Akhir pekan itu saya rencanakan sebagai hari penjelajahan situs-situs
Kerajaan Banten yang berpusat di Kota Banten Lama, Provinsi Banten. Tadinya saya sudah yakin akan menjelajah sendirian saja. Tapi tengah malam buta sebelumnya,
sebuah sms masuk. Dari seorang teman, katanya ia mau ikut dengan saya menjelajah
Banten Lama pagi ini nanti. Yuuk mare… J
Jam 6 pagi saya dan teman saya, Rahma, berangkat menuju terminal Kampung Rambutan.
Dari sana , kami naik bus Primajasa jurusan Merak. Ongkosnya Rp17.000 per orang.
Perjalanan sebenarnya terhitung lancar tanpa macet, kecuali beberapa ruas jalan
Tol sekitar Cikupa yang sedang mengalami perbaikan sehingga sesekali bus harus
berjalan pelan-pelan, padat merayap. Tapi pemandangan indah Gunung Karang cukup
menghibur perjalanan.
Gunung Karang, dalam perjalanan menuju Banten Lama |
Waktu menunjukkan pukul 9 lebih sedikit ketika kami turun di
Terminal Pakupatan, Serang. Dari sana ,
kami naik angkot 01 (sebenarnya nomor angkot di sini cenderung tidak berfungsi)
berwarna biru jurusan Royal (Pasar Lama). Waktu tempuh ke sana rupanya tidak terlalu jauh, ongkosnya
Rp2.500 per orang. Saya duduk di belakang sopir, dan meminta padanya untuk
menunjukkan pada kami dari mana kami bisa naik angkot jurusan Karangantu. Kami
turun di simpang tiga Jl. Maulana Hasanuddin-Jl. Sama’un Bakrie-Jl. Raya
Banten. Di sanalah angkot jurusan Karangantu sedang menunggu penumpang. Kami
pun berpindah kendaraan. Dari sini, perjalanan menuju Masjid Agung Banten terhitung
agak lama, melewati plang-plang yang menunjukkan keberadaan situs-situs makam
raja, pangeran, dan panglima Kerajaan Banten di titik-titik itu . Ongkos angkot
yang kedua ini adalah Rp5.000 per orang.
Kraton Surosowan
Kami tiba pada pukul 10 dan langsung mendekati Kraton
Surosowan. Saya lihat pintu masuknya digembok. Kami lalu meluncur ke Museum
Purbakala yang berada di dekat Kraton itu dan mencari informasi (selain melihat
meriam tua bernama Ki Amuk dan Batu Penggilingan di halaman luar museum). Rupanya,
sejak beberapa waktu lalu dua pintu masuk menuju Kraton ini sudah digembok
karena dulu sering terjadi penyalahgunaan oleh oknum tertentu untuk melakukan
perbuatan maksiat di areal dalam kraton. Saya sih sudah sempat mengira
pasti itu alasannya, karena memang ada beberapa tempat-tempat teduh atau
tersembunyi di areal dalam Kraton. Selain itu, tidak ada pungutan apapun untuk
masuk ke sana .
Tentu ini mengundang ide jahil di kepala orang yang moralnya jeblok.
Surosowan, terkunci |
Di museum yang bertarif Rp1.000 itu, kami melihat miniatur
situs-situs Kerajaan Banten Lama yang berada di dalam kotak kaca. Dari situ
kami mengatur rute perjalanan kami supaya spot-spot itu dapat kami singgahi
dengan waktu kami yang terbatas ini.
Museum Kerajaan Banten |
Kami kembali ke Kraton Surosowan, terlebih dahulu gemboknya
dibuka oleh petugas. Wah, senangnya bisa masuk. Di sinilah tempat para raja dan
sultan Banten bertahta dan memerintah. Tadinya Banten adalah sebuah kerajaan
kecil beragama Hindu dan berada dalam kekuasaan Kerajaan Sunda/Pajajaran.
Kemudian kerajaan ini ditaklukkan oleh Fatahillah dari Kerajaan Demak dan
berubah menjadi sebuah Kesultanan Islam, dengan Sultan Maulana Hasanuddin
sebagai sultan pertamanya.
Surosowan |
Kami hanya sebentar menjelajah puing-puing kraton berbentuk
persegi panjang seluas 4 hektare itu, sebab tak lama kemudian, gerimis
mengundang. Padahal baru saja kami ingin menikmati keindahan kolam pemandian
yang terdapat di tengah kraton. Dari jauh, petugas memanggil kami, katanya
pintunya akan segera ditutup kembali. Well…
Masjid Agung Banten
Kami beranjak ke Masjid Agung Banten yang berada di dekat
kraton itu. Masjid ini didirikan sejak pemerintahan Sultan Banten yang pertama
dan dijadikan pusat penyebaran agama Islam. Yang paling menarik dari masjid ini
adalah menaranya yang gemuk dan berwarna putih. Sayang, saat itu kami tidak
bisa naik ke atas menara karena kuncinya sedang dibawa oleh pengurus yang saat
itu sedang tidak ada di tempat. Kami pun berfoto-foto saja sambil menunggu azan
zuhur.
Masjid Agung Banten |
Saya sebenarnya ingin sekali bisa merasakan shalat di
dalam bangunan utama masjid yang terlihat apik itu. Sayangnya, ternyata tempat
itu hanya diperuntukkan bagi jamaah laki-laki, sedangkan untuk perempuan adalah
sebuah mushala kecil di samping kanan masjid. Berkali-kali saya mencatat hal-hal
yang tidak enak yang ada di tempat ini. Para
peminta-minta berkeliaran di sini, juga para penjual benda-benda sepele seperti
kantong kresek yang menjual barangnya dengan cukup memaksa.
Kesan tak sedap lainnya adalah mushala perempuan itu,
kondisinya kurang bersih dan apek, tidak nyaman untuk tempat beribadah. Satu
hal yang aneh, setelah kulihat dengan saksama, letak mushala ini berada lebih
depan dibanding bangunan utama masjid Agung itu. Dengan kondisi seperti ini,
apa boleh para jamaah perempuan shalat dengan imam laki-laki yang secara posisi
berada di belakang mereka? Atau, memang ada imam perempuan yang khusus menjadi
imam bagi jama’ah di mushala ini? Ilmuku yang sedikit memang belum sampai untuk
memahami ini rupanya.
Masjid Pecinan Tinggi
Selepas shalat, kami berdua berjalan kaki menyusur jalan
besar yang berada di sebelah kanan masjid. Tidak persis di sampingnya sih,
melainkan dipisahkan juga oleh warung dan rumah-rumah penduduk. Kami mesti
menyeberang rel kereta api juga, kemudian terus berjalan lagi. Setelah sekitar
200 meter berjalan kaki, kami tiba di sebuah gerbang putih dan bertemu jalan
raya yang dilintasi angkot. Benteng Portugis Speelwijk berada di arah kanan,
tapi kami memutuskan untuk ke kiri dulu, karena tak jauh dari situ ada sebuah
bangunan tua berupa menara yang dikenal sebagai Masjid Pecinan Tinggi.
Situs Masjid Pecinan Tinggi |
Ya, masjid ini hanya tinggal menaranya saja. Tapi kita masih
dapat memperkirakan luas masjid dari beberapa tumpuk batu yang ada di dekatnya,
sebuah bangunan kecil yang tampaknya seperti sebuah mimbar tempat imam shalat,
dan sebuah sumur tua yang mungkin digunakan sebagai tempat mengambil air wudhu.
Vihara Avalokitesvara
Kami berbalik arah menuju Benteng Speelwijk. Lagi-lagi para
lelaki nongkrong di pinggir jalan sibuk memanggil-manggil kami. Baik itu para
pemuda, ataupun bapak-bapak. Rahma berkata, “Memang kalo yang jalan cuma
cewek-cewek aja dan nggak ada yang
cowoknya, pasti ada yang suka manggil-manggil gak jelas kayak gitu.” Iya,
benar. Dan yang seperti ini sih terjadi di mana-mana, tidak hanya di Banten
saja.
Candaan mereka kadang lebai. Kebanyakan kami cuekin mereka,
kecuali yang cara bertanyanya agak sopan, atau mereka yang mengucapkan salam –meski
mungkin niat sebenarnya adalah main-main). Tapi kadang ada bapak-bapak yang tidak
putus asa memanggil atau berbicara panjang lebar tidak jelas. Akhirnya saya menoleh, tersenyum, menjawab omongan mereka sesopan mungkin, lalu setelah saya membalikkan
pandangan lagi ke depan, saya ngedumel sendiri. Lama-lama “irama perjalanan” itu
bikin bete juga ternyata, hahaha.
Benteng Speelwijk sudah ada di depan kami kini. Persis di seberangnya
ada sebuah vihara yang arsitekturnya cantik sekali. Vihara ini juga dibuka
untuk wisatawan. Kami masuk dan menjelajah sampai ke dalam. Bangunan ini selain
indah, juga sangat bersih. Termasuk toiletnya yang kami lihat keadaannya
berbeda seratus delapan puluh derajat dengan toilet wanita (dan pria) yang ada
di Masjid Agung Banten. Miris. Pun, tak ada peminta-minta dan “pemaksa-maksa”
di sini.
Vihara Avalokitesvara |
Benteng Speelwijk
Di antara vihara dan benteng tersebut, mengalirlah sebuah
sungai (sayangnya di sepanjang perjalanan saya tak pernah menemukan satu
sungaipun yang airnya jernih). Air sungai itu menuju Teluk Banten di arah utara
sana . Ya,
Banten Lama memang terletak di tepi Teluk Banten. Aroma pesisir sangat terasa
di sini.
Kami menyeberang jembatan kecil dan tiba di benteng yang
didirikan oleh Portugis itu. “Irama perjalanan” yang lebih cerewet kami temui
lagi. Bapak-bapak yang mengatakan bahwa kami salah jalan lah, itu
jalan buntu lah, atau harusnya lewat sebelah sana atau sebelah sini lah. Kami
menanggapi sebaik mungkin. Untunglah, ada seorang anak laki-laki usia tujuh
belas tahunan yang kemudian membantu kami. Wajahnya terlihat tulus. Dia
berkata, “Sudah benar, Kak, lewat sini.” Kami mengikutinya. Di dalam areal
benteng ia bercerita tentang sejarah tempat yang dibangun oleh Portugis itu. Ada sebuah pintu terowongan
kecil menuju beberapa kamar, juga sebuah ruangan yang dulu dipakai untuk
bermain judi. Ada
dua lubang di atas yang memungkinkan cahaya masuk dan memberi sedikit
penerangan.
Dipandu Alwan (nama anak lelaki yang hanya lulus SMP itu;
tadinya saya kira namanya Aloan –terdengar sangat Cina dong, hehe), kami menaiki
tangga batu dan tiba di atas ruang main judi tadi. Dari sini pemandangan
keseluruhan benteng dapat disaksikan, bahkan keberadaan vihara di seberang sana juga terlihat.
Benteng Speelwijk |
Indah sekali laut lepas Teluk Banten nun jauh di sana itu. Terlihat pula
beberapa kapal yang sedang berlayar. Saya juga memotret makam Portugis yang bisa
dilihat dari lubang batu yang lain di menara intip itu.
Pelabuhan Karangantu
Keluar dari areal benteng yang dihiasi oleh keindahan pohon
berbunga merah bernama Albasia itu, kami menunggu angkot di sebuah jembatan
kecil. Sekitar lima
menit kemudian angkot tiba, kami naik. Sepanjang jalan yang dilewati, kami
melihat tambak-tambak yang berlapis-lapis hingga ke laut sana . Kata Alwan, zaman dahulu tambak-tambak
itu tidak ada, dan Speelwijk berada persis di tepi laut. Tapi sekarang, laut
Teluk Banten seolah makin “menjauh”.
Tambak-tambak |
Pelabuhan Karangantu |
Pelabuhan Karangantu yang berada kira-kira 1,5 km dari Speelwijk
itu juga tadinya berada di tepi laut. Mulai dari jembatan yang tegak di dekat Speelwijk
hingga Pelabuhan Karangantu inilah dulu yang dikenal dengan Pelabuhan Banten.
Pelabuhan besar yang ramai disinggahi kapal-kapal dagang internasional sejak
Pelabuhan Malaka ditutup di bawah penaklukan Portugis.
Kraton Kaibon
Kraton Kaibon, Pelabuhan Karangantu, Benteng Speelwijk, dan
Pecinan Tinggi sebenarnya sudah kami lewati dalam perjalanan menuju Surosowan
tadi. Karena jalur angkot akan kembali lagi ke sini, jadilah rute kami seperti
ini, menjadikan Surosowan sebagai tempat kunjungan pertama dan Kaibon menjadi
yang terakhir. Setelah itu, tinggal naik angkot yang lewat di depan kraton
menuju ke kota .
Pulang.
Sesuai namanya, “Kaibon” berarti “Keibuan”. Kraton ini
memang sengaja dibangun untuk ibunda Sultan Syafiudin, Ratu Aisyah, mengingat
pada waktu itu, sebagai sultan ke 21 dari kerajaan Banten, Sultan Syafiudin
masih sangat muda (masih berumur 5 tahun) untuk memegang tampuk pemerintahan.
Kraton Kaibon ini dihancurkan oleh pemerintah Belanda pada tahun 1832. Namun,
berbeda dengan Surosowan yang sudah hampir tak terbaca lagi bentuknya selain
tembok tebal berbentuk persegi panjang yang mengelilingi areal kraton, Kaibon
masih menyisakan bentuk-bentuk pintu, tangga dan gapuranya yang megah.
Terbayang keindahan dan kemegahan kraton yang satu ini.
Di samping kraton mengalir sungai Cibanten. Airnya coklat
susu, namun rupanya merupakan tempat mandi favorit bagi anak-anak yang tinggal
di sekitar situs. Kaibon sendiri sebenarnya hanya berjarak sekitar 500 meter
dari Surosowan. Bisa ditempuh dengan jalan kaki. Namun karena kami tiba lebih
dulu di Surosowan, rasanya tak mungkin kami berjalan dari Surosowan ke Kaibon
lalu balik lagi ke Surosowan dan kemudian berjalan ke Speelwijk. Jadi kami
memilih menuju Kaibon dengan angkot, meski rutenya menjadi lebih jauh karena
mesti melewati Pelabuhan Karangantu.
Kraton Kaibon |
Kita bisa lihat denah berikut. Situs sebelah kiri agak ke
bawah adalah Kraton Kaibon. Jalan di depannya, ke arah kiri adalah menuju kota Serang. 500 m dari
Kaibon ke arah barat laut adalah Kraton Surosowan (situs yang berada di tengah
denah. Lihat menara putih di dekatnya, itulah Masjid Agung Banten). Sekitar 250
m dari Surosowan ke arah barat laut, ada Benteng Speelwijk (dengan Pecinan
Tinggi dan vihara tadi di dekatnya). Pelabuhan Karangantu terletak di sudut
kanan bawah. Rute angkot: dari Serang melewati Kaibon – Pelabuhan Karangantu –
Speelwijk – Pecinan Tinggi – Surosowan & Masjid Agung Banten. Kemudian dari
Surosowan, angkot balik lagi menyusur Pecinan Tinggi – Speelwijk – Pelabuhan
Karangantu – Kaibon, menuju ke kota
Serang.
Kami meninggalkan Kaibon pada pukul 15.15, mampir dulu ke
rumah makan Padang di simpang tiga untuk makan siang yang terlambat, dan tiba
di Jakarta sekitar pukul 18.30, lumayan cepat karena kami naik bus ke Rambutan
setelah bus tersebut keluar dari terminal Pakupatan, sesuai petunjuk pak sopir
angkot di suatu tempat, di dekat Tol Serang Timur.
~ by Azzura Dayana
~ Catatan dari sebuah trip lama (Sabtu 21 November 2009)
yang sampai sekarang masih teringat kesannya
~ Foto2 diambil menggunakan kamera 5 MP hp Sonny Ericcson
Tidak ada komentar:
Posting Komentar