Social Icons

Pages

Azzura Dayana

Azzura Dayana

Selasa, 11 Desember 2012

Workshop Kepenulisan - Great Menu to Support You to be A Great Writer

TRUSTCO PALEMBANG


proudly presents

Workshop Kepenulisan
“Inspiring Day with Azzura Dayana”


Tempat : Aula Lembaga Pengabdian Masyarakat, kampus Unsri Indralaya
Waktu : Sabtu, 29 Desember 2012, pukul 08.00-16.00 WIB

Menu workshop:
• Motivasi Potensi Menulis
• Orisinalitas Ide dan Kemampuan Meramu
• Kekuatan Diksi Terpilih
• Memahami Fiksi Lebih Dalam
• Praktik Membuat Outline Fiksi dan Nonfiksi
• Praktik Menulis Cepat
• Membaca Karakteristik Naskah
• Tips Menembus Media
• Uji Tampil

Tiket: 
Rp 75.000,- (early bird sebelum 16 Desember 2012)
Rp 90.000,- (17 – 28 Desember 2012)
Rp 100.000,- (29 Desember 2012)

Pendaftaran: 
085369914499 (Ari) / 085838977723 (Wandi)
Indralaya: Warnet Putri, Komplek Sarjana, Indralaya
Palembang: ENTER Palembang, Jln. Srijaya Negara (depan SMKN 3) Bukit Besar
Transfer ke BNI an. Hardi Aji Badarwi no. rekening 0162646288

Fasilitas:
Makan siang, snack, doorprize





Supported by

• Enter Palembang (www.enterpalembang.com)
• Nabila Sukses



Kamis, 06 Desember 2012

Sajak Kalimati


Ini upaya air mencari muaranya
Atau usaha beburung temukan reranting tempat hinggap
Pada dingin magis bantaran kali
yang tinggal nama lalu semayam di bahu Mahameru

Maka ini jejak langkah pendaki bersajak
Yang tinggalkan rumah demi temui kabutmu
Demi menggerut benalu dari batang liar sepadang
Redakan sesak pada napas
Bekas polusi kota

Ini upaya air yang menuruni puncak
Atau aksi beburung tanggalkan sayap
Lalu rayapi tanah galur-galur Kalimati
Injaki rongga-rongga keangkuhan pribadi

Di hadapan-Nya ini, meninggikan tekad di kerendahan diri
Di bahu gunung ini, merendahkan hati di ketinggian
Satu mimpi demi satu mimpi
Iringi langkah kami, Kalimati


~Azzura Dayana
5 Desember 2012, 22 : 34 WIB




Rabu, 05 Desember 2012

Puisi MAHAMERU


: untuk Mahameru

Meski banyak bunga tertebar di dunia
Tapi bunga kita adalah bunga yang sama: Edelweiss
Jatuh cinta kita tak tersekap waktu

Meski selaksa langkah memacuku menempuh peradaban
Tapi kejernihan tetap di hati Ranu Kumbolo
Tetap pada telinga Ranu Pane
Bersama ikan-ikan kedinginan dan kaki-kaki kepayahan

Jangan menatap ragu pada mata hatiku
Jangan muram dalam dinginmu yang berangsur pudar
Tak kan kubiar semua yang datang menanam luka
Aku yang akan menjagamu

Mahameru
Bertahanlah dengan pinus-pinus dan cemaramu
Simpan tajam mata macan, beruang, dan ular sabanamu
Alirkan pelepas dahaga sepanjang napas melintasimu
Kepada langkah yang teramat cermat hanya bagimu

Aku adalah mata yang teramat sanjung pada agungmu
Tanganku melipur cemas dan menjaga anggunmu
Bicaraku adalah kedekatan bagi diammu
Engkau dan aku sama-sama tahu
Selalu sebijak itu kucinta padamu

***

~a poem by Azzura Dayana
seolah memerankan Raja Ikhsan, ketika menuliskan puisi ini ;-)

~tuk semua pecinta Mahameru, semoga jadi pecinta alam sejati yg takjub pd Penciptanya








Senin, 03 September 2012

Setelah Mereka Membaca Tahta Mahameru.... :-)

***




Gembira rasanya, karena Tahta Mahameru berbeda dari novel-novel saya sebelumnya, maka berbeda pula reaksinya. Dari sejumlah tulisan yang pernah saya hasilkan, jujur saya akui bahwa Tahta Mahameru adalah karya yang paling menyenangkan bagi saya. Menyenangkan di sini karena banyak hal: (1) karena saya menceritakan jejak-jejak traveling saya sendiri ke Tanjung Bira dan Mahameru (ditambah konflik fiktif antara tokoh-tokoh fiktif pula, yaitu Ikhsan-Faras-Mareta); (2) karena saya menuliskannya dengan gembira, mudah, dan cepat (total 2 bulan) dan hanya dihinggapi satu kali bad mood; (3) selalu disertai sisa-sisa kesan perjalanan yang sepertinya akan abadi di benak saya (dan menjadi lebih terabadikan lewat novel ini).

Dan pamungkasnya, (4) adalah karena pembaca novel saya yag satu ini benar-benar heterogen. Sejak di awal menuliskan novel ini sih sebenarnya saya sendiri juga tidak khawatir sama sekali bahwa pembaca saya hanya terbatas pada kalangan pendaki saja. Saya malah yakin pembaca saya nantinya akan lebih banyak yang berasal dari kalangan umum seperti mahasiswa, pelajar, ibu rumah tangga, pegawai kantoran, dan sebagainya yang memang menyukai aktivitas baca buku, termasuk ratusan pembaca novel-novel saya sebelumnya yang di antaranya selalu bertanya-tanya kapan novel baru saya terbit lagi. Fyi, novel terakhir saya sebelum Tahta Mahameru terbit tahun 2009. Jadi, cukup lama vakum, kan?

Ketika buku ini selesai dicetak oleh Republika (ini adalah debut pertama pencetak harian umum bernama Republika ini menerbitkan buku-buku. Jadi, Republika dan Republika Penerbit itu berbeda, lho), Tahta Mahameru mulai masuk ke pasar buku. Kabar-kabar datang dengan cepat dari para pembaca kepada saya, baik via Facebook, e-mail, Twitter, sms, Goodreads, Mp, Bs, Wp, Republika Online, dan sebagainya, maupun laporan-laporan tidak langsung. 

Sungguh, ternyata inilah kalangan yang menjadi pembaca Tahta Mahameru: mahasiswa, pelajar, penulis, pegawai kantoran, ibu-ibu rumah tangga, muslim, non-muslim, perempuan dengan berbagai model rambut, perempuan berkerudung, pria berpenampilan rapi, pria berambut gondrong, pria merokok, orang yang tidak pernah atau jarang jalan-jalan, maniak jalan-jalan alias traveler sejati, pecinta alam, pendaki tulen alias setan gunung, pecinta buku; sampai mereka yang seumur hidup tidak pernah menyukai novel apalagi membacanya, akan tetapi Tahta Mahameru sanggup mereka tuntaskan karena segunung keingintahuan, dan menjadi novel pertama yang mereka tamatkan.

Kepada semua orang-orang ini, para pembaca saya, yang pernah bertemu dan berkumpul dengan saya, maupun yang belum pernah saling kenal sama sekali, saya ucapkan berjuta-juta terima kasih atas apresiasi kawan-kawan semua... #menjura. Kalian membuat saya bahagia sekaligus terharu. Kesan, pesan, saran, pendapat, dan kritik dari teman-teman semua adalah penyambung-hidup Tahta Mahameru ini.

Saya yakin pembaca adalah partner cerdas sepanjang masa. Mereka sanggup menemukan berbagai kesalahan di buku ini :) yang mudah-mudahan bisa diperbaiki penerbit di cetakan berikutnya. Untuk beragam ketidaknyamanan yang tertemukan itu, saya memohon maaf. Ada pembaca yang shock karena perubahan ukuran font di halaman 229-230, juga 275-280 bagian atas, dan 320-324. Lalu inkonsistensi keberadaan cetak tebal pada beberapa e-mail awal Ikhsan di halaman 199-200, perubahan tanda (‘) menjadi (>) di halaman 190, 191, 303. Sementara, beberapa kesalahan ketik kata-kata yang ada di novel ini adalah jelas-jelas kesalahan saya sebagai penulisnya.

Usai pembaca menamatkan novel ini, banyak yang mengaku terobsesi untuk menapak Semeru alias Mahameru, dengan salah satu surganya itu, yaitu Ranu Kumbolo. Mereka yang belum pernah berkunjung ke sana atau baru mendengar saja. Ada yang yakin bisa, ada yang tidak yakin. Tapi saya katakan, beranilah saja bermimpi. “Saya dulu juga begitu,” kata saya. Dulu saya mengimpikan kapan bisa ke Semeru dan melihat langsung Ranu Kumbolo, setelah banyak membaca tentang tempat itu. Saya tanam mimpi itu. Sampai saya sadar bahwa ternyata akhirnya Allah memberikan jalan dengan sendirinya, berkat keberanian bermimpi itu. Akhirnya impian itu tercapai. Juga mimpi saya ke Tanjung Bira yang telah ada di benak saya sejak kelas 4 SD, yang akhirnya juga tercapai lama kemudian.

Pun, banyak pembaca Tahta Mahameru yang kemudian ‘bercita-cita’ menjadi backpacker yang menjelajahi sudut-sudut negeri, setelah mengikuti penjalanan Ikhsan dan Mareta dari tempat ke tempat. Juga karena deskripsi saya tentang eksotika Tanjung Bira: pantai-pantai aduhai, kemegahan kapal Pinisi, kegagahan para pelaut Bugis, serta rumah adat Suku Bugis yang unik dengan tangga beratap. Memang, Tanjung Bira hanyalah satu dari sekian banyak pesona alam dan budaya yang dimiliki Indonesia. Inilah inspirasi yang tak akan pernah habis untuk kita nikmati, hayati, dan manfaatkan.

Jangan berkecil hati jika kita merasa berkekurangan untuk mencapai tempat-tempat lain selain yang kita pijak. Kita tidak akan tahu banyak kalau kita tidak bergerak. Kemarin saya menonton Kick Andy Hope di Metro TV, dan salah satu tokoh inspiratif yang diceritakan di sana adalah seorang lelaki berkaki satu yang berhasil mendaki gunung-gunung tinggi di negeri ini, plus gunung-gunung es yang menjadi atap dunia di mancanegara sana. Betapa spekta! Padahal ya, kita-kita yang juga memiliki kekurangan—tapi kekurangannya itu sebenarnya jauh lebih sederhana daripada lelaki itu—yaitu kekurangan uang alias dana cekak, sudah begitu berbahagianya saat berhasil naik gunung atau berpackpacking ria ke pelosok-pelosok dengan berbagai cara. Iya, kan? Kita rela naik kereta api ekonomi, berdiri di atas jip berjam-jam, menumpangi truk bak terbuka, atau jalan kaki sekian kilometer (eh, saya jadi kangen momen-momen seperti ini bersama teman-teman backpacker:)). Tuhan telah menjamin kekuatan kaki kita, bukan?

Jadi begitulah. Mari terus bersemangat menjadi dan mencari apa saja yang kita minati, selama hal itu positif. Sekali lagi, terima kasih atas persahabatan ini. Seperti Faras yang ingin bersahabat dengan siapa saja :). Terima kasih pula bagi teman-teman yang nge-fans sama tokoh Ikhsan (padahal doi sinis yak), lalu yang nge-fans sama Mareta dengan gaya cueknya (sebenarnya banyak persamaan sih antara saya dan Mareta: sama-sama suka jalan, males makan kalau lagi jalan, sulit baca buku kalau lagi jalan, kadang-kadang merencana trip hanya bermodal insting dan peta, ngomong lu-gue juga walaupun kalau saya hanya pada teman-teman tertentu yang juga selalu ber-elu-gue); dan para fans-nya Faras, yang sampai-sampai mereka bilang kalau nanti mau ke Semeru mereka pengen mampir ke warungnya Faras di Ranu Pane, hehehe. Persamaan saya dan Faras juga ada, yaitu kami sama-sama pakai jilbab. Tapi saya belum sanggup mendaki pakai rok seperti Faras. Sebenarnya, tokoh Faras yang mendaki pakai rok ini terinspirasi dari seorang gadis berjilbab panjang dan rok panjang yang berpapasan dengan saya di trek gunung pasir menuju puncak Mahameru. Pikir saya, keren banget ini cewek. Tangguh. Suatu hari nanti, pengen deh saya mendaki pakai rok juga. Hoho.

Sekali lagi, makasih ya, teman-teman pembaca Tahta Mahameru :-). I love you all.

 **



Nb: sambil menulis bab-bab awal novel terbaru. Doakan ya, teman-teman.

Selasa, 24 Juli 2012

Yang Tak Lekang dari Kenang: Tanjung Bira


Tanjung Bira adalah salah satu dari setting utama yang terdapat dalam novel Tahta Mahameru. Desa bahari ini terletak di 'ujung telapak salah satu kaki' pulau Sulawesi  yang bentuknya mirip huruf 'k' kecil itu :).

Untuk mencapai desa yang terletak di Kabupaten Bulukumba ini,
dibutuhkan waktu sekitar 6-7 jam berkendara dari Makassar, Sulawesi Selatan.
Saat mengunjungi tempat ini dulu, saya menumpangi bus Aneka jurusan Pulau Selayar 
dari Terminal Malengkeri di Makassar dengan membayar ongkos Rp50.000. Berangkat jam 9 pagi.


Pukul 15.30, bus yang saya naiki memasuki areal pelabuhan. 
Sebelum bus menyeberang menuju Pulau Selayar menaiki kapal feri, saya turun.
Pelabuhan ini cukup sepi dan sangat panas di sore hari itu.





Di luar gerbang pelabuhan, saya melihat miniatur kapal pinisi ini di atas sebuah tanah tinggi. Kapal pinisi adalah budaya kreasi Suku Bugis sejak dulu yang kesohor hingga mancanegara. Lengkapnya tentang budaya ini juga terceritakan dalam Tahta Mahameru.


Saya berjalan kaki mencari pantai pasir putih Tanjung Bira yang kenamaan. Saya mengenal pantai ini sejak tahun 1992 dari sebuah mini seri jadul di TVRI dulu. Sejak itu saya bertekad, saat dewasa nanti saya akan menapakkan kaki di sini, dengan upaya (dana) sendiri. Alhamdulillah, akhirnya kesampaian, dan malah terabadikan kenangannya dalam novel terbaru saya. Nah, inilah dia pantai barat Tanjung Bira berpasir putih yang saya temukan sore itu. Indah, ya? :-)

Ini beberapa anak lelaki warga desa Bira yang sedang bermain pasir bersama-sama, sambil menikmati senja. Saya asyik mengamati mereka yang sedang membuat bangunan pasir. Lalu tentu saja, mereka segera menjadi objek kamera Nikon saya.


***

Ini adalah pemandangan pelabuhan Bira di pagi keesokan harinya, saat saya bermaksud jogging menuju desa di wilayah timur pelabuhan ini (sementara tempat yang saya datangi kemarin sekaligus penginapan kecil saya terletak di desa bagian barat Bira). Saya ketinggalan moment sunrise karena bangun agak kesiangan, shalat Subuh pun terpaksa saya dirikan jam 5.30 :'-(




Kenapa bisa kesiangan? Pertama, lumayan letih setelah perjalanan jauh berhari-hari sebelumnya dari Sumatera dan Jawa. Kedua, kurang tidur sehingga terasa ngantuk. Ketiga, jam di hape saya lupa saya ganti dari WIB ke WITA. Saya bawa dua hape. Hape yang satu adalah hape pintar yang bisa berubah sendiri waktunya jika dibawa ke zona waktu yang berbeda. Hape yang satunya lagi adalah hape biasa. Salahnya saya, demi menghemat daya yang saya matikan saat tidur justru si hape pintar itu. Dan saya mengatur alarm di hape biasa. Ya nggak guna, dong! :-p


Ya, saya menuju pelabuhan sambil berlari-lari kecil. Sepi sekali desa ini sejak kemarin. Bira memang hanya meramai saat weekend tiba, begitu para pelancong berdatangan memenuhi semua penjuru. Tiba di pelabuhan, sudah panas sekali. Melipir sepanjang pantai menuju desa Bira timur, makin panas. Saya pun tidak jogging lagi. Jalan kaki saja. Mana ada kan jogging panas-panas?


Dari pantai timur Bira yang panas ini, pelabuhan masih terlihat, meski sudah terbilang jauh.

Terus berjalan, saya menemukan ini. Pelabuhan rakyat desa Pangrangluhu. Konon adalah pelabuhan ikan bagi nelayan Bira timur yang pulang melaut. Tapi yang terlihat dan terasa, hanya sepi mengundang.
Makin jauh berjalan, saya berpikir, pulangnya nanti gimana ya? Masa jalan kaki lagi sejauh ini? Satu dua kali tadi saya lihat ada orang bermotor yang lewat. Pertama laki-laki, dan yang kedua perempuan. Pikir saya, nanti saya akan mencoba mencari tumpangan motor saja ke pelabuhan. Bayar juga tidak masalah.


Tapi sebelumnya, saya masih melanjutkan perjalanan dulu. Tetap sepi. Padahal saya berharap bisa bertemu nelayan yang bisa saya liput. Rumah-rumah warga suku Bugis mulai bermunculan memenuhi sisi pandang kiri saya. Rumah-rumah yang khas itu berderet. Terlindung pepohonan dan dinding tebing di belakang rumah-rumah tersebut. Hanya satu dua manusia yang saya lihat. Sementara di depan rumah-rumah dipenuhi ratusan kuburan. Rumah-rumah, kuburan, pohon kelapa, pantai, pinisi. Itu saja yang saya lihat. Sementara, apa yang saya dengar hanya suara ombak dan angin. Eh, saya kok mulai merinding disko. Semoga tidak ada yang nyulik saya :-).


Nah, ini yang terakhir saya dapati. Kapal pinisi megah yang sedang dalam proses pengerjaan. Tentang kedahsyatan kapal ini, silakan teman-teman telusuri di internet, atau baca aja Tahta Mahameru :) Yang pasti, kapal ini harga jual per unitnya minimal 2 milyar. Dan itu uang semua, nggak dicampur daun kelapa. Hehe.
Karena cuaca sudah semakiiiin panas (gimana kalau jam 12 siang nanti ya?), saya memutuskan untuk menyudahi penjelajahan saya. Tiba-tiba dari jauh muncul sebuah mobil pick up. Ini pertama kalinya saya melihat mobil melewati jalan tanah di tepi pantai ini. Mata saya membelalak, dan seperti merasa bahwa doa saya dikabulkan Tuhan, tanpa ragu saya menyetop mobil itu dan meminta izin pada orang-orang yang berada di atasnya untuk menumpang sampai pelabuhan. 
Orang-orang di mobil itu ternyata adalah para pekerja pelabuhan. Wah, senang bertemu mereka dan bisa mencari informasi yang banyak tentang desa Pangrangluhu ini, pantainya, sampai pelabuhannya. Bekal yang cukup banyak untuk saya muat dalam Tahta Mahameru, 
di kemudian hari sepulang saya dari sana.

Saya tiba dengan selamat di pelabuhan. Kemudian saya menunggu kedatangan mobil angkutan umum sejenis mikrolet yang mengantar saya sampai penginapan di kawasan pantai barat yang indah, dan komersil.

Allhamdulillah. Ini desa yang indah dan unik. Dan hingga detik ini, saya selalu merindukannya. Semoga suatu saat bisa kembali lagi ke sana. 
Mungkin bersama seseorang :-). Eh, aamiin ya Rabb.

Selasa, 17 Juli 2012

[Tanpa Judul]

Aku menjelajah bukan untuk menunjukkan bahwa aku tangguh, tapi untuk membuktikan bahwa sesungguhnya aku lemah.

Aku berbicara bukan untuk menunjukkan bahwa aku tahu banyak hal, tapi untuk mendapati bahwa aku tak mengerti segala sesuatu.

Aku bekerja keras bukan untuk menunjukkan bahwa aku bisa melakukan segalanya, tapi karena aku tak bisa apa-apa.

Aku tersenyum bukan karena selalu bahagia dan terlindung, tapi karena lebih baik daripada menunjukkan air mata.

Aku pergi darimu bukan untuk menjauh, tapi justru untuk mendekat.

 Aku berdiri tegak bukan karena punggungku, tapi karena perasaanku.


---

Yaa muslimah... terkadang aku benar-benar mengerti apa yang ingin kita tunjukkan pada dunia, meski tak semua manusia meyakininya.

Kita menulis dan berkata tentang kekuatan, keyakinan dan kegigihan, sebab Allah dan Rasulullah pun meminta setiap manusia menjadi kuat dan tabah.

Kita berhindar dari menulis dan berkata tentang kelemahan dan kerapuhan diri, semata agar semesta tak mengerdilkan kita.

Dan kita tetap kaum muslimah..., kaum perempuan. Itu benar. 
Kelembutan kita tak berkurang hanya karena kita selalu menulis dan berkata tentang kekuatan dan ketabahan. 
Keanggunan kita tetap terpancar, tanpa harus berkoar dan berkejar-kejar dengan hal kecantikan.
Kehalusan perasaan kita tetap ada, tanpa harus berderai-derai dalam keluh dan tangisan.

Marilah kita biarkan air mata kita jatuh hanya saat berkeluh kesah pada-Nya, di hadapan-Nya. Biarkan hanya Ia yang selalu memahami kesejatian kita sebagai manusia biasa, dalam kodrat kita.
---
Azzura Dayana 
Senja 17 Juli 2012
~inginhilangsebentar



Sabtu, 07 Juli 2012

[Kultwit] Sesekali, Dobraklah


11. Sesekali, dobraklah semua gaya lama, dan tunjukkan bahwa kau bukan seseorang yg biasa.
10. Sesekali, dobraklah. Sesuatu yg baik itu mengharapkanmu menjemput dgn cara yg berbeda.
9. Sesekali, dobraklah. Jika Ia hanya meminta kita minum di satu sumber air, utk apa diciptaNya jutaan mata air di muka bumi.
8. Sesekali, dobraklah. Jika hanya dimintaNya kita berkumpul di satu pulau, untuk apa diciptaNya semua pulau lainnya.
7. Sesekali, kreatiflah. Yakinlah benar2 bhwa Allah mempunyai banyak pintu2 maghfirohNya dan Ia bs mngizinkn kita masuk dari mana saja.
6. Sesekali, dobraklah smua cara lama. Allah berikn hasil trbaik pd yg brjuang lewat cara unik nan apik. Usahamu pantas dptkn hasil trbaik
5. Sesekali, ciptakan sendiri permainanmu. Aturlah semesta untuk mendukungmu.
4. Sesekali, kau prlu mnjdi lebih pmberani drpd skrg. Gelisahlah dg langkah kecilmu, smentara di luar jalurmu ada orng2 yg melangkah besar2
3. Sesekali, dobraklah tradisi itu, dg kberanian & kemantapan, asal tak beriring mudharat. Cita2 trkdng tak hny hrs digapai lewat satu pintu
2. Sesekali, mendobrak kbiasaan dg cara tak biasa itu perlu, asalkn itu benar, dan ada sesuatu yg sngat baik yg akn diperoleh sbg hasil.
1. Sesekali, dobraklah cara yg dipatenkn smua orng sbg cara paling tepat. Dobraklah dg cara lain yg trpikir olehmu, asal kau yakin itu benar