(by Azzura Dayana - a reposting)
# 1
Adalah senyummu, wahai negeri, ketika kutukar lantunan
swarna dwipa yang kuhafal, menjadi tiupan saluang di halaman Istano Pagaruyung,
pada purnama tahun sekianku. Sebentar saja, tapi tertanam di bumi hatiku,
hingga berdetik hari ini.
Dalam jarak pandang terhadap lumbung besar dari lantai tiga,
kulukiskan di langit saujana Batusangkar itu, cerita tentang binar matamu yang
serupa kemilau giok souvenir di pasar sebelah Jam Gadang. Katamu, “kalau
kaucinta, kembalilah lagi ke Pagaruyung.”
# 2
Adalah tangismu, wahai negeri, ketika lautan merah
memberangus istanamu, dalam purnama di tahunku yang berikut. Dan sesumbar
tentang tubuh-tubuh pezina gosong yang tertemu sebagai mungkin: penyulut api amuk
Tuhanmu, katamu.
Tapi kukirim doa padamu, yang menembus awan-awan hingga tiba
ke bentangan jalan Sultan Alam Bagagarsyah yang memerah matanya demi memandang
puing kediamannya. Sebab masih kuingat rangkulanmu yang paling hangat demi
menghirup angin yang turun dari pucuk Singgalang-Merapi. Janganlah roboh,
apalagi mati.
# 3
Adalah perihmu, ketika dalam purnama kesekian lagi kaubawa
kabar tentang berguncangnya negerimu—bukan yang pertama—bahkan ketika istanamu
belum selesai dibangun kembali. Tubuh-tubuh bukan lagi hangus, tapi menyeruak,
tertimbun, terempas, dan lumat. Engkau kehilangan keramaian rakyat beserta
sumringah mereka.
Kaudatangi dua negeri demi mengkaji. Lalu kautanya pada
pemimpin tanah Putri Kembang Dadar, apakah tanah ini punya genggaman yang
serupa engkau: “adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah”?
Di balikmu, kupungut berlarik kabar lain negerimu: tentang
ragam perselingkuhan, pemerkosaan, dan penganiayaan yang merayap mulai kota hingga dusun. Telah
terbukakah kitab azab? Bukankah pengkhianatan telah membanjiri daratan kami?
Timur hingga barat kami, bukankah penuh ukiran kesalahan kami? Apakah kami
hanya sedang menunggu giliran?
# 4
Adalah lelahmu, ketika kauajak aku menyeret langkah demi
menemui pemimpin tanah Putri Sinar Alam. Kauhunus tanya yang sama padanya
sebagai nada putus asa, apakah tanah ini juga punya genggaman yang serupa
engkau: “adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah”? Lalu mengapa negeriku
tetap terguncang?
Sabda tuan rumah itu, “Kami tak pernah bisa mengukur
berapakah taatnya kami. Pun bukan berarti kami bebas dari amukNya. Ia tak
pernah khilaf menghukum, kitalah yang selalu salah menghitung.”
# 5
Adalah pahitmu, ketika kaudesah padaku, “Tahukah kau? Kurasa
sebelum aku datang kepada keduanya, Tuhan telah mengirim surat yang sama. Jika tidak, tak mungkin
mereka menutur jawab yang serupa.”
Lalu kita berdiam dalam nyeri di balik hujan. Matamu bukan
lagi serupa kemilau giok Minangkabau, bukan lagi kedamaian pantai Air Maneh.
Tapi sedetik menjadi serentak keberanjakanmu.
“Hendak pulangkah, Sultan?” tanyaku. “Bukankah rumahmu telah
runtuh?”
“Ya, namun aku masih mengingat kata-kataku sendiri,” katamu
sambil menutup dan memeluk kitabullah, “kalau kaucinta, kembalilah lagi ke
Pagaruyung.”
***
~Azzura Dayana, 021009~
dalam cinta yang penuh kenangan terhadap Sumatra Barat,
dalam syahda alunan saluang yang dulu kudengar di halaman
istana pagaruyung yang kusayangi, dalam belitan pedih yang kini menelikung
ranah ramah dan elok itu, semoga Allah mengalirkan air sungai-sungai kekuatan
dan pengampunan untuk mereka, untuk kita…
catatan:
- Sultan Alam Bagagarsyah: salah satu raja yang pernah
memimpin Kerajaan Pagaruyung di Minangkabau, nama beliau kemudian dijadikan
nama jalan tempat Istana Pagayurung berdiri sekarang di Batusangkar, Kabupaten
Tanah Datar, Sumatra Barat. Istana ini mengalami kebakaran dahsyat di tahun
2007 lalu dan ikut diguncang gempa baru-baru ini.
- Putri Kembang Dadar: salah satu nama putri raja yang
sangat legendaris di Palembang .
- Putri Sinar Alam: nama seorang putri raja di zaman dahulu
dari Keratuan Pugung, provinsi Lampung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar