Selasa, 03 Desember 2013
Senin, 25 November 2013
Menceritakan Musim
Musim pertanyaan. Sedangkan musim jawaban belum lagi tiba. Masih jauh serupa negeri di kutub paling dingin di selatan. Dengan apa kujawab sebuah tanya, kalau burung-burung pun bersembunyi dan tak bisa kuajak berbicara.
Menceritakan musim: kau tahu apa artinya lembayung? Ingatkah kau pada wajah mendung? Lalu masihkah kaki kita bisa menapak ke ketinggian dan tangan kita berpegang erat pada cadas-cadas yang menyembul di dinding tebing? Masihkah ada padang suryakencana dan lembah mandalawangi, serta hamparan edelweiss yang mengiangkan sebuah janji lagi di teluk sunyi?
Menceritakan wajahmu: kau serupa perdu, tapi herannya, padamu aku tetap menggantung. Kau selipkan semangat di genggaman tanganku yang terkelupas ketika aku pergi. Matamu penuh air, tapi aku selalu tak punya pelangi untuk menghapusnya.
Masih mendaki gunung dan belum bertemu kebijaksanaan pada setiap langkah kaki. Musim masih pagi, tanya terlalu banyak dan kabut menyisa pekat. Bukankah timur dan barat adalah milik Allah adanya? Maka ke mana perginya dirimu untuk berhijrah, niscaya Ia selalu sediakan untukmu tempat berteduh yang luas dan rezeki yang banyak.
Aku masih berpegang pada cadas-cadas itu—bahkan. Ke mana lagi selain untuk mengelus hatimu dan menuju maaf-Nya. Jika tidak tersedia kursi dari kayu untukku duduk, aku akan menebas hutan dan mengumpulkan ranting, tidur bersama daun. Bahkan, jika telaga telah kering ketika aku tiba nanti, aku masih bisa menyeret kaki dan rela menjadi pengemis yang menadah sambil menangis—tidak akan malu menadah: sebab kerajaan-Nya itu masih banyak menyimpan air.
***
(Catatan iseng dari sebuah insecure afternoon, terinspirasi dari beberapa ayat, terutama Al-Mulk 30, Annisa 100, dan satu lagi saya lupa surat apa dan ayat berapa. Termuat juga dalam novel Altitude 3676 Takhta Mahameru, halaman 291-292)
Menceritakan musim: kau tahu apa artinya lembayung? Ingatkah kau pada wajah mendung? Lalu masihkah kaki kita bisa menapak ke ketinggian dan tangan kita berpegang erat pada cadas-cadas yang menyembul di dinding tebing? Masihkah ada padang suryakencana dan lembah mandalawangi, serta hamparan edelweiss yang mengiangkan sebuah janji lagi di teluk sunyi?
Menceritakan wajahmu: kau serupa perdu, tapi herannya, padamu aku tetap menggantung. Kau selipkan semangat di genggaman tanganku yang terkelupas ketika aku pergi. Matamu penuh air, tapi aku selalu tak punya pelangi untuk menghapusnya.
Masih mendaki gunung dan belum bertemu kebijaksanaan pada setiap langkah kaki. Musim masih pagi, tanya terlalu banyak dan kabut menyisa pekat. Bukankah timur dan barat adalah milik Allah adanya? Maka ke mana perginya dirimu untuk berhijrah, niscaya Ia selalu sediakan untukmu tempat berteduh yang luas dan rezeki yang banyak.
Aku masih berpegang pada cadas-cadas itu—bahkan. Ke mana lagi selain untuk mengelus hatimu dan menuju maaf-Nya. Jika tidak tersedia kursi dari kayu untukku duduk, aku akan menebas hutan dan mengumpulkan ranting, tidur bersama daun. Bahkan, jika telaga telah kering ketika aku tiba nanti, aku masih bisa menyeret kaki dan rela menjadi pengemis yang menadah sambil menangis—tidak akan malu menadah: sebab kerajaan-Nya itu masih banyak menyimpan air.
***
(Catatan iseng dari sebuah insecure afternoon, terinspirasi dari beberapa ayat, terutama Al-Mulk 30, Annisa 100, dan satu lagi saya lupa surat apa dan ayat berapa. Termuat juga dalam novel Altitude 3676 Takhta Mahameru, halaman 291-292)
Selasa, 12 November 2013
Jenuh Menulis? Isi Gelas Anda!
Sebagian penulis bisa menciptakan karya mereka di sela-sela kesibukan. Sebagian lagi hanya bisa menuangkan ide kreatifnya di waktu yang khusus atau bahkan di tempat yang khusus pula. Yang lainnya bisa berbeda lagi, yakni mereka bisa menulis kapan saja dan di mana saja, baik dalam keadaan sibuk atau senggang. Baik dalam keadaan susah atau pun senang. :-)
Apa pun itu, menulis tetap saja adalah aktivitas berpikir. Dan dikarenakan demikian, maka para pemikir inilah yang menentukan kapan, di mana, dan bagaimana mereka akan ‘berpikir’ sesuai dengan kebiasaan dan kenyamanan masing-masing.
Untuk memudahkan penyebutan tiga jenis penulis dengan kebiasaan menulis mereka seperti yang tertera di atas tadi, mari kita tempatkan mereka dalam tiga nama. Para penulis yang dapat menulis di sela kesibukan itu kita namakan Penulis Pertama, para penulis yang menulis di waktu dan tempat yang khusus sebagai Penulis Kedua, dan mereka yang bisa menulis dalam keadaan apa pun sebagai Penulis Ketiga.
Baik Penulis Pertama, Kedua, maupun Ketiga, tak selamanya akan menghadapi kelancaran menulis tanpa hambatan apa pun. Meskipun menulis dapat menjadi aktivitas milik siapa saja, akan tetapi setiap individu pasti pernah menghadapi yang namanya kejenuhan terkait kesehariannya. Suatu ketika, di sela-sela rapat yang agak tersendat, Penulis Pertama mendesah berulang-ulang. Matanya mengamati artikel singkat yang ia ketik di layar IPadnya, namun sedang terhambat pada satu kalimat. Letih menyerang pikirannya, meskipun raganya masih fit. Di samping kantor itu, tepatnya di kursi sudut sebuah kafe yang cozy, Penulis Kedua sedang terkantuk-kantuk di depan layar laptopnya yang sedang menampilkan draft satu bab tulisan yang ia rencanakan. Sayang, kejenuhan sedang menelikungnya sehingga tulisan untuk satu bab itu bahkan dimulai pun belum. Di sebuah bangku panjang stasiun depan kafe itu, Penulis Ketiga duduk menunggu kereta yang akan membawanya pulang. Ia menatap hampa sebuah puisi seperempat jadi yang terpampang di layar BlackBerrynya. Malas sekali ia menyelesaikannya, padahal ia cukup terbiasa menulis dalam perjalanan pulang kerja.
Saya dan Anda mungkin sesekali mengalami beberapa hal serupa. Apa yang kemudian Anda lakukan? Apakah tulisan itu kemudian Anda tutup dan lupakan selama-lamanya?
So, jenuh menulis? Lantas? Sebenarnya gampang. Mungkin gelas di samping Anda kosong dan Anda sedang butuh cairan karena kerasnya berpikir. Maka, isilah gelas Anda….
Ya, jika ternyata gelas Anda kosong, maka isilah. Jika isinya tadi adalah kopi, dan kemudian telah habis, coba ganti gelas Anda dan isi dengan air putih. Jika tadi Anda minum air hangat, gantilah dengan air dingin. Jika tadi air dingin, berpindahlah ke air hangat. Perubahan. Itulah yang Anda perlukan.
Jika Anda sudah duduk di sebuah kursi yang sama dalam sejam terakhir, cobalah pindah ke kursi lain dengan pemandangan yang berbeda atau pindahlah ke teras.
Jika jenuh itu mengintai saat Anda berada di ruang rapat tertutup setengah harian, keluarlah ke balkon atau taman belakang kantor dan hiruplah udara segar. Perhatikan rerumputan yang hijau dan bebungaan aneka warna. Yakinlah bahwa itu menarik bagi Anda.
Jika kejenuhan Anda terasa semakin mengular seiring lagu-lagu mellow yang Anda dengar, putarlah lagu-lagu enerjik yang dapat membangkitkan semangat juang Anda.
Jika Anda berdiri, coba duduklah. Jika Anda terlalu lama duduk, berbaringlah di tempat yang nyaman untuk meluruskan pinggang. Atau rentangkan dan ayunkan tangan dan kaki Anda untuk meregangkan otot.
Jika Anda cemberut, maka tersenyumlah. Jika Anda terdiam, maka sapalah orang di samping Anda. Atau berbincanglah dengan teman Anda tentang hal yang menarik bagi kedua pihak.
Jika berhari-hari Anda hanya berputar-putar di lokasi yang sama, pergilah ke suatu daerah yang baru untuk berwisata atau berpetualang. Segarkan kembali pikiran Anda. Temui orang-orang baru dan kumpulkan cerita-cerita baru.
Setelah itu, wahai Penulis Pertama-Kedua-dan Ketiga, kembalilah kepada tulisan Anda dalam keadaan bugar dan selesaikan. Mission accomplished! :-)
-----
* Azzura Dayana, novelis, staf Divisi Karya Badan Pengurus Pusat FLP
(also published at www.forumlingkarpena.net, 2013/10/23)
Senin, 28 Oktober 2013
Exploring Malacca, West Malaysia
Melaka (Malacca) adalah sebuah kota di pesisir barat dataran Malaysia, terpisah oleh perairan Selat Melaka dari dataran Sumatera bagian utara (Indonesia). Kota yang pernah dijajah Portugis dan Belanda ini sangat menarik untuk dikunjungi, terbukti dengan telah ditetapkannya Melaka sebagai salah satu World Heritage Site oleh UNESCO pada 7 Juli 2008.
Saat saya tiba di kota ini sore hari dan mencoba melihat-lihat suasana ba'da Maghrib, pemandangan Sungai Melaka inilah yang saya temukan. Sungai kecil dan tidak begitu lebar, namun berhasil diefektifkan sedemikian rupa sehingga sangat diminati oleh para turis. Bahkan dibuat tur khusus untuk para turis yang ingin menyusuri sungai ini dengan perahu wisata.
Salah satu sisi Sungai Melaka |
Dari atas sebuah jembatan. Memang terdapat banyak jembatan di sungai ini. |
Siang hari di sisi lain Sungai Melaka |
Taman Bermain di tepi Sungai Melaka |
Selat Melaka. Akhir dari Sungai Melaka. Akan tetapi perahu tur Sungai Melaka tidak mencapai tempat ini. |
Perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki menyusuri sebuah jalan yang paling terkenal di Melaka, yaitu Jonker Street. Kawasan ini ramai di waktu malam, terutama weekend.
Jonker Street - Jonker Walk |
Jonker Street |
Bangunan-bangunan yang kental nuansa etniknya di sepanjang Jonker |
Bangunan-bangunan yang kental nuansa etniknya di sepanjang Jonker |
Malaqa House: Muzium Melaka |
Muzium Budaya Cheng Ho |
menemukan terminal bus ini juga sewaktu jalan-jalan ke sana kemari :) |
juga diorama ini... tentang Kesultanan Melaka |
Dan ini adalah Istana Kesultanan Melaka. Tidak sempat masuk dan memotret lebih leluasa istana yang sangat panjang dan elok ini |
Replika Kapal Portugis yang terdampar di Melaka |
Bekas Gereja Saint Paul, terletak di atas bukit. (Btw, di sinilah scene semifinal MasterChef Indonesia season 3 berlangsung :)) |
Patung Saint Paul, terletak di muka bangunan bekas gereja ini |
Benteng A'Famosa, mungil dan unik. Terletak di belakang Saint Paul dan di dekat Istana Kesultanan Melaka |
Pemandangan dari atas bukit Saint Paul. Tampak Menara Taming Sari, Kapal Portugis, dan perairan Selat Melaka |
Kembali ke Melaka di waktu malam. Saya menyebutnya Kota Merah, karena banyak sekali bangunan-bangunan yang seperti ini di waktu malam. Berhiaskan lampu-lampu bercahaya merah. |
Senin, 21 Oktober 2013
Catatan Ekspedisi Pendakian Gunung Gede (2.958 mdpl)
Edelweiss menghampar sepadang, sejauh mata memandang
Burung-burung kedinginan, purnama di balik punggungan
Jelang matahari datang, kita menyusul kaki-kaki ke puncak
Bertopang cantigi, menatap kawah dalam lega menyesak
Tak setiap hari kita bisa di sini
Nanti, di kota, semua tak sama lagi
Inilah dia, sang 'Gunung Sejuta Umat’. Gunung aktif berketinggian 2.958
meter di atas permukaan laut ini terletak di kawasan Taman Nasional
Gede-Pangrango yang beririsan di tiga wilayah, yaitu Bogor, Cianjur, dan
Sukabumi. Pintu masuk pendakian ke gunung ini pun ada tiga, yaitu di Cibodas
dan Gunung Putri (Cipanas), dan Selabintana (Sukabumi). Konon, Cibodas adalah
jalur terpopular namun lebih panjang, Gunung Putri adalah jalur yang lebih
pendek dari jalur Cibodas namun terjal menukik, dan Selabintana adalah jalur singkat
namun paling rimba dan masih jarang diambil pendaki.
Sumber: internet |
Tim kami memilih dua jalur yang berbeda untuk pulang pergi dalam
pendakian kali ini. Naik via Gunung Putri dan turun via Cibodas. Pukul 12 malam
saya dan rekan-rekan berangkat dari Kampung Rambutan untuk kemudian menyusuri
jalur Puncak hingga tiba di Cipanas. Istana Kepresidenan di Cipanas tampak sepi
di bawah cahaya lampu yang menerangi malam. Kendaraan kemudian berbelok
memasuki jalan di sebelah kanan menuju kawasan Gunung Putri. Kami tiba di
tempat tujuan sekitar pukul 3.00 fajar. Di sini dingin sudah terasa amat
menggigit. Rencana ingin menyempatkan tidur sebentar pun hanya tinggal rencana.
Tubuh menolak keinginan itu, mungkin tersebab dingin ekstrem yang mendadak itu
dan juga karena jam tidur normal saya sudah telanjur lewat.
Selepas shalat subuh di mushala sambil terus menggigil, kami bersiap
berangkat. Pukul 06.00 setelah sarapan, kami mulai meninggalkan desa menuju
GPO, pos pelaporan pendakian. Saat kami tiba, pos itu masih tutup. Kami dan
rombongan pendaki lain memanfaatkan waktu menunggu dengan mengobrol dan
berfoto-foto. Kebetulan pemandangan di sekitar tempat itu masih sangat alami.
Pukul 06.30, pos dibuka. Perizinan selesai dengan cepat. Pendakian
dimulai. Saya mulai merasakan proses aklimatisasi yang nyaris memberatkan saya
dalam sekitar lima belas menit awal pendakian. Sesak di dada saat bernapas. Namun
kemudian dengan menyelaraskan ritme langkah, lama-kelamaan sesak itu hilang. Dan
semuanya terasa normal.
Oh, begini rupanya Jalur Gunung Putri ini. Belokannya tidak banyak,
nyaris lurus-lurus saja treknya. Menanjak terus walaupun tidak terlalu menukik.
Tidak sampai lutut bertemu wajah. Tapi ya karena terus menanjak, terasa monoton
dan capek juga. Jangankan di beberapa shelter yang berupa bangunan petak
beratap, di sembarang tempat saja kami sering berhenti meski hanya beberapa
menit saja.
Surken: Surganya Gunung Gede
Jam dua belas siang itu, jalur berubah datar. Kami sudah siap
menyambutnya sejak teman-teman yang berada di depan meneriakkan “bonus”. Jalan setapak
yang panjaaang itu kami telusuri dengan ngebut dan bahagia. Di ujung jalan
datar ialah Surken, alias Suryakencana.
Kemudian berakhirlah hutan yang kami lewati. Dataran terbuka menyambut
kami. Seruan kegembiraan saling bersahutan. Inilah Padang Suryakencana yang
fenomenal itu. Subhanallah.
Jam 12.30 saat itu. Sebagian besar tim telah tiba di tepian timur
Surken ini. Sambil menunggu beberapa yang masih di belakang, saya tiduran
bersandarkan ransel. Teman yang membawa logistik belum tiba. Alhasil kami belum
bisa memasak.
Satu jam menunggu, yang ditunggu belum muncul juga. Ada satu teman lagi
yang belum tampak, dan dia menjabat sebagai sweeper. Kami jadi menyimpulkan
bahwa dua orang ini masih ketinggalan jauh di belakang, disebabkan karena satu
hal. Dikarenakan dua orang ini adalah pendaki yang sudah hafal medan Gunung
gede, akhirnya tim memutuskan untuk melanjutkan perjalanan melintasi Surken dan
mencari lokasi kemping.
Kami menyusuri
padang yang luasnya konon mencapai 50 hektare dan berada di ketinggian 2.750
meter di atas permukaan laut ini. Rerimbunan bunga-bunga edelweiss ada di
mana-mana. Betapa indahnya. Dan betapa dingin udara yang kami rasakan. Padahal ini
masih tengah hari. Rombongan tim lain entah berada di titik mana. Mungkin belum
tiba, atau sudah jauh di depan kami. Yang pasti, tak kelihatan. Hanya edelweiss,
punggungan gunung, dan langit yang kami lihat. Dan tentunya Tuhan yang
mengawasi makhluk-makhluk petualang ini.
Tim sudah
menentukan titik kemping yang pas. Tenda-tenda mulai didirikan. Bayangkan,
tenda-tenda ini berdiri di antara rerimbunan edelweiss. Kami tidur di antara
edelweiss. Kapan lagiii? Hehehe. Nun jauh di hadapan kami, sekelompok pendaki
asing berambut pirang juga sedang sibuk mendirikan tenda. kecil sekali mereka
terlihat dari sini. Maklum, lokasi tim kami dan bule-bule itu dipisahkan oleh
sebuah lembah, dan kami berada di dua lerengnya yang saling berhadapan. Di kerendahan
lembah itulah, semakin ke arah kiri, terdapat mata air jernih yang menjadi
sumber kehidupan para pendaki Gunung Gede. Tenda-tenda pendaki lebih
banyak di dirikan di sekitar mata air ini.
Dua teman kami
yang lama tak muncul itu akhirnya tiba ketika sore hampir berakhir. Rupanya sang
sweeper yang sejak awal sedang dalam keadaan tidak fit. Dan semakin terasa
tidak fit ketika dibawa mendaki. Teman satunya, yakni si pembawa logistik ini
menemaninya dan menunggui si sakit ini tidur cukup lama. Setelah bangun dan
merasa lebih baik, barulah mereka berjalan lagi.
Malam di Suryakencana
Dinginnya suhu
di Suryakencana benar-benar tak terkatakan. Amat sangat dingin, sedingin-dinginnya.
Gelap mulai menyita suasana. Acara memasak baru bisa dimulai, setelah tadinya
perut kami hanya bisa diganjal dengan makanan lain. Kami berbagi tugas. Ada
yang memasak, dan ada yang menyenteri. Begitu masakan selesai, langsung diserbu
tanpa ba-bi-bu.
Usai makan dan
shalat, rembulan purnama bertengger anggun di atas puncak Gunung Gemuruh (2.929
mdpl) yang berada hadapan kami (sementara puncak Gunung Gede ada di belakang
kami). Sayang, kami tak bisa berlama-lama menatap keindahan purnama itu, sebab
suhu semakin ekstrem saja dinginnya. Jaket berlapis dan sarung tangan bahkan
tidak cukup untuk mendamaikan kegigilan. Akhirnya membenamkan diri di dalam sleeping bag adalah opsi terakhir yang
mesti dipilih.
Summit Attack
Subuh-subuh
kami bangun dan shalat. Sebenarnya saya nyaris tak bisa tidur semalaman karena
suhu yang luar biasa dingin itu. untunglah badan tidak lantas menjadi
sempoyongan.
Tenda dibongkar.
Lalu packing. Ransel kembali
dipanggul. Kaki-kaki dipaksakan melangkah lagi menyusuri ujung Suryakencana,
untuk kemudian mendaki punggung puncak Gunung Gede yang berada di belakang
tenda kami yang telah dibongkar. Dingin masih menggulung. Mendung membersamai. Tampaknya
tak ada sunrise yang indah pagi ini…
Hufftt…
semakin lumayaaaan pendakian ke puncak gunung ini. Lebih menanjak daripada trek
Gunung Putri, serta lebih terjal dan sangat sempit. Berkali-kali kami harus
berhenti dan saling menyemangati. Batang-batang cantigi yang kuat menopang
tenaga kami untuk terus menggapai puncak.
Alhamdulillah,
sekitar satu jam kemudian kami tiba di puncak. Sunrise telah lewat. Dan mendung
itu rupanya memang tak menghadirkan sunrise spektakuler. Di tanah puncak,
rerimbunan cantigi lebih banyak lagi dan lebih rimbun. Beberapa tim pendaki
rupanya ada juga yang mendirikan tenda di antara rerimbunan batang tumbuhan
yang kuat itu.
Dan inilah…
kawah aktif Gunung Gede yang luas. Bau belerangnya semakin menyengat seiring
semakin terangnya hari. Pemandangan yang luar biasa. Permukiman tampak kecil di
beberapa titik di bawah sana. puncak Gunung Pangrango yang hijau dan sedikit
lebih tinggi altitude-nya berada
persis di hadapan (3.019 mdpl). Gunung yang sudah tidak aktif itu puncaknya
dipenuhi pepohonan. Dan nun jauh di sebelah barat sana, tampak Gunung Salak
yang samar-samar.
Teman-teman
mengeluarkan nesting dan memasak air, lalu menyeduh kopi ditemani roti basah. Sesi
foto-foto berlangsung sebelum dan sesudah acara sarapan tersebut. Kami pun
sempat berfoto bersama para pendaki asing di puncak dan berbincang-bincang
dengan mereka. Salah satu pendaki wanitanya yang saya ajak berbincang mengaku
berasal dari Belgia. Dan dia sungguh terkesan dengan pendakian ke Gunung Gede
ini.
***
Turun Gunung
Setelah cukup puas menikmati suasana puncak, kami mulai bersiap turun gunung, via jalur Cibodas. Jalur ini konon adalah jalan terpanjang pendakian Gunung Gede. Jalurnya tidak terlalu menanjak, kecuali sebuah tanjakan yang tenar dengan kesangarannya, yaitu Tanjakan Setan (sebuah tanjakan yang sangat curam dan tinggi, dan telah disediakan tambang di trek tersebut untuk membantu pendaki naik dan turun). Pukul 10 pagi itu kami mulai menyusuri jalur tinggi ke arah barat, di mana Puncak Pangrango persis berada di depan hidung kita, sehingga seolah-olah kita berjalan menuju gunung yang gagah menjulang itu.
Lalu mulai masuk ke hutan yang tidak begitu basah, cukup kering malah, sehingga tidak membuat kotor sepatu. Singkat cerita, perjalanan turun ini berlangsung cukup lancar dan menyenangkan (setelah melewati Tanjakan Setan, tentunya :-)). Setiba di pos Kandang Badak kami beristirahat cukup lama. Shalat, masak, makan, dan beberapa menyempatkan tiduran di terpal. Perjalanan dilanjutkan kembali, melewati trek air panas. Beuuhh, mantaaapnya trek ini. Kita mesti sangat berhati-hati meniti bebatuan di antara kepulan air panas yang menutupi separuh pandangan, sementara di samping kita ada jurang. Beberapa pendaki sengaja mandi di tempat tersebut.
Memang sangat berbeda jalur Cibodas ini jika dibandingkan dengan jalur Gunung Putri. Di sini jalurnya tidak begitu ekstrem, dan banyak spot-spot menarik yang bisa disambangi, di antaranya adalah Telaga Biru (sebuah telaga kecil di antara rerimbunan hutan, yang ketika saya mampir airnya memang tampak agak kebiruan), air terjun Cibereum yang tinggi dan alami beserta dua air terjun lainnya di sekitar kawasan tersebut, juga jembatan yang membentang sepanjang kira-kira 250 meter melintasi Rawa Gayonggong. Sambil melewati jembatan ini kita bisa menikmati keindahan vegetasi dan atraksi alami fauna seperti monyet dan burung.
Akhir jalur ini adalah pintu masuk Cibodas, yang terletak di kawasan Taman Nasional Cibodas (1.250 mdpl), Jawa Barat. Alhamdulillah... pendakian kami berakhir sukses.
Sabtu, 12 Oktober 2013
PAGARUYUNG: Lawatan oleh Negeri yang Runtuh
(by Azzura Dayana - a reposting)
# 1
Adalah senyummu, wahai negeri, ketika kutukar lantunan
swarna dwipa yang kuhafal, menjadi tiupan saluang di halaman Istano Pagaruyung,
pada purnama tahun sekianku. Sebentar saja, tapi tertanam di bumi hatiku,
hingga berdetik hari ini.
Dalam jarak pandang terhadap lumbung besar dari lantai tiga,
kulukiskan di langit saujana Batusangkar itu, cerita tentang binar matamu yang
serupa kemilau giok souvenir di pasar sebelah Jam Gadang. Katamu, “kalau
kaucinta, kembalilah lagi ke Pagaruyung.”
# 2
Adalah tangismu, wahai negeri, ketika lautan merah
memberangus istanamu, dalam purnama di tahunku yang berikut. Dan sesumbar
tentang tubuh-tubuh pezina gosong yang tertemu sebagai mungkin: penyulut api amuk
Tuhanmu, katamu.
Tapi kukirim doa padamu, yang menembus awan-awan hingga tiba
ke bentangan jalan Sultan Alam Bagagarsyah yang memerah matanya demi memandang
puing kediamannya. Sebab masih kuingat rangkulanmu yang paling hangat demi
menghirup angin yang turun dari pucuk Singgalang-Merapi. Janganlah roboh,
apalagi mati.
# 3
Adalah perihmu, ketika dalam purnama kesekian lagi kaubawa
kabar tentang berguncangnya negerimu—bukan yang pertama—bahkan ketika istanamu
belum selesai dibangun kembali. Tubuh-tubuh bukan lagi hangus, tapi menyeruak,
tertimbun, terempas, dan lumat. Engkau kehilangan keramaian rakyat beserta
sumringah mereka.
Kaudatangi dua negeri demi mengkaji. Lalu kautanya pada
pemimpin tanah Putri Kembang Dadar, apakah tanah ini punya genggaman yang
serupa engkau: “adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah”?
Di balikmu, kupungut berlarik kabar lain negerimu: tentang
ragam perselingkuhan, pemerkosaan, dan penganiayaan yang merayap mulai kota hingga dusun. Telah
terbukakah kitab azab? Bukankah pengkhianatan telah membanjiri daratan kami?
Timur hingga barat kami, bukankah penuh ukiran kesalahan kami? Apakah kami
hanya sedang menunggu giliran?
# 4
Adalah lelahmu, ketika kauajak aku menyeret langkah demi
menemui pemimpin tanah Putri Sinar Alam. Kauhunus tanya yang sama padanya
sebagai nada putus asa, apakah tanah ini juga punya genggaman yang serupa
engkau: “adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah”? Lalu mengapa negeriku
tetap terguncang?
Sabda tuan rumah itu, “Kami tak pernah bisa mengukur
berapakah taatnya kami. Pun bukan berarti kami bebas dari amukNya. Ia tak
pernah khilaf menghukum, kitalah yang selalu salah menghitung.”
# 5
Adalah pahitmu, ketika kaudesah padaku, “Tahukah kau? Kurasa
sebelum aku datang kepada keduanya, Tuhan telah mengirim surat yang sama. Jika tidak, tak mungkin
mereka menutur jawab yang serupa.”
Lalu kita berdiam dalam nyeri di balik hujan. Matamu bukan
lagi serupa kemilau giok Minangkabau, bukan lagi kedamaian pantai Air Maneh.
Tapi sedetik menjadi serentak keberanjakanmu.
“Hendak pulangkah, Sultan?” tanyaku. “Bukankah rumahmu telah
runtuh?”
“Ya, namun aku masih mengingat kata-kataku sendiri,” katamu
sambil menutup dan memeluk kitabullah, “kalau kaucinta, kembalilah lagi ke
Pagaruyung.”
***
~Azzura Dayana, 021009~
dalam cinta yang penuh kenangan terhadap Sumatra Barat,
dalam syahda alunan saluang yang dulu kudengar di halaman
istana pagaruyung yang kusayangi, dalam belitan pedih yang kini menelikung
ranah ramah dan elok itu, semoga Allah mengalirkan air sungai-sungai kekuatan
dan pengampunan untuk mereka, untuk kita…
catatan:
- Sultan Alam Bagagarsyah: salah satu raja yang pernah
memimpin Kerajaan Pagaruyung di Minangkabau, nama beliau kemudian dijadikan
nama jalan tempat Istana Pagayurung berdiri sekarang di Batusangkar, Kabupaten
Tanah Datar, Sumatra Barat. Istana ini mengalami kebakaran dahsyat di tahun
2007 lalu dan ikut diguncang gempa baru-baru ini.
- Putri Kembang Dadar: salah satu nama putri raja yang
sangat legendaris di Palembang .
- Putri Sinar Alam: nama seorang putri raja di zaman dahulu
dari Keratuan Pugung, provinsi Lampung
Selasa, 08 Oktober 2013
Lomba Menulis Resensi Buku INDIVA 2013
Suka membaca buku? Mengapa tak mencoba menjadi pembaca kritis nan cerdas? Yuk, ikuti lomba berhadiah total jutaan rupiah ini!
Lomba Menulis Resensi Buku Indiva 2013
Buku yang dilombakan adalah sebagai berikut:
FIKSI
Da Conspiracao, Sebuah Konspirasi (Afifah Afra)
Rinai (Sinta Yudisia)
Jasmine, Cinta yang Menyembuhkan Luka (Riawani Elyta)
A Cup of Tarapuccino: Secangkir Cinta, Rindu dan Harapan (Riawani Elyta)
3 Anak Badung (Boim Lebon)
My Avilla (Ifa Avianty)
Altitude 3676 Takhta Mahameru (Azzura Dayana)
Cinta yang Membawaku Pulang (Agung F. Aziz)
NON FIKSI
Sebelum Aku Menjadi Istrimu (Deasylawati)
Kitab Cinta dan Patah Hati (Sinta Yudisia)
Buku Asyik Si Cewek Cantik (Asri Istiqomah)
Dari Jerawat Hingga Cinta Monyet (M. Dzanuryadi & Ahmad Izzan)
Kitab Sakti Remadja Onggoel (Riawani Elyta & Oci Y. Marhari)
Malam, Janganlah Cepat Berlalu (Hatta Syamsuddin)
MEKANISME LOMBA
Resensi ditulis dalam Bahasa Indonesia dengan memasukkan beberapa unsur: Judul buku, penulis, ISBN, penerbit, ketebalan, ukuran, harga buku dan cover buku yang bersangkutan.
Resensi diposting di akun Facebook, Kompasiana, Blog atau Website milik peserta (bisa pilih salah satu).
Konten resensi juga diposting di akun Goodreads peserta.
Alamat URL posting dan akun goodreads resensi didaftarkan ke email publish.indiva@gmail.com dengan dilampiri:
Biodata lengkap (plus alamat dan no HP yang bisa dihubungi)
Scan Struk pembelian minimal 1 buku terbitan Indiva Media Kreasi (boleh buku yang tidak diresensi, non buku anak/al-ma’tsurat/produk khusus).
Akun FB/Twitter
PENJADWALAN
Lomba dimulai 1 Oktober 2013 dan berakhir pada 31 Desember 2013.
Pengumuman pemenang tanggal 15 Januari 2014 di webwww.indivamediakreasi.com
ASPEK PENILAIAN LOMBA
Konten resensi, dengan bobot 75%
Popularitas dan interaktif blog (trafik, komentar, like dll.) dengan bobot 25%
KETENTUAN LAIN
Peserta boleh mengirimkan lebih dari satu resensi , akan tetapi masing-masing file harus disertai dengan struk pembelian buku (tak mengapa jika satu struk terdiri dari beberapa judul buku).
Lomba ini tertutup bagi karyawan dan keluarga besar PT Indiva
Media Kreasi.
Penetapan pemenang mutlak menjadi hak Dewan Juri.
PT Indiva Media Kreasi memiliki hak mempublikasikan resensi pemenang lomba ini di media-media milik PT Indiva Media Kreasi, tanpa honor tambahan kepada pemenang.
HADIAH
Juara 1
Uang tunai Rp 1.500.000 + plakat + piagam+ paket buku
Juara 2
Uang tunai Rp 1.250.000 + plakat + piagam + paket buku
Juara 3
Uang tunai Rp 1.000.000 + plakat + piagam + paket buku
3 Juara Harapan
Masing-masing uang tunai Rp 300.000 +piagam + paket buku
5 Juara Favorit
Masing-masing paket buku senilai Rp 200.000,- + piagam
20 Hadiah Hiburan
Merchandise cantik dari Indiva
Lomba Menulis Resensi Buku Indiva 2013
Buku yang dilombakan adalah sebagai berikut:
FIKSI
Da Conspiracao, Sebuah Konspirasi (Afifah Afra)
Rinai (Sinta Yudisia)
Jasmine, Cinta yang Menyembuhkan Luka (Riawani Elyta)
A Cup of Tarapuccino: Secangkir Cinta, Rindu dan Harapan (Riawani Elyta)
3 Anak Badung (Boim Lebon)
My Avilla (Ifa Avianty)
Altitude 3676 Takhta Mahameru (Azzura Dayana)
Cinta yang Membawaku Pulang (Agung F. Aziz)
NON FIKSI
Sebelum Aku Menjadi Istrimu (Deasylawati)
Kitab Cinta dan Patah Hati (Sinta Yudisia)
Buku Asyik Si Cewek Cantik (Asri Istiqomah)
Dari Jerawat Hingga Cinta Monyet (M. Dzanuryadi & Ahmad Izzan)
Kitab Sakti Remadja Onggoel (Riawani Elyta & Oci Y. Marhari)
Malam, Janganlah Cepat Berlalu (Hatta Syamsuddin)
MEKANISME LOMBA
Resensi ditulis dalam Bahasa Indonesia dengan memasukkan beberapa unsur: Judul buku, penulis, ISBN, penerbit, ketebalan, ukuran, harga buku dan cover buku yang bersangkutan.
Resensi diposting di akun Facebook, Kompasiana, Blog atau Website milik peserta (bisa pilih salah satu).
Konten resensi juga diposting di akun Goodreads peserta.
Alamat URL posting dan akun goodreads resensi didaftarkan ke email publish.indiva@gmail.com dengan dilampiri:
Biodata lengkap (plus alamat dan no HP yang bisa dihubungi)
Scan Struk pembelian minimal 1 buku terbitan Indiva Media Kreasi (boleh buku yang tidak diresensi, non buku anak/al-ma’tsurat/produk khusus).
Akun FB/Twitter
PENJADWALAN
Lomba dimulai 1 Oktober 2013 dan berakhir pada 31 Desember 2013.
Pengumuman pemenang tanggal 15 Januari 2014 di webwww.indivamediakreasi.com
ASPEK PENILAIAN LOMBA
Konten resensi, dengan bobot 75%
Popularitas dan interaktif blog (trafik, komentar, like dll.) dengan bobot 25%
KETENTUAN LAIN
Peserta boleh mengirimkan lebih dari satu resensi , akan tetapi masing-masing file harus disertai dengan struk pembelian buku (tak mengapa jika satu struk terdiri dari beberapa judul buku).
Lomba ini tertutup bagi karyawan dan keluarga besar PT Indiva
Media Kreasi.
Penetapan pemenang mutlak menjadi hak Dewan Juri.
PT Indiva Media Kreasi memiliki hak mempublikasikan resensi pemenang lomba ini di media-media milik PT Indiva Media Kreasi, tanpa honor tambahan kepada pemenang.
HADIAH
Juara 1
Uang tunai Rp 1.500.000 + plakat + piagam+ paket buku
Juara 2
Uang tunai Rp 1.250.000 + plakat + piagam + paket buku
Juara 3
Uang tunai Rp 1.000.000 + plakat + piagam + paket buku
3 Juara Harapan
Masing-masing uang tunai Rp 300.000 +piagam + paket buku
5 Juara Favorit
Masing-masing paket buku senilai Rp 200.000,- + piagam
20 Hadiah Hiburan
Merchandise cantik dari Indiva
Minggu, 29 September 2013
[Galeri Foto] Banjarmasin
Berkeliling Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Mampir ke beberapa tempat seperti masjid-masjid bersejarah, pasar terapung, makam sultan, dan museum sejarah.
Masjid Jamik Sungai Jingah |
Masjid Jamik Sungai Jingah, dibangun pada 1934 |
Museum Wasaka |
Museum Wasaka |
Jembatan Banua Anyar |
Masjid Sultan Suriansyah, Kuin, Banjarmasin Utara |
Masjid Sultan Suriansyah |
Masjid Sultan Suriansyah |
Masjid Sultan Suriansyah |
Komplek Makam Sultan Suriansyah |
Gerbang Kawasan Wisata Pasar Terapung |
Pasar Terapung |
Pasar Terapung |
Pasar Terapung |
Pasar Terapung |
Pasar Terapung |
Pasar Terapung |
Mencicipi Soto Banjar :) |
Langganan:
Postingan (Atom)