Edelweiss menghampar sepadang, sejauh mata memandang
Burung-burung kedinginan, purnama di balik punggungan
Jelang matahari datang, kita menyusul kaki-kaki ke puncak
Bertopang cantigi, menatap kawah dalam lega menyesak
Tak setiap hari kita bisa di sini
Nanti, di kota, semua tak sama lagi
Inilah dia, sang 'Gunung Sejuta Umat’. Gunung aktif berketinggian 2.958
meter di atas permukaan laut ini terletak di kawasan Taman Nasional
Gede-Pangrango yang beririsan di tiga wilayah, yaitu Bogor, Cianjur, dan
Sukabumi. Pintu masuk pendakian ke gunung ini pun ada tiga, yaitu di Cibodas
dan Gunung Putri (Cipanas), dan Selabintana (Sukabumi). Konon, Cibodas adalah
jalur terpopular namun lebih panjang, Gunung Putri adalah jalur yang lebih
pendek dari jalur Cibodas namun terjal menukik, dan Selabintana adalah jalur singkat
namun paling rimba dan masih jarang diambil pendaki.
|
Sumber: internet |
Tim kami memilih dua jalur yang berbeda untuk pulang pergi dalam
pendakian kali ini. Naik via Gunung Putri dan turun via Cibodas. Pukul 12 malam
saya dan rekan-rekan berangkat dari Kampung Rambutan untuk kemudian menyusuri
jalur Puncak hingga tiba di Cipanas. Istana Kepresidenan di Cipanas tampak sepi
di bawah cahaya lampu yang menerangi malam. Kendaraan kemudian berbelok
memasuki jalan di sebelah kanan menuju kawasan Gunung Putri. Kami tiba di
tempat tujuan sekitar pukul 3.00 fajar. Di sini dingin sudah terasa amat
menggigit. Rencana ingin menyempatkan tidur sebentar pun hanya tinggal rencana.
Tubuh menolak keinginan itu, mungkin tersebab dingin ekstrem yang mendadak itu
dan juga karena jam tidur normal saya sudah telanjur lewat.
Selepas shalat subuh di mushala sambil terus menggigil, kami bersiap
berangkat. Pukul 06.00 setelah sarapan, kami mulai meninggalkan desa menuju
GPO, pos pelaporan pendakian. Saat kami tiba, pos itu masih tutup. Kami dan
rombongan pendaki lain memanfaatkan waktu menunggu dengan mengobrol dan
berfoto-foto. Kebetulan pemandangan di sekitar tempat itu masih sangat alami.
Pukul 06.30, pos dibuka. Perizinan selesai dengan cepat. Pendakian
dimulai. Saya mulai merasakan proses aklimatisasi yang nyaris memberatkan saya
dalam sekitar lima belas menit awal pendakian. Sesak di dada saat bernapas. Namun
kemudian dengan menyelaraskan ritme langkah, lama-kelamaan sesak itu hilang. Dan
semuanya terasa normal.
Oh, begini rupanya Jalur Gunung Putri ini. Belokannya tidak banyak,
nyaris lurus-lurus saja treknya. Menanjak terus walaupun tidak terlalu menukik.
Tidak sampai lutut bertemu wajah. Tapi ya karena terus menanjak, terasa monoton
dan capek juga. Jangankan di beberapa shelter yang berupa bangunan petak
beratap, di sembarang tempat saja kami sering berhenti meski hanya beberapa
menit saja.
Saya terus menyelaraskan ritme langkah, dengan
kecepatan yang sama. Berjam-jam berjalan, dan medan makin menanjak. Sementara sengatan
matahari mulai mengganas. Di ketinggian begini, sengatan matahari terasa lebih
dekat dan pastinya lebih cepat menggosongkan kulit. Saya mulai semakin sering
berhenti untuk mengambil napas. Berjalan lagi beberapa meter, berhenti lagi
untuk menarik napas. Begitu seterusnya. Tidak ada bonus alias trek landai,
teman. Teman-teman yang sudah pernah ke Gunung Gede sebelumnya menyemangati
dengan iming-iming cerita tentang Padang Suryakencana yang indah dipenuhi bunga
edelweiss.
Surken: Surganya Gunung Gede
Jam dua belas siang itu, jalur berubah datar. Kami sudah siap
menyambutnya sejak teman-teman yang berada di depan meneriakkan “bonus”. Jalan setapak
yang panjaaang itu kami telusuri dengan ngebut dan bahagia. Di ujung jalan
datar ialah Surken, alias Suryakencana.
Kemudian berakhirlah hutan yang kami lewati. Dataran terbuka menyambut
kami. Seruan kegembiraan saling bersahutan. Inilah Padang Suryakencana yang
fenomenal itu. Subhanallah.
Jam 12.30 saat itu. Sebagian besar tim telah tiba di tepian timur
Surken ini. Sambil menunggu beberapa yang masih di belakang, saya tiduran
bersandarkan ransel. Teman yang membawa logistik belum tiba. Alhasil kami belum
bisa memasak.
Satu jam menunggu, yang ditunggu belum muncul juga. Ada satu teman lagi
yang belum tampak, dan dia menjabat sebagai sweeper. Kami jadi menyimpulkan
bahwa dua orang ini masih ketinggalan jauh di belakang, disebabkan karena satu
hal. Dikarenakan dua orang ini adalah pendaki yang sudah hafal medan Gunung
gede, akhirnya tim memutuskan untuk melanjutkan perjalanan melintasi Surken dan
mencari lokasi kemping.
Kami menyusuri
padang yang luasnya konon mencapai 50 hektare dan berada di ketinggian 2.750
meter di atas permukaan laut ini. Rerimbunan bunga-bunga edelweiss ada di
mana-mana. Betapa indahnya. Dan betapa dingin udara yang kami rasakan. Padahal ini
masih tengah hari. Rombongan tim lain entah berada di titik mana. Mungkin belum
tiba, atau sudah jauh di depan kami. Yang pasti, tak kelihatan. Hanya edelweiss,
punggungan gunung, dan langit yang kami lihat. Dan tentunya Tuhan yang
mengawasi makhluk-makhluk petualang ini.
Tim sudah
menentukan titik kemping yang pas. Tenda-tenda mulai didirikan. Bayangkan,
tenda-tenda ini berdiri di antara rerimbunan edelweiss. Kami tidur di antara
edelweiss. Kapan lagiii? Hehehe. Nun jauh di hadapan kami, sekelompok pendaki
asing berambut pirang juga sedang sibuk mendirikan tenda. kecil sekali mereka
terlihat dari sini. Maklum, lokasi tim kami dan bule-bule itu dipisahkan oleh
sebuah lembah, dan kami berada di dua lerengnya yang saling berhadapan. Di kerendahan
lembah itulah, semakin ke arah kiri, terdapat mata air jernih yang menjadi
sumber kehidupan para pendaki Gunung Gede. Tenda-tenda pendaki lebih
banyak di dirikan di sekitar mata air ini.
Dua teman kami
yang lama tak muncul itu akhirnya tiba ketika sore hampir berakhir. Rupanya sang
sweeper yang sejak awal sedang dalam keadaan tidak fit. Dan semakin terasa
tidak fit ketika dibawa mendaki. Teman satunya, yakni si pembawa logistik ini
menemaninya dan menunggui si sakit ini tidur cukup lama. Setelah bangun dan
merasa lebih baik, barulah mereka berjalan lagi.
Malam di Suryakencana
Dinginnya suhu
di Suryakencana benar-benar tak terkatakan. Amat sangat dingin, sedingin-dinginnya.
Gelap mulai menyita suasana. Acara memasak baru bisa dimulai, setelah tadinya
perut kami hanya bisa diganjal dengan makanan lain. Kami berbagi tugas. Ada
yang memasak, dan ada yang menyenteri. Begitu masakan selesai, langsung diserbu
tanpa ba-bi-bu.
Usai makan dan
shalat, rembulan purnama bertengger anggun di atas puncak Gunung Gemuruh (2.929
mdpl) yang berada hadapan kami (sementara puncak Gunung Gede ada di belakang
kami). Sayang, kami tak bisa berlama-lama menatap keindahan purnama itu, sebab
suhu semakin ekstrem saja dinginnya. Jaket berlapis dan sarung tangan bahkan
tidak cukup untuk mendamaikan kegigilan. Akhirnya membenamkan diri di dalam sleeping bag adalah opsi terakhir yang
mesti dipilih.
Summit Attack
Subuh-subuh
kami bangun dan shalat. Sebenarnya saya nyaris tak bisa tidur semalaman karena
suhu yang luar biasa dingin itu. untunglah badan tidak lantas menjadi
sempoyongan.
Tenda dibongkar.
Lalu packing. Ransel kembali
dipanggul. Kaki-kaki dipaksakan melangkah lagi menyusuri ujung Suryakencana,
untuk kemudian mendaki punggung puncak Gunung Gede yang berada di belakang
tenda kami yang telah dibongkar. Dingin masih menggulung. Mendung membersamai. Tampaknya
tak ada sunrise yang indah pagi ini…
Hufftt…
semakin lumayaaaan pendakian ke puncak gunung ini. Lebih menanjak daripada trek
Gunung Putri, serta lebih terjal dan sangat sempit. Berkali-kali kami harus
berhenti dan saling menyemangati. Batang-batang cantigi yang kuat menopang
tenaga kami untuk terus menggapai puncak.
Alhamdulillah,
sekitar satu jam kemudian kami tiba di puncak. Sunrise telah lewat. Dan mendung
itu rupanya memang tak menghadirkan sunrise spektakuler. Di tanah puncak,
rerimbunan cantigi lebih banyak lagi dan lebih rimbun. Beberapa tim pendaki
rupanya ada juga yang mendirikan tenda di antara rerimbunan batang tumbuhan
yang kuat itu.
Dan inilah…
kawah aktif Gunung Gede yang luas. Bau belerangnya semakin menyengat seiring
semakin terangnya hari. Pemandangan yang luar biasa. Permukiman tampak kecil di
beberapa titik di bawah sana. puncak Gunung Pangrango yang hijau dan sedikit
lebih tinggi altitude-nya berada
persis di hadapan (3.019 mdpl). Gunung yang sudah tidak aktif itu puncaknya
dipenuhi pepohonan. Dan nun jauh di sebelah barat sana, tampak Gunung Salak
yang samar-samar.
Teman-teman
mengeluarkan nesting dan memasak air, lalu menyeduh kopi ditemani roti basah. Sesi
foto-foto berlangsung sebelum dan sesudah acara sarapan tersebut. Kami pun
sempat berfoto bersama para pendaki asing di puncak dan berbincang-bincang
dengan mereka. Salah satu pendaki wanitanya yang saya ajak berbincang mengaku
berasal dari Belgia. Dan dia sungguh terkesan dengan pendakian ke Gunung Gede
ini.
Terima kasih Ya Allah, karena telah memberikan kepada saya kesempatan untuk menjejakkan kaki di salah satu tanah tinggi-Mu ini bersama teman-teman.
***
Turun Gunung
Setelah cukup puas menikmati suasana puncak, kami mulai bersiap turun gunung, via jalur Cibodas. Jalur ini konon adalah jalan terpanjang pendakian Gunung Gede. Jalurnya tidak terlalu menanjak, kecuali sebuah tanjakan yang tenar dengan kesangarannya, yaitu Tanjakan Setan (sebuah tanjakan yang sangat curam dan tinggi, dan telah disediakan tambang di trek tersebut untuk membantu pendaki naik dan turun). Pukul 10 pagi itu kami mulai menyusuri jalur tinggi ke arah barat, di mana Puncak Pangrango persis berada di depan hidung kita, sehingga seolah-olah kita berjalan menuju gunung yang gagah menjulang itu.
Lalu mulai masuk ke hutan yang tidak begitu basah, cukup kering malah, sehingga tidak membuat kotor sepatu. Singkat cerita, perjalanan turun ini berlangsung cukup lancar dan menyenangkan (setelah melewati Tanjakan Setan, tentunya :-)). Setiba di pos Kandang Badak kami beristirahat cukup lama. Shalat, masak, makan, dan beberapa menyempatkan tiduran di terpal. Perjalanan dilanjutkan kembali, melewati trek air panas. Beuuhh, mantaaapnya trek ini. Kita mesti sangat berhati-hati meniti bebatuan di antara kepulan air panas yang menutupi separuh pandangan, sementara di samping kita ada jurang. Beberapa pendaki sengaja mandi di tempat tersebut.
Memang sangat berbeda jalur Cibodas ini jika dibandingkan dengan jalur Gunung Putri. Di sini jalurnya tidak begitu ekstrem, dan banyak spot-spot menarik yang bisa disambangi, di antaranya adalah Telaga Biru (sebuah telaga kecil di antara rerimbunan hutan, yang ketika saya mampir airnya memang tampak agak kebiruan), air terjun Cibereum yang tinggi dan alami beserta dua air terjun lainnya di sekitar kawasan tersebut, juga jembatan yang membentang sepanjang kira-kira 250 meter melintasi Rawa Gayonggong. Sambil melewati jembatan ini kita bisa menikmati keindahan vegetasi dan atraksi alami fauna seperti monyet dan burung.
Akhir jalur ini adalah pintu masuk Cibodas, yang terletak di kawasan Taman Nasional Cibodas (1.250 mdpl), Jawa Barat. Alhamdulillah... pendakian kami berakhir sukses.