.
.
Pertama kali naik angkot lagi setelah setahunan lebih. Pertama kali pergi sendiri tanpa Hilyah. Duhai, FLP.
Di tanganku tergenggam sebuah buku berkaver putih. Tertera di depannya, Perempuan Selalu Ingat, yang menjadi rangkaian kata sebagai judulnya. Buku terbaru seorang sobat, rekan, kakak bagiku di FLP Sumsel. Kumpulan sajak Mbak Dian Rennuati. Tanganku yang satunya lagi memegang dua lembar dua ribuan yang digulung. Untuk ongkos angkot ini nanti begitu aku turun.
Ada sensasi yang begitu indah saat aku membaca bait demi bait puisi-puisi manis Mbak Dian. Kuteguk dalam-dalam tiap makna tersurat atau tersirat meski harus berkerut dulu sepasang alis. Duga yang benar atau menyimpang, tak apalah. Sejatinya puisi yang sulit diterka maknanya tak menjadikan dosa bagi pembaca, pun penulisnya. Terpenting, harmoni itu telah mengalun dari sebentuk karya, melenakan pembaca, tercerahkan dan terindahkan sedemikian rupa. Lepas beberapa helai puisi kuteguk, aku memaling muka pada jendela, menghirup angin yang berdatangan. Betapa segar.
Aku berpikir, lamanya tak kusentuh momen begini. Sendiri di dalam angkot, menikmati perjalanan disertai tiupan angin, dengan pikiranku yang mengelana bebas ke mana-mana. Sebagai seorang ibu dari dua balita saat ini, biasanya kalau bepergian, paling tidak pasti aku membawa serta anak kedua yang usianya masih setahunan dan masih ASI. Atau beriring bertiga dengan mengajak pula si kakak yang usianya tiga tahunan. Kalau sudah begitu, pastilah transportasi online yang dijadikan pilihan untuk dipakai. Atau jika bepergian dalam versi lengkap bersama si Abi, kita biasa bermotor ria.
Selagi membaca sambil menikmati belaian angin sesekali, juga menatap pemandangan yang tersaji di luar jendela angkot, berseliweranlah beraneka rupa lintasan pikiran, ide puisi, bahkan kalimat-kalimat mengenyangkan dahagaku yang mungkin memang sedang kosong inspirasi. Kini terisi. Meski belum sepenuhnya. Baru bayang-bayang. Tak apa. Segini saja aku sudah senang tak kepalang. Bak sejuta ide sedang mengambang. Mengapung-apung, minta ditangkap.
Maka kutuliskan malam ini tentang apa yang masih kuingat itu. Demi satu acara FLP di BKB memeriahkan momen Asian Games sore itu aku keluar, tentu setelah izin suami, untuk tidak membawa serta si bayi yang begitu lelap tertidur di ayunan. Padahal sebelumnya tadi sudah berencana kubawa ia serta, namun teringat bahwa semalam ia sangat kurang tidur, jadi kasihan kalau mau dibawa ke acara outdoor.
Duhai, setelah setengah lebih perjalanan, seusai baru saja jutaan inspirasi datang, satu kerinduan langsung memelukku dengan manis. Aku adalah perempuan. Aku adalah ibu. Seindah apapun momen yang lama tak kusentuh ini, sebebas apa pun dua belah tanganku saat itu, tetap saja semolek-moleknya rindu di hatiku adalah ketika ada buah hati di dalam rengkuhan lenganku, yang dapat kuelus kepalanya.
Saat itu aku menyadari, tiap kebahagiaan memiliki porsi dan sekaligus arti yang berbeda-beda. Kebahagiaan yang satu tak dapat ditindih oleh kebahagiaan lainnya, sebab mereka ada masing-masing, merekam sesuatu sendiri dalam hidupmu. Maka muarakanlah semua kesadaran itu pada kesyukuran.
Ah, Allah. Terima kasih untuk kebahagiaan hari ini. Terima kasih juga untuk kesedihan kecil kemarin yang Engkau bagi, agar kami tetap dapat menamai segala rasa dan menempatkannya pada takaran yang sesuai. Agar tak ada yang berlebihan, kecuali rasa syukur itu sendiri.
Terakhir, ingin kututup catatan kecil ini dengan bait dari buku kumpulan sajak Perempuan Selalu Ingat:
...
Dia selalu tahu
masanya menjatuhkan hujan
dari langit penuh kan awan
agar bertumbuhan benih-benih kegirangan
di lembah hatinya insan
Maka terangkanlah segala perasaan
***
~Azzura Dayana
Lorok Pakjo, Palembang, 28 Agustus 2018, 23:03
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar