Social Icons

Pages

Azzura Dayana

Azzura Dayana

Featured Posts

Rabu, 24 April 2024

Bagian 3. Episode Tokyo hingga Tokyo Bay Makuhari

 #MyJapanJournal


Sayonara, Ibaraki!
Ya, setelah dua setengah hari menjelajahinya, tiba saatnya meninggalkan Prefektur Ibaraki untuk kembali ke Tokyo. Hari yang spesial karena teman saya dari kota Mito akan menemani dengan mobil pribadi mereka dan diantar sang suami. Perjalanan ke Tokyo akan menghabiskan waktu dua jam atau lebih.


Kembali Menjumpai Tokyo

Begitu memasuki Tokyo, kami kembali melewati si menara menjulang Tokyo Skytree, namun kali ini view-nya melalui jalan tol. Lalu, kami pun tiba di tujuan pertama: Zojoji Temple dan Shibakoen (taman Shiba) dengan latar belakang menara ikonik lainnya dari kota Tokyo, yaitu Tokyo Tower. Ada sedikit sakura yang mekar di halaman kuil, dan pohon ume kuning; serta pohon ume putih di Taman Shiba. Perlu diketahui, saat musim semi, banyak sekali jenis bunga yang mekar di Jepang. Bunga ume (Japanese plum) adalah penanda tibanya musim semi. Bunga ini tak kalah indah, nyaris mirip sakura namun ukuran bunganya mungil-mungil. Warnanya pun beragam, ada merah muda, putih, kuning, juga ungu. Selain ume, ada satu lagi bunga pink seindah sakura, yaitu bunga persik (berbuah persik atau peach). Ume pink dan bunga persik pink inilah yang sering pula disalahkirakan sebagai sakura oleh para turis.

Background Tokyo Tower


Suhu udara tak sedingin sebelumnya, namun langit tampak mendung. Kami pun gegas beranjak untuk melanjutkan perjalanan ke destinasi kedua.

Melewati kawasan Shibuya, ternyata ada cukup banyak pohon sakura yang sudah mulai mekar dan menghiasi sisi kiri kanan jalan. Saya terpukau dengan indahnya pemandangan! Namun karena sudah sore, jalanan cukup padat, dan kami mengejar waktu berbuka puasa di Masjid Tokyo alias Tokyo Camii, kami pun tak sempat turun.

Tokyo Camii


Dan inilah, Tokyo Camii and Turkish Culture Centre, sebuah masjid bergaya Turki yang didirikan pada tahun 1930-an. Bukan karena masjid ini adalah tempat akad nikahnya Syahrini dan juga Maia Estianty, saya ngebet pingin ke sini karena ini adalah masjid terbesar dan termegah yang dimiliki Jepang saat ini. Di sini, terutama di momen Ramadan, kita dapat menjumpai muslim dari berbagai belahan bumi, terkhusus karena sekarang hari Ahad, biasanya digelar buka puasa bersama selepas salat Magrib berjamaah. Masyaallah, suasananya indah dan syahdu.


Tokyo Bay Makuhari

Pukul 20 kami melanjutkan perjalanan lagi. Teman saya mengantar ke tujuan terakhir hari ini yaitu Apa Hotel & Resort Tokyo Bay Makuhari, sebuah hotel di kawasan Makuhari tepian Teluk Tokyo. Perjalanan malam yang indah dan tak terlupakan, meski diliputi gerimis panjang. Tokyo di malam hari sangat mirip Jakarta. Jalan tol dan jalan layang mengular, gedung-gedung menjulang, bermandikan cahaya gemerlap lampu. Sempat saya lihat gedung megah dan cantik sekali di sisi kanan, yang ternyata itu adalah Tokyo Disneyland.

Meski hotel tujuan saya ada label Tokyo-nya, namun sebetulnya letaknya tak lagi di kota Tokyo, melainkan sudah masuk kawasan Makuhari, Prefektur Chiba. Letak hotel tersebut memang menghadap Teluk Tokyo. Perjalanan saya di Jepang sudah hampir berakhir. Besok adalah hari terakhir penjelajahan saya dan lusa saya sudah harus menuju bandara. Selamat tinggal Tokyo, kota canggih di negara maju ini. Kota yang mengajarkan saya banyak hal baru, di antaranya tentang toilet dan self-service.

Toilet? Ya, klosetnya canggih. Tombolnya banyak, dengan fungsi beragam. Ada tombol siram untuk buang air kecil, tombol siram untuk buang air besar, tombol bilas kloset dengan jumlah air banyak, tombol bilas dengan jumlah air sedikit, juga tombol suara untuk menyamarkan aktivitas di kloset. Saya sempat mencari-cari kotak sampah untuk membuang tisu saat berada di toilet bandara atau stasiun. Eh, ternyata tisu toilet Jepang dirancang untuk cepat hancur di dalam kloset, oleh karena itu tempat buangnya ya justru di dalam kloset itu sendiri.

Tombol-tombol toilet Jepang (foto dari Google)


Self-service? Contohnya, bayar parkir, kita pencet-pencet sendiri tombolnya di parking machine, lalu bayar sendiri. Di swalayan, kita scan sendiri barang-barang yang kita beli dan masukkan sendiri ke mesinnya nominal uang yang diminta. Wah, ini berarti tingkat kejujuran warganya tinggi dong, ya? Lalu, di beberapa restoran, contohnya resto suki, setelah kita pencet-pencet tombol di layar komputer untuk memilih makanan dan di-submit, pesanan kita akan diantar oleh robot berbentuk mobil-mobilan atau kereta. Tak ada waiter. Setelah kita mengambil antaran tersebut dan menyusunnya di meja, si mobil atau kereta akan melesat kembali ke dapur.

Akan tetapi, tampaknya, selain karena faktor kecanggihan teknologi, mode self-service seperti ini juga disebabkan turunnya tingkat populasi penduduk Jepang, sehingga SDM untuk beberapa posisi nyaris tak tersedia.

Malam itu, saya baru bisa rebahan di kamar hotel pada jam 22 lebih, setelah salat dan bersih-bersih singkat tanpa mandi. Selama di Jepang, tercatat saya tak pernah mandi sore (ataupun malam), selain tak sanggup karena suhunya, juga karena tak berkeringat sama sekali. Di sini bebas debu, bebas keringat, bebas bau badan. Hehe. Baju yang dipakai berhari-hari pun bisa tetap wangi, lho.

Tampilan utama TV kamar Apa Hotel


Saya sempat menyibak gorden jendela untuk melihat pemandangan di luar kamar. Gemerlap lampu jalanan, lalu lintas agak lengang, lautan yang agak gelap beberapa ratus meter di depan sana, dan hujan yang masih setia. 

Baiklah, saatnya istirahat.


(bersambung ke bagian 4)


#JapanTrip
#Japan


Jumat, 19 April 2024

Bagian 2. Mengunjungi Matsudo, Mito, Hitachi

#MyJapanJournal



"Fabii ayyi 'alaa irobbikumaa tukazzibaan..."

Ada sekarung motivasi saya berangkat ke Jepang: melihat momen sakura mekar, observasi sejumlah objek untuk referensi karya, a big me time, self-healing, sampai merasakan pengalaman berpuasa di negeri asing minoritas muslim. Begitu minta izin suami, ternyata berhasil dengan mudahnya. Beliau mendukung penuh dan bahkan dengan senang hati mau menggantikan tugas menemani anak-anak. Maka sungguh, tak ada alasan bagi saya untuk tidak bersyukur sebanyak-banyaknya.

"Pokoknya kalau ada foto yang bagus, kirimin, ya," katanya sebelum berpisah di bandara Sultan Mahmud Badaruddin II. Saya pun memulai perjalanan dengan keyakinan yang kuat bahwa saya pasti bisa. Semoga Allah memudahkan segalanya.

Dapat melihat empat pohon sakura mekar di Sumida Park adalah salah satu kemudahan itu. Setelah cukup puas menikmatinya, saya lanjut jalan kaki berpatokan Gmaps, untuk menemukan letak Senso-ji Temple dengan Nakamise Dori yang fenomenal di hadapannya. Senso-ji adalah sebuah kuil antik, cantik, dan artistik serta sangat populer di kalangan wisatawan. Sementara Nakamise Dori adalah shopping street sepanjang 250 meter dengan sisi kiri kanan dipenuhi toko souvenir khas Jepang.


Matsudo

Malam ini rencananya saya akan menginap di tempat teman di Matsudo, sekitar 20 menit berkereta dari Stasiun Ueno, Tokyo, lalu ditambah jalan kaki 20 menitan (1,7 km). Sebetulnya saya ingin menghindari stasiun besar seperti Ueno. Tapi karena posisi penjelajahan sore saya sudah tak begitu jauh dari Ueno, dan kereta paling efektif ke Matsudo memang dari Ueno, tadi ya tak terelakkan. Stasiun besar di sini luasnya ngalah-ngalahin mal besar Jakarta, dan dipadati manusia dengan mobilitas tingkat tinggi. Peronnya pun banyak sekali. 

Berhasil menemukan mesin tiket di antara lalu lintas manusia, berhasil mencetak karcis tiket, lalu harus berhasil pula menemukan peron yang benar untuk kereta yang dipilih. Sistem perkeretaan Jepang kompleks sekali. Tak seperti di Indo yang perkeretaannya dipegang oleh satu perusahaan, di sini ada banyak perusahaan kereta yang menaungi banyak jenis kereta serta banyak jalur pula dengan banyak nama kereta. Meski demikian, yang pusing sepertinya para pendatang seperti saya saja, jadi memang butuh waktu lama untuk mempelajarinya. 

Warga Jepang gemar jalan kaki untuk kemudian naik turun kereta, karena armadanya amat sangat banyak dan stasiun kereta pun tersebar di segala penjuru. Ada juga bus sebagai alternatif kedua, namun peminatnya tak sebanyak kereta. Motor langka sekali terlihat di jalanan. Mobil? Banyak juga, meskipun tak sampai menciptakan kemacetan. Bus pun ada, namun peminatnya tak sebanyak kereta.

Tiba di  Stasiun Matsudo lebih awal (teman saya janji bertemu jam 20.00 JST), udara sudah jauuh lebih dingin lagi di luar stasiun, 6°C. Tak ada satu kursi pun saya temukan di stasiun. Jadi terpaksa memang harus menunggu di luar. Tapi karena tak kuat, saya pun memilih masuk ke mininarket terdekat untuk menghangatkan diri saja. Setelah hampir satu jam, teman saya pun datang.

Alhamdulillah, semalaman saya bisa istirahat dengan nyaman karena adanya AC di kamar yang dapat menghangatkan udara, pagi ini kami jalan kaki mencari sakura. Senang sekali berhasil menemukan beberapa pohon sakura yang mekar dengan indahnya di dua tempat, yaitu area kampus Chiba dan tepi sungai menuju Stasiun Matsudo. 


Siang itu kami berpisah karena saya harus melanjutkan perjalanan meninggalkan Prefektur Chiba menuju kota Mito, ibukota dari Prefektur Ibaraki.


Mito

Mito adalah kota bersejarah yang mengesankan. Singkatnya, saya menghabiskan dua hari di Mito untuk menyelami sejarahnya melalui observasi ke situs-situs peninggalan abad ke-12 dari periode kekaisaran Edo. Yang pertama saya kunjungi adalah Kastel Mito dengan bebarapa strutur bangunan asli yang direstorasi. Area kastel ini luaas sekali dan bikin kaki pegal maksimal. Hehe.


Spot kedua, Kodokan, sebuah sekolah samurai terbesar di periode Edo, beserta taman yang luas di sekitarnya dengan koleksi pohon sakura, ume (plum), dan Japanese apricot yang banyak. 


Ketiga, Danau Senba yang bersejarah dan menjadi sumber pengairan Kerajaan Mito. Kini, penataan modern di sekeliling danau membuatnya menjadi area favorit warga lokal dan turis untuk bersantai dan menikmati keindahan sakura saat musim semi tiba.


Hitachi

Sekitar 40 menit berkendara dari kota Mito, di tepi laut kota Hitachi, terdapat sebuah taman bunga kenamaan. Hitachi Seaside Park namanya, yang masuk ke dalam daftar sepuluh taman bunga terindah di dunia. Sayangnya, bunga-bunga unggulan di sini belum tiba waktunya mekar saat saya tiba, seperti Nemophilia yang akan menjadi lautan bunga cantik berwarna biru muda bersinar putih (karena koleksi bunga ini ada sekitar 5.300.000 tangkai), juga tulip dan bunga kochia.


Jelang akhir Maret begini, yang sedang mekar adalah early flowering narcissus yang berwarna kuning cerah, narcissus putih, dan rape blossoms berwarna kuning muda. Bunga-bunga lainnya ada, seperti nemophilia, poppy, dan lain-lain namun dalam jumlah kecil. Saya juga berhasil menemukan beberapa tulip merah muda yang masih menguncup kelopaknya. Masya Allah... Begitu saja sudah terasa indah dan saya bahagia sekali bisa melihatnya. Alhamdulillaah ala kulli haal...

(bersambung ke bagian 3)

Rabu, 17 April 2024

Bagian 1. Selamat Datang di Jepang

#JapanJournal


Bagian 1
Selamat Datang di Jepang


Hidup boleh sederhana, tapi pengalaman harus kaya. Sebuah prinsip yang senantiasa membuat saya, seorang ibu beranak tiga ini, akan terus berupaya sesekali tetap menjelajah meski dengan cukup banyak keterbatasan yang ada. Bumi Allah yang mahaluas menyediakan hamparan hikmah yang dapat kita raup dari tiap-tiap langkah, pertemuan, dan penemuan. Sebab itulah, mari kita berjalan lagi. Kali ini, ke Negeri Sakura atau yang kerap juga digelari dengan Negeri Matahari Terbit.

Terletak di belahan timur bola dunia, Jepang memang merupakan salah satu negeri yang menyambut kedatangan matahari terlebih dahulu. Di Ramadan 2024, saat saya berkesempatan mengunjungi Jepang, waktu subuh tiba di jam 4 lebih sedikit. Dan kira-kira satu setengah jam kemudian, negeri ini sudah mulai bermandikan cahaya pagi. Subuh yang begitu awal dan magrib yang nyaris sama dengan jadwal magrib di Indonesia menyebabkan durasi berpuasa di Negeri Sakura ini menjadi sekira 15 jam. Namun, meski pagi datang lebih cepat, denyut aktivitas warga baru terlihat sedikit lebih siang. Contohnya, jam kantor dan jam perkuliahan saja umumnya dimulai di jam 9 atau 10. Kemudian biasanya aktivitas warga Jepang akan terus berlanjut sampai malam.

Perjalanan saya dari Palembang ke Tokyo menghabiskan total 15 jam, karena harus terbang ke Jakarta dulu, lalu menunggu penerbangan dini hari, transit satu jam di bandara Ninoy Aquino Manila (yang pernah dinobatkan sebagai salah satu bandara terburuk di dunia beberapa waktu lalu), baru setelah itu terbang lagi ke Narita, Jepang. Kebalikan dari bandara Ninoy Aquino, bandara Narita justru masuk di antara 10 bandara terbaik di dunia. Alhamdulillah, episode transit pagi di Manila membuat saya dapat teman baru. Seorang gadis Jakarta yang usianya 10 tahun lebih muda dari saya, enerjik dan berparas mirip artis Marissa Christina, serta sudah pernah tiga kali 'main' ke Jepang sebelumnya. Berdua jadi terasa lebih mudah untuk 'mengarungi' luasnya Narita dan panjangnya proses imigrasi. Tidak kalah penting, jadinya ada yang bisa motoin saya di spot berlatar belakang 'Welcome to Japan' yang ada di sana. Haha. Tujuan kami di jam 2 siang itu sama-sama Tokyo, namun beda wahana. Dia memilih (dan sempat menyarankan ikut) naik Skyliner dengan harga tiket 2.400 yen. Itu sih terlalu mahal. Di buku catatan, saya sudah menetapkan bahwa saya akan ke Tokyo dari Narita dengan keisei line (kereta listrik). Harganya 1.700 yen atau sekitar 180.000 rupiah. Kami pun berpisah.




Saya sempat mengecek suhu udara di Narita saat itu. Wah, 10°! Saya juga sempat bertanya pada pak petugas tentang "di mana ini" dan "di mana itu". Agak ribet karena tak selalu warga Jepang mengerti Bahasa Inggris. Maka, bahasa tubuh adalah jalan ninjaku. Hehe. Saya bergegas ke toilet, bersih-bersih sedikit dan mengisi botol minum kosong saya dengan air keran (yang memang seantero Jepang aman untuk diminum). Gegas lagi ke konter keisei untuk antre beli tiket. Lanjut jalan agak ngebut menuju peron dan langsung naik kereta setelah memastikan itu kereta yang benar.

Pemandangan di sepanjang perjalanan kereta membuat perasaan saya membuncah. Masya Allah, saya sudah di Jepang! Ini bukan mimpi lagi. Di awal musim semi ini, penampakan pohon-pohon masih didominasi ranting tanpa daun, boro-boro bunga, ya! Semoga sakura bisa saya jumpai di tempat-tempat yang sudah ada dalam rencana saya. Aamiin. Kisaran satu jam kemudian, saya tiba di stasiun tujuan. Honjo Azumabashi nama stasiunnya. Sengaja memilih stasiun kecil untuk mengurangi ribet. Keluar dari badan kereta, saya terkejut bukan main. Udara yang menerpa dinginnya kebangetan! Seperti tak ada artinya jaket yang sudah saya kenakan. Ya wajar, sih, 10° kan tadi? Sambil menggigil saya tap karcis mungil di mesinnya, melangkah ke kursi kosong dekat tangga, membongkar ransel dan mengeluarkan jaket tebal yang saya simpan paling bawah. Barulah terasa mendingan setelah berjaket dua lapis.

Keluar dari stasiun, saya berseru bahagia sekaligus terkejut lagi. Bahagia karena mata saya langsung bertemu dengan si menara menjulang Tokyo Skytree yang cakep sekali, dan terkejut karena ternyata saya masih kedinginan juga di luar stasiun itu, di naungan kota Tokyo. Kepala saya agak berdenyut karena dingin yang kelewatan. Sambil mencoba bertahan, saya sempat minta bantuan ibu muda yang lewat untuk mengambilkan foto saya berlatar Skytree yang berketinggian 634 meter itu. Setelah cukup banyak foto yang saya hasilkan sendiri, saya sudah tak tahan untuk terus berdiri di situ. Harus segera bergerak nih, mudah-mudahan dengan itu bisa mengurangi rasa dingin. Saya buka Gmaps untuk menentukan ke arah mana saya harus memulai langkah di perempatan lampu merah ini.




Di Jepang, pejalan kaki sangat tertib. Mereka hanya boleh menyeberang jalan di zebra cross, ketika lampu merah menyala dan tanda orang berjalan menyala hijau. Saat itulah suara 'kicau burung' akan terdengar, pertanda pejalan kaki boleh menyeberang. Konon, 'kicau burung' di semua zebra cross besar yang ada di Jepang ini akan menimbulkan kerinduan bagi telinga turis ketika telah meninggalkan Jepang (dan ternyata saya pun begitu).

Dengan ransel yang masih setia di punggung, serta tas selempang di depan badan, saya mulai melangkahkan kaki, menuju Genmori Bridge sambil terus mengagumi Skytree, melewati Kuil Ushijima yang cantik, menyeberang Sumida River yang besar itu untuk tiba di Sumida Park. Sungguh perjalanan panjang yang tak akan pernah saya lupakan. Dan, di taman apik tepi sungai itulah akhirnya saya melihat deretan pohon berbunga sakura merah muda, lengkap dengan sekerumunan turis, juga beberapa gadis berkimono tebal.


(bersambung ke bagian 2)


#japantrip
#japan
#tokyo

Kamis, 10 Juni 2021

Sebab Kata adalah Sepotong Hati

*Sebab Kata adalah Sepotong Hati*

~Azzura Dayana


"Kata adalah sepotong hati." Demikian ujaran seorang cendekiawan muslim asal India, Abul Hasan 'Ali An-Nadwi. Ini berarti, setiap kata yang keluar dari lisan atau tulisan kita adalah cerminan hati kita. Seperti apa kata atau rangkaian kata yang engkau hasilkan, seperti itulah keadaan hatimu, dan itulah gambaran kualitas hatimu. Hati yang suci akan menghasilkan kata-kata yang suci, tulus, dan bersih. Hati yang baik akan menebar kata yang cenderung membawa ke arah kebaikan, dan mengajak kepada kebermanfaatan. Sebaliknya, hati yang buruk, akan menggambarkan dirinya ke dalam rangkaian kata yang mengandung mudarat. Seterang apa pun diksi yang dipilihnya, atau setebal apa pun selubung yang ia pakai untuk menyamarkan atau mengiaskannya, buruk akan tetap menjadi buruk, dan dapat menyeret sekitarnya untuk ikut kepada keburukan pula apabila tak kuat pegangannya.


Seseorang yang pandai merangkai kata melalui tulisan kerap dapat memengaruhi orang lain dengan apa yang ia tulis. Dengan kesadaran akan kekuatan yang bisa jadi kita miliki ini, sejatinya penulis patut menempatkan dan mencita-citakan diri sebagai penuntun kebaikan, bukan sebaliknya. Sebagai penulis fiksi misalnya, sepatutnya membatasi diri dari menulis vulgaritas, takhayul tanpa batas, dan hal mudarat lainnya tanpa diiringi pelurusan setelahnya. Jangan sampai pembaca jadi tersesat dengan membaca isi tulisan kita. Jangan sampai, hanya dengan melihat judul atau melirik gambar kaver, dapat langsung memunculkan emosi negatif pembaca. Jangan sampai, kita menjadi jalan bagi mereka untuk sesat pikir dan tingkah polah. Jangan sampai, kita yang dituntut di pengadilan Allah atas dosa jariyah ini.


Apalah artinya jadi penulis yang dikenal luas, tapi hilang keberkahannya? Apalah gunanya pundi-pundi emas yang melimpah ruah apabila taruhannya adalah berani menyeburkan diri dalam tema yang tak pantas, atau yang sesungguhnya jauh dari kita tapi kita paksakan untuk meraupnya demi ini dan itu. Tiap-tiap kata yang kita pilih akan menjadi berkah atau malah laknat. Inilah ujian untuk kita terus bertahan dengan idealisme atau melipir ke ruang pinggir. 


Maka, jika ada yang bertanya mengenai makna kata sebagai penulis, saya hanya akan menjawab dengan simpel, "Setiap kata adalah pertanggungjawaban."


Demang Lebar Daun, 31 Mei 2021


#WAGFLPSumselMenulis

#menulisuntukmencerahkan

#menulisuntukkeberkahan

#lampauibatasmu

#bataspositif


Rabu, 23 Desember 2020

Surga Ibu

 "Bahkan jika kau gendong ibumu dari rumah hingga ke Mekkah bolak-balik, bolak-balik, tidak akan bisa menggantikan darah yang dikeluarkan ibumu untuk melahirkanmu."

Kalimat yang diucapkan dengan bergetar dan penuh penekanan dalam nada suaranya itu disampaikan oleh seorang ustadz di hadapan murid-muridnya. Dan kalimat ini adalah salah satu yang berkumandang dalam pembuka sebuah film apik bertahun-tahun lalu, namun nyata masih tergiang jelas di telinga hingga kapan pun, seolah akan terpatri dalam benak ini selama-lamanya. Film yang sungguh mengentak sanubari sejak di awal pembukanya. Tak terlupakan.

Ada pun judul film yang saya maksud itu adalah Ada Surga di Rumahmu. Besutan Aditya Gumay, sutradara kelahiran Sumsel, dan kisahnya terinspirasi dari Ustadz Abu Bakar Al Habsy yang juga merupakan tokoh asal Sumsel. Film ini ditayangkan perdana pada 2 April 2015 dan saya menjadi salah satu penonton di hari perdana pemutarannya tersebut. Saat itu, qadarullah saya sudah diberi karunia dan amanah Allah sebagai seorang ibu. Putri pertama saya saat itu berumur hampir empat bulan.

Sontak, kalimat menggetarkan di awal tulisan ini tadi langsung membuat mata dan hati saya menangis. Ya Allah, betapa mulianya kedudukan seorang ibu. Betapa tak dapat diukur dengan apa pun pengorbanan seorang ibu. Film yang mengambil setting di Palembang, tepatnya di sebuah kawasan konvensional di tepi Sungai Musi ini (kita bahkan dapat menikmati suasana berlayar dengan perahu di atas sungai terbesar di Sumatera itu, lengkap dengan rumah-rumah rakitnya) menyematkan pesan moral yang begitu berharga bagi penontonnya. Semakin kota disadarkan untuk berbuat baik kepada ibu kita, tidak melukai hatinya, dan bersyukur jika sosok ibu masih ada di dekat kita sebab itu adalah kesempatan emas seorang anak untuk mengoptimalkan baktinya. Jangan sampai kita jauh-jauh membawa diri melanglang buana, demi katanya mencari kebahagiaan, kesejahteraan serta ketenteraman hidup, padahal ternyata surga paling sejati di dunia ini ada di rumah kita sendiri, di pelukan cinta seorang ibu dan hangatnya ridha ibu. 

Semakin mengerti saya, bahwa betul tak ada duanya kasih sayang dan pengorbanan seorang ibu dalam eksistensinya. Titik balik kesadaran itu sebetulnya telah bermula sejak saya mengetahui secara terang benderang bagaimana proses mengandung dan melahirkan; bagian paling luar biasa dari hidup seorang perempuan sebagai istri sekaligus ibu. Sejak saya melahirkan anak sulung, saya betul-betul disadarkan. Betul-betul menyesali kesalahan dan dosa-dosa selama ini pada ibu sendiri. Dan saat menonton film itu bersama suami, kesadaran itu digedor-gedor lagi. Saat melahirkan, ribuan urat syaraf perempuan putus, dan tingkat rasa sakitnya juga ribuan kali lebih sakit daripada semua rasa sakit yang pernah ada di dunia. Maka wajar, jika seorang ibu wafat ketika atau karena melahirkan, maka ia dianugerahi jannah oleh-Nya.

Allah, berkahilah semua ibu salihah di dunia ini, yang telah menghadirkan generasi tiap lapisnya di muka bumi.


Palembang, 22 Desember 2020


#HariIbu

#mothersday

#myweddinganniversaryday

#wagflpsumselmenulis

#lampauibatasmu

Rabu, 11 November 2020

Sekelumit Pernik dari Masa Kecil

Banyak hal yang masih saya ingat betul dari masa kecil saya. Semua yang kebanyakan indah-indah. Kalaupun pernah ada hal-hal menyedihkan dari masa kecil saya, amat sedikit yang saya berhasil ingat, dan rasanya tak penting pula untuk terlalu dibahas. Kenangan indah masa kecil, bagi saya bak harta. Karenanya, saya berupaya untuk selalu menjaganya, dan bila perlu, akan saya bagikan kisahnya hingga ke anak cucu.

Dulu, rumah kami nyempil di antara rumah kakek dan dua paman. Semuanya dari keluarga pihak bapak saya. Tanah Kakek luas memanjang, paling depan adalah halaman, lalu ada rumah Paman Kedua, lalu rumah Kakek (yang ukurannya paling besar), dan di belakangnya barulah rumah kami. Di belakang rumah kami, ada rumah Paman Pertama, si sulung dari tujuh bersaudara Bapak.

Halaman rumah Kakek yang luas dan terletak persis di tepi jalan raya itu, saya ingat betul, adalah lahan eksplorasi saya, kadang bersama kakak atau sepupu-sepupu saya juga. Di sana, tumbuh bermacam pohon, mulai dari kelapa, jambu air, nangka, hingga belimbing. Ada juga kebun serta kolam yang kami sebut kambang. Salah satu tumbuhan yang paling saya ingat di kebun itu adalah kumis kucing. Sebetulnya ada satu lagi jenis tumbuhan yang saya ingat, namun sayang saya kurang tahu namanya. Di kebun itu, sepulang sekolah biasanya saya main, berkejaran dan menangkap kinjang besar warna-warni (sebutan kami untuk capung). Saya menangkapnya dengan menggunakan ranting panjang dan di ujungnya diberi getah dari pohon nangka. Dengan itu, mudah sekali bagi saya untuk membuat kinjang tak berkutik di ujung ranting. Kalau saya ingat lagi sekarang, kasihan juga nasib kinjang-kinjang itu.

Saya juga sering memetiki kumis kucing, mematahkan bagian di bawah kelopak dan mengisap secuil air yang terkandung di dalamnya. Ada rasa manis-manisnya. Aneh memang, sering betul saya dan sepupu-sepupu berbuat demikian walaupun jadi kenyang juga tidak.

Spot main kami berikutnya adalah kambang kecil yang terletak di pinggir tanah luas Kakek. Kecil katanya, tapi bagi kami kambang itu besar juga untuk kami ceburi bersama-sama. Kadang sambil menariki tetumbuhan yang rajin berkembang di sekitaran kambang itu. Dan tak lama kemudian, setelah kehebohan cebur-cebur dan air kambang menjadi keruh luar biasa, kami pun tergopoh-gopoh naik setelah mendengar teriakan Kakek yang membahana. Kakek memang paling jengkel kalau kami telah beraksi habis-habisan di kambang.

Saat malam tiba, usai sudah durasi bermain di luar rumah. Saya tak pernah begadang dan tak begitu merasakan letih. Mungkin kegembiraan masa anak-anak telah menjadi faktor yang melatih raga untuk tetap sehat-sehat saja. Sambil belajar, saya rajin menyaksikan tayangan di layar hitam putih televisi 21 inchi milik kami. Filmnya bagus-bagus. Dan tayangan sore juga kadang bagus-bagus. Ada Oshin, Ohara, Little House on The Prairie, dan lain-lain. Yang paling saya sukai adalah drama-drama yang mengangkat budaya dari bermacam daerah di Indonesia. Dari situ saya banyak belajar tentang kekayaan negeri. Kelak, karenanya saya menjadi penyuka pelajaran Geografi dan Sejarah saat SMP. Makin dewasa, saya makin kecanduan menikmati peta. 

Sebetulnya amat banyak yang berkesan dari kenangan-kenangan dan pengalaman-pengalaman masa kecil. Mudah-mudahan nanti ada kesempatan lagi untuk bercerita. Intinya, masa kecil itu membahagiakan. Pantas saja kalau ada orang dewasa yang berangan-angan untuk tetap menjadi anak kecil saja. Hehe.

---


#flpsumsel

#wagflpsumselmenulis

#lampauibatasmu

Kamis, 01 Oktober 2020

Mengapa Saya Ingin Terus di FLP?

 *Mengapa Saya Ingin Terus di FLP*


Awalnya saya hanya mencari satu, tetapi akhirnya menemukan banyak. Sederhana, dulu saya hanya ingin belajar banyak tentang kepenulisan. Itulah sebabnya saya bergabung dalam inisiasi pembentukan FLP Sumsel. Berjumpa dan berkumpul dengan orang-orang pertama yang menginisiasi FLP Sumsel, dan ternyata, langkah-langkah bersama mereka masih diridhai Allah hingga detik ini. Meski memang, jumlah personel lama yang bertahan sampai jelang usia kedua puluh organisasi ini tak lagi sama. Namun alhamdulillah, patah tumbuh hilang berganti. Roda organisasi berhasil bertahan hingga hari ini dengan generasi-generasi terbarunya. 


Kini, jika dihitung-hitung, alangkah banyak yang saya peroleh selama ikut menggerakkan organisasi kepenulisan ini. Hampir dua puluh tahun sudah saya ikut melangkah dan bergerak bersama FLP. Tiga pilar FLP terus digembleng. Kepenulisan, seiring sejalan dengan Keorganisasian dan juga Keislaman. Selama perjalanan itu, bukan tak pernah kita merasai yang namanya lelah, bosan, atau sedih. Tapi semua proses dan pengalaman yang pernah terjadi bersama FLP selalu saja menjadi harga. Harga yang saking bernilainya, tak bisa lagi dibeli.



Bagaimana dan dengan cara apa engkau akan membelinya jika ia telah memberimu begitu banyak hal? Keluarga, sahabat, guru, mitra, hingga jaringan di hampir segala penjuru negeri. Bersamanya engkau diajarinya membaca dan menulis, hingga engkau terbaca tak hanya oleh dirimu sendiri. Engkau diberinya tangis dan tawa, bahkan kadang secara bersamaan. Engkau diberinya hal-hal yang dimiliki, sekaligus bersama kehilangan-kehilangan. Engkau diajarinya kesetiaan, pengertian, hingga kematangan.


Aku akan terus di sini. Meski sesekali patah, sesekali payah. Setiap proses yang ada semakin memantapkan jiwa.