Social Icons

Pages

Azzura Dayana

Azzura Dayana

Selasa, 08 Januari 2013

Catatan Ekspedisi Pendakian Gunung Dempo (#Bagian 2 - tamat)


Ekspedisi Dempo (#Bagian 2 tamat)

Memang, setiap gunung memiliki misteri dan pesonanya masing-masing. Pun demikian Dempo. Apa yang kami lihat selama satu jam sepanjang menuruni Puncak Dempo (puncak II) menuju lembah adalah sebuah pesona sekaligus misteri: hutan Harry Potter! Itu julukan yang diberikan teman-teman.

Entah di film Harry Potter yang mana yang ada setting hutan-hutan seperti itu, karena saya sendiri hanya menonton Harry Potter yang pertama (Harry Potter & The Sorcerer Stone), lainnya tidak. Tapi memang hutan ini berbeda dari hutan-hutan yang kami lewati sebelumnya. Hutan yang menutupi langit, akar-akarnya menggembung ke luar tanah, lumut-lumut menyelimuti batang dan tanah, alur trek yang menyelinap di antara akar-akar liar dan gembung itu, cabang-cabang pohonnya seperti urat atau otot manusia, warna hijau pucat memenuhi ruang pandang,  didukung suasana mendung dan hampir gelap ala Maghrib. Somewhat frightening!

Pingin berteriak takut, tapi justru takut berteriak. Saya berusaha menepis semua ingatan tentang beragam kisah angker nan mistis tentang gunung ini yang sudah begitu tenar ke mana-mana. Ketakutan atau sekadar keluhan yang keluar dari mulut saya justru saya khawatirkan akan memicu saya tersesat. Saya takut melihat keadaan itu, takut tertinggal langkah teman-teman yang justru semakin cepat. Padahal tadi saya bertahan di barisan belakang untuk memback-up dua akhwat yang drop, eh justru sekarang saya jadi berjalan paling ujung. Interval kami sempat berjauhan, dan saya hanya bisa menenangkan diri dengan terus berzikir. Tasbih, istighfar, dan shalawat. Tiga itulah kalimat favorit saya saat itu untuk menenangkan diri saya yang penakut. Saya tidak berani lirik kiri kanan, selain menatap tanah mencermati pijakan. Memang keren sekali tim kami ini: tidak ada sweepernya! Ckckck.

Terus berzikir dan terus melangkah cepat. Interval saya dengan teman di depan saya mulai mendekat. Kemudian saya meminta dua teman laki-laki membiarkan saya jalan duluan karena saya tidak mau berada di paling belakang. Saya mengejar teman-teman perempuan, bersama mereka menuruni tanah berair. Serupa menuruni air terjun yang dangkal. Lembah sudah terlihat di depan mata. Dataran tinggi terbuka yang membentang di bawah langit yang mulai kelam. Inilah lembah yang berada di antara dua puncak gunung. Satu puncak yang sedang kami turuni ini, satunya lagi menjulang di depan mata kami, nun jauh di sana. Puncak Merapi.


Kemping Menggigil

Bahkan untuk sekadar tiduran pun tidak bisa dengan mudahnya kami lakukan, setelah tenda selesai didirikan malam itu. Semuanya serba repot. Dinginnya suhu nol derajat tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Rekan perempuan yang mengalami kantuk dan kedinginan baru saja selesai kami ‘amankan’. Tapi begitu saya dan beberapa teman perempuan lainnya masuk tenda, rekan perempuan yang drop satunya tiba-tiba pingsan di samping saya. Kedinginan juga. Langsung saya memeluknya dan merebahkannya di pangkuan saya. Saya sudah khawatir dia terkena hipotermia--tapi saya lihat gejalanya berbeda. Bersicepat kami melakukan pertolongan pertama.

Alhamdulillah beberapa saat kemudian, dia siuman.

Entah kenapa teman-teman laki-laki tidak bersiap sedia untuk masak makan malam. Sepertinya semuanya kelelahan dan kedinginan. Kami yang perempuan pun hanya menghabiskan sebungkus nasi beramai-ramai. Entah mereka makan berapa bungkus. Selesai makan dan mengganti semua pakaian yang basah dan kotor dengan pakaian yang bersih dan hangat, saya mendengar teman melirihkan azan dan iqamah di luar tenda. Saya langsung berseru. “Mau shalat ya? Ikuut. Tunggu bentar ya.”

Teman-teman perempuan yang lain juga beranjak ikut. Kami bertayammum di luar, lalu melangkahkan kaki ke atas matras dan terpal dan mengatur shaf di sana. Shalat jamak Maghrib dan Isya didirikan. Rasanya… subhanallah. Shalat di atas tanah yang tidak halus permukaannya, hanya dilapisi terpal tipis; dinaungi langit malam yang mendung dan hanya ditaburi satu dua bintang. Sementara udara yang dingin seperti hendak membekukan tulang-tulang kami. Jaket tebal sudah berlapis-lapis saya pakai, kaki sudah terbungkus kaos kaki tebal, begitupun semua jari tangan.

Usai shalat, beberapa dari kami mengungsi ke kumpulan tetangga sebelah. Para pendaki lainnya yang sedang asyik membuat api unggun. Batang tumbuhan kayu panjang umur yang mereka gunakan. Batang yang cukup awet menjaga nyala api.

Tidak sampai satu jam kemudian, kami kembali ke tenda. Sudah tidak sabar ingin segera meluruskan pinggang dan kedua kaki yang penat, sambil bergelung di dalam sleeping bag. Saya tahu saya tidak akan jatuh tertidur dengan mudah, seperti yang sudah-sudah saat saya tidur di gunung. Paling-paling saya hanya bisa tidur lelap selama satu jam.

Terkejut saat tengah malam kembang api dinyalakan oleh pendaki-pendaki dari tenda lain yang berjauhan dari kami. Kami sih tidak membawa kembang api. Dan walaupun di luar jadi agak riuh karena kembang api tengah malam pertanda pergantian tahun itu, saya sudah telanjur malas keluar dari sleeping bag. Lanjut tidur-tiduran lagi, sampai kemudian hujan turun. Rintik-rintiknya terasa jelas menimpa tenda kami. Keriuhan di luar usai. Kesempitan di dalam tenda makin terasa karena teman-teman yang tadinya di luar semuanya masuk ke dalam. Sampai hujan pun reda.

Saya dan teman sebelah sudah tidak bisa lagi memejamkan mata, lalu kami putuskan untuk tahajud. Tadinya mau tahajud di luar tenda. Tapi untuk tayammum di luar saja kami sudah kedinginan setengah mati. Akhirnya kami tahajud sambil duduk di dalam tenda.


Puncak Merapi

Pagi-pagi setelah shalat, masak mie rebus, menyeduh energen dan kopi jahe, serta berfoto-foto berlatarbelakang Puncak Dempo dan Puncak Merapi, kami bersiap mendaki Puncak Merapi, yaitu si puncak I alias puncak tertinggi di gunung Dempo ini. 

Masih dengan formasi berjaket beberapa lapis, kali ini kami tidak membawa ransel. Hanya bawa badan dan perlengkapan kecil seperti minuman dan kamera. Saya siap naik pakai rok :). Trek menuju Puncak Merapi adalah tanah tinggi yang terbuka, kering, dan berbatu-batu.

Lumayan terengah-engah mendaki trek puncak yang cukup curam ini. Kuncinya adalah kesabaran, dan mengatur ritme napas dan ritme langkah. Berkali-kali berpapasan dengan pendaki dari kelompok lain yang juga naik turun. Setiap kali berpapasan, saya menyapa mereka, dan mereka menyemangati yang masih dalam perjalanan naik ini. “Ayo, sebentar lagi. Semangat. Cuaca cerah di atas,” kata mereka.

Mendengar kabar bahwa cuaca cerah di atas sana, alangkah gembira hati ini. Saya tak peduli danau kawahnya berwarna apa, yang penting saya bisa melihat kawahnya tanpa terhalang mendung dan kabut. Itu doa saya sejak di awal pendakian, yang saya ingat betul.
Tidak sampai satu jam kemudian, kami tiba satu per satu di atas puncak. Dan inilah…. view terbaik yang sudah siap saya saksikan. Kami berada di pinggiran bibir kawah bekas letusan gunung Dempo ratusan tahun lalu. Kawah lebar yang menganga. Tebing-tebing bagian dalamnya berupa tangga batu atau tebing bergaris-garis. Tebing kawah ini benar-benar mengingatkan saya pada tebing kawah di Puncak Gunung Gede. Bedanya, di tengah kawah gunung ini terdapat danau kawah. Airnya berwarna putih keabuan, warna kulit telur bebek, kata para pendaki. Terletak nun jauh di bawah sana, sekitar satu kilometer jaraknya. Saya bertanya pada teman pendaki yang asli sana, adakah orang yang berjalan mendekati danau itu sampai benar-benar tiba di sana? Dia menjawab, ada. Bahkan dia sudah dua kali turun ke danau itu, melalui tebing di seberang sana, bukan dari sisi tinggi tempat kami berada sekarang.

Di waktu-waktu tertentu, air danau kawah itu berwarna hijau terang atau kebiruan. Konon katanya tergantung niat terbaik dari lubuk hati pendaki yang datang, atau imbalan dari kelakuan seperti apa yang mereka bawa ke gunung ini. Jika niat dan kelakuan itu baik, maka mereka akan mendapatkan kawah dengan air danau berwarna hijau atau biru. Hmm… Dua ratusan pendaki yang turun naik bersama kami di pergantian tahun ini. Kami sendiri tidak bisa memastikan niat kami sesuci embun pagi, dan tidak bisa menuduh pendaki lain tidak bersih niatnya. Sepanjang jalur pendakian saya melihat sampah di mana-mana. Setiap satu meter terdapat botol kosong yang dibalikkan dan dimasukkan ke batang atau ranting. Di lembah, saya dan seorang teman juga menemukan kotoran manusia yang sengaja dibuang di sumber air yang tidak begitu mengalir. Saya sempat merasa dongkol. Ini benar-benar bukan watak pendaki sejati. Bagaimana mungkin dia tidak tahu bahwa air adalah sumber kehidupan pendaki? Sejatinya seorang pendaki tidak akan membuang kotoran langsung di air, tetapi di tanah yang berjarak dari sana.

Di sisi lain saya pun yakin, perubahan warna air danau kawah pastilah tersebab oleh faktor alam juga. Segini saja saya sudah bersyukur: bisa melihat kawahnya, tidak hujan dan tidak mendung. Bisa melihat awan-awan yang cerah di bawah sana, di hadapan, dan di belakang. Itu adalah salah satu anugerah Allah yang paling indah.

Rasanya belum puas berfoto-foto, dan belum puas saya menghabiskan waktu duduk terdiam di titik ini untuk menikmati keindahan yang mencerminkan keagungan-Nya ini. Semua letih seperti terbayar lunas, begitu menyaksikan semua ini. Segala beban di pundak terlupa, segala sakit dan luka terobati. Ingin sekali berlama-lama duduk diam menikmatinya. Menikmati kebahagiaan yang mahal ini, jauh dari segala tekanan. Tapi sayang kami tidak boleh berlama-lama sebab cuaca cepat berubah di musim ini.

Selamat tinggal Puncak Merapi. Selamat tinggal danau kawah dan awan-awan yang menjadi dekat. Selamat tinggal pemandangan bukit barisan dari atas dan pemandangan Puncak Dempo dari sini.


Turun Gunung

Kami kembali turun ke lembah. Jam sebelas siang, setelah beres-beres pribadi dan tim, kami meninggalkan tempat itu. Menyusuri lembah hingga naik kembali ke Puncak Dempo. Dari sana, perjalanan turun gunung dimulai. Menuruni tanjakan demi tanjakan, serupa menuruni tangga yang tak habis-habis. Trek-trek tali dilewati lagi.

Di awal-awal turun gunung, saya masih membersamai salah satu teman perempuan yang kemarin drop di belakang. Tapi setelah dua trek tali yang letaknya tertinggi itu dilewati, posisi saya berubah jadi ke tengah. Ternyata dua teman perempuan yang kemarin drop posisinya malah di belakang semua. Kemudian saya melihat bahwa sandal gunung saya yang kiri sedikit terbuka bagian depannya. Saya pun bergumam, kayaknya nih sandal bakalan rusak di Dempo deh. Ini semata saya katakan karena ketidakyakinan saya bahwa sandal ini akan mampu bertahan di trek yang becek bukan main ini (sungguh pada akhirnya baru saya sadar, bahwa seharusnya saya tidak berkata demikian di trek. Seharusnya saya katakan pada sandal saya: bertahanlah, antar aku sampai ke bawah lagi.)

Kembali saya harus menentukan pilihan, apakah saya harus terus di belakang atau bertahan di tengah. Tim kami terpecah-pecah saat itu. Makanan dan minuman ada di kelompok depan. Minuman saya sendiri sudah kosong karena diminum bersama. Kelompok belakang sudah terlalu jauh jaraknya. Hujan mulai turun, semakin deras, dan mengubah trek menjadi lumpur. Sandal gunung saya yang kiri makin mengkhawatirkan karena seringkali terbenam ke dalam tanah lumpur dan sulit ditarik. Begitu berhasil ditarik, rekahan alasnya semakin lebar.

Saya pun berhitung kemampuan diri sendiri. Di belakang ada tiga teman lelaki membersamai dua teman perempuan kami yang kemarin drop itu. Tapi kondisi mereka berdua sekarang baik-baik saja. Yang satu malah terlihat cukup kuat dan tidak mengantuk lagi, sedangkan yang satunya bisa terus berjalan seperti biasa, hanya saja dengan tempo yang pelan. Dengan kondisi saya sekarang, saya tidak yakin keberadaan saya di sana akan membantu. Justru saya akan menambah kesulitan mereka seandainya saya terpaksa berjalan dengan tempo lambat dengan kondisi sandal mulai rusak. Belum jika saya jatuh atau terluka di medan yang masih sangat ekstrem di atas sana.

Saya pun memutuskan untuk bertahan di tengah, bersama dua orang teman. Salah satu di antara dua teman saya ini rupanya mengalami nasib sandal yang sama. Itulah sebabnya kami mengejar tiba di tugu Rimau secepat mungkin. Sebelum sampai di shelter 1 b, sandal kiri saya benar-benar tamat riwayatnya. Saya yang sebelumnya tadi masih leluasa turun dengan cara melompat ke tanah bawah, kini tak bisa lagi. Sandal kiri itu saya lepaskan, dan saya pun mulai berjalan dengan kekuatan satu kaki. Oh, alangkah susahnya. Tapi saya menyimpan keluhan itu serapat-rapatnya di dalam hati dan menggantinya menjadi semangat.

Karena kebanyakan trek tanah sudah berubah menjadi lumpur, maka kami pun memilih untuk sering berseluncur saja. Melompat bisa membahayakan telapak kaki kiri saya yang tanpa sandal, sedangkan akar dan batu bisa saja mengintai dari dalam tanah.


Tugu Rimau Kembali

Sepenuh ketabahan, dengan cara turun yang demikian tak leluasa, akhirnya kami tiba di pintu Rimau, dengan keadaan hanya wajah dan kepala yang masih terbilang bersih dari lumpur. Beberapa pendaki yang sudah tiba lebih dulu menyambut kami. “Selamat datang kembali…,” kata mereka.

Jam 17.15 saat itu. Saya buru-buru ke kamar mandi dan mengganti semua pakaian kotor. Lalu bergegas ke mushola dan shalat jamak di sana. Dalam sujud saya yang terakhir, saya tidak dapat menahan air mata saya. Setelah salam, saya makin tersedu. Sujud lagi. Menangis lagi. Hanya ada saya sendiri pula saat itu di mushola. Teman saya yang satunya masih di kamar mandi, yang satunya lagi sedang tidak shalat.

Sungguh baru kali ini saya sampai menangis seperti itu setelah turun gunung. Sebuah kelegaan yang luar biasa. Saya rasakan, Allah benar-benar memberi saya terlalu banyak, padahal saya hanya meminta sedikit. Saya hanya meminta tidak hujan saat kami mendaki, tidak hujan saat kami ke puncak, supaya kami bisa melihat pemandangan kawah dengan baik. Tapi DIA memberi lebih dari itu. Pendakian ini… memberikan banyak hal, banyak arti. Pendakian ini memberi banyak pelajaran dan pengalaman berharga. Belajar tentang ketabahan dan kepayahan. Belajar tentang kebersamaan dan kesendirian. Belajar tentang kelemahan dan kekuatan. Mendapatkan teman dan saudara. Memahami karakter: mana yang tangguh atau tak seimbang, mana yang mandiri dan bertanggung jawab, mana yang egois dan yang peduli, mana yang baik atau pura-pura baik, mana yang tulus dan mana yang modus. Diberi-Nya kami cuaca yang baik saat mendaki hingga melihat kawah di puncak. Disingkirkan-Nya badai dari kami, padahal kemarin-kemarin badai itu selalu terjadi. Hujan hanya diturunkan-Nya saat tengah malam dan saat pendakian kami hampir usai, supaya kami tahu bagaimana rasanya berjalan bersama hujan. Sungguh Allah Maha Baik.


Epilog

Kelompok terakhir tiba di tugu Rimau satu jam setelah kami, sempat disusul balik pula oleh anggota tim yang pertama kali tiba di bawah. Salah satu perempuannya mengalami keseleo setelah melewati shelter 1. Dan satu yang laki-laki sempat tergelincir ke jurang dengan posisi tubuh telentang ke bawah. Untung kedua kakinya masih tersangkut tumbuhan sehingga dengan cepat segera ditarik oleh dua teman laki-laki yang lain. Sungguh mengerikan.

Tangis haru dua teman perempuan kami itu menutup semua kepayahan mereka berdua, begitu tiba di tugu Rimau. Alhamdulillah kondisi mereka akhirnya segera pulih. Tidak ada yang cedera di antara kami. Mobil pick up sudah menunggu untuk mengantarkan kami ke kota di bawah sana. Pendakian berakhir, dengan sejuta cerita (termasuk satu hal mistis yang dialami kelompok belakang saat maghrib, tapi tidak perlu diceritakan di sini:)). Sampai jumpa lagi, Dempo. Dan terima kasih wahai Rabb kami Yang Maha Baik. Semoga kami terus bisa selalu bersyukur atas apa yang Engkau berikan.

***


Di waktu mengenang rahmat-Mu, terasa diri kurang bersyukur
Pada-Mu harus kumemohon, moga syukurku bertambah
Alangkah susahnya mendidik nafsuku yang tidak melihat kebenaran-Mu
Ya Allah Tuhanku bantulah hamba-Mu dalam mendidik jiwaku ini
  --(Harapanku Subur Kembali, by Nazrey Johani)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar