Trekking ringan ke Gunung Papandayan kali ini hanya
dilakoni oleh empat orang saja, yaitu saya, Kak Ian, dan Mbak Nur, plus Kang Dedi, seorang teman dari Garut. Maklum, rencana pendakian kali
ini cukup mendadak, jadi beberapa teman lain menyatakan tidak bisa bergabung karena sudah punya agenda masing-masing.
Malam itu hujan deras mengguyur Jakarta Timur, tepatnya di
kawasan tempat kami menunggu bus menuju Garut di luar terminal Kampung Rambutan. Tubuh kami dalam keadaan kuyup dan sedikit letih, sebab sebelum tiba di sini kami mesti
berlari-larian sepanjang jembatan transit Halte Benhil-Semanggi yang aduhaai panjangnya,
demi mengejar TransJakarta terakhir jurusan Cililitan. Supaya lebih cepat, kami lantas turun di depan Tamini
Square, nyambung mikrolet menuju Terminal Kampung Rambutan. Kebetulan tadi saya mendapat suvenir
berupa payung di acara yang kami ikuti malam itu sebelum bertolak ke terminal ini,
jadi resmilah payung itu di-launching
demi melindungi kepala dari hujan. Sementara ransel, pundak, sandal, dan
beberapa bagian pakaian kami yang lain tetap saja kebasahan. Niatnya sih
menunggu di luar terminal biar lebih cepat dapat bus tanpa menunggu busnya
ngetem. Ternyata hujan begini, hmm… mau jalan kaki ke dalam juga sudah tanggung
dan jalannya buanjir air hujan begitu….
Jam 23.30, bus jurusan Garut via Tol Cipularang yang
ditunggu tiba di hadapan kami. Meski ternyata bus butut tersebut bocor dan membuat kami tidak bisa tidur, saya
bersyukur karena setidaknya upaya kami berkejaran menuju Garut tengah malam begini sudah berhasil.
Selamat Pagi, Garut
Dulu, pertama kali ke Garut di tahun 2009, saya menjuluki
kota ini sebagai Kota Seribu Gunung, saking banyaknya gunung yang menghiasi
daerah ini. Belum lagi bukit-bukitnya. Saya merasakan sejuk yang nyaman di
sini. Tapi nyatanya pada kunjungan kali kedua, hanya pagi dan malamnya yang
dingin (ya iyyalah!), sementara siang di Garut terasa amat panas selayak
Jakarta saja… :D
Perjalanan kami menuju Pos Lapor Pendakian Gunung Papandayan
ternyata baru dimulai sekitar pukul 6 pagi. Sebelumnya kami bersih-bersih
sejenak (bukan mandi) di markas kawan-kawan pendaki muda Garut, dan mencari
sarapan bubur ayam sambil memandangi kegagahan Gunung Guntur yang telah
memesona saya sejak pertemuan pertama. Hehehe. Garut pagi ini sungguh cerah, pun
demikian view Gunung Guntur di depan mata kami ini. Padahal kemarin katanya
Garut hujan terus dan Gunung Papandayan sendiri ditutup beberapa hari karena
sempat reaktif terhadap aktivitas Gunung Kelud, termasuk terkena kiriman hujan
abunya.
Jam 8 pagi kami tiba di pos lapor. Kami berempat dikenakan bea masuk Rp10.000. Tadinya kami tidak berniat menyewa seorang guide,
sebab katanya kan gunung berketinggian 2.622 meter di atas permukaan laut ini medannya tidak ekstrem dan jalurnya
sangat jelas. Tapi toh ketika kami sudah mulai berjalan,
seorang guide tanpa diminta mengikuti kami. Keramahannya menyebabkan kami tidak
mungkin memintanya berhenti. Lagipula, setelah melihat kawah terbuka yang sedemikian luasnya, yang katanya trek sangat jelas pun bisa jadi akan kabur bagi orang yang sama sekali
masih buta tentang jalur Papandayan. Jadi, ya, daripada kita trial
and error dan menyia-nyiakan sekian menit untuk salah, lebih baik guide ini
diterima dengan senang hati. Sebab rencana pendakian ini memang tiktok, naik
turun sehari tanpa kemping, mengingat waktu yang kami punya sangat terbatas. Cerita-cerita
yang mengalir dari mulut sang guide
pun nyatanya banyak menambah referensi kami tentang gunung ini khususnya, dan
tentang pendakian gunung dan Garut pada umumnya.
Kawah Demi Kawah
Kawah Papandayan memang membentang sejauh mata memandang.
Luas sekali. Di beberapa sisi tampak kawah ini masih dikawal oleh tebing-tebing dan punggung
pegunungan hijau yang tinggi, di mana yang tertinggi di antaranya otomatis
adalah puncaknya. Namun yang menjadi puncak gunung Papandayan ini justru tidak
selalu digapai oleh para pendakinya, mengingat sering sekali ada larangan naik
ke puncak sebab rawannya aktivitas vulkanik gunung ini, juga karena di puncak
sebenarnya kita juga tidak disajikan view yang lebih spektakuler. Puncaknya hanya berupa tanah sempit yang dilintasi jalan setapak. Saat kami mendaki kali ini
pun, puncak Papandayan ditutup untuk pendakian.
Trek Papandayan adalah jalan tanah kering nan
berbatu-batu. Sekilas, tampak treknya sangat mudah dan terlihat datar-datar
saja. Padahal saat dijalani ternyata sedikit demi sedikit menanjak dan berliku. Batu-batu
vulkanik rapuhnya pun harus ditapaki dengan kehati-hatian
dan ketepatan pemilihan alas kaki, sebab jika tidak, tentunya kita akan dengan
mudah tergelincir.
Hutan Mati &
Tegal Alun
Setelah berhasil melintasi kawah-kawah lama dalam terkaman
garang matahari di tanah terbuka seperti ini, tujuan kami adalah
Hutan Mati. Sebuah bekas hutan lebat yang kini menyisakan ribuan batang pohon
menghitam tanpa daun lagi. Bersusun dengan kerapian alaminya sendiri sehingga
tampak amat eksotik. Hutan Mati ini terbentuk akibat letusan Gunung Papandayan
pada 2002 lalu.
 |
Hutan Mati |
 |
Hutan Mati |
Puas menikmati eksotika Hutan Mati, perjalanan kembali diteruskan. Break hanya
sesekali dilakukan untuk menghela napas dan mengunyah perbekalan. Kami memang
tidak mengunjungi Pondok Salada, dataran luas yang menjadi favorit pendaki
untuk kemping di Papandayan. Selain karena tidak nge-camp, jalurnya pun berlawanan dengan Tegal Alun. Jadi, kami langsung tembak Tegal Alun saja. Jalur menuju surganya
Papandayan ini mulai menukik. Untungnya, barang bawaan kami memang cukup
minimal sehingga tidak terlalu membebani.
Jam 11 siang itu, rasa lelah kami otomatis terbayar oleh
sajian hamparan edelweiss. Ah, betapa rindunya saya pada bunga-bunga abadi ini.
Konon Tegal Alun adalah habitat bunga edelweiss terbanyak se-Jawa Barat,
mengalahkan Padang Suryakencana di Gunung Gede. Tapi, melihat kenyataannya di
Tegal Alun kini, sepertinya faktanya tidak begitu lagi, sebab vegetasi ini
telah banyak berkurang sejak letusan terakhir Papandayan yang memusnahkan
sekian jumlah edelweiss. Belum lagi ulah tangan jahil manusia yang dengan sadar
‘menculik’ edelweiss dan membawanya ke peradaban.
 |
Edelweiss di Tegal Alun |
Edelweiss Tegal Alun belum banyak yang mekar pada bulan
Maret begini. Puncak musim mekarnya kalau tidak salah bulan Mei. Tapi itu tidak
menyurutkan antusiasme saya untuk hunting rimbunan tercantiknya dan membuat
foto-foto makro edelweiss.
Sungai-sungai
Belerang
Turun dari Tegal Alun, sayang sekali kalau tidak menjelajahi
spot-spot lain dan langsung pulang. Maka, setelah lagi-lagi menembus Hutan Mati
dan tiba di Kawah Lama, langkah kami menyerong ke kanan, menuruni kawah,
melintasi sungai-sungai kecil yang eloknya tingkat tinggi, danau-danau kawah
kecil berwarna hijau dan merah, sumber belerang panas yang menguarkan asap yang
ketika melintasinya kami justru harus menahan napas supaya tidak pingsan
(baunya ciin!), juga tumpukan belerang salju yang luar biasa cantiknya. Untungnya, belerang salju ini tidak begitu menguar
baunya.
 |
Belerang salju |
 |
Belerang salju |
Sementara sungai-sungai yang dilewati adalah sungai belerang
panas yang bisa dipakai untuk berendam tapi tidak boleh diminum. Ada juga
sungai yang airnya aman untuk diminum. Lainnya adalah sungai-sungai perawan
yang macam-macam warna air dan bebatuannya.
Danau Kawah Baru
Akhirnya… inilah tempat berlabuh kami yang terakhir. Sebuah danau
luas nan cantik berwarna hijau, dilingkupi oleh tebing dan perbukitan. Rasanya pingin
nyebur, eh tapi tidak bawa baju ganti dink... :-) Udara yang dingin memaksa kami
merapatkan kembali jaket. Respiro saya bahkan rasanya masih kurang tebal. Tetapi
kehangatan hati sebab kebahagiaan perjalanan nyatanya telah menjadi obat. Danau
ini baru terbentuk setelah letusan Papandayan pada 2002 juga, sama seperti
terbentuknya Hutan Mati.

Setengah satu siang, kami kembali ngebut turun gunung. Yang namanya turun
gunung biasanya memang lebih mudah dan mengasyikkan.
Seperti turun dari Tegal Alun menuju Hutan Mati tadi, misalnya, tinggal
melompat-lompat saja menuruni tanjakan. Tapi setelah bertemu jalur kawah lagi, kita mesti
lebih hati-hati karena tanahnya berbatu-batu. Untungnya, untuk pulang ke Pos
Lapor Pendakian dari Kawah Baru ini kami bisa melewati jalur pintas yang tanahnya
tidak serapuh trek naik di sebelah sana tadi. Jadi untuk ngebut pun, masih
terhitung aman.
Jam setengah dua siang, kami tiba di Pos Lapor. Pendakian yang cepat tapi tetap saja menyenangkan. Alhamdulillah.