Social Icons

Pages

Azzura Dayana

Azzura Dayana

Senin, 10 Maret 2014

[Review Buku] Kesturi dan Kepodang Kuning


Judul novel: Kesturi dan Kepodang Kuning
Penulis: Afifah Afra
Penerbit: Elex Media Komputindo
Harga: Rp49.800


----------



Kata orang pintar, jika ada orang yang mengatakan ‘kau ini idealis’, sebenarnya, dia sedang mengatakan, ‘kau ini masih manusia’. (hal. 241)

Jadi, orang pragmatis itu sebenarnya mayat hidup yang bergentayangan, ya? Atau drakula yang selalu bergairah mengisap darah orang yang lemah? (hal. 241-242)

**

Demikian beberapa kalimat yang sempat menyekap perhatian saya saat sedang mengunyah lembar demi lembar sajian kata dalam buku ini. Serius dan menggigit. Kesturi dan Kepodang Kuning, sebuah novel yang tetap tampil elegan dan lembut meski konflik utamanya bersinggungan dengan tema berbau politis yang sebenarnya cukup berat. Berkisah tentang persahabatan seorang bayi cantik dari tepian hutan desa dengan burung-burung kepodang, konflik pribadi kehidupan sang ibu muda, dan dibalut dengan konflik eksternal terkait wilayah desa dan proyek para politisi hitam mengeruk keuntungan dengan mengeksploitasinya atas nama pembangunan.

Mbak Afifah Afra selaku penulisnya, lagi-lagi kali ini hadir dengan karyanya yang tak pernah seringan kapas. Selalu ada ‘napas berat’ yang ia sebar dalam rangkaian alurnya untuk dihirup pembaca. Bahwa hidup memang tak pernah selalu sederhana, kecuali dengan kesyukuran. Menariknya, napas berat ini, dengan kecerdasan penulisnya, berhasil disuguhkan menjadi jamuan yang cukup mudah dicerna, tidak dengan bahasa berat ala politisi. Dan meski konflik itu tetap saja mengundang sejuta miris dalam dada dan prihatin yang membuncah, selayaknya fiksi ia tetap menghadirkan ‘keindahan’ warna lain yang menjadi penyeimbangnya. Di sinilah sebab mengapa mengunyah fiksi tetap menjadi aktivitas yang sungkan ditinggalkan oleh para pecintanya, karena seolah selalu ada oasis tempat kesegaran itu hidup dan membahagiakan di sela-sela kepahitan. Atau setidaknya, jika pun tidak tersaji dengan ending yang melegakan atau romantisme dan harmoni di titik-titik tertentu alurnya, keindahan kelindan diksi sang penulis adalah keseimbangan dan kebahagiaan fiksi itu sendiri.

Seperti demikian jugalah Kesturi dan Kepodang Kuning. Kepahitan itu ada sejak kehidupan yang sepi milik Sriyani, ibu bayi Kesturi, dimulai. Orangtuanya yang telah tiada, dua adiknya yang hidup jauh dari sisinya, menyebabkan ia mesti menggantung harapan pada Pak Suseno dan istrinya yang menjadi majikan tempat ia bernaung menyambung hidup. Semakin pahit ketika babak pelecehan seksual dialaminya justru di saat ia belum punya pemahaman apa-apa. Lantas ia hidup menepi bersama bayinya dan para kepodang. Oh iya, sebagai info, baru melalui buku inilah saya tahu ada satwa unik bernama kepodang, yang statusnya mulai endemik pula. Penggambaran tentang kepodang itu sendiri di dalam novel ini cukup memancing kepenasaran saya untuk suatu saat bisa melihat langsung burung jenis ini.

Tokoh-tokoh lainnya dihadirkan dengan kepribadian yang cukup hidup. Selain warga desa, ada juga profil dokter, bidan, pejabat, pengusaha, aktivis LSM, dan juga ekolog. Hanya saja, saya menemukan dalam dialog-dialog antar beberapa tokoh, sepertinya banyak sekali kemiripan gaya verbal satu sama lain. Alias, tak begitu khas antara masing-masing tokoh, kecuali beberapa. Padahal, dengan begitu banyak tokoh yang terlibat dan peran mereka yang sangat esensial, semestinya kekhasan itu menjadi semacam pembeda, sehingga setidaknya pembaca tidak dengan mudah lupa (atau melupakan) siapa-siapa saja tokoh yang silih berganti mengambil posisi dalam bacaannya tadi.

Dengan menggunakan sudut pandang orang ketiga serba tahu yang menyorot langsung sejumlah tokoh secara bergantian, sesungguhnya memang terasa lebih variatif saat dinikmati pembaca. Penggunaan kata ‘aku’ dan ‘saya’ kerap dipakai secara jamak dan pula bergantian saat tokoh-tokohnya berdialog. Akan tetapi, di beberapa tempat seringkali kata ganti ‘aku’ atau ‘saya’ ini mendadak berubah menjadi ‘daku’. Jujur, penggunaan kata ‘daku’ ini terasa agak menggelitik dan terkesan janggal. Selain munculnya tidak pas dan sekonyong-konyong, kata ‘daku’ ini kerap muncul dari tokoh-tokoh yang berbeda. Artinya, bukan kekhasan dari satu tokoh saja.

Yang paling menarik dari novel ini selain deskripsi kepodangnya, adalah pada endingnya yang menarik. Meski ini terkesan melompati kejadian-kejadian pahit yang mungkin memang akan mengundang ‘kejengkelan’ pembaca apabila dihadirkan secara gamblang sebagai antiklimaks. Dan, meski saya menamatkan novel ini tidak dalam waktu secepat yang saya inginkan tadinya, saya ucapkan selamat kepada sang penulis untuk karyanya yang cukup berbeda warna ini. Selamat untuk segala kelebihan dan kekurangan karya ini. Sebab, ya, dengan kelebihan sekaligus kekurangannyalah, maka memang benar itulah karya manusia. 

Terus berkarya, Mbak Afra! :-)

-------

Azzura Dayana
Palembang, 10 Maret 2014

2 komentar:

  1. review yang keren... makasih Yana :-)

    BalasHapus
  2. Sama-sama, Mbak. Semoga berkenan. Yang nggak berkenannya dimaafin, yaa... :)

    BalasHapus