Social Icons

Pages

Azzura Dayana

Azzura Dayana

Minggu, 18 Oktober 2015

EVEREST

Sumber: internet


Sudah lama ingin menuliskan ini. A simple review about Everest. Sebuah film yang saya tonton di jelang akhir penayangannya di bioskop, sekira awal Oktober ini. Agak terlambat menontonnya, dan sekarang sangat terlambat menulis dan memosting review-nya. Hehe. Tapi tujuan tulisan ini memang bukan sebagai persuasi bagi pembaca untuk segera ikut menyaksikan filmnya, karena film ini tidak ada lagi di bioskop. Maka, jadinya, tulisan ini adalah sekadar sharing. Dan kalau pun pembaca jadi tertarik juga untuk menontonnya, masih ada dua cara, yaitu dengan cara mencari CD-nya atau menunggunya muncul di televisi.

Film Everest diangkat dari sebuah kisah nyata pendakian tragis yang berlangsung di tahun 1996. Melibatkan beberapa pendaki sungguhan dan bintang-bintang Hollywood, film besutan sutradara Baltasar Kormakur, Everest tampak seperti sangat luar biasa. Berkisah tentang serombongan pendaki dari berbagai latar belakang yang berjuang untuk mencapai puncak gunung tertinggi di dunia, Everest. Berbagai aral melintang mereka hadapi. Namun perjuangan itu akhirnya kalah oleh badai dahsyat yang melanda mereka, sehingga akhirnya beberapa anggota tim tewas.

Saya melihat Everest sebagai film yang ingin menampilkan kejadian nyata secara totally real. Proses alurnya tahap demi tahap dan klimaksnya tidak ditambahi bumbu-bumbu supaya lebih dramatis atau bombastis. Sebab alam Pegunungan Himalaya dan Puncak Everest di Nepal itu sendiri sudah lebih dari bombastis. Pendakinya adalah orang-orang terpilih. Bahkan yang terpilih saja masih berisiko untuk gagal mencapai puncak, apalagi mereka yang tak terpilih, dalam artian hanya pendaki amatiran yang tak tahu  banyak tentang pendakian pada umumnya dan pendakian gunung es pada khususnya.

Alam tak bisa dilawan. Meski manusia berencana selengkap dan serapi mungkin, faktor alam yang notabene adalah kekuasaan sepenuhnya milik Tuhan tak bisa dianggap sampingan. Salah satu anggota tim ekspedisi Everest tersebut, Yasuko Namba dari Jepang yang sudah mendaki enam dari Seven Summits of the World, bahkan harus mengakui kekalahannya di puncak terakhir yang sedianya akan melengkapi prestasinya mencapai tujuh gunung pencakar langit dunia.

Mungkin kemudian Everest akan menjadi tempat yang menakutkan tersebab keekstreman lokasinya. Tetapi bisa juga malah menjadi pelecut untuk menyuburkan semangat menaklukkan tantangan tingkat tinggi. Apapun itu, Everest bukan gunung biasa. Itulah sebab kemudian terlahir kelompok bisnis pemandu pendakian Everest semacam Adventure Consultant dan Mountain Madness yang memasang tarif fantastis.

Dengan menyaksikan film ini, wawasan budaya hingga wawasan sebagai insan penikmat dan penjelajah alam saya meningkat. Dari sisi hiburan, sajian pemandangan alam bentang Himalaya hingga puncak tertingginya benar-benar memanjakan mata. Dari segi cerita, karena ini adalah kisah nyata tragis yang dibuat semirip mungkin dengan kejadian aslinya, maka tentu jangan berharap banyak untuk mendapati happy ending atau percikan konflik yang dibuat-buat. Dari sisi spiritual, membuat keimanan dan tawakkal kepada Sang Maha Memiliki Alam Semesta dan Maha Mengatur-nya bertambah-tambah. Hingga satu pelajaran terpetik terkait kisah ini, bahwa ketika kita hendak menjelajah alam dengan beragam bentuk dan level risikonya, alangkah lebih baiknya jika kita justru menyungkur di hadapan Pemilik Alam itu, memohon keridhoan-Nya agar diberi keberhasilan, bukan malah menyongsongnya dengan bersenang-senang tiada batas dan tiada arti. Ya, meski itu adalah momen yang layak dihargai dengan cara pikir kita masing-masing.

Terakhir, saya teringat pada satu adegan, ketika para pendaki dalam tim itu ditanyai tentang motivasi mereka mendaki. Jawaban terakhir yang paling mengesankan beramai-ramai diserukan oleh beberapa pendaki, “Because it’s thereee!”

A fenomenal slogan. Sejuta makna. Wow!


This is Something That I Can't See Everyday

Someday, somewhere….

Di saat saya merasa cukup lelah.

Tetapi debur ombak yang terdengar telinga sepanjang hari sepanjang malam adalah pesona. Pesona keindahan yang tak akan bisa terjumpa di setiap saat yang kita inginkan. Sebab terpisah oleh jarak.
Siapakah yang lebih lelah di antara peserta dan pekerja suatu acara?

Siapa yang lebih berat tugasnya? Yaah, pekerja suatu acara yang saya maksud di sini mungkin lebih familiar disebut committee alias panitia. Mereka umumnya adalah warga lokal yang berkaitan langsung dengan tempat atau lembaga penyelenggara. Mereka yang mengonsep, merumuskan, hingga kemudian menyiapkan, mengawal dan mengurus pelaksanaan hingga selesai dan sampai kepada tahap evaluasi. Lelah, pasti. Sementara, yang namanya peserta, bisa juga adalah warga asal dan juga warga luar yang datang dari jauh, mereka yang datang melintasi antar kota, desa, provinsi, pulau, negara, bahkan benua dan samudera untuk bergabung pada suatu kegiatan acara. Ukuran lelah bagi mereka ini tentu bisa diukur termasuk dari jarak dan waktu tempuh.

Aha… saya ini sedang tercenung, sebenarnya. Bukan berarti ingin berpikir bahwa mereka yang lebih lelah tidak bisa menolerir ketidakberesan atau ketidaknyamanan pernak-pernik suatu acara, dan mereka yang tidak lebih lelah adalah mereka sebagai orang-orang yang salah. Sebab antara keduanya, sama-sama bekerja dan bertanggung jawab sesuai tempat dan porsinya.

Panitia, ingatlah, jika pesertamu berjumlah ratusan atau lebih, itu bukan kerja kecil untuk mengurus mereka. Kesungguhan dan keikhlasan bekerja dan melayani dibutuhkan betul, untuk hasil yang maksimal. Dan peserta, jika ada remeh-temeh yang tak sepatutnya terjadi, itu bukan berarti panitia tak bekerja dengan baik, tetapi karena memang tak ada sesuatu yang sempurna dibuat oleh manusia.

Sambil berjalan dalam ritme tak terlalu cepat dan tak terlalu lambat, melintasi lautan pasir tebal yang terkadang membenamkan sandal saya dan mengharuskan saya bekerja keras untuk menyeret langkah, dan mata saya menatap pantai, saya masih terus berpikir. Kenapa saya harus berpikir sambil berjalan dan menatap pantai? Sebab padatnya rangkaian acara nyaris tidak membolehkan saya untuk sekadar duduk di beranda cottage barang setengah jam untuk berpikir sambil menikmati suasana pantai. Ini yang saya sayangkan. Jauh-jauh kita dibawa ke sini, terpisah sekian kilometer dari pusat-pusat peradaban, tetapi sayangnya rangkaian acara yang dijalin tak menyatu dengan alam sekitarnya. Jadi, ini hanya semacam acara-di-kawasan-indoor-terintegrasi yang dipindahkan lokasinya ke tempat yang terbuka (tapi tidak sepenuhnya terbuka).

Dan saya (agak sedikit) kelaparan di sini. Ups. Sekali lagi, mengurus peserta yang mencapai dua ratus atau lebih bukan hal gampang. Masalah makan termasuk yang utama. Logika tak akan jalan tanpa logistik. Sehebat apapun acara dirangkai, peserta bisa jadi tak akan maksimal mengikutinya hanya gara-gara persoalan makan. Apalagi, mengingat, mereka yang datang jauh-jauh dari luar daerah: jarak, kadar lelah, atau persoalan yang mereka alami sepanjang perjalanan bisa saja memengaruhi pola dan nafsu makan mereka. Belum lagi jika ada catatan sakit.

Saya sendiri, termasuk yang kemudian agak bermasalah dalam urusan makan. Dari faktor internal, perjalanan panjang pastilah menyisakan sedikit lelah. Belum lagi pikiran saya yang sebenarnya masih tertinggal di rumah, memikirkan anak dan kabut asap serta hujan yang tak kunjung mengguyur Palembang yang kemarau panjang. Tak ada sakit maag, tapi entah kenapa nafsu makan saya sungguh berantakan. Sedikit ataupun banyak jumlah makanan yang saya masukkan ke piring, tetap saja tak akan habis hingga setengahnya. Eneg dan malas. Bahkan walaupun masakannya enak. Di hari kedua, panitia nampak kelimpungan karena mungkin ada kasus peserta belum semuanya makan sementara makanan sudah menipis. Alhasil, di hari kedua itu panitia meja makan tak lagi hanya berdiri memantau, tetapi mereka masing-masing memegang satu sendok makan, lalu bertugas mengambilkan nasi, sayur, lauk, sambal ke dalam piring peserta. Cerita yang beredar terkait sistem baru itu: ada yang tak puas karena panitia mengambilkan nasi yang banyak sedangkan lauknya sedikit, sehingga dia tidak bisa menghabiskan makannya. Ada juga yang tak suka lauk ikan dan menanyakan apakah boleh meminta lauk lain akan tetapi tidak diizinkan, dan kecewalah dia. Ada juga yang berasa kayak makan ala di penjara karena makannya dibatasi sedemikian rupa….

Kadang saya dapat menyimpulkan sendiri kenapa saya malas makan. Intinya adalah yang segar-segar. Dalam kondisi eneg dan malas makan, perut saya sebenarnya sangat kompromi pada buah, sayuran hijau berkuah, bukan bersantan, dan bukan lauk yang dimasak pedas-pedas atau terlalu berlebih minyak dan rempah-rempahnya. Di saat eneg dan malas makan, justru menu paling sederhana seperti bayam atau oyong berkuah bening, tempe goreng, cah kangkung, dan tentunya buah-buahan akan menjadi amat bersahabat dengan perut. Tapi, yang tersaji justru yang tampak indah di mata tapi tidak indah di perut, hehehe.

Dan, berhubung saya mendapat cottage peserta perempuan terjauh dari pusat kegiatan acara, dan jumlah peserta dalam cottage cukup membludak sehingga antrean mandi mengular, sementara selepas sesi acara saya sering mampir sana-sini dulu (bazaar, pantai, dll) maka jadilah saya selalu menjadi peserta di barisan akhir yang mengambil makan. Biasanya sayurnya tinggal menyisakan kuah yang menggenang, lauknya tinggal irisan-irisan akhir, kerupuk tinggal remah-remah, dan buah-buahan tinggal kenangan (wadahnya saja). Jarak dari cottage ke aula dan tempat makan bukan hanya yang terjauh, tetapi juga harus melintasi lautan pasir yang tebal yang agak menyulitkan untuk berjalan cepat.

Entah hari/malam keberapa, lauknya rendang daging. Sayangnya, pilihan lauknya hanya itu (atau saya yang kehabisan), dan sayurnya hampir ludes. Saat makan, saya menatap sepotong kecil rendang yang hanya berteman nasi dan kuah. Ujung-ujungnya, pasti, tak habislah makanan saya. Di malam terakhir, lebih tragis lagi. Saya mendapat dua kali sendokan lauk. Lauknya ikan samba berukuran besar waktu itu. Sayurnya bersantan. Untung irisan semangka masih banyak dan bagus-bagus. Sayang, ketika duduk dan siap menyantap, saya memeriksa lauk tersebut. Ternyata oh ternyata, dua sendokan lauk yang terlihat besar dan menggoda itu ternyata telurnya semua. Bayangkan, telur ikan laut yang besar begitu, betapa enegnyaaaa…. Terkikislah semangat saya untuk makan. Untunglah teman di sebelah saya dengan baiknya menyumbang sedikit daging ikannya untuk saya. Saya hanya sanggup makan beberapa sendok nasi. Sisanya, oh maafkanlah saya ya Allah, saya buang lagi makanan saya….

Tengah malam itu, dalam perjalanan kami di mobil dari pantai menuju ibukota provinsi itu (karena besok pagi harus  naik kereta api pulang ke kota saya), saya memuntahkan semua isi perut saya yang tak seberapa itu. Akhirnya benar-benar masuk angin juga saya.

Itu tadi soal pangan. Sekarang soal papan. Papannya itu tak lain cottage kami. Untuk peserta yang jumlahnya mencapai dua ratus ini, para pekerja acara menyiapkan beberapa villa, cottage, dan tenda. jumlah cottage lebih banyak daripada villa. Tenda diperuntukkan bagi peserta laki-laki apabila villa dan cottage tidak mencukupi lagi. Letak villa hanya beberapa langkah saja dari aula dan tempat makan. Sedangkan cottage dan tenda letaknya berdampingan, berhadapan dengan pantai, dan letaknya lebih jauh dari aula dan tempat makan, melintasi lautan pasir. Cottage 1 masih lumayan dekat dengan aula. Semakin tinggi nomor cottage semakin jauh jaraknya. Saya menempati cottage 6. Setelah cottage 6, ada dua cottage lagi yang ditempati peserta laki-laki.

Pertama kali masuk dan memeriksa kondisi, saya dan teman-teman di cottage 6 cukup shock. Cottage itu lebih nampak seperti rumah tua. Bentuknya panggung, kamar mandinya ada di bawah, melewati tangga turun yang seperti terowongan. Nampak lama tak disentuh manusia. Gelap dan berdebu. Ketika menyalakan lampu di malam itu, ternyata lampunya putus. Ketika menuruni tangga terowongan kamar mandi itu, kami beramai-ramai membaca ta'awudz, ayat kursi, dan lain-lain, saking tegangnya dengan kondisi itu. Kamar mandinya luas sekali, tapi hanya ada dua benda di dalamnya, yaitu kloset dan ember. Bahkan tak ada satu paku kecil pun untuk menyangkutkan handuk. Papan dan kayu pembentuk rumah sudah rapuh. Lantainya berderit. Berandanya agak bergoyang-goyang. Jendela kamar kami bisa dibuka dan tak bisa ditutup kembali dengan aman, karena ternyata kuncinya tidak ada lagi. Pintu depan bisa dikunci dengan cara digembok dari luar, dan kunci kayu yang hanya ‘nyantol’ seadanya dari dalam. Jika sudah dikunci, pintu tak bisa rapat. Sekali tendang saja oleh saya, pasti langsung roboh pintu itu.

Satu kali pernah saya mampir ke villa yang ditempati teman peserta untuk menitipkan barang. Kondisi villa ternyata berbeda langit dan bumi dari cottage. Rumah batu yang indah arsitekturnya. Pintunya kaca dan bertirai. Ada AC dan kipas angin di dalamnya. Lantainya keramik. Di kamar mandinya tersedia shower serta kenyamanan dan keharuman kamar mandi mewah. Serta dilengkapi peralatan masak praktis yang tersedia di dapur dan meja.

Masya Allah….                 

Luar biasa. Malam yang pertama di cottage, saya sangat khawatir dengan keamanan dan nyaris tak bisa tidur. Untunglah akhirnya saya terlelap juga. Setiap malam hanya bisa tidur dua jam di cottage. Karena padatnya acara juga. Lama-kelamaan, saya mulai terbiasa dengan kondisi cottage. Dan bersyukur bahwa kami semua aman-aman saja. Di antara berbagai cerita horor yang beredar selepas acara, untunglah saya tidak mengalami yang aneh-aneh amat. Inilah yang saya maknai sebagai survive. Survive di hutan itu sudah biasa. Ternyata malah survive di tempat seperti ini yang lebih berat. Dan di sinilah pembelajaran itu perlu. Dan menjadi catatan, bahwa selain logistik yang diperlukan supaya logika bisa berjalan, prinsip-prinsip KEADILAN jangan sampai terlalai untuk kita tegakkan.

Ala kuli haal, Alhamdulillah… saya bersyukur masih banyak remah-remah hikmah yang bisa dipunguti dari pengalaman ini. Bertemu dan berbagi bersama teman-teman baru dari berbagai daerah, adalah keberuntungan. Wawasan yang kita serap dari setiap kajian, adalah ilmu baru yang mengayakan jiwa raga. Perjalanan yang panjang dan penuh cerita, adalah harga yang mahal.

Mari tutup malam ini, dengan memejamkan mata dalam-dalam dan mengucap hamdalah sekali lagi. Deburan ombak menemani detik demi detik. Cottage ini akan menjadi kenangan, di mana ada sesuatu yang paling mengesankan, mengalahkan segala unek-unek berbau keresahan di atas tadi: saat pagi hingga sore hari, ketika membuka pintu, saya disambut oleh pantai. Pasir putihnya terhampar luas sepanjang garis pantai yang melengkung indah. Di ujung kiri, gunung yang gagah melatarbelakanginya. Di sisi kanan, gugusan karang hitam menghiasinya. Dan di kala malam, deburan ombak itu menemani tidur, semakin malam semakin kencang bunyinya. Bukannya mengganggu, tetapi malah makin indah di telinga, menjadi lagu merdu yang akan jarang-jarang diputar. Hanya di sini. Atau nanti, di tempat seperti ini lagi.

This is something that I can’t see everyday….

Enjoy, then. Keep in mind thoroughly, safely.