Social Icons

Pages

Azzura Dayana

Azzura Dayana

Sabtu, 25 April 2015

[Puisi] Untukmu, Wanita Jelita

Untukmu, Wanita Jelita


Seperti kali pertama saja aku bertemu dengannya
Wanita jelita, di sudut rumah
Mengatakan bahwa diriku berhati lelaki:
berkemauan keras, dan teguh pada inginnya

Wanita jelita, membawa anak ayam dan bunga
Luluh langkah ke pasar, pada pagi buta
Tanpa mau kutemani


Wanita jelita, telah tua usia
Melirik pada karibnya. ”Bukankah saatnya kita pamit.
Dan duduk di beranda, menunggu cucu berarak datang.
Mungkin lama.”

Wanita jelita, meneteskan air dari mataku pada sayapnya
Bersatu dengan kolam dalam pundi yang dikumpulkannya
Aku tahu kini aku yang mengepak sayap itu
”Sedih. Dia ini sedang sedih,” katamu,
bahkan sebelum aku menjadi larutan

Aku akan membungkus sayap itu, suatu saat
Lalu menemui laut dan melepasnya pada camar
Dan hati lelakiku, akan kupulangkan pada tuannya
Mungkin aku telah bertemu, tanpa tahu

Biar aku yang menggiring anak ayam pulang
Menghela kuda, menertawakan padang
atau menjadi gembala, memberimu kalung dari ilalang, perca jadi pelana
Membagi sudut denganmu, wanita jelita
Menadah hujan untukmu

(Azzura Dayana, 1 April, Jakarta Selatan)




Kamis, 09 April 2015

[Ending Tambahan Altitude 3676 Takhta Mahameru by Azzura Dayana] Bab 36. MATI MUDA


36
MATI MUDA

“Nasib terbaik adalah tidak pernah dilahirkan,” gumam Ikhsan lirih. “Yang kedua, dilahirkan, tetapi mati muda.” Ia melanjutkan.
Demi mendengar kalimatnya itu, aku menoleh dengan agak kaget. Jantungku berpacu lebih kencang. “Kalimat yang bagus, walaupun terdengar cukup mengerikan di sini,” kataku.
Dia membicarakan tentang mati muda, sedangkan di hadapan kami jurang sedang terbentang.
Perjalanan pulang menuju Arcopodo masih terhitung jauh. Kami kini sedang meniti trek menuruni lereng puncak. Matahari terpapar seolah tanpa penghalang, hawa panas menjalar, meski kibasan angin tetap ganas. Inilah nuansa panas bercampur dingin. Pasir lereng sedikit demi sedikit mulai gembur. Walaupun kami tak lagi berada di titik tertinggi tanah Jawa, bukan berarti masa menegangkan telah selesai. Pasir ini semakin tidak bersahabat untuk dilewati dengan mudah.
Ikhsan tertawa pahit. “Itu kalimat  Soe Hok Gie.”
“Kita sedang menuruni lereng curam, Mas,” kataku.
 “Tentu saja. Tidak ada yang mengatakan kita sedang di Ranu Pane, kan?” jawabnya. Wajahnya lurus menatap pusaran hitam di atas Bromo, nun jauh di timur laut.
Kuatur napas sebentar. “Maksudku, itu bukan kalimat motivasi yang baik untuk dikatakan saat turun gunung dan menghadapi jurang seluas ini. Kecuali ada di antara kita yang ingin mati muda.”
Mareta tiba di belakang punggung Ikhsan, setelah tadi ia berada sekitar satu meter di belakang Ikhsan. Sementara Bapak sedikit lebih jauh di belakangku. Mulai pertengahan pendakian hingga saat ini, aku melihat interaksi yang sangat baik antara dua kakak-adik itu. Ikhsan tidak lagi menggunakan tali webbing-nya seperti saat ia menarik Mareta ke atas tadi, dan kini ia dengan sabar memimpin Mareta turun. Ditunjukkannya salah satu trik menuruni kemiringan pasir, yaitu dengan menancapkan bagian ujung belakang telapak kaki lalu mendorongnya turun di pasir, bergantian antara kaki kanan dan kiri, begitu seterusnya.
Ikhsan tidak merespons perkataanku sedikit pun. Melihat Mareta yang memandangi kami tidak mengerti, ia lekas mengajak adiknya itu untuk melanjutkan turun.
Langkahku tertahan setelah mengucapkan kalimat tadi. Sengaja kutunggu Bapak hingga berada persis di sampingku. Aku benar-benar tidak mengerti apa maksud Ikhsan mengatakan tentang mati di tempat seberbahaya ini. Semangat siapa yang ingin ia matikan? Dipikirnya aku sekuat apa?
“Kamu tidak apa-apa, Nduk?” tanya Bapak yang melihatku terduduk diam dengan punggung bersandarkan gunung pasir itu.
Kuraih sebelah tangan Bapak. “Ini… kakiku… agak gemetar, Pak.”
“Dua-duanya?” tanya Bapak, lalu tanpa sempat kuiyakan dia sudah langsung membantuku memijat kedua kakiku. Aku terharu merasakan kelembutan sikapnya yang seperti mewakili sosok ibu bagiku, serta tetap bersikap sebagai bapak yang sabar dan melindungi putrinya.
“Masih kuat jalan?” tanyanya.
“Insya Allah. Tapi tunggu sebentar lagi kayaknya ya, Pak.”
Bapak mengangguk sambil tersenyum mengerti. Ini pertama kalinya kami berhenti lebih dari lima menit saat break di lereng pasir. Matahari telah naik sepenggalahan. Seharusnya, ini adalah dhuha yang sangat indah.
Aku bukan takut mati, Ya Rabb. Sungguh. Tapi aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi padaku.
“Dia peduli padamu, Nduk,” kata Bapak, tiba-tiba.
“Apa, Pak?” tanyaku heran.
“Nak Ikhsan itu. Dia menyayangimu.”
Aku tersenyum kecut. “Bapak enggak usah bercanda…,” kataku. Menurutku kata-kata Ikhsan sebelum melanjutkan turun bersama Mareta tadi sama sekali tidak membuktikan apa yang diucapkan Bapak.
“Jelas Bapak melihat kekecewaannya saat Bapak memberitahunya tentang kamu dan Nurdin tempo hari.”
“Kami saling menganggap sahabat satu sama lain, Pak. Tepatnya, dia yang sepertinya baru benar-benar mengakuiku sebagai sahabat yang peduli padanya. Sayangnya, tepat di saat itu pula, dia harus menemukan kenyataan bahwa hubungan kami mulai sekarang akan berbeda dari sebelumnya.”
“Coba beri Ikhsan kesempatan. Bapak lihat dia banyak berubah dari yang dulu. Nurdin juga sahabatmu, dan kita belum menjawab apa-apa padanya, kan?”
“Kenapa Bapak bicara begini?”
Bapak tersenyum. Mungkin kami tampaknya begitu menikmati bentangan awan di hadapan kami ini, padahal kami justru sedang memikirkan hal lain.
“Bapak yakin, sebentar lagi Ikhsan akan kembali ke sini. Jika itu benar, menurut Bapak kamu harus memberinya kesempatan.”
“Dia tidak mungkin meninggalkan Mareta di bawah sana to, Pak….”
“Ya. Perasaan sayang Ikhsan pada adiknya itu muncul sejak melihat kamu yang begitu menyayangi Mareta. Kamu tahu itu, Nduk?”
Kupandangi Bapak. Sejauh dan seluas ini ia berpikir rupanya. Tak terduga olehku. Aku menggeleng.
 “Dia akan meninggalkan Mareta sebentar di tempat yang aman. Di bawah sana juga banyak pendaki lain yang sedang ngaso, Nduk.” Bapak meyakinkanku dengan senyumnya.
Kuhela napas panjang. Benarkah semua yang dikatakan Bapak? Mahameru, jawab aku, lirihku sambil menoleh ke belakang. Semburan kawah Jonggring Saloka tiba-tiba membuat tanah sedikit bergetar. Kupegangi tangan Bapak erat-erat.
Lima menit. Sepuluh menit. Tiga puluh menit berlalu. Lautan awan masih seputih kapas, matahari masih sehangat tadi. Dan tak ada siapa-siapa yang kami lihat berjalan menuju kami. Pendaki yang hari ini tak banyak pun tampaknya sudah turun semua ke bawah.
“Ayo, Pak, kita turun,” kataku sambil bangkit. Bapak membantuku berdiri.
Kami akan kembali lagi, Mahameru.
Lalu, saat kukembalikan pandangan kepada lereng yang menurun di hadapan kami, kulihat satu titik bergerak. Terang dan cepat.
Bapak menyunggingkan sedikit senyum. Kembali kuamati titik itu. Seseorang. Semakin dekat. Begitu cepat seperti melesat. Hei, pasir telah segembur ini! Bagaimana bisa semudah itu mendakinya? Kekuatan apa yang mendukungnya hingga bisa secepat itu?
 “Ada yang tertinggal di sini sampai-sampai kamu naik lagi, Le?” sambut Bapak padanya.
Ia menyeka keringat yang membanjir di keningnya. “Ternyata… hhh, aku masih selalu hidup bersama kesalahan-kesalahanku, Pak,” jawabnya, sambil sedikit terengah. “Aku naik… hhh… untuk mengantarkan kata maaf.”
Aku tidak berkomentar. Terima kasih telah membuat kakiku gemetaran di lereng pasir.
Bapak tidak menanyakan apa yang harus dimaafkan dari Ikhsan. Ia malah langsung mengajak kami turun kembali. Katanya, supaya Mareta tidak lama menunggu kami di bawah. Kasihan dia.
Tak ada perbincangan sama sekali antara kami bertiga setelah itu. Aku dan Ikhsan merayap turun bersebelahan, sementara Bapak di belakangku. Matahari makin menyengat, menggosongkan kulit muka kami.
Akhirnya kami tiba di kaki lereng pasir dan bertemu Mareta. Gadis itu menyambutku dengan sebotol air segar yang disodorkannya padaku.
Lu baik-baik saja, kan, Ras?” tanyanya. “Enggak pernah gue lihat Mas Ikhsan segalau tadi sampai-sampai dia memutuskan naik ke atas lagi. Gue rasa tadi dia sengaja melakukan kesalahan yang dikiranya kecil, padahal ternyata besar. Dia menyesal, Ras. Dia khawatir banget sesuatu terjadi sama lu.”
Aku diam saja. Pun Bapak, dan Ikhsan yang seolah tak mendengar apa-apa.
Perjalanan kami lanjutkan lagi. Hanya rehat lima menit di Arcopodo, kami teruskan ke Kalimati. Lagi-lagi tak banyak pembicaraan sepanjang turun itu. Ikhsan berjalan di depan, Bapak di belakang. Aku dan Mareta di tengah, selalu berdekatan.
Galur-galur bekas pelewatan air ini seolah lorong-lorong tanah sempit yang harus kami lalui. Naik dan turun. Mendekati Kalimati, kebanyakan naik terus. Begitu kami muncul di permukaan tanah, udara segar menyambut. Tanah luas dengan berbagai vegetasi, sebagiannya kering… selamat datang kembali di Kalimati.
Bapak berhenti sebentar di dekat pepohonan yang dililiti benalu. Melihat Bapak mulai menggerut benalu dari batang, Mareta tertarik, lalu mendekat dan ikut mengumpulkan benalu.
Sementara aku lebih memilih menikmati bentangan luas Kalimati yang masih diselimuti sedikit kabut. Suasana yang magis.
“Mungkin saja benar, nasib terbaik adalah tidak pernah dilahirkan,” kata Ikhsan tiba-tiba, sambil mendekat. “Sempat aku menyesali hidupku, Fa. Apalagi setelah tahu kamu akan meninggalkanku karena seseorang. Kamu telah mati. Mati muda dalam kehidupanku. Artinya, kamu mendapatkan nasib terbaik kedua seperti yang dikategorikan Soe Hok Gie itu… Sedangkan aku… Aku dilahirkan. Setelah itu tidak berhasil mati muda dalam perseteruan kelam keluargaku.”
Aku tercengang. Cara dia berpikir memang seringkali mengagetkanku. Baru kupahami rupanya seperti itu makna perkataannya di lereng tadi.
“Aku telah mengatakan hal yang seharusnya tidak kukatakan di tempat serawan itu. Tapi aku lega kamu baik-baik saja, Fa. Aku tidak menginginkan atau membiarkan hal buruk terjadi padamu. Sama sekali tidak pernah ada niat seperti itu.”
 “Tempat ini,” potongku. “Meski begitu magis, dan meski bernama Kalimati, tapi terlalu indah kalau sekadar untuk diajak bicara tentang kepahitan. Mari kita bicarakan tentang impian hidup yang akan kita kejar dan kita sampaikan ke ketinggian langit. Bercita-cita setinggi langit.”
“Hmm, ya. Aku sepakat,” kata Ikhsan. “Kamu memaafkanku, Fa?”
Aku mengangguk. “Rasanya pantas kumaafkan, karena telah mengkhawatirkanku sedemikian rupa. Sampai-sampai aku keheranan bagaimana bisa lereng pasir curam dan gembur bisa didaki secepat itu… Kekuatan apa…,” tanyaku, mendadak menggantung tanpa kupahami.
“Kekuatan cinta,” sahutnya. “Baru saja kurasakan. Begitulah.”
Semua kosa kataku tiba-tiba hilang. Melayang ke atas menuju awan-awan.
“Dia telah dikalahkan oleh kecintaanmu pada awan-awan,” katanya lagi. “Dan sekarang, aku ingin menjadi seseorang yang bisa mengalahkan kecintaanmu pada awan-awan itu.”
Teringat aku pada kata-kata Bapak. Memberi sebuah kesempatan. Menyambut rasa sayang yang melebihi cintaku pada awan-awan itu. Menjelma.
Kuhela napas dalam-dalam. “Awan-awanku telah menjelma menjadi bunga-bunga ini,” ujarku, sambil menghampiri satu rerimbunan edelweiss yang setengah mekar. Tebarkanlah sebuah benih, dan bumi akan memberimu sekuntum bunga. Mimpikanlah impianmu ke langit, dan dia akan membawakan kekasihmu.”
Ikhsan terkesima. “Apakah itu Kahlil Gibran?”
Aku mengiyakan.  “Dan kurasa sangat tepat sekarang.” Ya, itulah jawabanku.
Lalu Ikhsan ikut memandangi kuntum edelweiss di dekat kami. Sementara Mareta dan Bapak sudah selesai memetik benalu dan berjalan mendekati kami.
“Jadi, kuntum bunga abadi ini… tidak akan mati muda dalam kehidupanku, ya. Syukurlaah…” Ikhsan tersenyum, bersyukur sepenuh hati.
Tiba-tiba padang Kalimati terasa sedikit lebih hangat…. Dan indah.



S E L E S A I









Rabu, 08 April 2015

Bab Khusus Penutup Kisah Altitude 3676. Mau?

1. Assalamualaikum...

2. Teman2 pembaca Takhta Mahameru a.k.a Altitude 3676, ada yg penasaran dg kelanjutan kisah Raja Ikhsan & Faras ini?

3. Dulu sy prnh menulis bab khusus lanjutan Takhta Mahameru a.k.a Altitude 3676. Dan yg membacanya hnya bbrp yg minta.

4. Bab khusus ini settingnya masih di Mahameru. Tujuan sy menuliskan bab khusus ini adalah sbg salah 1 alternatif ending yg diminta pembaca.

5. Awalnya memang bab khusus ini tidak utk sy publikasikan ke umum. Namun insyaAllah, sy berencana menyebarnya besok.

6. Bagi teman yg pernah baca/sy kirimi ini, mohon disimpan rapat dulu ya, smpai sy membagikannya besok secara resmi:-)

7. Utk itu, saya ucapkan makasih kpd mereka yg saya maksud tadi.

8. Selamat menanti publikasi bab khusus besok di blog saya, bagi yg penasaran yaa;-) cc

(Kultwit @azzura_dayana)

****


Yuhuuuu.... teman2 pembaca Altitude 3676, jadi insya Allah besok rencananya saya mau membagikan bab 36 novel Altitude 3676 di blog ini. Penasaran? Ditunggu yaa. Salam.

Untuk pemesanan novel ini bertanda tangan penulis dan diskon 13 persen, bisa melalui sms ke toko online saya Azzura D'shop di 085367094116. :-)


5 minutes a7. Utk itu, saya ucapkan makasih kpd mereka yg saya maksud tadi.