Social Icons

Pages

Azzura Dayana

Azzura Dayana

Jumat, 21 Maret 2014

Catatan Pendakian Gunung Papandayan


Trekking ringan ke Gunung Papandayan kali ini hanya dilakoni oleh empat orang saja, yaitu saya, Kak Ian, dan Mbak Nur, plus Kang Dedi, seorang teman dari Garut. Maklum, rencana pendakian kali ini cukup mendadak, jadi beberapa teman lain menyatakan tidak bisa bergabung karena sudah punya agenda masing-masing.

Malam itu hujan deras mengguyur Jakarta Timur, tepatnya di kawasan tempat kami menunggu bus menuju Garut di luar terminal Kampung Rambutan. Tubuh kami dalam keadaan kuyup dan sedikit letih, sebab sebelum tiba di sini kami mesti berlari-larian sepanjang jembatan transit Halte Benhil-Semanggi yang aduhaai panjangnya, demi mengejar TransJakarta terakhir jurusan Cililitan. Supaya lebih cepat, kami lantas turun di depan Tamini Square, nyambung mikrolet menuju Terminal Kampung Rambutan. Kebetulan tadi saya mendapat suvenir berupa payung di acara yang kami ikuti malam itu sebelum bertolak ke terminal ini, jadi resmilah payung itu di-launching demi melindungi kepala dari hujan. Sementara ransel, pundak, sandal, dan beberapa bagian pakaian kami yang lain tetap saja kebasahan. Niatnya sih menunggu di luar terminal biar lebih cepat dapat bus tanpa menunggu busnya ngetem. Ternyata hujan begini, hmm… mau jalan kaki ke dalam juga sudah tanggung dan jalannya buanjir air hujan begitu….

Jam 23.30, bus jurusan Garut via Tol Cipularang yang ditunggu tiba di hadapan kami. Meski ternyata bus butut tersebut bocor dan membuat kami tidak bisa tidur, saya bersyukur karena setidaknya upaya kami berkejaran menuju Garut tengah malam begini sudah berhasil.

Selamat Pagi, Garut

Dulu, pertama kali ke Garut di tahun 2009, saya menjuluki kota ini sebagai Kota Seribu Gunung, saking banyaknya gunung yang menghiasi daerah ini. Belum lagi bukit-bukitnya. Saya merasakan sejuk yang nyaman di sini. Tapi nyatanya pada kunjungan kali kedua, hanya pagi dan malamnya yang dingin (ya iyyalah!), sementara siang di Garut terasa amat panas selayak Jakarta saja… :D

Perjalanan kami menuju Pos Lapor Pendakian Gunung Papandayan ternyata baru dimulai sekitar pukul 6 pagi. Sebelumnya kami bersih-bersih sejenak (bukan mandi) di markas kawan-kawan pendaki muda Garut, dan mencari sarapan bubur ayam sambil memandangi kegagahan Gunung Guntur yang telah memesona saya sejak pertemuan pertama. Hehehe. Garut pagi ini sungguh cerah, pun demikian view Gunung Guntur di depan mata kami ini. Padahal kemarin katanya Garut hujan terus dan Gunung Papandayan sendiri ditutup beberapa hari karena sempat reaktif terhadap aktivitas Gunung Kelud, termasuk terkena kiriman hujan abunya.

Jam 8 pagi kami tiba di pos lapor. Kami berempat dikenakan bea masuk Rp10.000. Tadinya kami tidak berniat menyewa seorang guide, sebab katanya kan gunung berketinggian 2.622 meter di atas permukaan laut ini medannya tidak ekstrem dan jalurnya sangat jelas. Tapi toh ketika kami sudah mulai berjalan, seorang guide tanpa diminta mengikuti kami. Keramahannya menyebabkan kami tidak mungkin memintanya berhenti. Lagipula, setelah melihat kawah terbuka yang sedemikian luasnya, yang katanya trek sangat jelas pun bisa jadi akan kabur bagi orang yang sama sekali masih buta tentang jalur Papandayan. Jadi, ya, daripada kita trial and error dan menyia-nyiakan sekian menit untuk salah, lebih baik guide ini diterima dengan senang hati. Sebab rencana pendakian ini memang tiktok, naik turun sehari tanpa kemping, mengingat waktu yang kami punya sangat terbatas. Cerita-cerita yang mengalir dari mulut sang guide pun nyatanya banyak menambah referensi kami tentang gunung ini khususnya, dan tentang pendakian gunung dan Garut pada umumnya.


Kawah Demi Kawah

Kawah Papandayan memang membentang sejauh mata memandang. Luas sekali. Di beberapa sisi tampak kawah ini masih dikawal oleh tebing-tebing dan punggung pegunungan hijau yang tinggi, di mana yang tertinggi di antaranya otomatis adalah puncaknya. Namun yang menjadi puncak gunung Papandayan ini justru tidak selalu digapai oleh para pendakinya, mengingat sering sekali ada larangan naik ke puncak sebab rawannya aktivitas vulkanik gunung ini, juga karena di puncak sebenarnya kita juga tidak disajikan view yang lebih spektakuler. Puncaknya hanya berupa tanah sempit yang dilintasi jalan setapak. Saat kami mendaki kali ini pun, puncak Papandayan ditutup untuk pendakian.

Trek Papandayan adalah jalan tanah kering nan berbatu-batu. Sekilas, tampak treknya sangat mudah dan terlihat datar-datar saja. Padahal saat dijalani ternyata sedikit demi sedikit menanjak dan berliku. Batu-batu vulkanik rapuhnya pun harus ditapaki dengan kehati-hatian dan ketepatan pemilihan alas kaki, sebab jika tidak, tentunya kita akan dengan mudah tergelincir.


Hutan Mati & Tegal Alun

Setelah berhasil melintasi kawah-kawah lama dalam terkaman garang matahari di tanah terbuka seperti ini, tujuan kami adalah Hutan Mati. Sebuah bekas hutan lebat yang kini menyisakan ribuan batang pohon menghitam tanpa daun lagi. Bersusun dengan kerapian alaminya sendiri sehingga tampak amat eksotik. Hutan Mati ini terbentuk akibat letusan Gunung Papandayan pada 2002 lalu.

Hutan Mati
Hutan Mati
Puas menikmati eksotika Hutan Mati, perjalanan kembali diteruskan. Break hanya sesekali dilakukan untuk menghela napas dan mengunyah perbekalan. Kami memang tidak mengunjungi Pondok Salada, dataran luas yang menjadi favorit pendaki untuk kemping di Papandayan. Selain karena tidak nge-camp, jalurnya pun berlawanan dengan Tegal Alun. Jadi, kami langsung tembak Tegal Alun saja. Jalur menuju surganya Papandayan ini mulai menukik. Untungnya, barang bawaan kami memang cukup minimal sehingga tidak terlalu membebani.

Jam 11 siang itu, rasa lelah kami otomatis terbayar oleh sajian hamparan edelweiss. Ah, betapa rindunya saya pada bunga-bunga abadi ini. Konon Tegal Alun adalah habitat bunga edelweiss terbanyak se-Jawa Barat, mengalahkan Padang Suryakencana di Gunung Gede. Tapi, melihat kenyataannya di Tegal Alun kini, sepertinya faktanya tidak begitu lagi, sebab vegetasi ini telah banyak berkurang sejak letusan terakhir Papandayan yang memusnahkan sekian jumlah edelweiss. Belum lagi ulah tangan jahil manusia yang dengan sadar ‘menculik’ edelweiss dan membawanya ke peradaban.

Edelweiss di Tegal Alun
Edelweiss Tegal Alun belum banyak yang mekar pada bulan Maret begini. Puncak musim mekarnya kalau tidak salah bulan Mei. Tapi itu tidak menyurutkan antusiasme saya untuk hunting rimbunan tercantiknya dan membuat foto-foto makro edelweiss.



Sungai-sungai Belerang

Turun dari Tegal Alun, sayang sekali kalau tidak menjelajahi spot-spot lain dan langsung pulang. Maka, setelah lagi-lagi menembus Hutan Mati dan tiba di Kawah Lama, langkah kami menyerong ke kanan, menuruni kawah, melintasi sungai-sungai kecil yang eloknya tingkat tinggi, danau-danau kawah kecil berwarna hijau dan merah, sumber belerang panas yang menguarkan asap yang ketika melintasinya kami justru harus menahan napas supaya tidak pingsan (baunya ciin!), juga tumpukan belerang salju yang luar biasa cantiknya. Untungnya, belerang salju ini tidak begitu menguar baunya.

Belerang salju
Belerang salju
Sementara sungai-sungai yang dilewati adalah sungai belerang panas yang bisa dipakai untuk berendam tapi tidak boleh diminum. Ada juga sungai yang airnya aman untuk diminum. Lainnya adalah sungai-sungai perawan yang macam-macam warna air dan bebatuannya.



Danau Kawah Baru

Akhirnya… inilah tempat berlabuh kami yang terakhir. Sebuah danau luas nan cantik berwarna hijau, dilingkupi oleh tebing dan perbukitan. Rasanya pingin nyebur, eh tapi tidak bawa baju ganti dink... :-) Udara yang dingin memaksa kami merapatkan kembali jaket. Respiro saya bahkan rasanya masih kurang tebal. Tetapi kehangatan hati sebab kebahagiaan perjalanan nyatanya telah menjadi obat. Danau ini baru terbentuk setelah letusan Papandayan pada 2002 juga, sama seperti terbentuknya Hutan Mati.



Setengah satu siang, kami kembali ngebut turun gunung. Yang namanya turun gunung biasanya memang lebih mudah dan mengasyikkan. Seperti turun dari Tegal Alun menuju Hutan Mati tadi, misalnya, tinggal melompat-lompat saja menuruni tanjakan. Tapi setelah bertemu jalur kawah lagi, kita mesti lebih hati-hati karena tanahnya berbatu-batu. Untungnya, untuk pulang ke Pos Lapor Pendakian dari Kawah Baru ini kami bisa melewati jalur pintas yang tanahnya tidak serapuh trek naik di sebelah sana tadi. Jadi untuk ngebut pun, masih terhitung aman.

Jam setengah dua siang, kami tiba di Pos Lapor. Pendakian yang cepat tapi tetap saja menyenangkan. Alhamdulillah.




2 komentar:

  1. wah... bisa ketinggian 2600an bisa tektok ya?
    jadi mantap ngajak temen2 kampus yg belum pernah naek gunung :)

    BalasHapus