Social Icons

Pages

Azzura Dayana

Azzura Dayana

Selasa, 24 Juli 2012

Yang Tak Lekang dari Kenang: Tanjung Bira


Tanjung Bira adalah salah satu dari setting utama yang terdapat dalam novel Tahta Mahameru. Desa bahari ini terletak di 'ujung telapak salah satu kaki' pulau Sulawesi  yang bentuknya mirip huruf 'k' kecil itu :).

Untuk mencapai desa yang terletak di Kabupaten Bulukumba ini,
dibutuhkan waktu sekitar 6-7 jam berkendara dari Makassar, Sulawesi Selatan.
Saat mengunjungi tempat ini dulu, saya menumpangi bus Aneka jurusan Pulau Selayar 
dari Terminal Malengkeri di Makassar dengan membayar ongkos Rp50.000. Berangkat jam 9 pagi.


Pukul 15.30, bus yang saya naiki memasuki areal pelabuhan. 
Sebelum bus menyeberang menuju Pulau Selayar menaiki kapal feri, saya turun.
Pelabuhan ini cukup sepi dan sangat panas di sore hari itu.





Di luar gerbang pelabuhan, saya melihat miniatur kapal pinisi ini di atas sebuah tanah tinggi. Kapal pinisi adalah budaya kreasi Suku Bugis sejak dulu yang kesohor hingga mancanegara. Lengkapnya tentang budaya ini juga terceritakan dalam Tahta Mahameru.


Saya berjalan kaki mencari pantai pasir putih Tanjung Bira yang kenamaan. Saya mengenal pantai ini sejak tahun 1992 dari sebuah mini seri jadul di TVRI dulu. Sejak itu saya bertekad, saat dewasa nanti saya akan menapakkan kaki di sini, dengan upaya (dana) sendiri. Alhamdulillah, akhirnya kesampaian, dan malah terabadikan kenangannya dalam novel terbaru saya. Nah, inilah dia pantai barat Tanjung Bira berpasir putih yang saya temukan sore itu. Indah, ya? :-)

Ini beberapa anak lelaki warga desa Bira yang sedang bermain pasir bersama-sama, sambil menikmati senja. Saya asyik mengamati mereka yang sedang membuat bangunan pasir. Lalu tentu saja, mereka segera menjadi objek kamera Nikon saya.


***

Ini adalah pemandangan pelabuhan Bira di pagi keesokan harinya, saat saya bermaksud jogging menuju desa di wilayah timur pelabuhan ini (sementara tempat yang saya datangi kemarin sekaligus penginapan kecil saya terletak di desa bagian barat Bira). Saya ketinggalan moment sunrise karena bangun agak kesiangan, shalat Subuh pun terpaksa saya dirikan jam 5.30 :'-(




Kenapa bisa kesiangan? Pertama, lumayan letih setelah perjalanan jauh berhari-hari sebelumnya dari Sumatera dan Jawa. Kedua, kurang tidur sehingga terasa ngantuk. Ketiga, jam di hape saya lupa saya ganti dari WIB ke WITA. Saya bawa dua hape. Hape yang satu adalah hape pintar yang bisa berubah sendiri waktunya jika dibawa ke zona waktu yang berbeda. Hape yang satunya lagi adalah hape biasa. Salahnya saya, demi menghemat daya yang saya matikan saat tidur justru si hape pintar itu. Dan saya mengatur alarm di hape biasa. Ya nggak guna, dong! :-p


Ya, saya menuju pelabuhan sambil berlari-lari kecil. Sepi sekali desa ini sejak kemarin. Bira memang hanya meramai saat weekend tiba, begitu para pelancong berdatangan memenuhi semua penjuru. Tiba di pelabuhan, sudah panas sekali. Melipir sepanjang pantai menuju desa Bira timur, makin panas. Saya pun tidak jogging lagi. Jalan kaki saja. Mana ada kan jogging panas-panas?


Dari pantai timur Bira yang panas ini, pelabuhan masih terlihat, meski sudah terbilang jauh.

Terus berjalan, saya menemukan ini. Pelabuhan rakyat desa Pangrangluhu. Konon adalah pelabuhan ikan bagi nelayan Bira timur yang pulang melaut. Tapi yang terlihat dan terasa, hanya sepi mengundang.
Makin jauh berjalan, saya berpikir, pulangnya nanti gimana ya? Masa jalan kaki lagi sejauh ini? Satu dua kali tadi saya lihat ada orang bermotor yang lewat. Pertama laki-laki, dan yang kedua perempuan. Pikir saya, nanti saya akan mencoba mencari tumpangan motor saja ke pelabuhan. Bayar juga tidak masalah.


Tapi sebelumnya, saya masih melanjutkan perjalanan dulu. Tetap sepi. Padahal saya berharap bisa bertemu nelayan yang bisa saya liput. Rumah-rumah warga suku Bugis mulai bermunculan memenuhi sisi pandang kiri saya. Rumah-rumah yang khas itu berderet. Terlindung pepohonan dan dinding tebing di belakang rumah-rumah tersebut. Hanya satu dua manusia yang saya lihat. Sementara di depan rumah-rumah dipenuhi ratusan kuburan. Rumah-rumah, kuburan, pohon kelapa, pantai, pinisi. Itu saja yang saya lihat. Sementara, apa yang saya dengar hanya suara ombak dan angin. Eh, saya kok mulai merinding disko. Semoga tidak ada yang nyulik saya :-).


Nah, ini yang terakhir saya dapati. Kapal pinisi megah yang sedang dalam proses pengerjaan. Tentang kedahsyatan kapal ini, silakan teman-teman telusuri di internet, atau baca aja Tahta Mahameru :) Yang pasti, kapal ini harga jual per unitnya minimal 2 milyar. Dan itu uang semua, nggak dicampur daun kelapa. Hehe.
Karena cuaca sudah semakiiiin panas (gimana kalau jam 12 siang nanti ya?), saya memutuskan untuk menyudahi penjelajahan saya. Tiba-tiba dari jauh muncul sebuah mobil pick up. Ini pertama kalinya saya melihat mobil melewati jalan tanah di tepi pantai ini. Mata saya membelalak, dan seperti merasa bahwa doa saya dikabulkan Tuhan, tanpa ragu saya menyetop mobil itu dan meminta izin pada orang-orang yang berada di atasnya untuk menumpang sampai pelabuhan. 
Orang-orang di mobil itu ternyata adalah para pekerja pelabuhan. Wah, senang bertemu mereka dan bisa mencari informasi yang banyak tentang desa Pangrangluhu ini, pantainya, sampai pelabuhannya. Bekal yang cukup banyak untuk saya muat dalam Tahta Mahameru, 
di kemudian hari sepulang saya dari sana.

Saya tiba dengan selamat di pelabuhan. Kemudian saya menunggu kedatangan mobil angkutan umum sejenis mikrolet yang mengantar saya sampai penginapan di kawasan pantai barat yang indah, dan komersil.

Allhamdulillah. Ini desa yang indah dan unik. Dan hingga detik ini, saya selalu merindukannya. Semoga suatu saat bisa kembali lagi ke sana. 
Mungkin bersama seseorang :-). Eh, aamiin ya Rabb.

3 komentar:

  1. Mbak Yanaaaa, jadi pengen cepat2 baca novelnya tahta mahameru. Dan pastinya, pengen banget bisa ke desa Mahameru sama Mbak Yana. Waaaaaaw, pengeeeeeeeen. ^0^

    BalasHapus
    Balasan
    1. siip.. mudah2an tercapai yaa...
      met hunting Tahta Mahameru :-)

      Hapus
  2. jatuh cinta sama novel ini.hmmmmm kalau tahta mahameru di filmkan rasanya beruntung sekali "dia" yang akan menjadi pemerannya. bisa merasakan euforia cerita ini bagai mimpi yang jadi kenyataan.
    faras. ikhsan ^_^

    BalasHapus