Social Icons

Pages

Azzura Dayana

Azzura Dayana

Senin, 28 Oktober 2013

Exploring Malacca, West Malaysia

Melaka (Malacca) adalah sebuah kota di pesisir barat dataran Malaysia, terpisah oleh perairan Selat Melaka dari dataran Sumatera bagian utara (Indonesia). Kota yang pernah dijajah Portugis dan Belanda ini sangat menarik untuk dikunjungi, terbukti dengan telah ditetapkannya Melaka sebagai salah satu World Heritage Site oleh UNESCO pada 7 Juli 2008. 

Saat saya tiba di kota ini sore hari dan mencoba melihat-lihat suasana ba'da Maghrib, pemandangan Sungai Melaka inilah yang saya temukan. Sungai kecil dan tidak begitu lebar, namun berhasil diefektifkan sedemikian rupa sehingga sangat diminati oleh para turis. Bahkan dibuat tur khusus untuk para turis yang ingin menyusuri sungai ini dengan perahu wisata.

Salah satu sisi Sungai Melaka

Dari atas sebuah jembatan. Memang terdapat banyak jembatan di sungai ini.

Siang hari di sisi lain Sungai Melaka

Taman Bermain di tepi Sungai Melaka

Selat Melaka. Akhir dari Sungai Melaka. Akan tetapi perahu tur Sungai Melaka tidak mencapai tempat ini.
 Perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki menyusuri sebuah jalan yang paling terkenal di Melaka, yaitu Jonker Street. Kawasan ini ramai di waktu malam, terutama weekend.

Jonker Street - Jonker Walk

Jonker Street

Bangunan-bangunan yang kental nuansa etniknya di sepanjang Jonker

Bangunan-bangunan yang kental nuansa etniknya di sepanjang Jonker
Malaqa House: Muzium Melaka

Muzium Budaya Cheng Ho



menemukan terminal bus ini juga sewaktu jalan-jalan ke sana kemari :)

juga diorama ini... tentang Kesultanan Melaka

Dan ini adalah Istana Kesultanan Melaka. Tidak sempat masuk dan memotret lebih leluasa
istana yang sangat panjang dan elok ini

Replika Kapal Portugis yang terdampar di Melaka

Bekas Gereja Saint Paul, terletak di atas bukit.
(Btw, di sinilah scene semifinal MasterChef Indonesia season 3 berlangsung :))

Patung Saint Paul, terletak di muka bangunan bekas gereja ini

Benteng A'Famosa, mungil dan unik. Terletak di belakang Saint Paul
dan di dekat Istana Kesultanan Melaka

Pemandangan dari atas bukit Saint Paul. Tampak Menara Taming Sari,
Kapal Portugis, dan perairan Selat Melaka
Kembali ke Melaka di waktu malam. Saya menyebutnya Kota Merah, karena banyak sekali
bangunan-bangunan yang seperti ini di waktu malam. Berhiaskan lampu-lampu bercahaya merah.



Senin, 21 Oktober 2013

Catatan Ekspedisi Pendakian Gunung Gede (2.958 mdpl)


Edelweiss menghampar sepadang, sejauh mata memandang
Burung-burung kedinginan, purnama di balik punggungan
Jelang matahari datang, kita menyusul kaki-kaki ke puncak
Bertopang cantigi, menatap kawah dalam lega menyesak
Tak setiap hari kita bisa di sini
Nanti, di kota, semua tak sama lagi


Inilah dia, sang 'Gunung Sejuta Umat’. Gunung aktif berketinggian 2.958 meter di atas permukaan laut ini terletak di kawasan Taman Nasional Gede-Pangrango yang beririsan di tiga wilayah, yaitu Bogor, Cianjur, dan Sukabumi. Pintu masuk pendakian ke gunung ini pun ada tiga, yaitu di Cibodas dan Gunung Putri (Cipanas), dan Selabintana (Sukabumi). Konon, Cibodas adalah jalur terpopular namun lebih panjang, Gunung Putri adalah jalur yang lebih pendek dari jalur Cibodas namun terjal menukik, dan Selabintana adalah jalur singkat namun paling rimba dan masih jarang diambil pendaki.

Sumber: internet


Tim kami memilih dua jalur yang berbeda untuk pulang pergi dalam pendakian kali ini. Naik via Gunung Putri dan turun via Cibodas. Pukul 12 malam saya dan rekan-rekan berangkat dari Kampung Rambutan untuk kemudian menyusuri jalur Puncak hingga tiba di Cipanas. Istana Kepresidenan di Cipanas tampak sepi di bawah cahaya lampu yang menerangi malam. Kendaraan kemudian berbelok memasuki jalan di sebelah kanan menuju kawasan Gunung Putri. Kami tiba di tempat tujuan sekitar pukul 3.00 fajar. Di sini dingin sudah terasa amat menggigit. Rencana ingin menyempatkan tidur sebentar pun hanya tinggal rencana. Tubuh menolak keinginan itu, mungkin tersebab dingin ekstrem yang mendadak itu dan juga karena jam tidur normal saya sudah telanjur lewat.

Selepas shalat subuh di mushala sambil terus menggigil, kami bersiap berangkat. Pukul 06.00 setelah sarapan, kami mulai meninggalkan desa menuju GPO, pos pelaporan pendakian. Saat kami tiba, pos itu masih tutup. Kami dan rombongan pendaki lain memanfaatkan waktu menunggu dengan mengobrol dan berfoto-foto. Kebetulan pemandangan di sekitar tempat itu masih sangat alami.

Pukul 06.30, pos dibuka. Perizinan selesai dengan cepat. Pendakian dimulai. Saya mulai merasakan proses aklimatisasi yang nyaris memberatkan saya dalam sekitar lima belas menit awal pendakian. Sesak di dada saat bernapas. Namun kemudian dengan menyelaraskan ritme langkah, lama-kelamaan sesak itu hilang. Dan semuanya terasa normal.

Oh, begini rupanya Jalur Gunung Putri ini. Belokannya tidak banyak, nyaris lurus-lurus saja treknya. Menanjak terus walaupun tidak terlalu menukik. Tidak sampai lutut bertemu wajah. Tapi ya karena terus menanjak, terasa monoton dan capek juga. Jangankan di beberapa shelter yang berupa bangunan petak beratap, di sembarang tempat saja kami sering berhenti meski hanya beberapa menit saja.

Saya terus menyelaraskan ritme langkah, dengan kecepatan yang sama. Berjam-jam berjalan, dan medan makin menanjak. Sementara sengatan matahari mulai mengganas. Di ketinggian begini, sengatan matahari terasa lebih dekat dan pastinya lebih cepat menggosongkan kulit. Saya mulai semakin sering berhenti untuk mengambil napas. Berjalan lagi beberapa meter, berhenti lagi untuk menarik napas. Begitu seterusnya. Tidak ada bonus alias trek landai, teman. Teman-teman yang sudah pernah ke Gunung Gede sebelumnya menyemangati dengan iming-iming cerita tentang Padang Suryakencana yang indah dipenuhi bunga edelweiss.






Surken: Surganya Gunung Gede

Jam dua belas siang itu, jalur berubah datar. Kami sudah siap menyambutnya sejak teman-teman yang berada di depan meneriakkan “bonus”. Jalan setapak yang panjaaang itu kami telusuri dengan ngebut dan bahagia. Di ujung jalan datar ialah Surken, alias Suryakencana.

Kemudian berakhirlah hutan yang kami lewati. Dataran terbuka menyambut kami. Seruan kegembiraan saling bersahutan. Inilah Padang Suryakencana yang fenomenal itu. Subhanallah.

Jam 12.30 saat itu. Sebagian besar tim telah tiba di tepian timur Surken ini. Sambil menunggu beberapa yang masih di belakang, saya tiduran bersandarkan ransel. Teman yang membawa logistik belum tiba. Alhasil kami belum bisa memasak.

Satu jam menunggu, yang ditunggu belum muncul juga. Ada satu teman lagi yang belum tampak, dan dia menjabat sebagai sweeper. Kami jadi menyimpulkan bahwa dua orang ini masih ketinggalan jauh di belakang, disebabkan karena satu hal. Dikarenakan dua orang ini adalah pendaki yang sudah hafal medan Gunung gede, akhirnya tim memutuskan untuk melanjutkan perjalanan melintasi Surken dan mencari lokasi kemping.





Kami menyusuri padang yang luasnya konon mencapai 50 hektare dan berada di ketinggian 2.750 meter di atas permukaan laut ini. Rerimbunan bunga-bunga edelweiss ada di mana-mana. Betapa indahnya. Dan betapa dingin udara yang kami rasakan. Padahal ini masih tengah hari. Rombongan tim lain entah berada di titik mana. Mungkin belum tiba, atau sudah jauh di depan kami. Yang pasti, tak kelihatan. Hanya edelweiss, punggungan gunung, dan langit yang kami lihat. Dan tentunya Tuhan yang mengawasi makhluk-makhluk petualang ini.
Tim sudah menentukan titik kemping yang pas. Tenda-tenda mulai didirikan. Bayangkan, tenda-tenda ini berdiri di antara rerimbunan edelweiss. Kami tidur di antara edelweiss. Kapan lagiii? Hehehe. Nun jauh di hadapan kami, sekelompok pendaki asing berambut pirang juga sedang sibuk mendirikan tenda. kecil sekali mereka terlihat dari sini. Maklum, lokasi tim kami dan bule-bule itu dipisahkan oleh sebuah lembah, dan kami berada di dua lerengnya yang saling berhadapan. Di kerendahan lembah itulah, semakin ke arah kiri, terdapat mata air jernih yang menjadi sumber kehidupan para pendaki Gunung Gede. Tenda-tenda pendaki lebih banyak di dirikan di sekitar mata air ini.
Dua teman kami yang lama tak muncul itu akhirnya tiba ketika sore hampir berakhir. Rupanya sang sweeper yang sejak awal sedang dalam keadaan tidak fit. Dan semakin terasa tidak fit ketika dibawa mendaki. Teman satunya, yakni si pembawa logistik ini menemaninya dan menunggui si sakit ini tidur cukup lama. Setelah bangun dan merasa lebih baik, barulah mereka berjalan lagi. 




Malam di Suryakencana

Dinginnya suhu di Suryakencana benar-benar tak terkatakan. Amat sangat dingin, sedingin-dinginnya. Gelap mulai menyita suasana. Acara memasak baru bisa dimulai, setelah tadinya perut kami hanya bisa diganjal dengan makanan lain. Kami berbagi tugas. Ada yang memasak, dan ada yang menyenteri. Begitu masakan selesai, langsung diserbu tanpa ba-bi-bu.

Usai makan dan shalat, rembulan purnama bertengger anggun di atas puncak Gunung Gemuruh (2.929 mdpl) yang berada hadapan kami (sementara puncak Gunung Gede ada di belakang kami). Sayang, kami tak bisa berlama-lama menatap keindahan purnama itu, sebab suhu semakin ekstrem saja dinginnya. Jaket berlapis dan sarung tangan bahkan tidak cukup untuk mendamaikan kegigilan. Akhirnya membenamkan diri di dalam sleeping bag adalah opsi terakhir yang mesti dipilih.




Summit Attack

Subuh-subuh kami bangun dan shalat. Sebenarnya saya nyaris tak bisa tidur semalaman karena suhu yang luar biasa dingin itu. untunglah badan tidak lantas menjadi sempoyongan.
Tenda dibongkar. Lalu packing. Ransel kembali dipanggul. Kaki-kaki dipaksakan melangkah lagi menyusuri ujung Suryakencana, untuk kemudian mendaki punggung puncak Gunung Gede yang berada di belakang tenda kami yang telah dibongkar. Dingin masih menggulung. Mendung membersamai. Tampaknya tak ada sunrise yang indah pagi ini…
Hufftt… semakin lumayaaaan pendakian ke puncak gunung ini. Lebih menanjak daripada trek Gunung Putri, serta lebih terjal dan sangat sempit. Berkali-kali kami harus berhenti dan saling menyemangati. Batang-batang cantigi yang kuat menopang tenaga kami untuk terus menggapai puncak.
Alhamdulillah, sekitar satu jam kemudian kami tiba di puncak. Sunrise telah lewat. Dan mendung itu rupanya memang tak menghadirkan sunrise spektakuler. Di tanah puncak, rerimbunan cantigi lebih banyak lagi dan lebih rimbun. Beberapa tim pendaki rupanya ada juga yang mendirikan tenda di antara rerimbunan batang tumbuhan yang kuat itu.
Dan inilah… kawah aktif Gunung Gede yang luas. Bau belerangnya semakin menyengat seiring semakin terangnya hari. Pemandangan yang luar biasa. Permukiman tampak kecil di beberapa titik di bawah sana. puncak Gunung Pangrango yang hijau dan sedikit lebih tinggi altitude-nya berada persis di hadapan (3.019 mdpl). Gunung yang sudah tidak aktif itu puncaknya dipenuhi pepohonan. Dan nun jauh di sebelah barat sana, tampak Gunung Salak yang samar-samar.
Teman-teman mengeluarkan nesting dan memasak air, lalu menyeduh kopi ditemani roti basah. Sesi foto-foto berlangsung sebelum dan sesudah acara sarapan tersebut. Kami pun sempat berfoto bersama para pendaki asing di puncak dan berbincang-bincang dengan mereka. Salah satu pendaki wanitanya yang saya ajak berbincang mengaku berasal dari Belgia. Dan dia sungguh terkesan dengan pendakian ke Gunung Gede ini.






Terima kasih Ya Allah, karena telah memberikan kepada saya kesempatan untuk menjejakkan kaki di salah satu tanah tinggi-Mu ini bersama teman-teman. 

***


Turun Gunung

Setelah cukup puas menikmati suasana puncak, kami mulai bersiap turun gunung, via jalur Cibodas. Jalur ini konon adalah jalan terpanjang pendakian Gunung Gede. Jalurnya tidak terlalu menanjak, kecuali sebuah tanjakan yang tenar dengan kesangarannya, yaitu Tanjakan Setan (sebuah tanjakan yang sangat curam dan tinggi, dan telah disediakan tambang di trek tersebut untuk membantu pendaki naik dan turun). Pukul 10 pagi itu kami mulai menyusuri jalur tinggi ke arah barat, di mana Puncak Pangrango persis berada di depan hidung kita, sehingga seolah-olah kita berjalan menuju gunung yang gagah menjulang itu. 
Lalu mulai masuk ke hutan yang tidak begitu basah, cukup kering malah, sehingga tidak membuat kotor sepatu. Singkat cerita, perjalanan turun ini berlangsung cukup lancar dan menyenangkan (setelah melewati Tanjakan Setan, tentunya :-)). Setiba di pos Kandang Badak kami beristirahat cukup lama. Shalat, masak, makan, dan beberapa menyempatkan tiduran di terpal. Perjalanan dilanjutkan kembali, melewati trek air panas. Beuuhh, mantaaapnya trek ini. Kita mesti sangat berhati-hati meniti bebatuan di antara kepulan air panas yang menutupi separuh pandangan, sementara di samping kita ada jurang. Beberapa pendaki sengaja mandi di tempat tersebut. 
Memang sangat berbeda jalur Cibodas ini jika dibandingkan dengan jalur Gunung Putri. Di sini jalurnya tidak begitu ekstrem, dan banyak spot-spot menarik yang bisa disambangi, di antaranya adalah Telaga Biru (sebuah telaga kecil di antara rerimbunan hutan, yang ketika saya mampir airnya memang tampak agak kebiruan), air terjun Cibereum yang tinggi dan alami beserta dua air terjun lainnya di sekitar kawasan tersebut, juga jembatan yang membentang sepanjang kira-kira 250 meter melintasi Rawa Gayonggong. Sambil melewati jembatan ini kita bisa menikmati keindahan vegetasi dan atraksi alami fauna seperti monyet dan burung.
Akhir jalur ini adalah pintu masuk Cibodas, yang terletak di kawasan Taman Nasional Cibodas (1.250 mdpl), Jawa Barat. Alhamdulillah... pendakian kami berakhir sukses.



Sabtu, 12 Oktober 2013

PAGARUYUNG: Lawatan oleh Negeri yang Runtuh


(by Azzura Dayana - a reposting)



# 1
Adalah senyummu, wahai negeri, ketika kutukar lantunan swarna dwipa yang kuhafal, menjadi tiupan saluang di halaman Istano Pagaruyung, pada purnama tahun sekianku. Sebentar saja, tapi tertanam di bumi hatiku, hingga berdetik hari ini.

Dalam jarak pandang terhadap lumbung besar dari lantai tiga, kulukiskan di langit saujana Batusangkar itu, cerita tentang binar matamu yang serupa kemilau giok souvenir di pasar sebelah Jam Gadang. Katamu, “kalau kaucinta, kembalilah lagi ke Pagaruyung.”


# 2
Adalah tangismu, wahai negeri, ketika lautan merah memberangus istanamu, dalam purnama di tahunku yang berikut. Dan sesumbar tentang tubuh-tubuh pezina gosong yang tertemu sebagai mungkin: penyulut api amuk Tuhanmu, katamu.

Tapi kukirim doa padamu, yang menembus awan-awan hingga tiba ke bentangan jalan Sultan Alam Bagagarsyah yang memerah matanya demi memandang puing kediamannya. Sebab masih kuingat rangkulanmu yang paling hangat demi menghirup angin yang turun dari pucuk Singgalang-Merapi. Janganlah roboh, apalagi mati.

# 3
Adalah perihmu, ketika dalam purnama kesekian lagi kaubawa kabar tentang berguncangnya negerimu—bukan yang pertama—bahkan ketika istanamu belum selesai dibangun kembali. Tubuh-tubuh bukan lagi hangus, tapi menyeruak, tertimbun, terempas, dan lumat. Engkau kehilangan keramaian rakyat beserta sumringah mereka.

Kaudatangi dua negeri demi mengkaji. Lalu kautanya pada pemimpin tanah Putri Kembang Dadar, apakah tanah ini punya genggaman yang serupa engkau: “adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah”?

Di balikmu, kupungut berlarik kabar lain negerimu: tentang ragam perselingkuhan, pemerkosaan, dan penganiayaan yang merayap mulai kota hingga dusun. Telah terbukakah kitab azab? Bukankah pengkhianatan telah membanjiri daratan kami? Timur hingga barat kami, bukankah penuh ukiran kesalahan kami? Apakah kami hanya sedang menunggu giliran?

# 4
Adalah lelahmu, ketika kauajak aku menyeret langkah demi menemui pemimpin tanah Putri Sinar Alam. Kauhunus tanya yang sama padanya sebagai nada putus asa, apakah tanah ini juga punya genggaman yang serupa engkau: “adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah”? Lalu mengapa negeriku tetap terguncang?

Sabda tuan rumah itu, “Kami tak pernah bisa mengukur berapakah taatnya kami. Pun bukan berarti kami bebas dari amukNya. Ia tak pernah khilaf menghukum, kitalah yang selalu salah menghitung.”

# 5
Adalah pahitmu, ketika kaudesah padaku, “Tahukah kau? Kurasa sebelum aku datang kepada keduanya, Tuhan telah mengirim surat yang sama. Jika tidak, tak mungkin mereka menutur jawab yang serupa.”

Lalu kita berdiam dalam nyeri di balik hujan. Matamu bukan lagi serupa kemilau giok Minangkabau, bukan lagi kedamaian pantai Air Maneh. Tapi sedetik menjadi serentak keberanjakanmu.
“Hendak pulangkah, Sultan?” tanyaku. “Bukankah rumahmu telah runtuh?”
“Ya, namun aku masih mengingat kata-kataku sendiri,” katamu sambil menutup dan memeluk kitabullah, “kalau kaucinta, kembalilah lagi ke Pagaruyung.”

***



~Azzura Dayana, 021009~
dalam cinta yang penuh kenangan terhadap Sumatra Barat,
dalam syahda alunan saluang yang dulu kudengar di halaman istana pagaruyung yang kusayangi, dalam belitan pedih yang kini menelikung ranah ramah dan elok itu, semoga Allah mengalirkan air sungai-sungai kekuatan dan pengampunan untuk mereka, untuk kita…

catatan:
- Sultan Alam Bagagarsyah: salah satu raja yang pernah memimpin Kerajaan Pagaruyung di Minangkabau, nama beliau kemudian dijadikan nama jalan tempat Istana Pagayurung berdiri sekarang di Batusangkar, Kabupaten Tanah Datar, Sumatra Barat. Istana ini mengalami kebakaran dahsyat di tahun 2007 lalu dan ikut diguncang gempa baru-baru ini.
- Putri Kembang Dadar: salah satu nama putri raja yang sangat legendaris di Palembang.
- Putri Sinar Alam: nama seorang putri raja di zaman dahulu dari Keratuan Pugung, provinsi Lampung




Selasa, 08 Oktober 2013

Lomba Menulis Resensi Buku INDIVA 2013

Suka membaca buku? Mengapa tak mencoba menjadi pembaca kritis nan cerdas? Yuk, ikuti lomba berhadiah total jutaan rupiah ini!
Lomba Menulis Resensi Buku Indiva 2013

Buku yang dilombakan adalah sebagai berikut:

FIKSI
Da Conspiracao, Sebuah Konspirasi (Afifah Afra)
Rinai (Sinta Yudisia)
Jasmine, Cinta yang Menyembuhkan Luka (Riawani Elyta)
A Cup of Tarapuccino: Secangkir Cinta, Rindu dan Harapan (Riawani Elyta)
3 Anak Badung (Boim Lebon)
My Avilla (Ifa Avianty)
Altitude 3676 Takhta Mahameru (Azzura Dayana)
Cinta yang Membawaku Pulang (Agung F. Aziz)

NON FIKSI
Sebelum Aku Menjadi Istrimu (Deasylawati)
Kitab Cinta dan Patah Hati (Sinta Yudisia)
Buku Asyik Si Cewek Cantik (Asri Istiqomah)
Dari Jerawat Hingga Cinta Monyet (M. Dzanuryadi & Ahmad Izzan)
Kitab Sakti Remadja Onggoel (Riawani Elyta & Oci Y. Marhari)
Malam, Janganlah Cepat Berlalu (Hatta Syamsuddin)

MEKANISME LOMBA

Resensi ditulis dalam Bahasa Indonesia dengan memasukkan beberapa unsur: Judul buku, penulis, ISBN, penerbit, ketebalan, ukuran, harga buku dan cover buku yang bersangkutan.

Resensi diposting di akun Facebook, Kompasiana, Blog atau Website milik peserta (bisa pilih salah satu).

Konten resensi juga diposting di akun Goodreads peserta.

Alamat URL posting dan akun goodreads resensi didaftarkan ke email publish.indiva@gmail.com dengan dilampiri:

Biodata lengkap (plus alamat dan no HP yang bisa dihubungi)
Scan Struk pembelian minimal 1 buku terbitan Indiva Media Kreasi (boleh buku yang tidak diresensi, non buku anak/al-ma’tsurat/produk khusus).

Akun FB/Twitter

PENJADWALAN

Lomba dimulai 1 Oktober 2013 dan berakhir pada 31 Desember 2013.

Pengumuman pemenang tanggal 15 Januari 2014 di webwww.indivamediakreasi.com

ASPEK PENILAIAN LOMBA

Konten resensi, dengan bobot 75%
Popularitas dan interaktif blog (trafik, komentar, like dll.) dengan bobot 25%

KETENTUAN LAIN

Peserta boleh mengirimkan lebih dari satu resensi , akan tetapi masing-masing file harus disertai dengan struk pembelian buku (tak mengapa jika satu struk terdiri dari beberapa judul buku).
Lomba ini tertutup bagi karyawan dan keluarga besar PT Indiva
Media Kreasi.
Penetapan pemenang mutlak menjadi hak Dewan Juri.
PT Indiva Media Kreasi memiliki hak mempublikasikan resensi pemenang lomba ini di media-media milik PT Indiva Media Kreasi, tanpa honor tambahan kepada pemenang.

HADIAH
Juara 1
Uang tunai Rp 1.500.000 + plakat + piagam+ paket buku
Juara 2
Uang tunai Rp 1.250.000 + plakat + piagam + paket buku
Juara 3
Uang tunai Rp 1.000.000 + plakat + piagam + paket buku
3 Juara Harapan
Masing-masing uang tunai Rp 300.000 +piagam + paket buku
5 Juara Favorit
Masing-masing paket buku senilai Rp 200.000,- + piagam
20 Hadiah Hiburan
Merchandise cantik dari Indiva