by Azzura Dayana
Ada
Afrika kecil yang memesona di Nusantara.
Pun eksotika serupa alam New Zealand,
terhampar di sini.
Pemerintah telah meresmikan kurang lebih lima puluh taman
nasional, dengan keelokan dan keunggulan masing-masing. Mungkin sedikit dari
kita yang tahu itu. Saya sendiri, yang mengaku berstatus backpacker, baru menjejakkan kaki di lima taman nasional saja,
salah satunya Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS), Jawa Timur. Di
sinilah saya merasa melihat salah satu percikan surga yang dihadiahkan Allah
untuk negeri ini.
Tepatnya dua kali sudah saya menjelajah TNBTS; Desember
2009 ke Gunung Bromo, dan Mei lalu, misi pendakian Gunung Semeru.
Bromo, gunung
wisata berketinggian 2.392 meter di atas permukaan laut (mapl), bisa dicapai
dengan berjalan kaki dari gerbang TNBTS menuju kaldera (lautan pasir) dari desa
Cemoro Lawang, Ngadisari, Probolinggo.
Jika tidak ingin berjalan kaki, kita bisa menyewa jeep atau naik kuda melintasi lautan
pasir hingga tiba di pangkal tangga menuju puncak Bromo dan melihat kawahnya.
Itulah mengapa Bromo disebut sebagai gunung wisata, bukan gunung pendakian.
|
kawah Bromo |
Di tahun terakhir ini kawah Bromo terus menyemburkan abu
vulkanik yang cukup membahayakan sehingga wisatawan dilarang menaiki gunung
tersebut. Tapi jangan khawatir, sunrise
dan view rangkaian gunung-gunung
TNBTS—Gunung Batok, Bromo hingga Semeru nun jauh di sana—tetap bisa kita
nikmati dari atas Gunung Penanjakan dengan menyewa jeep menjelang fajar, menuju titik pengamatan yang biasanya selalu
ramai saat weekend itu.
Perjalanan bisa kita lanjutkan dengan mengitari sisi kiri
punggungan Bromo. Akan banyak kita temui tukang ojek yang siap mengantar
melintasi lautan pasir yang seolah berasap jika siang telah tiba, dan seolah
menderu pelan karena ditiup angin padang dan lembah. Di sinilah tempat syuting
salah satu film fenomenal, Pasir Berbisik.
Kemudian, kita akan tiba di padang rumput sabana yang
sangat luas. Selama terus berjalan, pemandangan tebing Pegunungan Tengger
setinggi rata-rata tiga ratus meter ada di sisi kiri, sementara hijaunya punggungan
Bromo di sisi kanan.
|
sabana Bromo |
|
bukit Teletubbies |
Di kaki punggungan itu terdapat bukit-bukit kecil hijau
tanpa pohon yang terlihat begitu memanjakan mata. Konon, kata para pelancong,
kehijauan yang memukau ini sungguh tak kalah dengan alam yang disajikan oleh
New Zealand.
Mendaki Mahameru
Di penjelajahan kedua ke TNBTS, saya dan tim yang terdiri
dari tiga puluh enam orang mendaki Semeru, gunung tertinggi di Pulau Jawa (3.676 mapl). Kami
tiba di Ranu Pane—desa tertinggi di kawasan TNBTS dan desa terakhir sebelum
memulai pendakian ke Semeru—sore hari dengan menaiki sebuah jeep hardtop dan landrover dari Tumpang.
Hujan yang sangat lebat menemani perjalanan kami yang
berdiri di bak terbuka mobil sampai tiba di Ranu Pane. Dalam keadaan kuyup di
suhu sore berkisar 15°celcius serta jalur pendakian yang pastinya sangat licin,
kami terpaksa menunda pendakian hingga besok subuh.
|
Ranu Pane/Ranu Pani |
Normalnya, butuh dua hari untuk melintasi jalur pendakian
mulai dari Ranu Pane hingga Mahameru (nama lain Semeru atau puncaknya) dan 1
hari untuk menuruninya. Ketika naik, pendaki biasanya menginap satu malam di
Ranu Kumbolo, dan baru melanjutkan pendakian esok paginya. Perjalanan turun
lebih pendek karena tanpa menginap lagi dan, tentu saja, jalur turun biasanya terasa
lebih mudah dibandingkan mendaki.
Namun, karena kami baru memulai pendakian keesokan
harinya, otomatis kami kehilangan waktu untuk menginap satu malam di tepi Ranu
Kumbolo. Tempat yang sering disebut-sebut sebagai surganya Mahameru itu adalah
sebuah danau alami seluas empat belas hektare yang membentang di lembah antara beberapa
perbukitan indah di jalur menuju Semeru.
Airnya yang jernih, bersih (karena pendaki dilarang
membuang sampah—atau memang secara sadar tidak pernah mau membuang jenis
kotoran apapun ke air danau), selalu digunakan untuk bekal pendakian
selanjutnya, bahkan tanpa perlu direbus terlebih dahulu.
Perjalanan dari desa Ranu Pane menuju danau di ketinggian
2.400 mapl ini kurang lebih setengah hari, melewati jalan setapak di punggung
bukit. Mendirikan shalat di tepi danau ini, di atas rerumputan, adalah
pengalaman yang tak terlupakan buat saya.
|
Ranu Kumbolo |
|
Sabana Oro-oro Ombo |
Perjalanan kami teruskan menuju padang rumput sabana yang
bernama Oro-oro Ombo. Seperti melihat belantara Afrika kecil di hamparan rumput
yang sangat luas ini. Ilalang dan bebungaan liar memenuhinya. Beruang dan macan
pun masih sering muncul di sini saat senja.
Setelah terus berjalan melewati hutan cemara dan jalur
berkelok, kami tiba di Kalimati, padang luas tempat bermukim rerimbunan bunga
edelweiss. Kawasan ini juga sering menjadi tempat nge-camp pendaki sebelum menuju puncak dini hari.
Dari sini, bersiaplah untuk makin menggigil dan
ngos-ngosan. Jalur pendakian mulai terjal dan sangat tak bersahabat. Tanah yang
dilewati adalah tanjakan-tanjakan curam, tinggi, tanpa jeda, dan sering hanya
berupa celah sempit yang muat untuk satu tubuh—itu pun pundak kita kadang masih
harus bersenggolan dengan tanah. Beberapa jam setelah terus menghadapi medan
seperti ini, barulah kita tiba di trek pasir.
Puncak Mahameru adalah berupa gunung kerucut yang
berstruktur pasir. Saat menjejakkan kaki di atas pasir, kebanyakan kaki kita
akan merosot. Melangkah setengah meter, merosot seperempat meter. Melangkah
lima jengkal, merosot tiga jengkal. Begitu seterusnya. Ketahanan fisik,
keteguhan dan keyakinan mental, serta bekal air minum dan makanan kecil
secukupnya adalah modal yang amat diperlukan.
|
golden sunrise |
Menyaksikan golden
sunrise dari trek pasir Mahameru menjadi pengalaman paling spektakuler
seumur hidup saya. Sementara itu, awan-awan berarak jelas dan menghampar di
depan mata saya, di bawah kaki dan tubuh saya!
Negeri di atas awan. Subhanallah. Selamat datang di
Mahameru….
*Dimuat di rubrik Perjalanan, majalah Ummi edisi 06-XXIII, Jakarta, Oktober 2011