengapa di dua lantai tersebut lebih ramai pengunjung, karena selain untuk tamu hotel, kafe dan pertokoan tersebut juga terbuka untuk umum. 

Di prakiraan cuaca, hujan baru akan berhenti jam 15. Wah. Maka, di luar pintu entrance hotel, saya menimbang-nimbang. 500 meter ke kiri adalah Pantai Makuhari (melewati area luas terbuka, view mendung, kemungkinan sangat sepi), dan 500 meter ke kanan adalah stasiun kereta (melewati perkantoran, sebagian terlindung dari rinai hujan, serta cukup banyak warga dan turis yang saya lihat berjalan ke arah sana. Maka, bismillah, saya belok kanan. Mulai berjalan dalam gerimis. Saya akan meneruskan penjelajahan ke arah Kota Chiba, ibukota dari Prefektur Chiba. Di sekitaran sana, ada 3-4 tempat lagi di dalam itinerary yang akan saya kunjungi. Semangat.


Kota Chiba

Dengan menumpangi kereta Keiyo Line, saya turun di stasiun Chibaminato. Di sana, saya duduk lama dan menimbang-nimbang lagi. 250 meter ke kiri ada taman pelabuhan yang masih terletak di tepi Teluk Tokyo juga. Tapi, hujan kembali deras. View yang bakal didapat tak akan sesuai ekspektasi. Akhirnya, saya lanjut lagi naik monorel ke stasiun Sakaecho. Turun, volume hujan agak berkurang. Chiba Shrine Myoken Hongu tujuan saya. Sebuah kuil besar dan artistik yang cukup terkenal di kalangan wisatawan. Jaraknya 250 meter dari stasiun.



Syukurlah, ada beberapa pengunjung lainnya di tempat tersebut. Di depan kuil juga ada taman kecil dengan pepohonan khas Jepang, Toricho Park namanya. Setelah cukup puas menikmati pemandangan kuil dari luar, dan mengambil foto serta video dari halaman dan taman, saya bertolak lagi. Lelah juga rupanya berjalan di bawah gerimis. Saya menyerah, lalu kembali berjalan ke arah stasiun semula. The Cozy Hotel Chiba ada di dekat stasiun itu. Saya sudah memesan satu kamar single jauh-jauh hari di sana untuk malam terakhir saya di Jepang. Masih jam 12.40 sekarang, tapi saya memutuskan untuk menunggu saja di lobby hotel. Dari sini ke hotel butuh waktu kira-kira 10-15 menit.Walaupun baru bisa check in di jam 15 JST, tak apa.

Dan gerimis tetap setia di Chiba.


(bersambung ke bagian 5 - tamat)



#japantrip
#japan

Rabu, 24 April 2024

Bagian 3. Episode Tokyo hingga Tokyo Bay Makuhari

 #MyJapanJournal


Sayonara, Ibaraki!
Ya, setelah dua setengah hari menjelajahinya, tiba saatnya meninggalkan Prefektur Ibaraki untuk kembali ke Tokyo. Hari yang spesial karena teman saya dari kota Mito akan menemani dengan mobil pribadi mereka dan diantar sang suami. Perjalanan ke Tokyo akan menghabiskan waktu dua jam atau lebih.


Kembali Menjumpai Tokyo

Begitu memasuki Tokyo, kami kembali melewati si menara menjulang Tokyo Skytree, namun kali ini view-nya melalui jalan tol. Lalu, kami pun tiba di tujuan pertama: Zojoji Temple dan Shibakoen (taman Shiba) dengan latar belakang menara ikonik lainnya dari kota Tokyo, yaitu Tokyo Tower. Ada sedikit sakura yang mekar di halaman kuil, dan pohon ume kuning; serta pohon ume putih di Taman Shiba. Perlu diketahui, saat musim semi, banyak sekali jenis bunga yang mekar di Jepang. Bunga ume (Japanese plum) adalah penanda tibanya musim semi. Bunga ini tak kalah indah, nyaris mirip sakura namun ukuran bunganya mungil-mungil. Warnanya pun beragam, ada merah muda, putih, kuning, juga ungu. Selain ume, ada satu lagi bunga pink seindah sakura, yaitu bunga persik (berbuah persik atau peach). Ume pink dan bunga persik pink inilah yang sering pula disalahkirakan sebagai sakura oleh para turis.

Background Tokyo Tower


Suhu udara tak sedingin sebelumnya, namun langit tampak mendung. Kami pun gegas beranjak untuk melanjutkan perjalanan ke destinasi kedua.

Melewati kawasan Shibuya, ternyata ada cukup banyak pohon sakura yang sudah mulai mekar dan menghiasi sisi kiri kanan jalan. Saya terpukau dengan indahnya pemandangan! Namun karena sudah sore, jalanan cukup padat, dan kami mengejar waktu berbuka puasa di Masjid Tokyo alias Tokyo Camii, kami pun tak sempat turun.

Tokyo Camii


Dan inilah, Tokyo Camii and Turkish Culture Centre, sebuah masjid bergaya Turki yang didirikan pada tahun 1930-an. Bukan karena masjid ini adalah tempat akad nikahnya Syahrini dan juga Maia Estianty, saya ngebet pingin ke sini karena ini adalah masjid terbesar dan termegah yang dimiliki Jepang saat ini. Di sini, terutama di momen Ramadan, kita dapat menjumpai muslim dari berbagai belahan bumi, terkhusus karena sekarang hari Ahad, biasanya digelar buka puasa bersama selepas salat Magrib berjamaah. Masyaallah, suasananya indah dan syahdu.


Tokyo Bay Makuhari

Pukul 20 kami melanjutkan perjalanan lagi. Teman saya mengantar ke tujuan terakhir hari ini yaitu Apa Hotel & Resort Tokyo Bay Makuhari, sebuah hotel di kawasan Makuhari tepian Teluk Tokyo. Perjalanan malam yang indah dan tak terlupakan, meski diliputi gerimis panjang. Tokyo di malam hari sangat mirip Jakarta. Jalan tol dan jalan layang mengular, gedung-gedung menjulang, bermandikan cahaya gemerlap lampu. Sempat saya lihat gedung megah dan cantik sekali di sisi kanan, yang ternyata itu adalah Tokyo Disneyland.

Meski hotel tujuan saya ada label Tokyo-nya, namun sebetulnya letaknya tak lagi di kota Tokyo, melainkan sudah masuk kawasan Makuhari, Prefektur Chiba. Letak hotel tersebut memang menghadap Teluk Tokyo. Perjalanan saya di Jepang sudah hampir berakhir. Besok adalah hari terakhir penjelajahan saya dan lusa saya sudah harus menuju bandara. Selamat tinggal Tokyo, kota canggih di negara maju ini. Kota yang mengajarkan saya banyak hal baru, di antaranya tentang toilet dan self-service.

Toilet? Ya, klosetnya canggih. Tombolnya banyak, dengan fungsi beragam. Ada tombol siram untuk buang air kecil, tombol siram untuk buang air besar, tombol bilas kloset dengan jumlah air banyak, tombol bilas dengan jumlah air sedikit, juga tombol suara untuk menyamarkan aktivitas di kloset. Saya sempat mencari-cari kotak sampah untuk membuang tisu saat berada di toilet bandara atau stasiun. Eh, ternyata tisu toilet Jepang dirancang untuk cepat hancur di dalam kloset, oleh karena itu tempat buangnya ya justru di dalam kloset itu sendiri.

Tombol-tombol toilet Jepang (foto dari Google)


Self-service? Contohnya, bayar parkir, kita pencet-pencet sendiri tombolnya di parking machine, lalu bayar sendiri. Di swalayan, kita scan sendiri barang-barang yang kita beli dan masukkan sendiri ke mesinnya nominal uang yang diminta. Wah, ini berarti tingkat kejujuran warganya tinggi dong, ya? Lalu, di beberapa restoran, contohnya resto suki, setelah kita pencet-pencet tombol di layar komputer untuk memilih makanan dan di-submit, pesanan kita akan diantar oleh robot berbentuk mobil-mobilan atau kereta. Tak ada waiter. Setelah kita mengambil antaran tersebut dan menyusunnya di meja, si mobil atau kereta akan melesat kembali ke dapur.

Akan tetapi, tampaknya, selain karena faktor kecanggihan teknologi, mode self-service seperti ini juga disebabkan turunnya tingkat populasi penduduk Jepang, sehingga SDM untuk beberapa posisi nyaris tak tersedia.

Malam itu, saya baru bisa rebahan di kamar hotel pada jam 22 lebih, setelah salat dan bersih-bersih singkat tanpa mandi. Selama di Jepang, tercatat saya tak pernah mandi sore (ataupun malam), selain tak sanggup karena suhunya, juga karena tak berkeringat sama sekali. Di sini bebas debu, bebas keringat, bebas bau badan. Hehe. Baju yang dipakai berhari-hari pun bisa tetap wangi, lho.

Tampilan utama TV kamar Apa Hotel


Saya sempat menyibak gorden jendela untuk melihat pemandangan di luar kamar. Gemerlap lampu jalanan, lalu lintas agak lengang, lautan yang agak gelap beberapa ratus meter di depan sana, dan hujan yang masih setia. 

Baiklah, saatnya istirahat.


(bersambung ke bagian 4)


#JapanTrip
#Japan


Jumat, 19 April 2024

Bagian 2. Mengunjungi Matsudo, Mito, Hitachi

#MyJapanJournal



"Fabii ayyi 'alaa irobbikumaa tukazzibaan..."

Ada sekarung motivasi saya berangkat ke Jepang: melihat momen sakura mekar, observasi sejumlah objek untuk referensi karya, a big me time, self-healing, sampai merasakan pengalaman berpuasa di negeri asing minoritas muslim. Begitu minta izin suami, ternyata berhasil dengan mudahnya. Beliau mendukung penuh dan bahkan dengan senang hati mau menggantikan tugas menemani anak-anak. Maka sungguh, tak ada alasan bagi saya untuk tidak bersyukur sebanyak-banyaknya.

"Pokoknya kalau ada foto yang bagus, kirimin, ya," katanya sebelum berpisah di bandara Sultan Mahmud Badaruddin II. Saya pun memulai perjalanan dengan keyakinan yang kuat bahwa saya pasti bisa. Semoga Allah memudahkan segalanya.

Dapat melihat empat pohon sakura mekar di Sumida Park adalah salah satu kemudahan itu. Setelah cukup puas menikmatinya, saya lanjut jalan kaki berpatokan Gmaps, untuk menemukan letak Senso-ji Temple dengan Nakamise Dori yang fenomenal di hadapannya. Senso-ji adalah sebuah kuil antik, cantik, dan artistik serta sangat populer di kalangan wisatawan. Sementara Nakamise Dori adalah shopping street sepanjang 250 meter dengan sisi kiri kanan dipenuhi toko souvenir khas Jepang.


Matsudo

Malam ini rencananya saya akan menginap di tempat teman di Matsudo, sekitar 20 menit berkereta dari Stasiun Ueno, Tokyo, lalu ditambah jalan kaki 20 menitan (1,7 km). Sebetulnya saya ingin menghindari stasiun besar seperti Ueno. Tapi karena posisi penjelajahan sore saya sudah tak begitu jauh dari Ueno, dan kereta paling efektif ke Matsudo memang dari Ueno, tadi ya tak terelakkan. Stasiun besar di sini luasnya ngalah-ngalahin mal besar Jakarta, dan dipadati manusia dengan mobilitas tingkat tinggi. Peronnya pun banyak sekali. 

Berhasil menemukan mesin tiket di antara lalu lintas manusia, berhasil mencetak karcis tiket, lalu harus berhasil pula menemukan peron yang benar untuk kereta yang dipilih. Sistem perkeretaan Jepang kompleks sekali. Tak seperti di Indo yang perkeretaannya dipegang oleh satu perusahaan, di sini ada banyak perusahaan kereta yang menaungi banyak jenis kereta serta banyak jalur pula dengan banyak nama kereta. Meski demikian, yang pusing sepertinya para pendatang seperti saya saja, jadi memang butuh waktu lama untuk mempelajarinya. 

Warga Jepang gemar jalan kaki untuk kemudian naik turun kereta, karena armadanya amat sangat banyak dan stasiun kereta pun tersebar di segala penjuru. Ada juga bus sebagai alternatif kedua, namun peminatnya tak sebanyak kereta. Motor langka sekali terlihat di jalanan. Mobil? Banyak juga, meskipun tak sampai menciptakan kemacetan. Bus pun ada, namun peminatnya tak sebanyak kereta.

Tiba di  Stasiun Matsudo lebih awal (teman saya janji bertemu jam 20.00 JST), udara sudah jauuh lebih dingin lagi di luar stasiun, 6°C. Tak ada satu kursi pun saya temukan di stasiun. Jadi terpaksa memang harus menunggu di luar. Tapi karena tak kuat, saya pun memilih masuk ke mininarket terdekat untuk menghangatkan diri saja. Setelah hampir satu jam, teman saya pun datang.

Alhamdulillah, semalaman saya bisa istirahat dengan nyaman karena adanya AC di kamar yang dapat menghangatkan udara, pagi ini kami jalan kaki mencari sakura. Senang sekali berhasil menemukan beberapa pohon sakura yang mekar dengan indahnya di dua tempat, yaitu area kampus Chiba dan tepi sungai menuju Stasiun Matsudo. 


Siang itu kami berpisah karena saya harus melanjutkan perjalanan meninggalkan Prefektur Chiba menuju kota Mito, ibukota dari Prefektur Ibaraki.


Mito

Mito adalah kota bersejarah yang mengesankan. Singkatnya, saya menghabiskan dua hari di Mito untuk menyelami sejarahnya melalui observasi ke situs-situs peninggalan abad ke-12 dari periode kekaisaran Edo. Yang pertama saya kunjungi adalah Kastel Mito dengan bebarapa strutur bangunan asli yang direstorasi. Area kastel ini luaas sekali dan bikin kaki pegal maksimal. Hehe.


Spot kedua, Kodokan, sebuah sekolah samurai terbesar di periode Edo, beserta taman yang luas di sekitarnya dengan koleksi pohon sakura, ume (plum), dan Japanese apricot yang banyak. 


Ketiga, Danau Senba yang bersejarah dan menjadi sumber pengairan Kerajaan Mito. Kini, penataan modern di sekeliling danau membuatnya menjadi area favorit warga lokal dan turis untuk bersantai dan menikmati keindahan sakura saat musim semi tiba.


Hitachi

Sekitar 40 menit berkendara dari kota Mito, di tepi laut kota Hitachi, terdapat sebuah taman bunga kenamaan. Hitachi Seaside Park namanya, yang masuk ke dalam daftar sepuluh taman bunga terindah di dunia. Sayangnya, bunga-bunga unggulan di sini belum tiba waktunya mekar saat saya tiba, seperti Nemophilia yang akan menjadi lautan bunga cantik berwarna biru muda bersinar putih (karena koleksi bunga ini ada sekitar 5.300.000 tangkai), juga tulip dan bunga kochia.


Jelang akhir Maret begini, yang sedang mekar adalah early flowering narcissus yang berwarna kuning cerah, narcissus putih, dan rape blossoms berwarna kuning muda. Bunga-bunga lainnya ada, seperti nemophilia, poppy, dan lain-lain namun dalam jumlah kecil. Saya juga berhasil menemukan beberapa tulip merah muda yang masih menguncup kelopaknya. Masya Allah... Begitu saja sudah terasa indah dan saya bahagia sekali bisa melihatnya. Alhamdulillaah ala kulli haal...

(bersambung ke bagian 3)

Rabu, 17 April 2024

Bagian 1. Selamat Datang di Jepang

#JapanJournal


Bagian 1
Selamat Datang di Jepang


Hidup boleh sederhana, tapi pengalaman harus kaya. Sebuah prinsip yang senantiasa membuat saya, seorang ibu beranak tiga ini, akan terus berupaya sesekali tetap menjelajah meski dengan cukup banyak keterbatasan yang ada. Bumi Allah yang mahaluas menyediakan hamparan hikmah yang dapat kita raup dari tiap-tiap langkah, pertemuan, dan penemuan. Sebab itulah, mari kita berjalan lagi. Kali ini, ke Negeri Sakura atau yang kerap juga digelari dengan Negeri Matahari Terbit.

Terletak di belahan timur bola dunia, Jepang memang merupakan salah satu negeri yang menyambut kedatangan matahari terlebih dahulu. Di Ramadan 2024, saat saya berkesempatan mengunjungi Jepang, waktu subuh tiba di jam 4 lebih sedikit. Dan kira-kira satu setengah jam kemudian, negeri ini sudah mulai bermandikan cahaya pagi. Subuh yang begitu awal dan magrib yang nyaris sama dengan jadwal magrib di Indonesia menyebabkan durasi berpuasa di Negeri Sakura ini menjadi sekira 15 jam. Namun, meski pagi datang lebih cepat, denyut aktivitas warga baru terlihat sedikit lebih siang. Contohnya, jam kantor dan jam perkuliahan saja umumnya dimulai di jam 9 atau 10. Kemudian biasanya aktivitas warga Jepang akan terus berlanjut sampai malam.

Perjalanan saya dari Palembang ke Tokyo menghabiskan total 15 jam, karena harus terbang ke Jakarta dulu, lalu menunggu penerbangan dini hari, transit satu jam di bandara Ninoy Aquino Manila (yang pernah dinobatkan sebagai salah satu bandara terburuk di dunia beberapa waktu lalu), baru setelah itu terbang lagi ke Narita, Jepang. Kebalikan dari bandara Ninoy Aquino, bandara Narita justru masuk di antara 10 bandara terbaik di dunia. Alhamdulillah, episode transit pagi di Manila membuat saya dapat teman baru. Seorang gadis Jakarta yang usianya 10 tahun lebih muda dari saya, enerjik dan berparas mirip artis Marissa Christina, serta sudah pernah tiga kali 'main' ke Jepang sebelumnya. Berdua jadi terasa lebih mudah untuk 'mengarungi' luasnya Narita dan panjangnya proses imigrasi. Tidak kalah penting, jadinya ada yang bisa motoin saya di spot berlatar belakang 'Welcome to Japan' yang ada di sana. Haha. Tujuan kami di jam 2 siang itu sama-sama Tokyo, namun beda wahana. Dia memilih (dan sempat menyarankan ikut) naik Skyliner dengan harga tiket 2.400 yen. Itu sih terlalu mahal. Di buku catatan, saya sudah menetapkan bahwa saya akan ke Tokyo dari Narita dengan keisei line (kereta listrik). Harganya 1.700 yen atau sekitar 180.000 rupiah. Kami pun berpisah.




Saya sempat mengecek suhu udara di Narita saat itu. Wah, 10°! Saya juga sempat bertanya pada pak petugas tentang "di mana ini" dan "di mana itu". Agak ribet karena tak selalu warga Jepang mengerti Bahasa Inggris. Maka, bahasa tubuh adalah jalan ninjaku. Hehe. Saya bergegas ke toilet, bersih-bersih sedikit dan mengisi botol minum kosong saya dengan air keran (yang memang seantero Jepang aman untuk diminum). Gegas lagi ke konter keisei untuk antre beli tiket. Lanjut jalan agak ngebut menuju peron dan langsung naik kereta setelah memastikan itu kereta yang benar.

Pemandangan di sepanjang perjalanan kereta membuat perasaan saya membuncah. Masya Allah, saya sudah di Jepang! Ini bukan mimpi lagi. Di awal musim semi ini, penampakan pohon-pohon masih didominasi ranting tanpa daun, boro-boro bunga, ya! Semoga sakura bisa saya jumpai di tempat-tempat yang sudah ada dalam rencana saya. Aamiin. Kisaran satu jam kemudian, saya tiba di stasiun tujuan. Honjo Azumabashi nama stasiunnya. Sengaja memilih stasiun kecil untuk mengurangi ribet. Keluar dari badan kereta, saya terkejut bukan main. Udara yang menerpa dinginnya kebangetan! Seperti tak ada artinya jaket yang sudah saya kenakan. Ya wajar, sih, 10° kan tadi? Sambil menggigil saya tap karcis mungil di mesinnya, melangkah ke kursi kosong dekat tangga, membongkar ransel dan mengeluarkan jaket tebal yang saya simpan paling bawah. Barulah terasa mendingan setelah berjaket dua lapis.

Keluar dari stasiun, saya berseru bahagia sekaligus terkejut lagi. Bahagia karena mata saya langsung bertemu dengan si menara menjulang Tokyo Skytree yang cakep sekali, dan terkejut karena ternyata saya masih kedinginan juga di luar stasiun itu, di naungan kota Tokyo. Kepala saya agak berdenyut karena dingin yang kelewatan. Sambil mencoba bertahan, saya sempat minta bantuan ibu muda yang lewat untuk mengambilkan foto saya berlatar Skytree yang berketinggian 634 meter itu. Setelah cukup banyak foto yang saya hasilkan sendiri, saya sudah tak tahan untuk terus berdiri di situ. Harus segera bergerak nih, mudah-mudahan dengan itu bisa mengurangi rasa dingin. Saya buka Gmaps untuk menentukan ke arah mana saya harus memulai langkah di perempatan lampu merah ini.




Di Jepang, pejalan kaki sangat tertib. Mereka hanya boleh menyeberang jalan di zebra cross, ketika lampu merah menyala dan tanda orang berjalan menyala hijau. Saat itulah suara 'kicau burung' akan terdengar, pertanda pejalan kaki boleh menyeberang. Konon, 'kicau burung' di semua zebra cross besar yang ada di Jepang ini akan menimbulkan kerinduan bagi telinga turis ketika telah meninggalkan Jepang (dan ternyata saya pun begitu).

Dengan ransel yang masih setia di punggung, serta tas selempang di depan badan, saya mulai melangkahkan kaki, menuju Genmori Bridge sambil terus mengagumi Skytree, melewati Kuil Ushijima yang cantik, menyeberang Sumida River yang besar itu untuk tiba di Sumida Park. Sungguh perjalanan panjang yang tak akan pernah saya lupakan. Dan, di taman apik tepi sungai itulah akhirnya saya melihat deretan pohon berbunga sakura merah muda, lengkap dengan sekerumunan turis, juga beberapa gadis berkimono tebal.


(bersambung ke bagian 2)


#japantrip
#japan
#tokyo

Kamis, 10 Juni 2021

Sebab Kata adalah Sepotong Hati

*Sebab Kata adalah Sepotong Hati*

~Azzura Dayana


"Kata adalah sepotong hati." Demikian ujaran seorang cendekiawan muslim asal India, Abul Hasan 'Ali An-Nadwi. Ini berarti, setiap kata yang keluar dari lisan atau tulisan kita adalah cerminan hati kita. Seperti apa kata atau rangkaian kata yang engkau hasilkan, seperti itulah keadaan hatimu, dan itulah gambaran kualitas hatimu. Hati yang suci akan menghasilkan kata-kata yang suci, tulus, dan bersih. Hati yang baik akan menebar kata yang cenderung membawa ke arah kebaikan, dan mengajak kepada kebermanfaatan. Sebaliknya, hati yang buruk, akan menggambarkan dirinya ke dalam rangkaian kata yang mengandung mudarat. Seterang apa pun diksi yang dipilihnya, atau setebal apa pun selubung yang ia pakai untuk menyamarkan atau mengiaskannya, buruk akan tetap menjadi buruk, dan dapat menyeret sekitarnya untuk ikut kepada keburukan pula apabila tak kuat pegangannya.


Seseorang yang pandai merangkai kata melalui tulisan kerap dapat memengaruhi orang lain dengan apa yang ia tulis. Dengan kesadaran akan kekuatan yang bisa jadi kita miliki ini, sejatinya penulis patut menempatkan dan mencita-citakan diri sebagai penuntun kebaikan, bukan sebaliknya. Sebagai penulis fiksi misalnya, sepatutnya membatasi diri dari menulis vulgaritas, takhayul tanpa batas, dan hal mudarat lainnya tanpa diiringi pelurusan setelahnya. Jangan sampai pembaca jadi tersesat dengan membaca isi tulisan kita. Jangan sampai, hanya dengan melihat judul atau melirik gambar kaver, dapat langsung memunculkan emosi negatif pembaca. Jangan sampai, kita menjadi jalan bagi mereka untuk sesat pikir dan tingkah polah. Jangan sampai, kita yang dituntut di pengadilan Allah atas dosa jariyah ini.


Apalah artinya jadi penulis yang dikenal luas, tapi hilang keberkahannya? Apalah gunanya pundi-pundi emas yang melimpah ruah apabila taruhannya adalah berani menyeburkan diri dalam tema yang tak pantas, atau yang sesungguhnya jauh dari kita tapi kita paksakan untuk meraupnya demi ini dan itu. Tiap-tiap kata yang kita pilih akan menjadi berkah atau malah laknat. Inilah ujian untuk kita terus bertahan dengan idealisme atau melipir ke ruang pinggir. 


Maka, jika ada yang bertanya mengenai makna kata sebagai penulis, saya hanya akan menjawab dengan simpel, "Setiap kata adalah pertanggungjawaban."


Demang Lebar Daun, 31 Mei 2021


#WAGFLPSumselMenulis

#menulisuntukmencerahkan

#menulisuntukkeberkahan

#lampauibatasmu

#bataspositif


Rabu, 23 Desember 2020

Surga Ibu

 "Bahkan jika kau gendong ibumu dari rumah hingga ke Mekkah bolak-balik, bolak-balik, tidak akan bisa menggantikan darah yang dikeluarkan ibumu untuk melahirkanmu."

Kalimat yang diucapkan dengan bergetar dan penuh penekanan dalam nada suaranya itu disampaikan oleh seorang ustadz di hadapan murid-muridnya. Dan kalimat ini adalah salah satu yang berkumandang dalam pembuka sebuah film apik bertahun-tahun lalu, namun nyata masih tergiang jelas di telinga hingga kapan pun, seolah akan terpatri dalam benak ini selama-lamanya. Film yang sungguh mengentak sanubari sejak di awal pembukanya. Tak terlupakan.

Ada pun judul film yang saya maksud itu adalah Ada Surga di Rumahmu. Besutan Aditya Gumay, sutradara kelahiran Sumsel, dan kisahnya terinspirasi dari Ustadz Abu Bakar Al Habsy yang juga merupakan tokoh asal Sumsel. Film ini ditayangkan perdana pada 2 April 2015 dan saya menjadi salah satu penonton di hari perdana pemutarannya tersebut. Saat itu, qadarullah saya sudah diberi karunia dan amanah Allah sebagai seorang ibu. Putri pertama saya saat itu berumur hampir empat bulan.

Sontak, kalimat menggetarkan di awal tulisan ini tadi langsung membuat mata dan hati saya menangis. Ya Allah, betapa mulianya kedudukan seorang ibu. Betapa tak dapat diukur dengan apa pun pengorbanan seorang ibu. Film yang mengambil setting di Palembang, tepatnya di sebuah kawasan konvensional di tepi Sungai Musi ini (kita bahkan dapat menikmati suasana berlayar dengan perahu di atas sungai terbesar di Sumatera itu, lengkap dengan rumah-rumah rakitnya) menyematkan pesan moral yang begitu berharga bagi penontonnya. Semakin kota disadarkan untuk berbuat baik kepada ibu kita, tidak melukai hatinya, dan bersyukur jika sosok ibu masih ada di dekat kita sebab itu adalah kesempatan emas seorang anak untuk mengoptimalkan baktinya. Jangan sampai kita jauh-jauh membawa diri melanglang buana, demi katanya mencari kebahagiaan, kesejahteraan serta ketenteraman hidup, padahal ternyata surga paling sejati di dunia ini ada di rumah kita sendiri, di pelukan cinta seorang ibu dan hangatnya ridha ibu. 

Semakin mengerti saya, bahwa betul tak ada duanya kasih sayang dan pengorbanan seorang ibu dalam eksistensinya. Titik balik kesadaran itu sebetulnya telah bermula sejak saya mengetahui secara terang benderang bagaimana proses mengandung dan melahirkan; bagian paling luar biasa dari hidup seorang perempuan sebagai istri sekaligus ibu. Sejak saya melahirkan anak sulung, saya betul-betul disadarkan. Betul-betul menyesali kesalahan dan dosa-dosa selama ini pada ibu sendiri. Dan saat menonton film itu bersama suami, kesadaran itu digedor-gedor lagi. Saat melahirkan, ribuan urat syaraf perempuan putus, dan tingkat rasa sakitnya juga ribuan kali lebih sakit daripada semua rasa sakit yang pernah ada di dunia. Maka wajar, jika seorang ibu wafat ketika atau karena melahirkan, maka ia dianugerahi jannah oleh-Nya.

Allah, berkahilah semua ibu salihah di dunia ini, yang telah menghadirkan generasi tiap lapisnya di muka bumi.


Palembang, 22 Desember 2020


#HariIbu

#mothersday

#myweddinganniversaryday

#wagflpsumselmenulis

#lampauibatasmu