Social Icons

Pages

Azzura Dayana

Azzura Dayana

Sabtu, 12 Oktober 2013

PAGARUYUNG: Lawatan oleh Negeri yang Runtuh


(by Azzura Dayana - a reposting)



# 1
Adalah senyummu, wahai negeri, ketika kutukar lantunan swarna dwipa yang kuhafal, menjadi tiupan saluang di halaman Istano Pagaruyung, pada purnama tahun sekianku. Sebentar saja, tapi tertanam di bumi hatiku, hingga berdetik hari ini.

Dalam jarak pandang terhadap lumbung besar dari lantai tiga, kulukiskan di langit saujana Batusangkar itu, cerita tentang binar matamu yang serupa kemilau giok souvenir di pasar sebelah Jam Gadang. Katamu, “kalau kaucinta, kembalilah lagi ke Pagaruyung.”


# 2
Adalah tangismu, wahai negeri, ketika lautan merah memberangus istanamu, dalam purnama di tahunku yang berikut. Dan sesumbar tentang tubuh-tubuh pezina gosong yang tertemu sebagai mungkin: penyulut api amuk Tuhanmu, katamu.

Tapi kukirim doa padamu, yang menembus awan-awan hingga tiba ke bentangan jalan Sultan Alam Bagagarsyah yang memerah matanya demi memandang puing kediamannya. Sebab masih kuingat rangkulanmu yang paling hangat demi menghirup angin yang turun dari pucuk Singgalang-Merapi. Janganlah roboh, apalagi mati.

# 3
Adalah perihmu, ketika dalam purnama kesekian lagi kaubawa kabar tentang berguncangnya negerimu—bukan yang pertama—bahkan ketika istanamu belum selesai dibangun kembali. Tubuh-tubuh bukan lagi hangus, tapi menyeruak, tertimbun, terempas, dan lumat. Engkau kehilangan keramaian rakyat beserta sumringah mereka.

Kaudatangi dua negeri demi mengkaji. Lalu kautanya pada pemimpin tanah Putri Kembang Dadar, apakah tanah ini punya genggaman yang serupa engkau: “adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah”?

Di balikmu, kupungut berlarik kabar lain negerimu: tentang ragam perselingkuhan, pemerkosaan, dan penganiayaan yang merayap mulai kota hingga dusun. Telah terbukakah kitab azab? Bukankah pengkhianatan telah membanjiri daratan kami? Timur hingga barat kami, bukankah penuh ukiran kesalahan kami? Apakah kami hanya sedang menunggu giliran?

# 4
Adalah lelahmu, ketika kauajak aku menyeret langkah demi menemui pemimpin tanah Putri Sinar Alam. Kauhunus tanya yang sama padanya sebagai nada putus asa, apakah tanah ini juga punya genggaman yang serupa engkau: “adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah”? Lalu mengapa negeriku tetap terguncang?

Sabda tuan rumah itu, “Kami tak pernah bisa mengukur berapakah taatnya kami. Pun bukan berarti kami bebas dari amukNya. Ia tak pernah khilaf menghukum, kitalah yang selalu salah menghitung.”

# 5
Adalah pahitmu, ketika kaudesah padaku, “Tahukah kau? Kurasa sebelum aku datang kepada keduanya, Tuhan telah mengirim surat yang sama. Jika tidak, tak mungkin mereka menutur jawab yang serupa.”

Lalu kita berdiam dalam nyeri di balik hujan. Matamu bukan lagi serupa kemilau giok Minangkabau, bukan lagi kedamaian pantai Air Maneh. Tapi sedetik menjadi serentak keberanjakanmu.
“Hendak pulangkah, Sultan?” tanyaku. “Bukankah rumahmu telah runtuh?”
“Ya, namun aku masih mengingat kata-kataku sendiri,” katamu sambil menutup dan memeluk kitabullah, “kalau kaucinta, kembalilah lagi ke Pagaruyung.”

***



~Azzura Dayana, 021009~
dalam cinta yang penuh kenangan terhadap Sumatra Barat,
dalam syahda alunan saluang yang dulu kudengar di halaman istana pagaruyung yang kusayangi, dalam belitan pedih yang kini menelikung ranah ramah dan elok itu, semoga Allah mengalirkan air sungai-sungai kekuatan dan pengampunan untuk mereka, untuk kita…

catatan:
- Sultan Alam Bagagarsyah: salah satu raja yang pernah memimpin Kerajaan Pagaruyung di Minangkabau, nama beliau kemudian dijadikan nama jalan tempat Istana Pagayurung berdiri sekarang di Batusangkar, Kabupaten Tanah Datar, Sumatra Barat. Istana ini mengalami kebakaran dahsyat di tahun 2007 lalu dan ikut diguncang gempa baru-baru ini.
- Putri Kembang Dadar: salah satu nama putri raja yang sangat legendaris di Palembang.
- Putri Sinar Alam: nama seorang putri raja di zaman dahulu dari Keratuan Pugung, provinsi Lampung




Tidak ada komentar:

Posting Komentar