Social Icons

Pages

Azzura Dayana

Azzura Dayana

Kamis, 08 Desember 2016

Hanin di Kebun SaPa

Suatu hari ketika bersilaturrahim ke Sekolah Alam Palembang yang terletak di Jakabaring, tempat saya mengajar, Hanin sempat diajak Abinya jalan-jalan berkeliling ke sekitar. Sampailah mereka di kebun persemaian bibit seledri. Hanin di usianya yang belum genap 2 tahun memiliki rasa keingintahuan yang cukup tinggi untuk 'meneliti' calon tanaman seledri itu.

Abinya sempat mengabadikan tingkah polah Hanin di kebun seledri ke dalam beberapa foto. Saya tersenyum-senyum sendiri melihatnya :-)






BATAS RANGGA




Saya memang terlambat (dan sengaja untuk terlambat) menonton Ada Apa Dengan Cinta? 2 (AADC 2). Awalnya, niat untuk menonton film ini amat menggebu bahkan sebelum film ini benar-benar tayang di hari pertamanya. Akan tetapi, sesuatu dan kemudian sesuatu yang lain membuat saya terus gagal menonton film ini di hari pertama dan selanjutnya. Oke. Saya lantas menghibur diri dengan membaca review-review perdana dari para penonton pertama film ini. alhasil, semakin banyak membaca review, saya semakin mundur untuk benar-benar menyaksikan film ini.

Tampaknya saya adalah salah satu korban nostalgia. Tepatnya, korban nostalgia Ada Apa Dengan Cinta 1 alias film pertamanya. Itulah kenapa, beberapa review yang jelas-jelas menceritakan bahwa secara umum film ini tidak seistimewa film pertamanya otomatis membuat saya kecewa. Tetapi entah kenapa, baru-baru ini tiba-tiba saja tebersit ide mencari link video film ini di internet, lalu mendapatkannya, dan… benar, saya menontonnya.

Tetapi kali ini, saya sudah menyiapkan diri. Siap untuk tidak terlalu berharap banyak. Niatan paling dominan saya justru karena ingin mengikuti perjalanan berpetualang ala Rangga dan Cinta di Yogyakarta. 


Perubahan Karakter

Rangga di AADC 1 identik dengan puisi. Karakternya yang unik lekat di benak para korban nostalgia AADC 1 seperti saya :-D. Rangga sosok yang cuek, dingin, ketus, menyimpan bara, namun amat nyastra dengan setiap gubahan puisinya dan bahkan celetukan kata-katanya. Karakter ini yang tak lagi saya temui di AADC 2. Ia telah total berubah. Ia benar-benar datang kali ini untuk mengejar cinta dari seorang gadis yang pernah ia tinggalkan belasan tahun lamanya. Lepas dari apakah pengejaran itu berakhir dengan keberhasilan atau tidak, tetapi ini jelas mengubah sudut pandang. Gaya bicaranya berbeda, lebih lekat memandang, lebih terbaca gelagat dan kehendaknya. Menjadi keterbatasan tokoh Rangga yang amat kentara.

Pun demikian Cinta. Dalam AADC 1 beberapa kalimat yang diucapkan Cinta masih cukup bertenaga. Celetukan dan jawabannya ikut mengena di hati. Tetapi di sekuelnya ini, kualitas itu tak ada lagi. Bahkan kalimat “apa yang kamu lakukan itu… jahat” benar-benar tidak unik. Paling buruk adalah kalimat-kalimat di adegan terakhir yang menjadi pamungkas antara dua tokoh utama ini. Amat klasik dan membosankan.



Puisi Kegalauan Rangga

Baiklah, mari menghibur diri saja dengan kekuatan yang ada di film ini, yakni setting dan puisinya. Lho, tadi katanya Rangga tidak lagi nyastra? Oh, bukan. Rangga tetap datang bersama puisi-puisinya. Tetapi puisi itu tidak lagi mewakili karakter dan kekuatannya selayaknya puisi Tentang Seseorang dan puisi Perempuan Datang Atas Nama Cinta di AADC 1. Puisi Rangga dalam AADC 2 lebih menggambarkan ia sebagai seseorang yang galau. Galau akan cinta.

Puisi-puisi Rangga di AADC 1 aslinya ditulis oleh Rako Prijanto. Seorang filmmaker, dan bukan penyair. Akan tetapi, kedua puisi paling benderang dalam film pertama tersebut dengan santainya menyelinap di pikiran kita hingga terkenang dalam waktu lama, dan mengesankan sedemikian rupa. Meski bukan seorang penyair, akan tetapi Rako Priijanto cukup brilian menghadirkan ragam puisi yang mudah diingat karena absurditas rangkaiannya ketika didengar oleh penonton (ketika dibacakan dalam hati yang di-voice over oleh Cinta), lalu dimusikalisasikan pula oleh Cinta di atas panggung dengan mengulang reff berbunyi “Bosan aku dengan penat, dan enyah saja kau pekat. Seperti berjelaga jika kusendiri.” Hayo ngaku… siapa yang kemudian jadi tidak terhafal secara mengesankan karenanya?

 Lalu puisi kedua Rangga, yang di-voice over kan oleh tokoh Rangga-nya sendiri sebagai tanda perpisahan Rangga di akhir cerita. Juga berhasil melekat dengan baik di benak pembaca, kalaupun tidak semuanya, setidaknya beberapa baitnya.
 
Perempuan Datang Atas Nama Cinta

Perempuan Datang Atas Nama Cinta
Bunda pergi karena cinta
Digenangi air racun jingga adalah wajahmu
Seperti bulan lelap tidur di hatimu
Yang berdinding kelam dan kedinginan
Ada apa dengannya?
Meninggalkan hati untuk dicaci
Lalu sekali lagi aku lihat karya surga
Dari mata seorang hawa
Ada apa dengan Cinta?
Tapi aku pasti akan kembali
Dalam satu purnama
Untuk mempertanyakan kembali cintanya
Bukan untuknya bukan untuk siapa
Tapi untukku
Karena aku ingin kamu
Itu saja…

Sementara di AADC 2, puisi-puisi galau Rangga berasal dari gubahan seorang sastrawan Makassar bernama Aan Mansyur yang telah populer lebih dulu dengan beberapa buku kumpulan puisinya seperti Melihat Api Bekerja. Puisi-puisi Rangga termaktub dalam kumpulan puisinya yang bertajuk Tak Ada New York Hari Ini. Dan salah satu puisi kegalauan yang di-voice over kan Rangga di AADC 2 adalah puisi Batas berikut ini:

Batas

Semua perihal diciptakan sebagai batas
Membelah sesuatu dari sesuatu yang lain
Hari ini membelah membatasi besok dan kemarin
Besok batas hari ini dan lusa
Jalan-jalan memisahkan deretan toko dan perpustakaan kota,
bilik penjara, dan kantor walikota, juga rumahku
dan seluruh tempat di mana pernah ada kita

Bandara dan udara memisahkan New York dan Jakarta
Resah di dadamu dan rahasia yang menanti di jantung puisi dipisahkan kata
Begitu pula rindu. Antara pulau dan seorang petualang yang gila.
Seperti penjahat dan kebaikan dihalang ruang dan undang-undang
Seorang ayah membelah anak dari ibunya dan sebaliknya
Atau senyummu dinding di antara aku dan ketidakwarasan
Persis segelas kopi tanpa gula pejamkan mimpi dari tidur
Apa kabar hari ini?
Lihat tanda tanya itu jurang antara kebodohan dan keinginanku memilikimu sekali lagi

Bagaimana menurutmu? Bagus?
Menurut saya, puisi-puisi kegalauan Ranggapada AADC 2 jauh lebih bagus daripada puisi-puisi kesepian Rangga di AADC 1. Mungkin salah satunya karena pengarangnya betul-betul seorang penyair. Sebab lainnya adalah karena saya mencarinya ulang di internet dan meresapinya kembali, sehingga akhirnya saya tahu bahwa puisi ini (dan puisi lainnya AADC 2) bagus. Benar, sayangnya, dalam AADC 2, puisi-puisi Rangga hanya datang berkelebat, sekali saja alias tanpa pengulangan sehingga penonton tidak sempat untuk memaknainya secara betul-betul dalam apalagi hingga terhafal di otak. Puisi Rangga tak sempat memiliki panggung sendiri dan hadir sebagai salah satu penguat karakter Rangga seperti di AADC 1. 


Perjalanan Penghibur

Bagi Rangga dan Cinta, petualangan mereka menjelajah Yogyakarta hingga Magelang adalah perjalanan menyelesaikan nostalgia cinta keduanya. Tetapi bagi saya (baca: penonton) perjalanan itu menjadi hiburan traveling yang paling menggugah selera. Dua di antara begitu banyak tempat menarik namun antimainstream yang dikunjungi Rangga dan Cinta adalah Gereja Ayam dan Punthuk Setumbu di Bukit Rhema, Magelang. Unsur petualangan inilah yang berhasil menjadi daya tarik AADC 2. Saya tak habis pikir jika misalnya AADC 2 hanya sibuk di plot pengejaran cinta Cinta oleh Rangga dengan setting Tugu Jogja atau Malioboro… uh, praktis itu bakal lebih mirip FTV saja….


Gereja Ayam

Sunrise dari Punthuk Setumbu. Tampak Borobudur dari kejauhan.

Saya bahkan menyimpulkan, unsur traveling itulah justru yang menjadi poin unggulan di AADC 2. Dan puisi Rangga hanya pelengkap, tak lagi menjadi unsur unggulan seperti kedudukannya di AADC 1. Well… Siapkan cara menghibur diri ala kamu saja, ketika menonton film ini. Right?


Selasa, 18 Oktober 2016

INFERNO The Movie

Sejak mendapat info bahwa Inferno sudah tayang di bioskop-bioskop di Indonesia, saya sudah kepincut berat pingin nonton. Saya lalu men-screenshoot jadwal film di tsb di web cineplex, saya kirim ke suami via whatsapp. Senangnya ketika suami menjawab dengan cepat dan positif. Maka jadilah weekend kemarin kami meluncur ke Palembang Indah Mall XXI.


Saya jarang-jarang nonton film thriller, kecuali beberapa saja. Dan karena saya pengagum berat Dan Brown terutama untuk karya masterpiecenya yakni, The Da Vinci Code, terang saja Inferno ini jadinya menarik untuk saya. Saya belum sempat baca bukunya. Ada tawaran e-booknya dari teman tapi saya sendiri tidak yakin sanggup menamatkan bacaan yang tebalnya nggak kira-kira itu melalui layar hp/laptop. Pening dan nggak leluasa, pasti. Jadi alternatifnya adalah menonton filmnya, meski saya tahu dan sudah siap dengan adanya perbedaan yang pasti ada dan menganga dengan versi bukunya.

Saya bukan lantas ingin menulis review lengkap tentang film ini, tetapi hanya menceritakan sudut pandang. Inferno dibuka dengan adegan keterkejutan Robert Langdon (Tom Hanks) yang bangun dengan kondisi setengah amnesia di sebuah rumah sakit di Firenze (Florence), Italy. Entah apa yang terjadi sampai ia terdampar di rumah sakit itu dengan luka di kepala dan potongan adegan-adegan mencekam yang terus melintas di pikirannya.

Tetapi usaha untuk bernostalgia dengan ingatan dan kejadian sesungguhnya tak bisa berlangsung lama. Denyut petualangan segera dimulai. Pemburu-pemburu yang datang menyeruak hendak menghabisi Langdon segera berdatangan. Sembari terus berlari menyelamatkan diri dan kita diajak keluar masuk bangunan-bangunan bersejarah lagi elok rupawan di sekujur kota Florence, sang profesor Simbologi Universitas Harvard ini terus berusaha memecahkan labirin misteri tentang Dante, mimpi-mimpi neraka Inferno, pembantaian manusia, dan beberapa wajah yang kemungkinan ia kenal. Apakah benang merah yang mengaitkan itu semua?


Saya sungguh menikmati setiap aksi dalam film ini, tanpa melewatkan sedetik pun, walaupun harus sedikit melawan gigil di dalam bioskop karena tidak bawa jaket. Hehe. Twistnya betul menyentak, walau itu adalah hal yang sudah dapat dipahami dari hampir tiap karya Dan Brown, petualangannya hidup, latar/settingnya memabukkan mata (kecantikan Florence, Venezia, dan Istanbul begitu diekspos), dialognya cepat dan tajam, cinematografinya keren. Soal plot, yah, plot Dan Brown memang selalu mematikan, walau kali ini tidak sekontroversial The Da Vinci Code karya pertamanya, atau The Lost Symbol yang karenanya diputuskan untuk tidak difilmkan.

Tetapi memang, soal simbol, kode, ikon, dan kontroversinya, Dan Brown memang ahlinya. Dan sampai kapan pun saya akan menyukai itu.

So, Inferno? Recommended to watch.




Kamis, 15 September 2016

Pesona Pantai Rambak, Suatu Sore

Traveling ke Pantai Rambak tak cukup rasanya jika tanpa bereksplorasi lebih jauh hingga ke ujung-ujungnya. Pantai yang terletak di desa Rambak, kabupaten Sungailiat, Bangka, ini tidak se-crowded pantai di sebelahnya yang sudah sangat populer yakni Pantai Tanjung Pesona. Tiket masuknya pun tidak lebih mahal. Pantai utama amat luas dan indah. Bebatuan raksasa nan elok menghiasi beberapa bagian pantai. Makin ke ujung kanan, makin indahlah pemandangan gugusan bebatuan granit raksasa yang terdapat di sana. Untuk sekadar liburan, duduk-duduk, mandi-mandi, main air dan pasir, atau bahkan untuk lokasi pre-wed... hmm, dijamin pantai ini recommended!

:-)


photos taken by Azzura Dayana, from my traveling there two months ago








Ini foto favorit saya, yang saya ambil dengan melepas alas kaki dan memanjat bebatuan tinggi




Selasa, 17 Mei 2016

Refreshing Singkat Keluarga ke Negeri Singa




oleh Azzura Dayana

Singapura, salah satu kota dan negeri termahal di Asia ini bisa menjadi alternatif tujuan liburan praktis keluarga. Selain jaraknya yang dekat dan terdapat beberapa rute penerbangan langsung dari berbagai kota di Indonesia, ada berbagai cara lainnya untuk menyiasati supaya anggaran berlibur di sini tidak begitu membengkak. Salah satunya, dengan mempersingkat durasi perjalanan menjadi dua hari saja seperti yang baru saja kami lakukan. 

Kecanggihan teknologi Singapura dalam setiap infrastruktur dan kemewahan arsitekturnya memang sungguh menawan untuk kita saksikan. Meski begitu, nuansa etnik tetap dapat ditemukan di negeri yang warganya heterogen ini jika kita berkunjung ke beberapa kawasan, semisal Bugis dengan nuansa Arabnya, Little India dengan khas Indianya, dan Chinatown dengan pernak-pernik kultur Cinanya yang kental.


Menelisik Dua Masjid Tercantik di Negeri Singa

Di hari pertama tiba di Singapura, kami langsung membeli dua kartu Singapore Tourist Pass (STP) yang akan kami gunakan sebagai tiket transport dalam kota. Untuk dua hari, harganya 16 dolar Singapura (SGD) plus 10 SGD deposit yang akan kita dapatkan kembali ketika mengembalikan kartu. Ini jauh lebih hemat daripada kartu EZ-link biasa seharga 30 SGD. Dari Stasiun MRT (Mass Rapid Transportation) Bugis, kami berjalan kaki menuju Masjid Sultan sambil memanggul ransel di pundak dan mendorong stroller Hanin, putri kami yang berusia satu tahun empat bulan.

Masjid Sultan adalah masjid tertua dan terbesar di Singapura. Bernuansa putih dan kuning emas, masjid yang dibangun pada 1924 oleh Sultan pertama di Singapura yakni Sultan Hussein Shah ini terlihat sangat elok dan berkilau ditimpa sinar matahari. Bagian dalam masjid sangat bersih, rapi, dan segar. Kamar wudhunya bahkan dilengkapi beberapa kipas angin besar yang menyamankan pengunjung. Melakukan ibadah di masjid ini berhasil menghadirkan sensasi mengesankan tersendiri. Karena Masjid Sultan adalah lokasi wisata religi, maka terdapat peraturan bagi pengunjung untuk berbusana sopan. Pihak masjid bahkan menyediakan kerudung untuk dikenakan oleh pengunjung wanita.




Suasana di sekitar masjid siang itu sungguh ramai, baik itu oleh wisatawan, anak-anak sekolah, dan hiruk pikuk toko yang berjajar menyajikan makanan dan souvenir. Tepat di sebelah masjid, berhadapan dengan gerbang masjid yang artistik, terdapat sebuah bangunan berwarna kekuningan dengan lapangan luas dan kolam air mancur di depannya. Malay Heritage Centre namanya. Konon bangunan tersebut adalah hasil restorasi dari Istana Kampong Glam yang sekarang difungsikan sebagai museum pusat sejarah budaya melayu Singapura.

Masjid kedua yang kami kunjungi adalah Masjid Abdul Gafoor di Dunlop Street, dekat dengan penginapan kami. Nuansa India di masjid yang dibangun pada 1907 bagi muslim India Selatan yang banyak bermukim di Kampong Kapor ini sungguh terasa. Terdapat banyak pintu besar dengan bentuk dan ukiran bernilai seni tinggi. Bentuk dan ukiran yang sama indahnya juga dapat kita temukan pada bagian dalam masjid baik di lantai satu maupun lantai dua, serta pada menara masjid yang berbentuk heksagonal.




Wisata Malam Bertabur Cahaya

Setelah melepas lelah sejenak di penginapan, membiarkan Hanin puas bermain-main di kasur sambil dengan asyiknya menikmati view dari jendela yang langsung menghadap jalan raya yang sibuk nan teratur, dan menunggu terik mentari berangsur hilang, kami bersiap melakukan wisata senja hingga malam. Setelah menaiki MRT dan turun di Raffles Place, langkah berlanjut menyusuri Singapore River sambil memandangi Elgin Bridge dan Cavenagh Bridge, dua jembatan pejalan kaki yang klasik lagi elok. Berlanjut lagi menyeberangi jalan raya lalu turun tangga untuk tiba di Merlion Park, tempat patung singa yang ikonik itu berdiri. Sayangnya, di sini Hanin malah jatuh tertidur di stroller karena terbuai angin sore dengan perutnya yang sudah kenyang.




Singapura memang amat memanjakan wisatawannya dengan banyak membangun taman-taman gratis, jembatan dan jalan khusus pejalan kaki yang nyaman, juga water tap gratis di beberapa titik public area sehingga kita bisa mengisi botol air minum yang kosong. Jembatan dan jalan yang tersedia untuk pejalan kaki sambil menikmati pemandangan Teluk Marina dan sekaligus bisa dijadikan jogging walk didesain menghubungkan Merlion Park, gedung teater Esplanade, hingga The Helix Bridge dan seterusnya.



Betapa kota modern satu ini sungguh memukau dari segi pembangunannya. Itulah yang saya rasakan dalam tiap langkah, senja itu hingga tiba di jembatan lengkung pertama di dunia, The Helix Bridge. Semua bangunan masterpiece seputaran Teluk Marina bertabur cahaya. Bahkan ketika langkah berbelok ke kiri setelah turun dari The Helix, dan suasana berganti dari kota modern menjadi hutan dan kebun, gemerlap cahaya tetap ada. Gardens By The Bay, kebun raya dengan koleksi tumbuhan terlengkap dari berbagai penjuru dunia ini dibangun di atas tanah reklamasi seluas 101 hektare tepat di belakang Marina Bay Sands. Yang terunik, di sini terdapat Supertree Grove, yakni 18 bangunan setinggi 90 meter berbentuk pohon yang sangat indah pada siang hari dan akan bercahaya warna-warni sepanjang malam. Supertrees ini juga berfungsi sebagai pengumpul air hujan dan penyeimbang suhu taman. Kombinasi kecanggihan, kecerdasan, dan konsistensi keseimbangan alam yang akan membuat kita terkagum-kagum. 


Banyak Belajar dari Sini

Saya banyak belajar dari negeri maju yang satu ini. Selain hal terakhir yang baru saja saya sebutkan di atas, saya belajar banyak tentang toleransi. Negeri ini memang tidak lagi pure status Timur atau Melayunya. Bertemu dan berinteraksi dengan orang Barat sama mudahnya dengan bertemu orang Cina, India, Arab, dan Melayu itu sendiri. Keheterogenan ini justru membuat tingkat toleransi mereka amat tinggi. Dari dulu penduduk Singapura terkenal ramah pada pejalan kaki. Saat menyeberang jalan selain di persimpangan lampu merah, beberapa kali saya alami langsung pengendara mobilnya mempersilakan kami menyeberang di depan mereka dan mereka bersedia menunggu sambil memperlambat laju mobilnya. Dua kali saya ke Singapura, dua kali pula saya selalu mereguk kekaguman yang bertambah-tambah tersebab pengalaman-pengalaman terkait transportasi. Salut! Bayangkanlah, betapa rasa aman dan nyaman akan hadir dengan sendirinya ketika berada di negeri mereka.



Ketika berada di Immigration Check Point pun, kami sangat dimudahkan. Ketika petugas melihat saya berdiri sambil menggendong Hanin mengantre di antara ratusan orang, buru-buru mereka mempersilakan saya memroses urusan imigrasi lebih dulu dan setelah itu barang-barang bawaan kami tidak dibongkar satu pun. Belum kalau saya cerita tentang toleransi di dalam kereta MRT. Hmm… jempol!


Satu Prinsip dalam Trip Singkat

Sebelum menyiapkan perjalanan pulang, kami menyempatkan diri menyusuri kawasan Little India dengan full jalan kaki mulai dari sudut Dickson Road, Jalan Besar, hingga Syed Alwi Road dan mampir ke Mustafa Centre untuk membeli oleh-oleh; berlanjut lagi menyusuri Serangon Road. Makin ke sini, makin terasa seperti berada di negeri India saja. Pertokoan bercat warna-warni memenuhi tepi jalanan, pernak-pernik etnis India juga menghiasi pemandangan dan menghadirkan aroma, mulai dari rempah-rempah hingga bebungaan.




Traveling itu tak perlu lama dan mahal. Cukup sebentar, asal berhasil mengunjungi icon-icon pentingnya. Bersiap saja dengan tenaga ekstra yang akan digunakan, meski tetap upayakan kenyamanan bagi anggota keluarga, termasuk tidur yang efektif dan makan yang cukup.

Rabu, 27 April 2016

Wisata Malam ala Keluarga Abi Hanin di Marina Bay

Beberapa foto yang kami ambil dengan menggunakan Hp dan kamera Nikon dalam perjalanan wisata malam beberapa hari lalu di seputaran Teluk Marina, Singapura.

*belum selesai menulis catatan perjalanan versi lengkapnya nih

The Helix Bridge

Ummi and Hanin

Hanin menyusuri The Helix

Supertrees @Gardens by The Bay

Abi Hanin @Merlion Park, jelang senja

Selasa, 22 Maret 2016

Seminar Talent Mapping & DNA

POSITIVE THINKING akan melahirkan GOOD HABIT... Good Habit akan melahirkan SUCCESS DESTINY..kehidupan yg sukses! Namun adakah faktor keturunan (baca: DNA) berpengaruh terhadap cara berpikir seseorang? Yang bisa jadi berpengaruh terhadap bakat yang dimilikinya sehingga membentuk kebiasaan yang baik dan mampu mengantarkannya pada kehidupan yang sukses? Ikuti seminarnya...

CP: Hp/WA 089696383004

Selasa, 19 Januari 2016

:: Rindu ::

Kadang rindu masa ketika tangan ini kebas sehingga untuk membukakan tutup botol atau menyobek bungkus snack saja harus minta tolong Icha...

Atau ketika mengurangi kecepatan motor saat melewati tanjakan atau polisi tidur demi yang ada di naungan rahim...

Kita memang akan rindu pada kemanjaan. Dan akan sedih karena kemarahan...

Rabu, 13 Januari 2016

Catatan Perjalanan Menjelajahi Taman Nasional Sembilang (part 2)

Ahad pagi 10 Januari 2016 lalu saya menyaksikan tayangan My Trip My Adventure di Trans TV. Kebetulan perjalanan kru MTMA kali itu adalah ke Pulau Bintan di Kepulauan Riau. Hostnya adalah Nadine Candrawinata dan Denny Sumargo. Mereka berperahu menyusuri Sungai Segong yang pemandangan kiri kanannya adalah hutan mangrove. Sesekali sang guide menjelaskan tentang jenis-jenis mangrove yang mereka lihat sepanjang perjalanan tersebut. Nadine juga mengatakan bahwa di sekitar sungai itu merupakan habitat buaya. Perjalanan sempat berhenti sejenak dengan menyinggahi nelayan yang mereka temui. Bincang-bincang dengan sang nelayan pun terjadi, sambil kemudian sang nelayan menunjukkan hasil tangkapannya yaitu kepiting-kepiting bakau.

Hmm…. perjalanan Nadine dan Densu ini betul-betul mengingatkan saya akan penjelajahan yang pernah saya lakukan sebulan lalu ke Taman Nasional Sembilang. Taman alami seluas dua ratusan hektar itu terdiri dari kawasan daratan, hutan, dan perairan. Perairannya meliputi sungai-sungai besar dan kecil (ada sekitar 70 anak sungai) sedangkan perairannya meliputi laut dan selat (Selat Bangka). Hutannya didominasi hutan bakau dengan 17 spesies mangrove sejati dan 6 spesies mangrove ikutan. Dan kawasan daratannya meliputi daratan lumpur, pulau, pantai, dan beberapa semenanjung. Kawasan yang dilindungi ini saking luasnya dibagi-bagi lagi menjadi 4 wilayah. Wilayah awal dimulai dari Sungsang dan wilayah akhir berbatasan dengan provinsi Jambi, bertemu dengan Taman Nasional Berbak yang juga banyak didominasi kawasan hutan rawa.














TN Sembilang sangat kaya akan flora dan fauna. Jika ingin berpuas menikmati semua sajian alamnya di empat pembagian wilayah, tampaknya kita butuh waktu seminggu. Kami hanya sempat mengunjungi hanya sampai 2 wilayah. Menjelajahi sungai-sungai besar hingga kecil dengan pemandangan hutan mangrove yang menawan dengan akar-akarnya yang berada di atas air seolah mencakar-cakar permukaan air. Aktivitas lainnya adalah mencari buaya, lumba-lumba sungai, biawak, harimau Sumatra, lutung, ular, dan lain-lain. Serta menikmati ‘pertemuan’ yang indah dan tak terlupakan bersama ratusan burung-burung elang, camar laut, dan bangau yang menemani kami berenang di perairan antara sungai dan selat Bangka, sehingga airnya terasa begitu asin. Kami juga menyinggahi nelayan-nelayan ikan dan kepiting bakau. Ngomong-ngomong, kata guide kami, kepiting bakau itu masih berada dalam perdebatan soal halal haramnya. Yaa… karena hewan pencapit ini hidup di dua alam, yaitu darat dan air. Kalau soal rasa ya sebenarnya konon nggak kalah saing dengan kepiting laut.


Dan, Sembilang bukanlah satu-satunya taman nasional yang dimiliki oleh provinsi saya Sumatera Selatan ini. TN Sembilang terletak di kabupaten Banyuasin. Berbatasan dengan Jambi dan juga Bangka. Sedangkan di sebelah barat Sumsel, yaitu Kabupaten Musi Rawas, ada juga Taman Nasional Kerinci Seblat. Walaupun bagian di Musi Rawas hanya sekian persen dari seluruh wilayah TNKS, sebab TNKS yang luasnya melebihi satu juta hektar itu meliputi kawasan di empat provinsi yaitu Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, dan Sumatera Selatan. Saya mesti sangat berbangga kondisi ini, karena sesungguhnya Sumsel amat kaya dan kita wajib melestarikan serta mempromosikan keunggulan ini.


Sampai di sini dulu kisah singkat ini. Bagian ketiga yang akan menjadi bagian terakhir dari kisah penjelajahan di TN Sembilang adalah tentang Dusun/Desa Sembilang. Tentang hal yang pastinya seru, mengejutkan, sampai menegangkan dan mengerikan bakal ada di sana!