***
Gembira rasanya, karena Tahta
Mahameru berbeda dari novel-novel saya sebelumnya, maka berbeda pula reaksinya. Dari sejumlah tulisan yang
pernah saya hasilkan, jujur saya akui bahwa Tahta Mahameru adalah karya yang
paling menyenangkan bagi saya. Menyenangkan di sini karena banyak hal: (1) karena
saya menceritakan jejak-jejak traveling saya sendiri ke Tanjung Bira dan
Mahameru (ditambah konflik fiktif antara tokoh-tokoh fiktif pula, yaitu
Ikhsan-Faras-Mareta); (2) karena saya menuliskannya dengan gembira, mudah, dan
cepat (total 2 bulan) dan hanya dihinggapi satu kali bad mood; (3) selalu disertai sisa-sisa
kesan perjalanan yang sepertinya akan abadi di benak saya (dan menjadi lebih terabadikan lewat novel ini).
Dan pamungkasnya, (4) adalah karena pembaca novel saya yag satu ini
benar-benar heterogen. Sejak di awal menuliskan novel ini sih sebenarnya saya
sendiri juga tidak khawatir sama sekali bahwa pembaca saya hanya terbatas pada
kalangan pendaki saja. Saya malah yakin pembaca saya nantinya akan lebih banyak
yang berasal dari kalangan umum seperti mahasiswa, pelajar, ibu rumah tangga,
pegawai kantoran, dan sebagainya yang memang menyukai aktivitas baca buku,
termasuk ratusan pembaca novel-novel saya sebelumnya yang di antaranya selalu
bertanya-tanya kapan novel baru saya terbit lagi. Fyi, novel terakhir saya sebelum
Tahta Mahameru terbit tahun 2009. Jadi, cukup lama vakum, kan?
Ketika buku ini selesai dicetak oleh Republika (ini adalah
debut pertama pencetak harian umum bernama Republika ini menerbitkan buku-buku.
Jadi, Republika dan Republika Penerbit itu berbeda, lho), Tahta Mahameru mulai masuk ke pasar buku. Kabar-kabar
datang dengan cepat dari para pembaca kepada saya, baik via Facebook, e-mail, Twitter, sms, Goodreads,
Mp, Bs, Wp, Republika Online, dan sebagainya, maupun laporan-laporan tidak langsung.
Sungguh, ternyata inilah
kalangan yang menjadi pembaca Tahta Mahameru: mahasiswa, pelajar, penulis,
pegawai kantoran, ibu-ibu rumah tangga, muslim, non-muslim, perempuan dengan
berbagai model rambut, perempuan berkerudung, pria berpenampilan rapi, pria
berambut gondrong, pria merokok, orang yang tidak pernah atau jarang jalan-jalan,
maniak jalan-jalan alias traveler sejati, pecinta alam, pendaki tulen alias
setan gunung, pecinta buku; sampai mereka yang seumur hidup tidak pernah
menyukai novel apalagi membacanya, akan tetapi Tahta Mahameru sanggup mereka
tuntaskan karena segunung keingintahuan, dan menjadi novel pertama yang mereka
tamatkan.
Kepada semua orang-orang ini, para pembaca saya, yang pernah
bertemu dan berkumpul dengan saya, maupun yang belum pernah saling kenal sama
sekali, saya ucapkan berjuta-juta terima kasih atas apresiasi kawan-kawan semua...
#menjura. Kalian membuat saya bahagia sekaligus terharu. Kesan, pesan, saran,
pendapat, dan kritik dari teman-teman semua adalah penyambung-hidup Tahta
Mahameru ini.
Saya yakin pembaca adalah partner cerdas sepanjang masa. Mereka
sanggup menemukan berbagai kesalahan di buku ini :) yang mudah-mudahan bisa diperbaiki
penerbit di cetakan berikutnya. Untuk beragam ketidaknyamanan yang tertemukan
itu, saya memohon maaf. Ada pembaca yang shock karena perubahan ukuran font di halaman 229-230, juga 275-280 bagian atas, dan 320-324. Lalu inkonsistensi keberadaan cetak tebal
pada beberapa e-mail awal Ikhsan di halaman 199-200, perubahan tanda (‘)
menjadi (>) di halaman 190, 191, 303. Sementara, beberapa kesalahan ketik
kata-kata yang ada di novel ini adalah jelas-jelas kesalahan saya sebagai
penulisnya.
Usai pembaca menamatkan novel ini, banyak yang mengaku
terobsesi untuk menapak Semeru alias Mahameru, dengan salah satu surganya itu,
yaitu Ranu Kumbolo. Mereka yang belum pernah berkunjung ke sana atau baru
mendengar saja. Ada yang yakin bisa, ada yang tidak yakin. Tapi saya katakan,
beranilah saja bermimpi. “Saya dulu juga begitu,” kata saya. Dulu saya mengimpikan
kapan bisa ke Semeru dan melihat langsung Ranu Kumbolo, setelah banyak membaca
tentang tempat itu. Saya tanam mimpi itu. Sampai saya sadar bahwa ternyata akhirnya Allah memberikan
jalan dengan sendirinya, berkat keberanian bermimpi itu. Akhirnya impian itu
tercapai. Juga mimpi saya ke Tanjung Bira yang telah ada di benak saya sejak kelas 4 SD, yang akhirnya juga tercapai lama kemudian.
Pun, banyak pembaca Tahta Mahameru yang kemudian ‘bercita-cita’ menjadi backpacker yang
menjelajahi sudut-sudut negeri, setelah mengikuti penjalanan Ikhsan dan
Mareta dari tempat ke tempat. Juga karena deskripsi saya tentang eksotika
Tanjung Bira: pantai-pantai aduhai, kemegahan kapal Pinisi, kegagahan para
pelaut Bugis, serta rumah adat Suku Bugis yang unik dengan tangga beratap. Memang,
Tanjung Bira hanyalah satu dari sekian banyak pesona alam dan budaya yang
dimiliki Indonesia. Inilah inspirasi yang tak akan pernah habis untuk kita
nikmati, hayati, dan manfaatkan.
Jangan berkecil hati jika kita merasa berkekurangan untuk
mencapai tempat-tempat lain selain yang kita pijak. Kita tidak akan tahu banyak
kalau kita tidak bergerak. Kemarin saya menonton Kick Andy Hope di Metro TV,
dan salah satu tokoh inspiratif yang diceritakan di sana adalah seorang lelaki
berkaki satu yang berhasil mendaki gunung-gunung tinggi di negeri ini, plus
gunung-gunung es yang menjadi atap dunia di mancanegara sana. Betapa spekta! Padahal
ya, kita-kita yang juga memiliki kekurangan—tapi kekurangannya itu sebenarnya jauh
lebih sederhana daripada lelaki itu—yaitu kekurangan uang alias dana cekak,
sudah begitu berbahagianya saat berhasil naik gunung atau berpackpacking ria ke
pelosok-pelosok dengan berbagai cara. Iya, kan? Kita rela naik kereta api
ekonomi, berdiri di atas jip berjam-jam, menumpangi truk bak terbuka, atau
jalan kaki sekian kilometer (eh, saya jadi kangen momen-momen seperti ini
bersama teman-teman backpacker:)). Tuhan telah menjamin kekuatan kaki kita,
bukan?
Jadi begitulah. Mari terus bersemangat menjadi dan mencari
apa saja yang kita minati, selama hal itu positif. Sekali lagi, terima kasih
atas persahabatan ini. Seperti Faras yang ingin bersahabat dengan siapa saja
:). Terima kasih pula bagi teman-teman yang nge-fans sama tokoh Ikhsan (padahal
doi sinis yak), lalu yang nge-fans sama Mareta dengan gaya cueknya (sebenarnya
banyak persamaan sih antara saya dan Mareta: sama-sama suka jalan, males makan
kalau lagi jalan, sulit baca buku kalau lagi jalan, kadang-kadang merencana
trip hanya bermodal insting dan peta, ngomong lu-gue juga walaupun kalau saya hanya pada
teman-teman tertentu yang juga selalu ber-elu-gue); dan para fans-nya Faras,
yang sampai-sampai mereka bilang kalau nanti mau ke Semeru mereka pengen mampir
ke warungnya Faras di Ranu Pane, hehehe. Persamaan saya dan Faras juga ada,
yaitu kami sama-sama pakai jilbab. Tapi saya belum sanggup mendaki pakai rok
seperti Faras. Sebenarnya, tokoh Faras yang mendaki pakai rok ini terinspirasi
dari seorang gadis berjilbab panjang dan rok panjang yang berpapasan dengan
saya di trek gunung pasir menuju puncak Mahameru. Pikir saya, keren banget ini
cewek. Tangguh. Suatu hari nanti, pengen deh saya mendaki pakai rok juga. Hoho.
Sekali lagi, makasih ya, teman-teman pembaca Tahta Mahameru
:-). I love you all.
**
Nb: sambil menulis bab-bab awal novel terbaru. Doakan ya, teman-teman.