Social Icons

Pages

Azzura Dayana

Azzura Dayana

Sabtu, 29 Juni 2013

Menjelajah Percikan Surga di Mahameru*

by Azzura Dayana


Ada Afrika kecil yang memesona di Nusantara. 
Pun eksotika serupa alam New Zealand, terhampar di sini.


            Pemerintah telah meresmikan kurang lebih lima puluh taman nasional, dengan keelokan dan keunggulan masing-masing. Mungkin sedikit dari kita yang tahu itu. Saya sendiri, yang mengaku berstatus backpacker, baru menjejakkan kaki di lima taman nasional saja, salah satunya Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS), Jawa Timur. Di sinilah saya merasa melihat salah satu percikan surga yang dihadiahkan Allah untuk negeri ini.
            Tepatnya dua kali sudah saya menjelajah TNBTS; Desember 2009 ke Gunung Bromo, dan Mei lalu, misi pendakian Gunung Semeru.
            Bromo,  gunung wisata berketinggian 2.392 meter di atas permukaan laut (mapl), bisa dicapai dengan berjalan kaki dari gerbang TNBTS menuju kaldera (lautan pasir) dari desa Cemoro Lawang, Ngadisari, Probolinggo.
           Jika tidak ingin berjalan kaki, kita bisa menyewa jeep atau naik kuda melintasi lautan pasir hingga tiba di pangkal tangga menuju puncak Bromo dan melihat kawahnya. Itulah mengapa Bromo disebut sebagai gunung wisata, bukan gunung pendakian.

kawah Bromo
            Di tahun terakhir ini kawah Bromo terus menyemburkan abu vulkanik yang cukup membahayakan sehingga wisatawan dilarang menaiki gunung tersebut. Tapi jangan khawatir, sunrise dan view rangkaian gunung-gunung TNBTS—Gunung Batok, Bromo hingga Semeru nun jauh di sana—tetap bisa kita nikmati dari atas Gunung Penanjakan dengan menyewa jeep menjelang fajar, menuju titik pengamatan yang biasanya selalu ramai saat weekend itu.
            Perjalanan bisa kita lanjutkan dengan mengitari sisi kiri punggungan Bromo. Akan banyak kita temui tukang ojek yang siap mengantar melintasi lautan pasir yang seolah berasap jika siang telah tiba, dan seolah menderu pelan karena ditiup angin padang dan lembah. Di sinilah tempat syuting salah satu film fenomenal, Pasir Berbisik.
            Kemudian, kita akan tiba di padang rumput sabana yang sangat luas. Selama terus berjalan, pemandangan tebing Pegunungan Tengger setinggi rata-rata tiga ratus meter ada di sisi kiri, sementara hijaunya punggungan Bromo di sisi kanan.

sabana Bromo

bukit Teletubbies

            Di kaki punggungan itu terdapat bukit-bukit kecil hijau tanpa pohon yang terlihat begitu memanjakan mata. Konon, kata para pelancong, kehijauan yang memukau ini sungguh tak kalah dengan alam yang disajikan oleh New Zealand.

Mendaki Mahameru
            Di penjelajahan kedua ke TNBTS, saya dan tim yang terdiri dari tiga puluh enam orang mendaki Semeru, gunung tertinggi di Pulau Jawa (3.676 mapl). Kami tiba di Ranu Pane—desa tertinggi di kawasan TNBTS dan desa terakhir sebelum memulai pendakian ke Semeru—sore hari dengan menaiki sebuah jeep hardtop dan landrover dari Tumpang.
            Hujan yang sangat lebat menemani perjalanan kami yang berdiri di bak terbuka mobil sampai tiba di Ranu Pane. Dalam keadaan kuyup di suhu sore berkisar 15°celcius serta jalur pendakian yang pastinya sangat licin, kami terpaksa menunda pendakian hingga besok subuh.

Ranu Pane/Ranu Pani
            Normalnya, butuh dua hari untuk melintasi jalur pendakian mulai dari Ranu Pane hingga Mahameru (nama lain Semeru atau puncaknya) dan 1 hari untuk menuruninya. Ketika naik, pendaki biasanya menginap satu malam di Ranu Kumbolo, dan baru melanjutkan pendakian esok paginya. Perjalanan turun lebih pendek karena tanpa menginap lagi dan, tentu saja, jalur turun biasanya terasa lebih mudah dibandingkan mendaki.
            Namun, karena kami baru memulai pendakian keesokan harinya, otomatis kami kehilangan waktu untuk menginap satu malam di tepi Ranu Kumbolo. Tempat yang sering disebut-sebut sebagai surganya Mahameru itu adalah sebuah danau alami seluas empat belas hektare yang membentang di lembah antara beberapa perbukitan indah di jalur menuju Semeru.
            Airnya yang jernih, bersih (karena pendaki dilarang membuang sampah—atau memang secara sadar tidak pernah mau membuang jenis kotoran apapun ke air danau), selalu digunakan untuk bekal pendakian selanjutnya, bahkan tanpa perlu direbus terlebih dahulu.
            Perjalanan dari desa Ranu Pane menuju danau di ketinggian 2.400 mapl ini kurang lebih setengah hari, melewati jalan setapak di punggung bukit. Mendirikan shalat di tepi danau ini, di atas rerumputan, adalah pengalaman yang tak terlupakan buat saya.
Ranu Kumbolo

Sabana Oro-oro Ombo
            Perjalanan kami teruskan menuju padang rumput sabana yang bernama Oro-oro Ombo. Seperti melihat belantara Afrika kecil di hamparan rumput yang sangat luas ini. Ilalang dan bebungaan liar memenuhinya. Beruang dan macan pun masih sering muncul di sini saat senja.
            Setelah terus berjalan melewati hutan cemara dan jalur berkelok, kami tiba di Kalimati, padang luas tempat bermukim rerimbunan bunga edelweiss. Kawasan ini juga sering menjadi tempat nge-camp pendaki sebelum menuju puncak dini hari.
            Dari sini, bersiaplah untuk makin menggigil dan ngos-ngosan. Jalur pendakian mulai terjal dan sangat tak bersahabat. Tanah yang dilewati adalah tanjakan-tanjakan curam, tinggi, tanpa jeda, dan sering hanya berupa celah sempit yang muat untuk satu tubuh—itu pun pundak kita kadang masih harus bersenggolan dengan tanah. Beberapa jam setelah terus menghadapi medan seperti ini, barulah kita tiba di trek pasir.
            Puncak Mahameru adalah berupa gunung kerucut yang berstruktur pasir. Saat menjejakkan kaki di atas pasir, kebanyakan kaki kita akan merosot. Melangkah setengah meter, merosot seperempat meter. Melangkah lima jengkal, merosot tiga jengkal. Begitu seterusnya. Ketahanan fisik, keteguhan dan keyakinan mental, serta bekal air minum dan makanan kecil secukupnya adalah modal yang amat diperlukan.

golden sunrise
            Menyaksikan golden sunrise dari trek pasir Mahameru menjadi pengalaman paling spektakuler seumur hidup saya. Sementara itu, awan-awan berarak jelas dan menghampar di depan mata saya, di bawah kaki dan tubuh saya!
            Negeri di atas awan. Subhanallah. Selamat datang di Mahameru….



*Dimuat di rubrik Perjalanan, majalah Ummi edisi 06-XXIII, Jakarta, Oktober 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar