Social Icons

Pages

Azzura Dayana

Azzura Dayana
Tampilkan postingan dengan label puisi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label puisi. Tampilkan semua postingan

Jumat, 29 Mei 2015

(Puisi) Raden Ajeng

Ada yang kurang dari buih-buih udara langit Jepara
Usang kenangan Roekmini-Kardinah yang merayapi lantai
O, musim memang telah pindah, tapi pribumi terisap-isap
Priyayi kita kini para pirang yang dulu kautentang, atau para sipit negeri bambu

Ada lagu yang hilang dari alun-alun tersapu senja
Mungkin cerita tentang gadis-gadis bangsawan berkebaya
Atau joglo yang hilang rupa, ukiran di atas rumah-rumah yang terlupa
Meski dari setiap jalan akan kau papas berlintas-lintas: Tak ada yang sama
Musim memang telah pindah, Raden

Ada yang luang dari bentangan sawah-sawah, angin yang berubah arah
Balada di atas becak yang ditarik pak tua: bak diriku perantau pulang yang memantau
Kulit-kulit yang terkelupas
Pikir yang lepas-bebas
Napas-napas perjuangan yang dirindu, apakah masih tersisa, seperti saat dulu kau ada
Mencatat namamu, Raden Ajeng, di atas kanvas yang beranjak pucat



***

Jepara, 2009
#latepost

Sabtu, 25 April 2015

[Puisi] Untukmu, Wanita Jelita

Untukmu, Wanita Jelita


Seperti kali pertama saja aku bertemu dengannya
Wanita jelita, di sudut rumah
Mengatakan bahwa diriku berhati lelaki:
berkemauan keras, dan teguh pada inginnya

Wanita jelita, membawa anak ayam dan bunga
Luluh langkah ke pasar, pada pagi buta
Tanpa mau kutemani


Wanita jelita, telah tua usia
Melirik pada karibnya. ”Bukankah saatnya kita pamit.
Dan duduk di beranda, menunggu cucu berarak datang.
Mungkin lama.”

Wanita jelita, meneteskan air dari mataku pada sayapnya
Bersatu dengan kolam dalam pundi yang dikumpulkannya
Aku tahu kini aku yang mengepak sayap itu
”Sedih. Dia ini sedang sedih,” katamu,
bahkan sebelum aku menjadi larutan

Aku akan membungkus sayap itu, suatu saat
Lalu menemui laut dan melepasnya pada camar
Dan hati lelakiku, akan kupulangkan pada tuannya
Mungkin aku telah bertemu, tanpa tahu

Biar aku yang menggiring anak ayam pulang
Menghela kuda, menertawakan padang
atau menjadi gembala, memberimu kalung dari ilalang, perca jadi pelana
Membagi sudut denganmu, wanita jelita
Menadah hujan untukmu

(Azzura Dayana, 1 April, Jakarta Selatan)




Senin, 16 Maret 2015

[Puisi Dewo] Melepasmu Jakarta

Jadi, sebenarnya ada beberapa puisi yang bisa kita nikmati dalam novel Rengganis Altitude 3088. Selain ada puisi tentang keindahan umum Gunung Argopuro, lalu puisi Fathur tentang eksotika Cikasur, ada juga puisi yang digubah oleh Dewo. Ya, sang ketua pendakian Argopuro ini jago bikin puisi juga. Namun kemudian, disebabkan revisi naskah, maka puisi Dewo yang berada di awal perjalanan mereka meninggalkan Jakarta menuju Jawa Timur tidak jadi ikut dicantumkan ke dalam versi cetak novel yang sudah jadinya.

Nah, ini dia puisi Dewo yang saya maksud. Judulnya, Melepasmu Jakarta

Melepasmu, Jakarta
Kuberi waktu bagimu untuk termangu tanpa aku
Semalaman kita telah bercerita tentang sempitnya lorong-lorongmu
Tentang terlalu benderangnya lampu saat matamu lelah
Gemintang bahkan telah pucat pasi, rembulan merayap pergi

Melepasmu, Jakarta
Kutitipkan sejuta cerita kemarin untuk kaurenda
Mungkin sempat sejenak ikut kujajah hidupmu
Maka akan kubawakan matahari yang terbit bening dari balik gunung
Cerita sejuk yang jauh…, akan kudekatkan ke beratnya matamu
Agar tidurmu lelap, meski hanya sekejap

(—Puisi Dewo)

[Puisi] Cikasur

Jauhnya jalan untuk menjumpaimu, Sur
Padahal kau sekadar anak kecil saja
Lancang sekali menyuruhku bersimbah keringat dan terserang ulat
Jika ternyata begitu aku tiba di hadapanmu kau hanya suguhiku minum
Tapi saat kutatap parasmu yang bersih dan lugu
Anggun, tenang, dan menggembirakan
Yang jauh dari polusi udara kota dengan kata-kata yang lebih belantara
Kuurungkan niat untuk memboyongmu pulang kota
Selayaknya memang kau di sini saja
Berteman sabana dan dijaga sang dewi
Supaya mereka yang berhasil menemuimu hanyalah para terpilih
Bersih jiwa dan mencintamu
Yang rela mencarimu meski engkau diam sembunyi
Oh, Sur... Sur
Wahai Sungai Cikasur
***


Puisi Fathur dalam novel Rengganis: Altitude 3088 by Azzura Dayana

Pemesanan novel ini bertandatangan penulis dan diskon 13%, dapat melalui toko online kami di AzzuraD’shop via sms ke 085367094116. Twitter @AzzuraDshop

Sabtu, 12 Oktober 2013

PAGARUYUNG: Lawatan oleh Negeri yang Runtuh


(by Azzura Dayana - a reposting)



# 1
Adalah senyummu, wahai negeri, ketika kutukar lantunan swarna dwipa yang kuhafal, menjadi tiupan saluang di halaman Istano Pagaruyung, pada purnama tahun sekianku. Sebentar saja, tapi tertanam di bumi hatiku, hingga berdetik hari ini.

Dalam jarak pandang terhadap lumbung besar dari lantai tiga, kulukiskan di langit saujana Batusangkar itu, cerita tentang binar matamu yang serupa kemilau giok souvenir di pasar sebelah Jam Gadang. Katamu, “kalau kaucinta, kembalilah lagi ke Pagaruyung.”


# 2
Adalah tangismu, wahai negeri, ketika lautan merah memberangus istanamu, dalam purnama di tahunku yang berikut. Dan sesumbar tentang tubuh-tubuh pezina gosong yang tertemu sebagai mungkin: penyulut api amuk Tuhanmu, katamu.

Tapi kukirim doa padamu, yang menembus awan-awan hingga tiba ke bentangan jalan Sultan Alam Bagagarsyah yang memerah matanya demi memandang puing kediamannya. Sebab masih kuingat rangkulanmu yang paling hangat demi menghirup angin yang turun dari pucuk Singgalang-Merapi. Janganlah roboh, apalagi mati.

# 3
Adalah perihmu, ketika dalam purnama kesekian lagi kaubawa kabar tentang berguncangnya negerimu—bukan yang pertama—bahkan ketika istanamu belum selesai dibangun kembali. Tubuh-tubuh bukan lagi hangus, tapi menyeruak, tertimbun, terempas, dan lumat. Engkau kehilangan keramaian rakyat beserta sumringah mereka.

Kaudatangi dua negeri demi mengkaji. Lalu kautanya pada pemimpin tanah Putri Kembang Dadar, apakah tanah ini punya genggaman yang serupa engkau: “adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah”?

Di balikmu, kupungut berlarik kabar lain negerimu: tentang ragam perselingkuhan, pemerkosaan, dan penganiayaan yang merayap mulai kota hingga dusun. Telah terbukakah kitab azab? Bukankah pengkhianatan telah membanjiri daratan kami? Timur hingga barat kami, bukankah penuh ukiran kesalahan kami? Apakah kami hanya sedang menunggu giliran?

# 4
Adalah lelahmu, ketika kauajak aku menyeret langkah demi menemui pemimpin tanah Putri Sinar Alam. Kauhunus tanya yang sama padanya sebagai nada putus asa, apakah tanah ini juga punya genggaman yang serupa engkau: “adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah”? Lalu mengapa negeriku tetap terguncang?

Sabda tuan rumah itu, “Kami tak pernah bisa mengukur berapakah taatnya kami. Pun bukan berarti kami bebas dari amukNya. Ia tak pernah khilaf menghukum, kitalah yang selalu salah menghitung.”

# 5
Adalah pahitmu, ketika kaudesah padaku, “Tahukah kau? Kurasa sebelum aku datang kepada keduanya, Tuhan telah mengirim surat yang sama. Jika tidak, tak mungkin mereka menutur jawab yang serupa.”

Lalu kita berdiam dalam nyeri di balik hujan. Matamu bukan lagi serupa kemilau giok Minangkabau, bukan lagi kedamaian pantai Air Maneh. Tapi sedetik menjadi serentak keberanjakanmu.
“Hendak pulangkah, Sultan?” tanyaku. “Bukankah rumahmu telah runtuh?”
“Ya, namun aku masih mengingat kata-kataku sendiri,” katamu sambil menutup dan memeluk kitabullah, “kalau kaucinta, kembalilah lagi ke Pagaruyung.”

***



~Azzura Dayana, 021009~
dalam cinta yang penuh kenangan terhadap Sumatra Barat,
dalam syahda alunan saluang yang dulu kudengar di halaman istana pagaruyung yang kusayangi, dalam belitan pedih yang kini menelikung ranah ramah dan elok itu, semoga Allah mengalirkan air sungai-sungai kekuatan dan pengampunan untuk mereka, untuk kita…

catatan:
- Sultan Alam Bagagarsyah: salah satu raja yang pernah memimpin Kerajaan Pagaruyung di Minangkabau, nama beliau kemudian dijadikan nama jalan tempat Istana Pagayurung berdiri sekarang di Batusangkar, Kabupaten Tanah Datar, Sumatra Barat. Istana ini mengalami kebakaran dahsyat di tahun 2007 lalu dan ikut diguncang gempa baru-baru ini.
- Putri Kembang Dadar: salah satu nama putri raja yang sangat legendaris di Palembang.
- Putri Sinar Alam: nama seorang putri raja di zaman dahulu dari Keratuan Pugung, provinsi Lampung




Minggu, 30 Juni 2013

Sindoro: Sajak Bunga Sajak Hati


Dari Senduro mencium bunga senduro
Dari Boyolali hingga puncak Sindoro memetik aroma bunga sindoro
Sepertinya mereka bunga yang sama meski di tempat berbeda
Namun yang kuhirau di jiwa tentu hanya tentang indahnya
Bahwa langkah ini begitu asing bila bukan bersama kalian

Di sepanjang Krendegan Sumbing hingga hutan lamtoro Sindoro
Beginilah yang terbetik bersama luruhnya gerimis atau serbuan terik
Bahwa makna perjalanan ini adalah menemukan kembali hati
Membungkam mati rasa, menyalakan cita rasa
Yang kerap diterbangkan debu-debu kota

Inilah yang kita lihat: Hamparan bunga di lereng hingga tebing kawah
Edelweiss, cantigi, hingga kuntum-kuntum sindoro
Matahari terbit keemasan melunturkan malam
Lautan awan yang mengantar kita ke atas negeri dongeng
Inilah cita-cita kita sejak berjalan dari bawah

Hilang semua lelah dan penat
Sirna semua sakit dan cemas
Berganti senyum dan syukur

Jatuh lutut di tanah puncak, bertekuk
Jatuh air dari kelopak mata, bersimbah lega
Di sinilah bahagia pendakian dirasa

Sejauh ini kita berjalan
Seberat ini kita memanjat
Setinggi ini kita sampai
Seluas ini kita melihat

Sekali lagi kita tiba di salah satu tanah tinggi yang dicipta-Nya
Satu lagi kita alami serangkai kisah berharga anak manusia
Pahamlah aku pada makna tangis di puncak
Atau sekembali lagi ke titik awal pendakian
Saat hanya Dia dan hati yang mengerti


Sabtu, 29 Juni 2013

Ke Mana Ibuku Pergi di Bawah Hujan*

(by Azzura Dayana)

Aku berbagi sosoknya bersamamu, di bawah selimut malam
yang pernah kita gelar bersama
disaksikan sejuta bintang, seribu kunang, sepuluh bayang

Lalu hujan beranjak dari tempatnya dilahirkan
melipir mendekat
dan menculik angan selaksa kita
menyiram kekuatan 
menjadi kelumpuhan
serupa luka disiram cuka

Sempat kubagi sosoknya bersamamu, bulan
dan ucapmu ia terbaik yang kupunya
layak kujaga seperti malam yang kaukawal

Tetapi berangsur secepat itu masa adamu
engkaupun tertutup hujan hingga tiadamu
seiring hilangnya sosok itu

Ke mana ia pergi di bawah nyanyian parau hujan ini
benarkah ia
tak percaya payungku, tak yakini selimutku
anak kecil tanpa rumah

Ataukah hujan memang telah sesumbarkan
janji manis sejuta bunga
menggantikan dahanku yang rapuh
burung kecil tanpa paruh

----

Hujan Kotaku, 17 Desember 2012
*untuk Ri putra kecil tanpa ibunya



photo from deviantart.com


















Jumat, 14 Juni 2013

Puisi: Untuk Dempo

lagi-lagi menemukan sifat kalian dalam tiap satu meter langkah
siapa sesungguhnya yang menjaga lereng ini selain macan kumbang
aku tak melihat keganasannya membuatmu takut
untuk tidak berlaku gagal sebagai pendaki

lagi-lagi mataku menangkap satu per satu peninggalan
di air yang menjadi sumber hidup mereka yang berjalan lurus
pemandian putri yang hilang keangkerannya
untuk sekadar menggagalkan nyali kalian wahai tamu

siapa sesungguhnya yang memeluk lembah ini selain macan putih
selain puyang-puyang yang tinggal nama
selain batu gajah yang menyejarah di mata mereka yang berjalan lurus
selain putri berselendang yang menghuni tempat mandi

apa yang kalian buang dalam tiap satu meter di reranting ini
adalah bau menyengat yang mengudarakan sifatmu
adalah yang tak terurai lekang oleh kejaran waktu
menjadi air mata mereka yang menjaganya
bahkan sejak engkau belum menjejak bumi

tiap yang tertinggal olehmu adalah sampah atau berkah
yang tergapai tanganmu adalah amanah
sebab merasalah sebagai rumah bila hatimu tertanam
terasalah sebagai tanah agar engkau merendah


 by Azzura Dayana

Mt. Dempo, captured by Azzura Dayana

Kamis, 06 Desember 2012

Sajak Kalimati


Ini upaya air mencari muaranya
Atau usaha beburung temukan reranting tempat hinggap
Pada dingin magis bantaran kali
yang tinggal nama lalu semayam di bahu Mahameru

Maka ini jejak langkah pendaki bersajak
Yang tinggalkan rumah demi temui kabutmu
Demi menggerut benalu dari batang liar sepadang
Redakan sesak pada napas
Bekas polusi kota

Ini upaya air yang menuruni puncak
Atau aksi beburung tanggalkan sayap
Lalu rayapi tanah galur-galur Kalimati
Injaki rongga-rongga keangkuhan pribadi

Di hadapan-Nya ini, meninggikan tekad di kerendahan diri
Di bahu gunung ini, merendahkan hati di ketinggian
Satu mimpi demi satu mimpi
Iringi langkah kami, Kalimati


~Azzura Dayana
5 Desember 2012, 22 : 34 WIB




Rabu, 05 Desember 2012

Puisi MAHAMERU


: untuk Mahameru

Meski banyak bunga tertebar di dunia
Tapi bunga kita adalah bunga yang sama: Edelweiss
Jatuh cinta kita tak tersekap waktu

Meski selaksa langkah memacuku menempuh peradaban
Tapi kejernihan tetap di hati Ranu Kumbolo
Tetap pada telinga Ranu Pane
Bersama ikan-ikan kedinginan dan kaki-kaki kepayahan

Jangan menatap ragu pada mata hatiku
Jangan muram dalam dinginmu yang berangsur pudar
Tak kan kubiar semua yang datang menanam luka
Aku yang akan menjagamu

Mahameru
Bertahanlah dengan pinus-pinus dan cemaramu
Simpan tajam mata macan, beruang, dan ular sabanamu
Alirkan pelepas dahaga sepanjang napas melintasimu
Kepada langkah yang teramat cermat hanya bagimu

Aku adalah mata yang teramat sanjung pada agungmu
Tanganku melipur cemas dan menjaga anggunmu
Bicaraku adalah kedekatan bagi diammu
Engkau dan aku sama-sama tahu
Selalu sebijak itu kucinta padamu

***

~a poem by Azzura Dayana
seolah memerankan Raja Ikhsan, ketika menuliskan puisi ini ;-)

~tuk semua pecinta Mahameru, semoga jadi pecinta alam sejati yg takjub pd Penciptanya