Ekspedisi Dempo (#Bagian 2 tamat)
Memang,
setiap gunung memiliki misteri dan pesonanya masing-masing. Pun demikian Dempo.
Apa yang kami lihat selama satu jam sepanjang menuruni Puncak Dempo (puncak II)
menuju lembah adalah sebuah pesona sekaligus misteri: hutan Harry Potter! Itu
julukan yang diberikan teman-teman.
Entah di
film Harry Potter yang mana yang ada setting hutan-hutan seperti itu, karena
saya sendiri hanya menonton Harry Potter yang pertama (Harry Potter & The
Sorcerer Stone), lainnya tidak. Tapi memang hutan ini berbeda dari hutan-hutan
yang kami lewati sebelumnya. Hutan yang menutupi langit, akar-akarnya
menggembung ke luar tanah, lumut-lumut menyelimuti batang dan tanah, alur trek
yang menyelinap di antara akar-akar liar dan gembung itu, cabang-cabang
pohonnya seperti urat atau otot manusia, warna hijau pucat memenuhi ruang
pandang, didukung suasana mendung dan
hampir gelap ala Maghrib. Somewhat
frightening!
Pingin berteriak
takut, tapi justru takut berteriak. Saya berusaha menepis semua ingatan tentang beragam kisah angker nan mistis tentang gunung ini yang sudah begitu tenar ke mana-mana. Ketakutan atau sekadar keluhan yang keluar
dari mulut saya justru saya khawatirkan akan memicu saya tersesat. Saya takut
melihat keadaan itu, takut tertinggal langkah teman-teman yang justru semakin
cepat. Padahal tadi saya bertahan di barisan belakang untuk memback-up dua
akhwat yang drop, eh justru sekarang saya jadi berjalan paling ujung. Interval
kami sempat berjauhan, dan saya hanya bisa menenangkan diri dengan terus
berzikir. Tasbih, istighfar, dan shalawat. Tiga itulah kalimat favorit saya
saat itu untuk menenangkan diri saya yang penakut. Saya tidak berani lirik kiri
kanan, selain menatap tanah mencermati pijakan. Memang keren sekali tim kami
ini: tidak ada sweepernya! Ckckck.
Terus
berzikir dan terus melangkah cepat. Interval saya dengan teman di depan saya
mulai mendekat. Kemudian saya meminta dua teman laki-laki membiarkan saya jalan
duluan karena saya tidak mau berada di paling belakang. Saya mengejar
teman-teman perempuan, bersama mereka menuruni tanah berair. Serupa menuruni
air terjun yang dangkal. Lembah sudah terlihat di depan mata. Dataran tinggi
terbuka yang membentang di bawah langit yang mulai kelam. Inilah lembah yang
berada di antara dua puncak gunung. Satu puncak yang sedang kami turuni ini,
satunya lagi menjulang di depan mata kami, nun jauh di sana. Puncak Merapi.
Kemping Menggigil
Bahkan
untuk sekadar tiduran pun tidak bisa dengan mudahnya kami lakukan, setelah
tenda selesai didirikan malam itu. Semuanya serba repot. Dinginnya suhu nol
derajat tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Rekan perempuan yang mengalami
kantuk dan kedinginan baru saja selesai kami ‘amankan’. Tapi begitu saya dan
beberapa teman perempuan lainnya masuk tenda, rekan perempuan yang drop satunya
tiba-tiba pingsan di samping saya. Kedinginan juga. Langsung saya memeluknya
dan merebahkannya di pangkuan saya. Saya sudah khawatir dia terkena hipotermia--tapi saya lihat gejalanya berbeda.
Bersicepat kami melakukan pertolongan pertama.
Alhamdulillah
beberapa saat kemudian, dia siuman.
Entah
kenapa teman-teman laki-laki tidak bersiap sedia untuk masak makan malam. Sepertinya
semuanya kelelahan dan kedinginan. Kami yang perempuan pun hanya menghabiskan
sebungkus nasi beramai-ramai. Entah mereka makan berapa bungkus. Selesai makan
dan mengganti semua pakaian yang basah dan kotor dengan pakaian yang bersih dan
hangat, saya mendengar teman melirihkan azan dan iqamah di luar tenda. Saya
langsung berseru. “Mau shalat ya? Ikuut. Tunggu bentar ya.”
Teman-teman
perempuan yang lain juga beranjak ikut. Kami bertayammum di luar, lalu
melangkahkan kaki ke atas matras dan terpal dan mengatur shaf di sana. Shalat
jamak Maghrib dan Isya didirikan. Rasanya… subhanallah. Shalat di atas tanah
yang tidak halus permukaannya, hanya dilapisi terpal tipis; dinaungi langit
malam yang mendung dan hanya ditaburi satu dua bintang. Sementara udara yang
dingin seperti hendak membekukan tulang-tulang kami. Jaket tebal sudah
berlapis-lapis saya pakai, kaki sudah terbungkus kaos kaki tebal, begitupun
semua jari tangan.
Usai
shalat, beberapa dari kami mengungsi ke kumpulan tetangga sebelah. Para pendaki
lainnya yang sedang asyik membuat api unggun. Batang tumbuhan kayu panjang umur yang mereka gunakan. Batang yang cukup awet menjaga nyala api.
Tidak
sampai satu jam kemudian, kami kembali ke tenda. Sudah tidak sabar ingin segera
meluruskan pinggang dan kedua kaki yang penat, sambil bergelung di dalam sleeping bag. Saya tahu saya tidak akan
jatuh tertidur dengan mudah, seperti yang sudah-sudah saat saya tidur di
gunung. Paling-paling saya hanya bisa tidur lelap selama satu jam.
Terkejut saat
tengah malam kembang api dinyalakan oleh pendaki-pendaki dari tenda lain yang
berjauhan dari kami. Kami sih tidak
membawa kembang api. Dan walaupun di luar jadi agak riuh karena kembang api
tengah malam pertanda pergantian tahun itu, saya sudah telanjur malas keluar
dari sleeping bag. Lanjut
tidur-tiduran lagi, sampai kemudian hujan turun. Rintik-rintiknya terasa jelas
menimpa tenda kami. Keriuhan di luar usai. Kesempitan di dalam tenda makin
terasa karena teman-teman yang tadinya di luar semuanya masuk ke dalam. Sampai
hujan pun reda.
Saya dan
teman sebelah sudah tidak bisa lagi memejamkan mata, lalu kami putuskan untuk
tahajud. Tadinya mau tahajud di luar tenda. Tapi untuk tayammum di luar saja
kami sudah kedinginan setengah mati. Akhirnya kami tahajud sambil duduk di
dalam tenda.
Puncak Merapi
Pagi-pagi
setelah shalat, masak mie rebus, menyeduh energen dan kopi jahe, serta berfoto-foto
berlatarbelakang Puncak Dempo dan Puncak Merapi, kami bersiap mendaki Puncak
Merapi, yaitu si puncak I alias puncak tertinggi di gunung Dempo ini.
Masih
dengan formasi berjaket beberapa lapis, kali ini kami tidak membawa ransel.
Hanya bawa badan dan perlengkapan kecil seperti minuman dan kamera. Saya siap
naik pakai rok :). Trek menuju Puncak Merapi adalah tanah tinggi yang terbuka,
kering, dan berbatu-batu.
Lumayan
terengah-engah mendaki trek puncak yang cukup curam ini. Kuncinya adalah
kesabaran, dan mengatur ritme napas dan ritme langkah. Berkali-kali berpapasan
dengan pendaki dari kelompok lain yang juga naik turun. Setiap kali berpapasan,
saya menyapa mereka, dan mereka menyemangati yang masih dalam perjalanan naik
ini. “Ayo, sebentar lagi. Semangat. Cuaca cerah di atas,” kata mereka.
Mendengar
kabar bahwa cuaca cerah di atas sana, alangkah gembira hati ini. Saya tak
peduli danau kawahnya berwarna apa, yang penting saya bisa melihat kawahnya
tanpa terhalang mendung dan kabut. Itu doa saya sejak di awal pendakian, yang
saya ingat betul.
Tidak
sampai satu jam kemudian, kami tiba satu per satu di atas puncak. Dan inilah…. view terbaik yang sudah siap saya
saksikan. Kami berada di pinggiran bibir kawah bekas letusan gunung Dempo
ratusan tahun lalu. Kawah lebar yang menganga. Tebing-tebing bagian dalamnya
berupa tangga batu atau tebing bergaris-garis. Tebing kawah ini benar-benar mengingatkan
saya pada tebing kawah di Puncak Gunung Gede. Bedanya, di tengah kawah gunung
ini terdapat danau kawah. Airnya berwarna putih keabuan, warna kulit telur
bebek, kata para pendaki. Terletak nun jauh di bawah sana, sekitar satu
kilometer jaraknya. Saya bertanya pada teman pendaki yang asli sana, adakah
orang yang berjalan mendekati danau itu sampai benar-benar tiba di sana? Dia
menjawab, ada. Bahkan dia sudah dua kali turun ke danau itu, melalui tebing di
seberang sana, bukan dari sisi tinggi tempat kami berada sekarang.
Di
waktu-waktu tertentu, air danau kawah itu berwarna hijau terang atau kebiruan.
Konon katanya tergantung niat terbaik dari lubuk hati pendaki yang datang, atau
imbalan dari kelakuan seperti apa yang mereka bawa ke gunung ini. Jika niat dan
kelakuan itu baik, maka mereka akan mendapatkan kawah dengan air danau
berwarna hijau atau biru. Hmm… Dua ratusan pendaki yang turun naik bersama kami
di pergantian tahun ini. Kami sendiri tidak bisa memastikan niat kami
sesuci embun pagi, dan tidak bisa menuduh pendaki lain tidak bersih niatnya.
Sepanjang jalur pendakian saya melihat sampah di mana-mana. Setiap satu meter
terdapat botol kosong yang dibalikkan dan dimasukkan ke batang atau ranting. Di
lembah, saya dan seorang teman juga menemukan kotoran manusia yang sengaja
dibuang di sumber air yang tidak begitu mengalir. Saya sempat merasa dongkol. Ini
benar-benar bukan watak pendaki sejati. Bagaimana mungkin dia tidak tahu bahwa
air adalah sumber kehidupan pendaki? Sejatinya seorang pendaki tidak akan membuang
kotoran langsung di air, tetapi di tanah yang berjarak dari sana.
Di sisi
lain saya pun yakin, perubahan warna air danau kawah pastilah tersebab oleh
faktor alam juga. Segini saja saya sudah bersyukur: bisa melihat kawahnya,
tidak hujan dan tidak mendung. Bisa melihat awan-awan yang cerah di bawah sana,
di hadapan, dan di belakang. Itu adalah salah satu anugerah Allah yang paling
indah.
Rasanya
belum puas berfoto-foto, dan belum puas saya menghabiskan waktu duduk terdiam
di titik ini untuk menikmati keindahan yang mencerminkan keagungan-Nya ini.
Semua letih seperti terbayar lunas, begitu menyaksikan semua ini. Segala beban
di pundak terlupa, segala sakit dan luka terobati. Ingin sekali berlama-lama
duduk diam menikmatinya. Menikmati kebahagiaan yang mahal ini, jauh dari segala
tekanan. Tapi sayang kami tidak boleh berlama-lama sebab cuaca cepat berubah di
musim ini.
Selamat
tinggal Puncak Merapi. Selamat tinggal danau kawah dan awan-awan yang menjadi
dekat. Selamat tinggal pemandangan bukit barisan dari atas dan pemandangan
Puncak Dempo dari sini.
Turun Gunung
Kami
kembali turun ke lembah. Jam sebelas siang, setelah beres-beres pribadi dan
tim, kami meninggalkan tempat itu. Menyusuri lembah hingga naik kembali ke
Puncak Dempo. Dari sana, perjalanan turun gunung dimulai. Menuruni tanjakan
demi tanjakan, serupa menuruni tangga yang tak habis-habis. Trek-trek tali
dilewati lagi.
Di
awal-awal turun gunung, saya masih membersamai salah satu teman perempuan yang
kemarin drop di belakang. Tapi setelah dua trek tali yang letaknya tertinggi
itu dilewati, posisi saya berubah jadi ke tengah. Ternyata dua teman perempuan
yang kemarin drop posisinya malah di belakang semua. Kemudian saya melihat
bahwa sandal gunung saya yang kiri sedikit terbuka bagian depannya. Saya pun bergumam, kayaknya nih sandal bakalan rusak di Dempo
deh. Ini semata saya katakan karena ketidakyakinan saya bahwa sandal ini
akan mampu bertahan di trek yang becek bukan main ini (sungguh pada akhirnya
baru saya sadar, bahwa seharusnya saya tidak berkata demikian di trek.
Seharusnya saya katakan pada sandal saya: bertahanlah, antar aku sampai ke
bawah lagi.)
Kembali
saya harus menentukan pilihan, apakah saya harus terus di belakang atau
bertahan di tengah. Tim kami terpecah-pecah saat itu. Makanan dan minuman ada
di kelompok depan. Minuman saya sendiri sudah kosong karena diminum bersama.
Kelompok belakang sudah terlalu jauh jaraknya. Hujan mulai turun, semakin
deras, dan mengubah trek menjadi lumpur. Sandal gunung saya yang kiri makin
mengkhawatirkan karena seringkali terbenam ke dalam tanah lumpur dan sulit
ditarik. Begitu berhasil ditarik, rekahan alasnya semakin lebar.
Saya pun
berhitung kemampuan diri sendiri. Di belakang ada tiga teman lelaki membersamai
dua teman perempuan kami yang kemarin drop itu. Tapi kondisi mereka berdua
sekarang baik-baik saja. Yang satu malah terlihat cukup kuat dan tidak
mengantuk lagi, sedangkan yang satunya bisa terus berjalan seperti biasa, hanya
saja dengan tempo yang pelan. Dengan kondisi saya sekarang, saya tidak yakin
keberadaan saya di sana akan membantu. Justru saya akan menambah kesulitan
mereka seandainya saya terpaksa berjalan dengan tempo lambat dengan kondisi
sandal mulai rusak. Belum jika saya jatuh atau terluka di medan yang masih
sangat ekstrem di atas sana.
Saya pun
memutuskan untuk bertahan di tengah, bersama dua orang teman. Salah satu di
antara dua teman saya ini rupanya mengalami nasib sandal yang sama. Itulah
sebabnya kami mengejar tiba di tugu Rimau secepat mungkin. Sebelum sampai di
shelter 1 b, sandal kiri saya benar-benar tamat riwayatnya. Saya yang sebelumnya
tadi masih leluasa turun dengan cara melompat ke tanah bawah, kini tak bisa
lagi. Sandal kiri itu saya lepaskan, dan saya pun mulai berjalan dengan
kekuatan satu kaki. Oh, alangkah susahnya. Tapi saya menyimpan keluhan itu
serapat-rapatnya di dalam hati dan menggantinya menjadi semangat.
Karena
kebanyakan trek tanah sudah berubah menjadi lumpur, maka kami pun memilih untuk
sering berseluncur saja. Melompat bisa membahayakan telapak kaki kiri saya yang
tanpa sandal, sedangkan akar dan batu bisa saja mengintai dari dalam tanah.
Tugu Rimau Kembali
Sepenuh ketabahan, dengan cara turun yang
demikian tak leluasa, akhirnya kami tiba di pintu Rimau, dengan keadaan hanya
wajah dan kepala yang masih terbilang bersih dari lumpur. Beberapa pendaki yang
sudah tiba lebih dulu menyambut kami. “Selamat datang kembali…,” kata mereka.
Jam 17.15 saat itu. Saya buru-buru ke kamar mandi dan mengganti semua
pakaian kotor. Lalu bergegas ke mushola dan shalat jamak di sana. Dalam sujud
saya yang terakhir, saya tidak dapat menahan air mata saya. Setelah salam, saya
makin tersedu. Sujud lagi. Menangis lagi. Hanya ada saya sendiri pula saat itu
di mushola. Teman saya yang satunya masih di kamar mandi, yang satunya lagi
sedang tidak shalat.
Sungguh
baru kali ini saya sampai menangis seperti itu setelah turun gunung. Sebuah
kelegaan yang luar biasa. Saya rasakan, Allah benar-benar memberi saya terlalu
banyak, padahal saya hanya meminta sedikit. Saya hanya
meminta tidak hujan saat kami mendaki, tidak hujan saat kami ke puncak, supaya
kami bisa melihat pemandangan kawah dengan baik. Tapi DIA memberi lebih dari
itu. Pendakian ini… memberikan banyak hal, banyak arti. Pendakian ini memberi
banyak pelajaran dan pengalaman berharga. Belajar tentang ketabahan dan
kepayahan. Belajar tentang kebersamaan dan kesendirian. Belajar tentang
kelemahan dan kekuatan. Mendapatkan teman dan saudara. Memahami karakter: mana
yang tangguh atau tak seimbang, mana yang mandiri dan bertanggung jawab, mana
yang egois dan yang peduli, mana yang baik atau pura-pura baik, mana yang tulus
dan mana yang modus. Diberi-Nya kami cuaca yang baik saat mendaki hingga
melihat kawah di puncak. Disingkirkan-Nya badai dari kami, padahal
kemarin-kemarin badai itu selalu terjadi. Hujan hanya diturunkan-Nya saat
tengah malam dan saat pendakian kami hampir usai, supaya kami tahu bagaimana
rasanya berjalan bersama hujan. Sungguh Allah Maha Baik.
Epilog
Kelompok
terakhir tiba di tugu Rimau satu jam setelah kami, sempat disusul balik pula
oleh anggota tim yang pertama kali tiba di bawah. Salah satu perempuannya
mengalami keseleo setelah melewati shelter 1. Dan satu yang laki-laki sempat
tergelincir ke jurang dengan posisi tubuh telentang ke bawah. Untung kedua
kakinya masih tersangkut tumbuhan sehingga dengan cepat segera ditarik oleh dua
teman laki-laki yang lain. Sungguh mengerikan.
Tangis haru dua teman perempuan kami itu menutup semua kepayahan mereka berdua, begitu tiba di
tugu Rimau. Alhamdulillah kondisi mereka akhirnya segera pulih. Tidak ada yang
cedera di antara kami. Mobil pick up sudah menunggu untuk mengantarkan kami ke
kota di bawah sana. Pendakian berakhir, dengan sejuta cerita (termasuk satu hal
mistis yang dialami kelompok belakang saat maghrib, tapi tidak perlu
diceritakan di sini:)). Sampai jumpa lagi, Dempo. Dan terima kasih wahai Rabb
kami Yang Maha Baik. Semoga kami terus bisa selalu bersyukur atas apa yang
Engkau berikan.
***
Di
waktu mengenang rahmat-Mu, terasa diri kurang bersyukur
Pada-Mu
harus kumemohon, moga syukurku bertambah
Alangkah
susahnya mendidik nafsuku yang tidak melihat kebenaran-Mu
Ya
Allah Tuhanku bantulah hamba-Mu dalam mendidik jiwaku ini
--(Harapanku
Subur Kembali, by Nazrey Johani)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar