Social Icons

Pages

Azzura Dayana

Azzura Dayana

Rabu, 07 Maret 2012

[Movie Review] Negeri 5 Menara


ReviewReviewReviewmar 6, '12 9:09 am
for everyone

Category:Movies
Genre:Education
Saya pasti tergoda iklan di TV tentang film ini yang menunjukkan beberapa lokasinya yang 'bening'. Jangan-jangan itulah alasan utama saya menonton film ini bersama seorang sahabat saya kemarin sore, hehehe.

Film yang diangkat dari novel karya A. Fuadi berjudul Negeri 5 Menaraterbitan Gramedia ini mengisahkan Alif sebagai tokoh utama. Seorang anak dari desa di tepi Danau Maninjau, Sumatera Barat, yang bercita-cita masuk ITB dan meniru jejak Habibie. Impiannya kandas demi menuruti keinginan mulia ibunya untuk menyekolahkan Alif di pesantren ternama di Ponorogo, Jawa Timur, bernama Pesantren Madani. Alif diantar ayahnya berangkat ke Jawa. Ia kemudian mengikuti ujian masuk pesantren, dan lulus.

Di pesantren itu, ia mendapatkan sahabat-sahabat baru: Baso dari Gowa, Atang dari Bandung, Raja dari Medan, Said dari Surabaya, dan Dulmajid dari Madura. Dengan merekalah kemudian Alif menjalani hari-hari penuh warna dan mimpi, meski Alif sebenarnya masih setengah hati berada di tempat itu.

Usai film ini diputar, saya nanya teman saya mengenai kesannya. Dia bilang, rasanya kok cepat banget abisnya. Saya menimpali, saya malah nunggu-nunggu kapan habisnya.

Eh, tidak... tidak. Saya tidak mengatakan film ini jelek atau membosankan. Meski, jika disuruh compare, menurut saya memang lebih seru film Laskar Pelangi. Namun, mengingat film ini diangkat dari salah satu novel lokal best seller di Nusantara yang saya tamatkan dengan cara membaca cepat, saya simpulkan bahwa film dan bukunya tidak terlampau banyak perbedaan dalam hal konten. Saya membaca seluruh adegan yang terjadi, tapi tidak secara detail. Di beberapa bagian dari adegan yang sama dan saya rasa lambat, maka saya lompat-lompatkan. Dan saya akhirnya tiba di ending lebih cepat.

Mungkin karena saya lebih suka novel-novel suspense, maka menurut saya konfliknya masih agak datar. Beberapa konflik standar kehidupan seorang pelajar, anak desa, atau lingkungan pesantren dimunculkan, tapi sebagian besar bisa tertebak solusi akhirnya. Bahkanendingnya pun sangat bisa ditebak. Seandainya... seandainya lho ya, saya bisa nambahin konflik di film ini, saya ingin ada satu adegan perkelahian--secara tokoh-tokohnya kebanyakan laki-laki pula, kemudian ada seseorang yang meninggal (seperti meninggalnya kepala sekolah di film Laskar Pelangi), atau minimal ada momen masa-masa ujian semester (atau apapun istilahnya) dan aplikasi Man Jadda Wajada bisa kita lihat pengaruhnya di sini, selain untuk membuat potret kehidupan santri menjadi lebih lengkap. Jadi, tidak akan terkesan segalanya begitu tiba-tiba. Tiba-tiba begini, tiba-tiba begitu. Tiba-tiba sudah kelas dua, tiba-tiba sudah tamat dan berada di luar negeri. Iya sih, pasti alasan durasi kan yang menyebabkan percepatan ini?

Mengingat bahwa novel yang menginspirasi film ini ditulis berdasar kisah nyata, mungkin memang demikianlah kejujuran pengalaman yang terjadi. Hanya saja, masih ada hal kecil yang menurut saya agak lucu. Setelah lama bermukim di pesantren tanah Jawa Timur itu (sampai mereka kelas 2), bahasa keenam sahabat itu masih tercampur juga dengan bahasa daerah mereka masing-masing, seperti Baso yang asli Gowa (Sulsel) masih sering menyelipkan mi dalam kalimatnya, atau Alif yang masih menyebut ambo dan kata-kata lainnya. Untuk di awal-awal keberadaan mereka di sana tentu wajar. Tapi setelah lama bergelut dengan bahasa Indonesia, Arab, dan Inggris, biasanya yang masih melekat dan sulit hilang pada anak-anak daerah adalah logat atau irama kalimatnya saja.

Tak ada gading yang tak retak. Meski kurang seru (atau bagi saya saja ya begitu :)), tetap saja film ini layak diberi jempol demi beragam keunggulan yang dimilikinya.

Sepaket besar inspirasi berkarya, semangat hidup, semangat iman Islam, keberanian bercita-cita, persahabatan, persaudaraan, bakti terhadap orangtua, dipersembahkan dengan apik oleh film ini. Kita akan termotivasi lagi untuk menghadapi apapun yang ada di hadapan kita. Man Jadda Wajada: Siapa yang bersungguh-sungguh, dia akan berhasil. Itulah kalimat ampuh paling populer dalam film ini, di samping tentu, banyak kalimat inspiratif lainnya.

Sebagai guru, saya juga terkesan oleh semangat mengajar dan ide kreatif para ustadz di film ini. Kelas pertama yang dibuka oleh Ustadz Salman, misalnya. Dia masuk kelas dengan membawa sebuah pedang berkarat dan sebatang kayu panjang. Tanpa banyak berkata, dia berjuang memotong kayu itu dengan pedang berkarat. Usahanya membuahkan hasil. Itulah semangat Man Jadda Wajada.

Sepanjang film, beberapa adegan jenaka juga mewarnai. Adegan tangis-tangisan pun hadir satu kali. Maka cukup lengkaplah. Dari segi peran para bintang, yang paling saya suka adalah akting Lulu Tobing. Wanita berdarah Batak yang sudah lama tidak muncul di layar kaca ini membuktikan bahwa kemampuannya yang dulu tidak lantas pudar begitu saja. Dialog-dialognya dalam bahasa Minang sangat enak disimak, meskipun saya juga tidak tahu apakah bagi orang Minang asli logat dan bahasa Lulu sudah sangat menyerupai yang seharusnya atau belum.

Dan, pastinya, saya sangat menyukai scene-scene outdoor yang menampilkan keindahan alam Minangkabau dan Ponorogo, tentu saja.

Salut untuk kemajuan perfilman Indonesia dan para sineas yang tak ragu membuat film-film mencerahkan seperti ini. Itulah sebabnya saya masih bertahan di tempat duduk demi membaca dengan saksama credit title yang bergulir di layar setelah film usai--sementara penonton lain sudah sibuk keluar sejak scene terakhir ditutup dan pintu exit dibuka. Saya katakan pada sahabat yang saya tahan juga untuk menemani saya keluar terakhir, bahwa biasanya tidak banyak penonton yang peduli siapa yang berada di balik perjuangan membuat film yang baru saja ditontonnya. Ini sebagai salah satu bentuk kecil penghargaan saya sebagai penonton kepada mereka.
Selamat menonton Negeri 5 Menara, bagi yang belum nonton :)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar