Oleh
Azzura Dayana
Jangan
menolak makanan atau minuman yang disajikan tuan rumah.
Berhati-hatilah,
masih banyak hal mistik di Belitung, lebih mistik dari
Bangka
yang penduduknya sudah sedikit lebih ramai.
Dua
petuah itu sempat dicamkan beberapa orang ke kepala saya, meski nyatanya dalam
perjalanan saya dan teman-teman dari Tanjungpandan, ibukota Belitung, menuju Gantong
sepertinya saya nyaris melupakannya. Sepanjang 1,5 jam jarak tempuh itu, diwarnai
terik yang berseling gerimis bahkan hujan lebat, pemandangan yang kami lihat adalah
kelengangan, hutan berdaun kering kuning-merah eksotis, kebun sawit, dan tanah-tanah
terlantar bekas penambangan timah yang membentuk lubang-lubang besar alias kolong. Inilah wajah nyata Belitung yang
di zaman dahulu begitu ditimang sayang Belanda karena kekayaan alamnya.
Jejak
Laskar Pelangi
Replika
SD Muhammadiyah Gantong kini berdiri di sebuah tanah lapang tinggi berpasir, di
belakang kantor kepala desa Selinsing, Gantong, Belitung Timur. Fisik bangunan uzur
ini cukup memprihatinkan. Hanya ada dua ruang kelas di sana—satu terbuka,
lainnya terkunci. Sisi kanan luar dinding ditopang kayu penyangga supaya tidak
roboh. Di samping kiri menempel sebuah ruang kecil yang berfungsi sebagai
kantor. Saya mengintip ke dalam melalui dinding yang bolong. Propertinya
berantakan, sama seperti di ruang-ruang lainnya. Di ruang kelas yang terbuka, terdapat
papan seukuran meja yang bertulis SD
Laskar Pelangi, dan papan nama sekolah bercat hijau bertulis SD Muhammadiyah Gantong. Papan inilah
yang kemudian kami gotong ke luar dan digantungkan di depan untuk digunakan
sebagai background saat berfoto.
SD
Muhammadiyah memang tidak lagi beroperasi.
Bangunan sekolah aslinya kini dipelihara di halaman SD Negeri 9 desa Selinsing, kemudian
dibangun replikanya di sini untuk digunakan dalam syuting Laskar Pelangi.
Kemudian
kami mengunjungi Bukit Samak yang terkenal dengan julukan A1. Di sinilah
Belanda mendirikan rumah-rumah bagi para elite perusahaan tambang timah di
Manggar. Ironinya, kompleks ini tak lain adalah bukti perlakuan diskriminasi
atas kelas-kelas pekerja timah. Para karyawan kelas atas (yang sebagian
besarnya orang-orang asing pula) dilimpahi kesejahteraan, sedangkan para buruh Melayu
dianaktirikan.
Menurun
ke barat, kami tiba di Pantai Lalang yang berpasir putih lembut. Cemara dan
kelapa berderet sekitar 300 meter dari bibir pantai yang menghadap ke timur ini. Pantai
ini sering dijadikan tempat berbagai kegiatan seperti Festival Manggar atau
lomba perahu tradisional. Terdapat juga fasilitas olahraga seperti lapangan
voli, futsal, dan fasilitas panjat dinding.
Di
sebuah warung tepi pantai itu, kami menikmati es kelapa muda dan ikan jebong bakar
berukuran besar. Pasangan suami istri pemilik warung bercerita tentang Pulau
Dapur, lokasi yang sempat kami pertanyakan selama perjalanan. Di daerah yang
terdapat banyak padang keremunting dengan keindahannya yang khas Belitung itu sedang
berlangsung syuting mini seri Laskar
Pelangi. Sayang, kami sudah terlambat karena malam sudah datang.
Singgah
di Pasar Manggar
Tempat
yang paling mudah ditemukan di Manggar adalah warung kopi. Di pasar Manggar,
deretan warung kopi memenuhi sisi jalan. Kami mampir ke salah satunya. Sebagian
dari kami memesan kopi susu, lainnya kopi hitam alias ‘kopi O’—begitu urang Belitong biasa menyebutnya.
Sebagai penyuka kopi hitam, tentu saya lebih tertarik merasai kekhasan kopi
hitamnya.
Saya
memperhatikan si bapak penjual meracik kopinya. Ia menuangkan bubuk kopi ke
dalam sebuah ceret tembaga, mengaduknya bersama gula di sana, lalu dengan
menggunakan saringan dituangkannya ke gelas-gelas bening untuk kami. Untuk
pemesan kopi susu, ia meracik kopi kedua kalinya di dalam ceret lalu
menuangkannya ke gelas-gelas yang telah dituangi susu terlebih dahulu.
Kopi
ini tidak sekental dan sepekat yang saya kira. Saya menghayati benar sesapan
pertama dari gelas saya, mencoba mengurai rasanya. Asam, itu yang utama. Cukup
manis, gurih, dan tak berampas karena telah disaring. Tak terasa, karena sangat
menikmati, segelas kopi panas itu pun tandas segera.
Masyarakat
di sini sangat gemar minum kopi. Namun, esensi yang jauh lebih penting dari itu
adalah kebersamaan dalam kehangatan obrolan di warung kopi. Minum kopi sembari ngobrol adalah media bersantai yang
telah mengakar dan menjadi kebutuhan. Keseharian yang terbukti di mata
pengunjung ibukota kabupaten Belitung Timur ini.
Apa
Kabar Aroma Mistis itu?
Setelah
berpisah dengan tim, di hari terakhir saya di Belitung, saya melihat-lihat kota
Tanjung Pandan ditemani Nina, seorang muslimah yang mengajar di sekolah luar
biasa tempat Jeffry (pemeran Harun di film Laskar
Pelangi) belajar. Di pusat kota ada sebuah tugu berpilar lima dengan
replika batu satam raksasa di atasnya. Batu satam adalah jenis batu yang
dipercaya memiliki kekuatan menolak sihir/ilmu hitam. Entah berapa banyak warga
yang masih meyakininya. Kini, batu yang bisa ditemukan di antara galian timah jika
mujur itu banyak digunakan sebagai ornamen cincin, kalung, dan sebagainya,
dengan harga yang cukup tinggi.
Belitung
terbilang masih cukup sepi dibandingkan Bangka. Banyak jalan raya ke luar kota
yang belum diterangi listrik. Pulang pergi ke luar kota beramai-ramai bisa jadi
akan berbeda ceritanya jika sendirian. Tapi yang kami percaya adalah, Allah
Maha Menjaga, selalu. Tak ada yang bisa menolak bala kecuali dengan
perlindungan-Nya. Modernitas sedikit demi sedikit mulai menyusup ke kehidupan
pulau ini. Meski sangat kami rasakan, betapa ramah dan simpel para warga
lokalnya. Tak ada rasa-rasa negatif, alhamdulillah.
Beberapa
hari kemudian, dalam perjalanan darat saya meninggalkan Belitung, beberapa kali
saya mendengar alunan Berkelana-nya
Rhoma Irama yang diputar orang. Ingatan saya langsung melayang pada Ikal kecil,
tokoh utama Laskar Pelangi yang
sangat mengidolakan Bang Haji. Pun saya teringat akan pertemuan kami dengan Pak
Jafri (pemeran kepala sekolah Ikal di film Laskar
Pelangi) dan Pak Suhendi, teman SMA Andrea Hirata, beberapa hari yang lalu
di atas kapal menuju Belitung. Obrolan yang berkesan, pengalaman yang tak
terlupakan.
--------------
*artikel ini dimuat di rubrik Perjalanan, majalah Ummi, Jakarta 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar