Social Icons

Pages

Azzura Dayana

Azzura Dayana

Senin, 03 September 2012

Setelah Mereka Membaca Tahta Mahameru.... :-)

***




Gembira rasanya, karena Tahta Mahameru berbeda dari novel-novel saya sebelumnya, maka berbeda pula reaksinya. Dari sejumlah tulisan yang pernah saya hasilkan, jujur saya akui bahwa Tahta Mahameru adalah karya yang paling menyenangkan bagi saya. Menyenangkan di sini karena banyak hal: (1) karena saya menceritakan jejak-jejak traveling saya sendiri ke Tanjung Bira dan Mahameru (ditambah konflik fiktif antara tokoh-tokoh fiktif pula, yaitu Ikhsan-Faras-Mareta); (2) karena saya menuliskannya dengan gembira, mudah, dan cepat (total 2 bulan) dan hanya dihinggapi satu kali bad mood; (3) selalu disertai sisa-sisa kesan perjalanan yang sepertinya akan abadi di benak saya (dan menjadi lebih terabadikan lewat novel ini).

Dan pamungkasnya, (4) adalah karena pembaca novel saya yag satu ini benar-benar heterogen. Sejak di awal menuliskan novel ini sih sebenarnya saya sendiri juga tidak khawatir sama sekali bahwa pembaca saya hanya terbatas pada kalangan pendaki saja. Saya malah yakin pembaca saya nantinya akan lebih banyak yang berasal dari kalangan umum seperti mahasiswa, pelajar, ibu rumah tangga, pegawai kantoran, dan sebagainya yang memang menyukai aktivitas baca buku, termasuk ratusan pembaca novel-novel saya sebelumnya yang di antaranya selalu bertanya-tanya kapan novel baru saya terbit lagi. Fyi, novel terakhir saya sebelum Tahta Mahameru terbit tahun 2009. Jadi, cukup lama vakum, kan?

Ketika buku ini selesai dicetak oleh Republika (ini adalah debut pertama pencetak harian umum bernama Republika ini menerbitkan buku-buku. Jadi, Republika dan Republika Penerbit itu berbeda, lho), Tahta Mahameru mulai masuk ke pasar buku. Kabar-kabar datang dengan cepat dari para pembaca kepada saya, baik via Facebook, e-mail, Twitter, sms, Goodreads, Mp, Bs, Wp, Republika Online, dan sebagainya, maupun laporan-laporan tidak langsung. 

Sungguh, ternyata inilah kalangan yang menjadi pembaca Tahta Mahameru: mahasiswa, pelajar, penulis, pegawai kantoran, ibu-ibu rumah tangga, muslim, non-muslim, perempuan dengan berbagai model rambut, perempuan berkerudung, pria berpenampilan rapi, pria berambut gondrong, pria merokok, orang yang tidak pernah atau jarang jalan-jalan, maniak jalan-jalan alias traveler sejati, pecinta alam, pendaki tulen alias setan gunung, pecinta buku; sampai mereka yang seumur hidup tidak pernah menyukai novel apalagi membacanya, akan tetapi Tahta Mahameru sanggup mereka tuntaskan karena segunung keingintahuan, dan menjadi novel pertama yang mereka tamatkan.

Kepada semua orang-orang ini, para pembaca saya, yang pernah bertemu dan berkumpul dengan saya, maupun yang belum pernah saling kenal sama sekali, saya ucapkan berjuta-juta terima kasih atas apresiasi kawan-kawan semua... #menjura. Kalian membuat saya bahagia sekaligus terharu. Kesan, pesan, saran, pendapat, dan kritik dari teman-teman semua adalah penyambung-hidup Tahta Mahameru ini.

Saya yakin pembaca adalah partner cerdas sepanjang masa. Mereka sanggup menemukan berbagai kesalahan di buku ini :) yang mudah-mudahan bisa diperbaiki penerbit di cetakan berikutnya. Untuk beragam ketidaknyamanan yang tertemukan itu, saya memohon maaf. Ada pembaca yang shock karena perubahan ukuran font di halaman 229-230, juga 275-280 bagian atas, dan 320-324. Lalu inkonsistensi keberadaan cetak tebal pada beberapa e-mail awal Ikhsan di halaman 199-200, perubahan tanda (‘) menjadi (>) di halaman 190, 191, 303. Sementara, beberapa kesalahan ketik kata-kata yang ada di novel ini adalah jelas-jelas kesalahan saya sebagai penulisnya.

Usai pembaca menamatkan novel ini, banyak yang mengaku terobsesi untuk menapak Semeru alias Mahameru, dengan salah satu surganya itu, yaitu Ranu Kumbolo. Mereka yang belum pernah berkunjung ke sana atau baru mendengar saja. Ada yang yakin bisa, ada yang tidak yakin. Tapi saya katakan, beranilah saja bermimpi. “Saya dulu juga begitu,” kata saya. Dulu saya mengimpikan kapan bisa ke Semeru dan melihat langsung Ranu Kumbolo, setelah banyak membaca tentang tempat itu. Saya tanam mimpi itu. Sampai saya sadar bahwa ternyata akhirnya Allah memberikan jalan dengan sendirinya, berkat keberanian bermimpi itu. Akhirnya impian itu tercapai. Juga mimpi saya ke Tanjung Bira yang telah ada di benak saya sejak kelas 4 SD, yang akhirnya juga tercapai lama kemudian.

Pun, banyak pembaca Tahta Mahameru yang kemudian ‘bercita-cita’ menjadi backpacker yang menjelajahi sudut-sudut negeri, setelah mengikuti penjalanan Ikhsan dan Mareta dari tempat ke tempat. Juga karena deskripsi saya tentang eksotika Tanjung Bira: pantai-pantai aduhai, kemegahan kapal Pinisi, kegagahan para pelaut Bugis, serta rumah adat Suku Bugis yang unik dengan tangga beratap. Memang, Tanjung Bira hanyalah satu dari sekian banyak pesona alam dan budaya yang dimiliki Indonesia. Inilah inspirasi yang tak akan pernah habis untuk kita nikmati, hayati, dan manfaatkan.

Jangan berkecil hati jika kita merasa berkekurangan untuk mencapai tempat-tempat lain selain yang kita pijak. Kita tidak akan tahu banyak kalau kita tidak bergerak. Kemarin saya menonton Kick Andy Hope di Metro TV, dan salah satu tokoh inspiratif yang diceritakan di sana adalah seorang lelaki berkaki satu yang berhasil mendaki gunung-gunung tinggi di negeri ini, plus gunung-gunung es yang menjadi atap dunia di mancanegara sana. Betapa spekta! Padahal ya, kita-kita yang juga memiliki kekurangan—tapi kekurangannya itu sebenarnya jauh lebih sederhana daripada lelaki itu—yaitu kekurangan uang alias dana cekak, sudah begitu berbahagianya saat berhasil naik gunung atau berpackpacking ria ke pelosok-pelosok dengan berbagai cara. Iya, kan? Kita rela naik kereta api ekonomi, berdiri di atas jip berjam-jam, menumpangi truk bak terbuka, atau jalan kaki sekian kilometer (eh, saya jadi kangen momen-momen seperti ini bersama teman-teman backpacker:)). Tuhan telah menjamin kekuatan kaki kita, bukan?

Jadi begitulah. Mari terus bersemangat menjadi dan mencari apa saja yang kita minati, selama hal itu positif. Sekali lagi, terima kasih atas persahabatan ini. Seperti Faras yang ingin bersahabat dengan siapa saja :). Terima kasih pula bagi teman-teman yang nge-fans sama tokoh Ikhsan (padahal doi sinis yak), lalu yang nge-fans sama Mareta dengan gaya cueknya (sebenarnya banyak persamaan sih antara saya dan Mareta: sama-sama suka jalan, males makan kalau lagi jalan, sulit baca buku kalau lagi jalan, kadang-kadang merencana trip hanya bermodal insting dan peta, ngomong lu-gue juga walaupun kalau saya hanya pada teman-teman tertentu yang juga selalu ber-elu-gue); dan para fans-nya Faras, yang sampai-sampai mereka bilang kalau nanti mau ke Semeru mereka pengen mampir ke warungnya Faras di Ranu Pane, hehehe. Persamaan saya dan Faras juga ada, yaitu kami sama-sama pakai jilbab. Tapi saya belum sanggup mendaki pakai rok seperti Faras. Sebenarnya, tokoh Faras yang mendaki pakai rok ini terinspirasi dari seorang gadis berjilbab panjang dan rok panjang yang berpapasan dengan saya di trek gunung pasir menuju puncak Mahameru. Pikir saya, keren banget ini cewek. Tangguh. Suatu hari nanti, pengen deh saya mendaki pakai rok juga. Hoho.

Sekali lagi, makasih ya, teman-teman pembaca Tahta Mahameru :-). I love you all.

 **



Nb: sambil menulis bab-bab awal novel terbaru. Doakan ya, teman-teman.

4 komentar:

  1. Halo mba Yana..
    Saya kartika. Saya ingin sekali punya buku mba Yana yg ini..
    Saya cari tp sudah tidak ada dan out of stock semua. Kira2 dimana saya bs dpt buku mba yg ini ?
    Trima kasih mba sebelumnya :)

    BalasHapus
  2. Bisa dipesan ke AzzuraDshop via sms 085788420516 yaa :)

    BalasHapus
  3. Salam kenal mba... saya baru baca buku altitude 3676. bagus untuk konfliknya.....

    BalasHapus
  4. mba, harga bukunya berapa ya? saya baru baca setengah, minjem dari temen. tp sy tertarik bgt... :)

    BalasHapus