Social Icons

Pages

Azzura Dayana

Azzura Dayana

Sabtu, 29 Juni 2013

Belitung Timur: Kopi, Timah, dan Laskar Pelangi*

Oleh Azzura Dayana

Jangan menolak makanan atau minuman yang disajikan tuan rumah.
Berhati-hatilah, masih banyak hal mistik di Belitung, lebih mistik dari
Bangka yang penduduknya sudah sedikit lebih ramai.

Dua petuah itu sempat dicamkan beberapa orang ke kepala saya, meski nyatanya dalam perjalanan saya dan teman-teman dari Tanjungpandan, ibukota Belitung, menuju Gantong sepertinya saya nyaris melupakannya. Sepanjang 1,5 jam jarak tempuh itu, diwarnai terik yang berseling gerimis bahkan hujan lebat, pemandangan yang kami lihat adalah kelengangan, hutan berdaun kering kuning-merah eksotis, kebun sawit, dan tanah-tanah terlantar bekas penambangan timah yang membentuk lubang-lubang besar alias kolong. Inilah wajah nyata Belitung yang di zaman dahulu begitu ditimang sayang Belanda karena kekayaan alamnya.

Jejak Laskar Pelangi
Replika SD Muhammadiyah Gantong kini berdiri di sebuah tanah lapang tinggi berpasir, di belakang kantor kepala desa Selinsing, Gantong, Belitung Timur. Fisik bangunan uzur ini cukup memprihatinkan. Hanya ada dua ruang kelas di sana—satu terbuka, lainnya terkunci. Sisi kanan luar dinding ditopang kayu penyangga supaya tidak roboh. Di samping kiri menempel sebuah ruang kecil yang berfungsi sebagai kantor. Saya mengintip ke dalam melalui dinding yang bolong. Propertinya berantakan, sama seperti di ruang-ruang lainnya. Di ruang kelas yang terbuka, terdapat papan seukuran meja yang bertulis SD Laskar Pelangi, dan papan nama sekolah bercat hijau bertulis SD Muhammadiyah Gantong. Papan inilah yang kemudian kami gotong ke luar dan digantungkan di depan untuk digunakan sebagai background saat berfoto.


SD Muhammadiyah memang tidak lagi beroperasi. Bangunan sekolah aslinya kini dipelihara di halaman SD Negeri 9 desa Selinsing, kemudian dibangun replikanya di sini untuk digunakan dalam syuting Laskar Pelangi.
Kemudian kami mengunjungi Bukit Samak yang terkenal dengan julukan A1. Di sinilah Belanda mendirikan rumah-rumah bagi para elite perusahaan tambang timah di Manggar. Ironinya, kompleks ini tak lain adalah bukti perlakuan diskriminasi atas kelas-kelas pekerja timah. Para karyawan kelas atas (yang sebagian besarnya orang-orang asing pula) dilimpahi kesejahteraan, sedangkan para buruh Melayu dianaktirikan.
Menurun ke barat, kami tiba di Pantai Lalang yang berpasir putih lembut. Cemara dan kelapa berderet sekitar 300 meter dari bibir pantai yang menghadap ke timur ini. Pantai ini sering dijadikan tempat berbagai kegiatan seperti Festival Manggar atau lomba perahu tradisional. Terdapat juga fasilitas olahraga seperti lapangan voli, futsal, dan fasilitas panjat dinding.


Di sebuah warung tepi pantai itu, kami menikmati es kelapa muda dan ikan jebong bakar berukuran besar. Pasangan suami istri pemilik warung bercerita tentang Pulau Dapur, lokasi yang sempat kami pertanyakan selama perjalanan. Di daerah yang terdapat banyak padang keremunting dengan keindahannya yang khas Belitung itu sedang berlangsung syuting mini seri Laskar Pelangi. Sayang, kami sudah terlambat karena malam sudah datang.

Singgah di Pasar Manggar
Tempat yang paling mudah ditemukan di Manggar adalah warung kopi. Di pasar Manggar, deretan warung kopi memenuhi sisi jalan. Kami mampir ke salah satunya. Sebagian dari kami memesan kopi susu, lainnya kopi hitam alias ‘kopi O’—begitu urang Belitong biasa menyebutnya. Sebagai penyuka kopi hitam, tentu saya lebih tertarik merasai kekhasan kopi hitamnya.
Saya memperhatikan si bapak penjual meracik kopinya. Ia menuangkan bubuk kopi ke dalam sebuah ceret tembaga, mengaduknya bersama gula di sana, lalu dengan menggunakan saringan dituangkannya ke gelas-gelas bening untuk kami. Untuk pemesan kopi susu, ia meracik kopi kedua kalinya di dalam ceret lalu menuangkannya ke gelas-gelas yang telah dituangi susu terlebih dahulu.
Kopi ini tidak sekental dan sepekat yang saya kira. Saya menghayati benar sesapan pertama dari gelas saya, mencoba mengurai rasanya. Asam, itu yang utama. Cukup manis, gurih, dan tak berampas karena telah disaring. Tak terasa, karena sangat menikmati, segelas kopi panas itu pun tandas segera.


Masyarakat di sini sangat gemar minum kopi. Namun, esensi yang jauh lebih penting dari itu adalah kebersamaan dalam kehangatan obrolan di warung kopi. Minum kopi sembari ngobrol adalah media bersantai yang telah mengakar dan menjadi kebutuhan. Keseharian yang terbukti di mata pengunjung ibukota kabupaten Belitung Timur ini.

Apa Kabar Aroma Mistis itu?
Setelah berpisah dengan tim, di hari terakhir saya di Belitung, saya melihat-lihat kota Tanjung Pandan ditemani Nina, seorang muslimah yang mengajar di sekolah luar biasa tempat Jeffry (pemeran Harun di film Laskar Pelangi) belajar. Di pusat kota ada sebuah tugu berpilar lima dengan replika batu satam raksasa di atasnya. Batu satam adalah jenis batu yang dipercaya memiliki kekuatan menolak sihir/ilmu hitam. Entah berapa banyak warga yang masih meyakininya. Kini, batu yang bisa ditemukan di antara galian timah jika mujur itu banyak digunakan sebagai ornamen cincin, kalung, dan sebagainya, dengan harga yang cukup tinggi.


Belitung terbilang masih cukup sepi dibandingkan Bangka. Banyak jalan raya ke luar kota yang belum diterangi listrik. Pulang pergi ke luar kota beramai-ramai bisa jadi akan berbeda ceritanya jika sendirian. Tapi yang kami percaya adalah, Allah Maha Menjaga, selalu. Tak ada yang bisa menolak bala kecuali dengan perlindungan-Nya. Modernitas sedikit demi sedikit mulai menyusup ke kehidupan pulau ini. Meski sangat kami rasakan, betapa ramah dan simpel para warga lokalnya. Tak ada rasa-rasa negatif, alhamdulillah.

Beberapa hari kemudian, dalam perjalanan darat saya meninggalkan Belitung, beberapa kali saya mendengar alunan Berkelana-nya Rhoma Irama yang diputar orang. Ingatan saya langsung melayang pada Ikal kecil, tokoh utama Laskar Pelangi yang sangat mengidolakan Bang Haji. Pun saya teringat akan pertemuan kami dengan Pak Jafri (pemeran kepala sekolah Ikal di film Laskar Pelangi) dan Pak Suhendi, teman SMA Andrea Hirata, beberapa hari yang lalu di atas kapal menuju Belitung. Obrolan yang berkesan, pengalaman yang tak terlupakan.


--------------

*artikel ini dimuat di rubrik Perjalanan, majalah Ummi, Jakarta 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar