Social Icons

Pages

Azzura Dayana

Azzura Dayana

Sabtu, 28 April 2012

Tahta Mahameru

"Membaca Tahta Mahameru (Pemenang II Lomba Novel Republika).
Jelas sekali penulisnya seorang backpacker :) Dari Mahameru, Borobudur, Tanjung Bira - Sulsel, membuatku ragu Azzura Dayana ini orang Palembang atau Jawa-Makassar ? :) Deskripsi latar sangat jelas. Sepertinya saya harus juga merantau untuk novel berikutnya. Jangan hanya bisa nulis tentang Bugis dan Bugis:)"

Demikian tulis sahabat saya, Gegge Mappangewa, di status Facebooknya. Pemikiran sang jawara utama Lomba Novel Republika dengan judul novelnya Lontara Rindu ini sempat membuat saya tersenyum-senyum juga. Tampaknya saya cukup berhasil untuk tidak menampakkan ke-Palembang-an saya di novel ketujuh saya ini, ya :)

Ya, novel ini memang berlatarkan banyak tempat: yang terutama adalah desa Ranu Pane & Gunung Semeru di Jawa Timur, dan Tanjung Bira di telapak kaki Sulawesi Selatan. Tempat-tempat super eksotis yang memang pernah saya datangi dan saya eksplor. Latar lainnya adalah Borobudur, Makassar, Bromo, Jakarta, dan Surabaya.


***
Hari ini, kiriman 10 eksemplar novel Tahta Mahameru tiba di rumah saya. Novel ini insyaAllah sudah bisa dicari di toko buku Gramedia. 



SINOPSIS:

“Mahameru… Puncak Abadi Para Dewa.” Ikhsan memandang Mahameru lagi. “Apakah itu artinya… Allah tidak punya tempat di sana?” 

Faras, si gadis kutu buku asal desa Ranu Pane hanya bisa mengangkat tinggi kedua alisnya.

“Seperti aku, kamu juga tidak tahu banyak tentang tahta Mahameru?” tanyanya lagi. 

Tahta Mahameru? 

Itulah salah satu dari tiga pertanyaan tak terjawab dari Ikhsan kepada Faras. Masing-masing diajukan dalam tiga pertemuan singkat mereka sebelum mendaki gunung tertinggi di Pulau Jawa itu. Pendaki gunung berwatak keras dari keluarga yang penuh kebencian ini menjadikan Mahameru sebagai peredam sesaat jiwanya yang penuh dendam. Namun kegetiran semakin memuncak sampai akhirnya ia benar-benar membalas dendam dan hidup terasing. Faras, sang teman baik yang merasa bersalah dalam terseretnya Ikhsan ke ujung tanduk menelusur jejak sang pendaki hingga melintasi pulau. Ia ditakdirkan bertemu dan seperjalanan panjang dengan Mareta, seseorang yang ternyata terkait dalam dendam keluarga Ikhsan. 

Apa sebenarnya yang terjadi pada Ikhsan setelah menghilang tiga tahun? Lalu masih pentingkah Faras mengungkap semua jawab atas pertanyaan esensial Ikhsan yang dulu, melalui keajaiban demi keajaiban dalam pendakian Mahameru yang mungkin tak terlihat selama ini? 

Tahta Mahameru, sebuah novel yang tak hanya menyajikan rangkaian peristiwa luar biasa tentang kehidupan anak manusia, tapi juga menyuguhkan petualangan tokoh-tokohnya dari satu daerah ke daerah lain, menghadirkan sisi religi yang menggugah, dan ikut mengupas latar adat suku Bugis yang kental dan terkenal akan kapal pinisi mereka. Serta tentu saja, pendakian Gunung Mahameru yang berbeda dari biasanya. 

***

More details:
Tokoh utama: Raja Ikhsan, Faras, Mareta (nama2 terinspirasi dari nama murid-murid)
Sudut pandang: orang pertama, dari tiga tokoh utama di atas secara bergantian
Alur: maju - mundur

Tebal: 380 halaman
Harga per eksemplar Rp55.000.
Pemesanan bisa juga di: Republika, atau azzura_dayana@yahoo.com.

Kamis, 19 April 2012

Tahta Mahameru meraih Juara Kedua (Catatan dari Awarding Lomba Novel Republika 2011)

Cukup mendadak keberangkatan saya ke Jakarta kali ini. Tanpa banyak persiapan termasuk membeli oleh-oleh untuk teman berupa kemplang khas Palembang seperti yang selalu saya lakukan jika ke Jakarta dulu. Apalagi, mengingat saya tak perlu repot-repot mencari tiket pulang pergi dan tempat menginap karena panitia sudah menyediakannya selama rangkaian acara berlangsung. Ditambah pula, rutinitas saya yang cukup padat dan menguras energi di minggu-minggu terakhir menjelang keberangkatan. Lengkaplah, saya merasa perjalanan kali ini penuh ketergesaan.


11 April 2012

Rabu pagi, saya masih harus ke sekolah dan mengajar kelas intensif persiapan kelulusan di UN. Jam 2 siang, kelas usai dan saya masih harus berberes sebentar, tanpa sempat mengisi perut saya dengan nasi siang itu, sebelum harus segera meluncur ke bandara. Saya hanya membawa satu ransel berisi pakaian dan satu tas tangan sedang berisi barang-barang penting seperti dompet, ponsel, kamera, tiket, dan lain-lain. Perlengkapan mengajar saya titipkan di sekolah.

Pesawat yang seharusnya take-off kurang dari jam lima ternyata mengalami delay. Sebenarnya sudah saya duga karena sudah menjadi kebiasaan maskapai ini. Tampaknya cukup pantas jika namanya diganti dari Singa menjadi Kura-kura :).

Jam 7 malam, saya tiba di Bandara Soekarno-Hatta. Petugas dari Republika yang menjemput saya secara pribadi sudah nongkrong di sini sejak jam 5 kurang. Kami langsung meluncur ke Hotel Ambhara di bilangan Blok M. Alhamdulillah tidak terlalu macet. Jam 8 kami tiba di hotel, disusul kedatangan Mas Gegge dari Makassar dan Pak Harri dari Jember, sama-sama finalis sepuluh besar lomba ini.

Tak sampai setengah jam berada di kamar masing-masing yang mewah (keren juga panitianya, menyediakan akomodasi bintang empat ini untuk kami), kami bertiga berkumpul kembali di bawah karena alasan yang sama: lapar. Finalis lain, Mas Toni (Malang) yang sudah tiba lebih dulu dari kami dan sudah makan malam, tak keberatan ikut kami ke luar. Meski panitia memberitahukan via sms bahwa biaya makan malam kami akan diganti, nyatanya langkah kaki kami tetap saja berakhir di salah satu warung gerobak kaki lima, di terminal luar Blok M yang ramai, dan tentu saja penjualnya tak punya nota, hehehe. Saya memesan nasi soto, sedangkan dua rekan memesan nasi goreng. Sambil makan, perkenalan dan obrolan hangat seputar naskah kami berlangsung.

Saya hanya menghabiskan setengah porsi dari makanan yang saya pesan. Malamnya pun saya nyaris tidak bisa tidur di kamar hotel. Suasana hati saya sih yang nggak enak. Saya juga terlalu lelah sehingga biasanya bisa mengakibatkan dua hal yang bertolak belakang: tidur lelap dan lama, atau tidak bisa tidur. Kali ini, saya baru bisa tidur jam setengah tiga malam dan terbangun lagi jam lima pagi. Tapi saya bersyukur masih bisa tidur. Daripada tidak bisa tidur sama sekali?


12 April 2012
Pagi-pagi kami sudah harus bersiap. Sarapan pagi lalu menunggu jemputan yang akan membawa kami ke rumah makan Pendopo Kemang, Jaksel, tempat acara penganugerahan akan diselenggarakan. Lagi-lagi saya males makan pagi itu. Sebenarnya ini memang kebiasaan saya sih, males makan kalau sedang rangkaian acara di luar atau saat ngetrip. Sesuatu yang dilarang untuk dicontoh ya.

Jam 11, acara belum dimulai rupanya. Meskipun tertera jelas-jelas di kartu undangan bahwa acara dimulai jam segitu. Para tamu dipersilakan menikmati hidangan brunch. Saya bertemu dengan teman-teman perempuan di sini: Puput (finalis dari Jakarta), Violet (finalis dari Solo), Laura Khalida (finalis 25 besar), Pita (FLP Depok); serta para senior tercinta di FLP: Mbak Asma Nadia (yang rupanya adalah salah satu dari juri akhir),  Mbak Helvy Tiana Rosa, dan Mbak Intan Savitri (ketua umum FLP). Kami juga berkumpul dengan Mas Hendra Veejay (finalis 10 besar dari Bandung), para panitia yang sedikit banyak pernah kontak dengan kami sebelum acara ini, serta beberapa teman lainnya.

Jam 11.30, acara masih belum dimulai. Saya kepikiran pengen ngelayap di luar sana, sebenarnya, daripada cuma duduk manis di sini setelah obrol-obrol dengan Mbak Asma dan teman-teman selesai. Host mempersilakan tamu untuk menyantap makan siang kali ini. Saya bercanda dengan Mbak Laura, “Kayaknya nggak mulai-mulai nih acara. Setelah makan pagi, kita disuruh makan siang. Setelah makan siang, kita pasti dipersilakan shalat Zuhur. Setelah shalat Zuhur, snack sore. Setelah snack sore, shalat Asar. Pulang aja, yuk?”

Hehehe. Saya mulai eror. Dari porsi kecil banget yang saya ambil untuk makan siang, saya cuma menghabiskan sedikit. Kaki saya pengen banget ke luar, sebenarnya. Bosan di sini.

Usai shalat Zuhur, ternyata acaranya dimulai euy. Sekitar jam 13. Gak jadi pulang, deh. Hehe. Dibuka dengan beberapa kata sambutan dari pihak Republika. Ada 458 naskah yang masuk ke lomba yang deadlinenya dulu adalah 15 Oktober 2011. Naskah-naskah tersebut berasal dari 133 daerah tingkat dua yang tersebar di 22 provinsi. Jumlah yang spektakuler, ya. Saya aja nggak nyangka pesertanya bisa sampai sebanyak itu. Nah, dari jumlah ini, sebanyak 393 naskah dinyatakan lulus persyaratan administrasi. Kemudian dari jumlah inilah yang diseleksi hingga menjadi 100 besar, 50 besar, 25 besar, hingga 10 besar. Pengumuman 10 besarnya baru diinfokan pada Januari 2012 lalu. Mbak Asma Nadia dan Mas Salman Aristo (yang terkenal sebagai penulis skenario andal ini, beberapa besutannya di antaranya Brownies, Sang Penari, Jomblo, Ayat-ayat Cinta, dll) maju ke panggung. Tanpa banyak basa-basi, mereka mengumumkan pemenang tiga, dua, dan satu.


Tentang Si Tahta Mahameru

Naskah saya, Tahta Mahameru (judul awal ketika saya mengirimkannya dulu adalah Mahameru), meraih juara ke 2, alhamdulillah. Juara pertamanya adalah Gegge Mappangewa (Makassar) dengan judul naskah Lontara Rindu. Juara ketiganya Pak Harri Ash-Shiddiqie (Jember) dengan naskah Bila Cinta Mencari Cahaya.

Selanjutnya, begitu hectic. Talkshow dimulai di atas panggung, dan saya tahu kondisi saya saat itu tidak cukup baik. Akhirnya saya merasa seperti bukan diri saya yang berada di atas panggung, dan jadinya saya kurang maksimal menceritakan latar belakang Tahta Mahameru. Tapi ya, ini salah saya sendiri juga sih (apa ya obat nafsu makan yang mantap?).

Ditanya oleh sang moderator (Adenita, penulis novel 9 Matahari) tentang inspirasi dan proses kreatif novel ini, saya ceritakan secara sederhana: Bahwa novel ini memang saya rencanakan untuk ditulis berdasarkan pendakian ke Gunung Semeru pada Mei 2011 lalu ditambah trip solo saya ke Tanjung Bira di Sulsel. Setelah vakum menulis novel sejak 2009, saya butuh pemicu untuk kembali membuka gerbang kreativitas menulis novel. Dan saya memutuskan, pemicunya saat itu adalah pendakian Mahameru (alias Semeru). Maka, setelah segala persiapan pendakian matang, saya segera mengonsep ide novel tersebut hingga lengkap, dan langsung menuliskan 2 bab pertamanya. Lalu saya pergi mendaki. Dari Palembang, saya naik kereta api ekonomi sendirian ke Lampung. Menginap di Lampung satu malam. Paginya saya ke terminal Rajabasa, naik bus ekonomi ke Pelabuhan Bakauheni dan lanjut naik kapal feri menyeberang Selat Sunda. Tiba di Merak, saya naik bus ke Jakarta. Di Jakarta sempat kesana-kemari dulu, dan sempat ngetrip sendirian dulu ke beberapa kota di beberapa provinsi lain. Lalu saya terdampar di Malang, dan saya mengontak teman-teman yang pada hari H akan tiba di stasiun Malang pagi hari. Kami ketemuan di sana. Lalu pendakian dimulai. Inspirasi dikumpulkan.

Dua minggu kemudian, saya kembali ke Palembang, rehat sebentar sekitar tiga hari. Kemudian saya kembali ke laptop, meneruskan naskah ini dengan begitu menggebu. Dan selesai pada akhir Juli 2011. Tadinya naskah ini saya niatkan untuk dimasukkan ke sebuah penerbit besar nan profesional, tapi dikarenakan penerbit tersebut sedang mengutamakan naskah-naskah fiksi terjemahan, saya akhirnya menyimpan naskah ini tanpa merevisinya. Lalu beberapa teman menyarankan saya untuk mengirimkan naskah ini ke lomba novel Republika yang kebetulan sedang digelar saat itu. Setelah dipertimbangkan, saya pun menyepakati ide itu.

Maka beginilah hasilnya. Alhamdulillah. Mbak Asma Nadia yang menjadi salah satu juri benar-benar membuat saya merasa terpacu untuk terus berkarya. Di matanya, naskah saya ini bagus, jauh lebih bagus dari novel-novel saya sebelumnya yang sudah beliau baca. Saya merasa beberapa bab di awal novel saya lambat, sebelum kisahnya masuk ke setting Ranu Pane. Tapi kata beliau, tidak, sudah pas. Di atas panggung, beliau mengatakan bahwa yang paling berkesan dari Tahta Mahameru adalah beliau sangat menikmati petualangan tokoh-tokohnya, sehingga seperti terlibat langsung.


Usai Acara

Sebenarnya saya cukup stres di sore dan malam hari seusai acara inti. Tapi alhamdulillah saya sempat bertemu dengan sahabat yang juga adalah kakak angkat saya di Jakarta. Dan kebetulan dia bersedia menemani saya malam itu di hotel karena saya sendirian finalis perempuan yang belum pulang karena masih ada urusan terkait event ini besok. 

Malam itu kami mencari makan malam di salah satu sudut mal Blok M yang masih buka. Hidangan yang membuat saya mau makan adalah sayur hijau dan buah. Dan dia juga setipe sejiwa dengan saya. Akhirnya malam itu saya berhasil menghabiskan seporsi makan malam dengan baik, saudara-saudara. Mungkin karena dua faktor itulah: sahabat sejati dan capcai segar. Hehehe. Yaah, walaupun malam itu lagi-lagi saya sulit tidur (hanya bisa tidur jam 11 kemudian bangun jam 2 dan tidak tidur lagi), dan mesti diurut karena pegal-pegal :-D


13 April 2012

Pagi-pagi sekali, tanpa sempat sarapan di hotel, kami meluncur ke kawasan SCBD Sudirman, tepatnya ke gedung Jak TV untuk syuting talkshow secara tapping di Alif TV.  Alhamdulillah hari ini saya cukup segar dan rileks, karena semalam bisa tidur 3 jam, makan malam dengan benar, sudah mengomunikasikan beberapa masalah terkait buku saya hingga mencapai kesepakatan-kesepakatan, bertemu sahabat, dan sarapan pagi yang sempat-sempatnya dibelikan panitia untuk dimakan di mobil. 


Di acara inilah yang saya anggap lebih berhasil saya lalui dibanding acara kemarin di Kemang. Inti pembicaraan dalam talkshow ini nyaris sama, yaitu mengenai karier kepenulisan kami masing-masing, hingga inspirasi dan proses kreatif naskah yang memenangkan event nasional Republika ini. Tapi belum tahu kapan acara ini akan tayang di TV berbayar ini. Yang pasti, kata crew-nya kami akan dikirimi rekaman videonya.


~Azzura Dayana