EKSPEDISI PENDAKIAN DEMPO (#Bagian 1)
Ketika
mengenang ghaffar-Mu, putus asa tiada lagi
Semangatku
pulih semula, harapanku subur kembali
Ujian
menimpa menekan di jiwa, tak sanggup meneruskan perjuanganku
Mehnah-Mu
itu penghapus dosaku, mengganti hukuman-Mu di akherat
Prolog
Saat menuliskan
catatan perjalanan ini, saya menemukan lirik nasyid yang pas mengiringi apa
yang saya rasakan, sejak memulai pendakian kemarin, di dalam tapak-tapak
perjalanannya, hingga ketika pendakian itu usai. Nasyid Harapanku Subur Kembali-nya Nazrey Johani yang salah satu baitnya
saya kutip di atas.
Tidak banyak
orang yang mengerti, atau mau mengerti, mengapa seseorang atau orang-orang lain
di sekitarnya menyukai aktivitas naik gunung. Pun hingga berbuih-buihlah kita
menceritakan, niscaya belum dapat dipastikan ia akan mengerti atau mendukung
kita. Mendaki bagi beberapa orang tertentu, terkadang, memang harus dirasakan
sendiri, bukan dijelaskan tentang apa, mengapa dan bagaimana.
Saya pernah
mendengar suatu kisah tentang seorang anak lelaki asal Palembang yang sedang
kuliah di pulau Jawa. Ia ketularan virus mendaki gunung dari teman-temannya di
sana. Beberapa gunung di Jawa ia daki bersama teman-temannya itu. Saat liburan
datang, ia bermaksud pulang dan meminta izin pada ayahnya supaya memperbolehkan
ia, saudara lelakinya, dan temannya, untuk mendaki gunung Dempo yang masih
terletak dalam wilayah provinsi Sumsel. Ayahnya tidak setuju. Anaknya membujuk
dengan sungguh-sungguh. Ketika si anak hampir putus asa, akhirnya si Ayah
berkata, “ Ya sudah, kalian boleh mendaki, dengan syarat, Ayah ikut bersama
kalian untuk memantau.”
Tentu saja
anak-anak bergembira menyambut ide itu. Maka mereka pun berangkat menuju
Pagaralam, setelah segala perlengkapan disediakan. Pendakian dimulai. Perjuangan
susah senang dan kebersamaan dalam segala rintangan dan keterbatasan dirasakan.
Sampai akhirnya pendakian berakhir sukses. Sejak saat itu, sang Ayah mengerti
dengan sendirinya, mengapa anaknya suka naik gunung.
Akhir Tahun 2012
Tentu bukan
untuk merayakan pergantian tahun Masehi, tapi hanya karena kebetulan kami ada
waktu kosong yang bersamaan, maka ide untuk mendaki gunung Dempo ini pun
tercetus oleh saya. Kami pun segera membentuk tim, siapa saja yang akan kami
ajak, siapa koordinator lapangan di sana nanti, serta segala persiapan
peralatan dan stamina.
Ahad 30 Desember 2012, kami berangkat dari Palembang ke Pagaralam dari Terminal Karya Jaya dengan menumpangi bus ekonomi Melati Indah (Rp.40.000), berangkat jam delapan kurang.
Ahad 30 Desember 2012, kami berangkat dari Palembang ke Pagaralam dari Terminal Karya Jaya dengan menumpangi bus ekonomi Melati Indah (Rp.40.000), berangkat jam delapan kurang.
Alhamdulillah,
perkiraan macet yang sempat kami khawatirkan tidak terjadi. Perjalanan berlangsung
lancar jayaa. Jam 15.30 kami tiba di kota Pagaralam, langsung menuju rumah
seorang rekan tempat kami menginap dan mempersiapkan pendakian.
Sayangnya,
kabar-kabar yang mencemaskan mulai berembus ke telinga kami: mulai dari cerita
tentang jalur pendakian yang dipastikan sangat berbahaya karena musim hujan, badai
yang terus terjadi di gunung beberapa minggu terakhir, sampai ada yang
menasihati kami untuk membatalkan pendakian saja. Ditambah lagi beberapa warning mistis yang hampir membuat saya
emosi jiwa. Bagaimana tidak, sungguh tidak patut menyebarkan hal semacam itu di
saat kami belum mendaki. Seolah kami adalah anak kecil yang tidak paham bahwa
setiap gunung mengandung misteri masing-masing. Dan lagi, ini bukan pertama
kali kok saya pergi mendaki. Teman-teman
akhwat sudah saya siapkan mentalnya, sudah saya kasih tahu apa-apa yang harus
mereka jaga. Jadi, mereka bukannya buta sama sekali tentang gunung. Akan tetapi,
karena khawatir sanggahan saya akan dikira kesombongan, maka saya biarkan saja,
dan tetap menenangkan teman-teman akhwat. Kami sudah jauh-jauh ke sini. Tidak akan
kami melangkah mundur. Kami meminta supaya hujan tidak turun saat kami mendaki,
jikapun ia turun, semoga tidak membuat kami kesulitan. Kami ingin melihat kawah
di puncak. Itu saja yang sungguh-sungguh kami minta kepada Yang Maha Mengatur
Segalanya.
Senin 31
Desember 2012, kami keluar rumah ba’da Subuh, mampir sebentar di warung nasi
uduk dan lontong untuk mengisi perut, lalu memborong semua lontong yang dibuat
si ibu setengah baya. Nambah-nambahin bekal makan siang di gunung nanti, jaga-jaga
kemungkinan seandainya kondisi menyebabkan kami tidak sempat atau tidak bisa
masak.
Tim kami terdiri dari 14 orang; 7 laki-laki dan 7 perempuan, gabungan Palembang dan Pagaralam. Perjalanan
dimulai dengan menggunakan mobil pick up menuju gerbang jalur pendakian. Pemandangan
luar biasa indah menyambut kami. Kebun teh menghampar hijau sejauh mata
memandang. Jalan aspal berkelok-kelok menuju ketinggian. Pemandangan kota yang
makin terlihat jauh. Udara dingin mulai memeluk kami. Jaket dirapatkan. Tapi kami
tahu, dingin ini belum ada apa-apanya sama sekali dibanding suhu di atas gunung
nanti.
Jam
setengah sembilan, kami tiba di pos lapor pendakian. Di sinilah letak gerbang
pendakian Jalur Rimau, yang ditandai dengan adanya Tugu Rimau (simbolisasi
Harimau Sumatera). Sampai di sini, saya masih belum sadar bahwa pendakian kami
ternyata dimulai bukan dari Pintu Rimba, seperti yang saya pahami sebelumnya
tentang Dempo.
Kami berdoa
bersama dipimpin salah seorang pak tua di pos lapor—doa yang sebagian kecilnya
aneh menurut saya, karena diubah-ubah di beberapa bagian tertentu oleh si bapak
sehingga artinya menjadi lain (lagi-lagi menurut pemahaman saya), dan karena itu
saya hanya mengaminkan di bagian tertentu saja, dan lebih fokus pada doa saya
sendiri saja.
Trek ABRI
Tepat jam
9, pendakian dimulai. Sudah terlihat dari tanah di sekitar tugu Rimau, bahwa
trek yang akan kami tempuh kondisinya basah bekas hujan. Saya sudah mengetahui
bahwa trek gunung ini menanjak terus, dengan jalan setapak penuh akar, dan tinggi
tanjakan mulai setengah dengkul sampai puluhan meter. Tapi ternyata, begitu
trek tersebut nyata hadir di depan mata, tetap saja saya masih tercengang. Trek
Rimau ini seperti menaiki tangga yang tidak pernah selesai. Terus naik dan naik
terus. Tidak ada tanah landai. Dan jangan harap ada turunan.
Shelter 1
pun mengejutkan saya. Saya mengira seperti di gunung-gunung di Jawa, yang
namanya shelter atau pos adalah tanah rata tempat para pendaki bisa duduk
santai sejenak, dan terdapat pondokan kecil tanpa dinding. Shelter 1 jalur
Rimau ini, ternyata, hanya tanah tak rata dengan ukuran yang tak simetris, dan
tentu saja tanpa pondokan.
Perjalanan berlanjut,
menuju shelter 1 b dan shelter 2. Dari tadi sebenarnya saya menanti-nanti
munculnya Tanjakan Dinding Lemari. Sebuah tanjakan tegak lurus setinggi 4 meter
yang hanya bisa dilewati dengan bergelantung pada akar atau memanjat tali. Tapi
yang muncul melulu tanjakan-tanjakan setengah dengkul, sedengkul, sepinggang,
sedada, yang memang tak ada habisnya. Semua tanjakan ini dilewati dengan
berpegangan pada akar dan batang pohon.
Kami hitung-hitung,
ternyata ada 4 tanjakan terpanjang yang mesti dilewati dengan tali. Trek tali
pertama (paling bawah) panjangnya hanya sekitar 5 meter, bentuknya agak
bengkok. Trek tali kedua sekitar 15 meteran, dengan kemiringan sekitar 45
derajat dan merupakan tanjakan yang tidak bengkok, serta pijakannya cukup
jelas. Trek tali terpanjang adalah trek tali yang ketiga: lurus, dengan
ceruk-ceruk tanah yang sangat jelas sebagai pijakan kaki kiri dan kanan. Panjang
tanjakan ini mencapai 19 meter.
Bagaimana dengan
trek tali keempat? Nah, walaupun panjangnya hanya sekitar 12 meter, tapi trek
tali yang terakhir (paling atas) ini adalah empunya trek tali. Sudahlah tanjakannya
bengkok patah ke kanan atas, tanahnya licin tiada tara, pegangan berupa
akar-akar di kiri kanan tanjakan tidak cukup meyakinkan untuk bisa membantu,
serta pijakannya pun tidak jelas! Luar biasa…. Trek tali keempat inilah yang
membuat saya mati gaya alang-kepalang. Tapi alhamdulillah berhasil dilewati juga
dengan cukup menyedihkan dan menciptakan luka di pergelangan tangan saya. Hehe.
Sudah tidak
ada lagi pakaian yang bersih melekat di tubuh kami. Semuanya kotor oleh tanah. Sempat
ada teman yang terjatuh dari trek tali dan jarinya bengkak. Lainnya,
lecet-lecet di ujung-ujung jari karena selalu berinteraksi dengan akar dan
batang pohon.
Melampaui
antara trek tali yang satu ke trek tali yang lain, barulah saya sadar, Jalur
Rimau bukanlah Jalur Rimba. Mereka adalah dua jalur yang berbeda. Tanjakan Dinding
Lemari pantas saja tidak saya temui di sini. Sebagai gantinya, inilah dia empat
trek tali yang luar biasa. Lebih dahsyat.
Ternyata
pula, berdasar cerita teman-teman yang orang sana, jalur Rimau ini memang
terhitung trek baru. Dulu biasanya para pendaki menempuh jalur dari pintu
Rimba. Jalur itu lebih jauh dan panjang, serta tidak semuanya terjal. Sekarang,
sudah sedikit yang melewati Jalur Rimba, karena pintu tugu Rimau memang lebih
mudah dicapai daripada pintu Rimba.
Jalur Rimau
awalnya dibuka oleh Brimob, dan dikhususkan untuk ujian tentara. Mereka diberi
waktu 3 jam untuk melewati trek. Jika para tentara berhasil melewati trek jalur
Rimau ini dalam waktu 3 jam, maka mereka lulus ujian.
Lalu bagaimana
dengan kami? Apakah berhasil? Dan berapa lama? Hehehe.
Shelter 2 – Taman Bunga
Kalau tidak
salah, trek tali ketiga dan keempat ditemui setelah lewat dari shelter 2. Shelter
2 ini kondisinya lebih mengagetkan saya. Tanah di shelter 2 malah miring. Sebenarnya
ia lebih tepat dikatakan sebagai tanjakan yang lebar dan luas, bukan shelter. Saat
berada di sini, kita bisa kebingungan mau duduk di mana, karena semuanya miring,
semuanya berbahaya (setidaknya menurut saya sebagai perempuan). Terus, kalau
sudah tahu mau duduk di mana, jangan lupa berpegangan atau bersandar pada pohon
supaya tidak jatuh, kecuali bagi yang sudah terbiasa.
Ketinggian tanah
yang kami pijak mulai mencapai dua ribu delapan ratusan meter dari atas
permukaan laut. Jalan setapak yang kami lewati setelah shelter 2 dan sebelum
trek tali ke-empat adalah tempat yang paling indah sepanjang jalur naik ini. Jalan
setapak tersebut berada di pinggir tebing. Sebelah kiri kami adalah jurang, dan
andaikata cuaca tidak tertutup kabut setebal ini, niscaya kami bisa melihat
pemandangan yang indah di bawah sana, hanya terbatasi oleh rerimbunan tanaman
hutan sub alpin. Udara dingin sekali. Tumbuhan paku yang saya lihat di sini
bentuknya makin menyempit, rapat, dan rapi berjajar. Sangat indah. Belum lagi
bunga kesayangan saya di pegunungan, yaitu cantigi, bertebaran di sini. Subhanallaah.
Terasa mimpi bisa melihat cantigi lagi. Dengan jumlah yang begini banyaknya
seperti tak habis-habis. Cantigi yang cantik dan kuat. Cantigi yang tegar dan
sangat bermanfaat bagi pendaki. Akan tetapi di Dempo, cantigi biasa disebut sebagai kayu/bunga panjang umur oleh para pendaki dan warga lokal.
Tak ada edelweiss
di gunung Dempo ini, memang. Tapi benalu-benalu yang melekati batang-batang
cantigi mengingatkan saya pada perjalanan sepanjang Kalimati menuju Arcopodo di
jalur gunung Semeru. Bedanya, trek menanjak di sekitaran ‘taman bunga’ ini
tidak lagi seekstrem trek sebelumnya yang betul-betul menguras energi dan
emosi. Tanah di sini tetap menanjak, tapi dengan ketinggian hanya setengah
dengkul, dan berliku-liku. Rasanya seperti bermain di labirin taman bunga,
berputar-putar walaupun harus sangat berhati-hati saat melangkah. Sayangnya,
saya tetap tidak mengeluarkan kamera DSLR saya. Pertama, karena memang kalau
sedang ngetrek, saya tidak akan bisa fokus motret, bahaya buat pijakan saya,
dan saya bisa berisiko tertinggal tim pula kalau sibuk motret. Kedua, tangan
saya kotor oleh tanah, kasihan kamera saya kalau harus ikutan kotor.
Jadi saya lebih
memilih untuk menikmati keberadaan saya di sana dengan mata yang memandangi
keindahan rerimbunan paku-pakuan, benalu, dan cantigi. Cantigi atau kayu panjang umur ini adalah tumbuhan berupa batang-batang yang dirimbuni daun-daun kecil yang rapat, di mana makin
ke ujung tangkai maka daun-daun itu berwarna merah. Dengan kata lain, pucuknya
yang berwana merah, dan inilah yang disebut ‘bunga’nya. Bunga ini konon tidak
akan berubah warna setelah dipetik berhari-hari lamanya. Lambat laun setelah itu,
barulah ia akan berubah menjadi hitam, namun bentuknya tetap cantik dan tidak
berubah.
Puncak Dempo (Puncak II)
Hari sudah
sore, dan kami masih berkeliaran di hutan. Puncak sepertinya tidak jauh lagi. Teriakan
“Semangat pagiii…” terus mengisi udara. Jam berapa pun sekarang, teriakannya selalu
Semangat Pagi. Biar semangat selalu pagi dan baru, bukan sisa-sisa semangat.
Salah seorang
teman kami, perempuan, terkena ngantuk yang luar biasa. Dia katakan dia tidak
sanggup melangkah lagi saking ngantuknya. Tapi tentu tidak mungkin kami
memenuhi keinginannya untuk ditinggalkan saja dan membiarkannya tidur sebentar.
Sungguh berbahaya. Udara yang mulai dingin mencekam karena kibasan angin yang
kencang mendekati tanah puncak bisa-bisa membuat ia tidur tanpa bisa bangun lagi.
Kami mengalami dilema, antara ingin cepat-cepat bertemu tanah rata di puncak
supaya bisa shalat jamak, atau menunggui teman kami yang ngantuk dan langkahnya
sudah sangat mengkhawatirkan.
Tapi kami
tidak bisa memilih satu. Tetap saja kami harus terus melangkah meski semakin
lambat, sementara teman kami tersebut terus kami semangati dan kami bantu
melangkah. Kami bantu ia makan, minum, dan mencuci wajah dan kedua matanya.
Akhirnya,
kami tiba di Puncak Dempo, puncak kedua yang ada di gunung ini. Allahu akbar! Tanah
rata, agak luas, dan masih berupa hutan. Pemandangan sekitar tertutup
pohon-pohon. Dalam dingin yang menusuk kulit dan menampar-nampar tubuh, kami
mendirikan shalat jamak qashar Zuhur dan Ashar di tanah kedua tertinggi di
gunung ini. Wudunya dengan tayamum saja. Saat shalat, terasa tubuh hampir
terhuyung-huyung diterpa angin.
Legaaa
sekali rasanya seusai shalat berjamaah. Perjalanan langsung kami lanjutkan
setelah itu. Jaket bertumpuk-tumpuk di tubuh teman kami yang ngantuk dan
kedinginan tadi. Angin dingin terus mengejar. Langit sore mulai menggelap
menyusul mendung. Titik-titik hujan sempat jatuh, lalu menghilang kembali.
Kami bersicepat
menuruni puncak gunung menuju lembah. Tempat kami akan kemping. Lembah itu
terletak di antara dua puncak gunung ini, yaitu Puncak Dempo dan Puncak Merapi.
Selama perjalanan menuruni Puncak Dempo, sebuah kejutan lain menemui kami.
(to be continued)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar