Social Icons

Pages

Azzura Dayana

Azzura Dayana

Sabtu, 20 Juli 2019

[Review] KALILUNA: LUKA DI SALAMANCA

Judul Novel: KALILUNA: LUKA DI SALAMANCA
Penulis: Ruwi Meita
Penerbit: Moka Media, Jakarta
Tahun terbit: 2014
Tebal: 270 halaman


Kaliluna: Luka di Salamanca, sebuah novel dengan tampilan kaver tak begitu cerah yang saya temukan berada di dalam tumpukan bazaar novel lama di salah satu pusat perbelanjaan di Palembang. Saya menyempatkan diri membaca cepat beberapa resensi tentang buku ini sebelum akhirnya memutuskan membeli. Setting Salamanca, sebuah kota antik di Spanyol, yang menjadi salah satu pemicu ketertarikan saya.

Ditulis oleh seorang penulis asal Indonesia, novel ini bercerita tentang tokoh utama yang berasal dari Indonesia. Namun, Indonesianya sendiri sama sekali tak menjadi satu pun setting di dalam novel ini, melainkan hanya disebut amat sekadarnya sebagai kilas balik kisah di masa lalu tokoh-tokohnya. Selebihnya, semua tentang Salamanca: alam, lingkungan sekitar tempat tinggal beberapa tokohnya, budaya dan arsitektur, aktivitas relijius (Katholik), serta kuliner.

Kaliluna, seorang gadis tujuh belas tahun yang piawai dalam olahraga panahan, memutuskan pindah ke Salamanca dengan membawa perihnya luka. Impiannya untuk lolos seleksi Sea Games dan menjadi kebanggaan telah hancur seiring hancurnya kehormatan sebagai seorang perempuan pada suatu malam. Kejadian tragis itu terus menghantuinya dalam mimpi-mimpi tidurnya. Ia lalu menemui Frida, ibu kandung yang meninggalkannya saat kecil dan tinggal di Salamanca. Frida tinggal di sebuah apartemen di tepi Sungai Tormes, tempat yang indah dan tenang, namun tetap saja tak berhasil mengembalikan Kaliluna menjadi gadis ceria dan enerjik lagi.

Sampai akhirnya, pertemuannya dengan Ibai, seorang pemuda Vasco yang perhatian dan gigih, lambat laun mengubah semuanya. Tentu saja, novel setebal hampir tiga ratus halaman ini banyak menceritakan apa yang mereka berdua lakukan sebagai healing, dan tak bisa saya sebutkan satu per satu tempat mana saja yang mereka kunjungi dan renungi, puisi mana yang mereka bahas dan nikmati, tumbuhan apa yang mereka amati dan hayati, makanan apa saja yang mereka cicipi.... Sangat banyak dan cukup detail. Bahkan tentang makanan, saya sampai agak 'mabuk' membacanya. Bukan tentang adegan makan sup yang kuahnya berasal dari darah babi itu juga, sih... Tapi terutama karena begitu banyak nama makanan dalam bahasa Spanyol dan untuk nama-nama tertentu disebut terlalu berulang. Padahal, menurut saya, sudah pas jika kemudian disebutkan dalam bahasa Indonesia saja. Apalagi ketika nama makanan yang dimaksud tidak terdiri dari satu atau dua kata saja. Jadinya, kan, ribet.

Novel ini sesungguhnya sangat manis dan indah, meskipun memang, torehan luka yang sulit sembuh adalah pokok ceritanya. Dan bagi orang yang suka jalan, novel ini akan memberikan kesan yang cukup mendalam. Bagaimana view Sungai Tormes dengan latar Jembatan Enrique Estevan dan Katedral Salamanca dari sudut dermaga kecil tempat favorit Kaliluna, bagaimana gambaran filosofis musim semi, kebun cantik di dekat Katedral, dan sumur dengan gembok-gembok bertulis nama yang bergelantungan di atasnya, suasana kota, dan sebagainya.

Kota Pendidikan, itulah julukan yang disematkan pada kota ini lantaran di sana terdapat University of Salamanca yang kenamaan. Kota yang sunyi di waktu pagi, dan riuh di malam hari. Usai menamatkan novel yang saya baca selama dua hari ini, saya browsing di internet untuk mengetahui lebih banyak tentang kota ini. Tentang suasana, cukup sama dengan apa yang digambarkan di novel. Mahasiswanya berdatangan dari berbagai penjuru dunia untuk kuliah di sana, tapi di malam hari sudah menjadi kebiasaan (banyak) mahasiswanya hura-hura dan mabuk-mabukan di kafe dan bar.

"Lalu kapan mereka belajarnya?" tanya Kaliluna yang keheranan melihat fenomena itu, dan dijawab Ibai secara abstrak.

Dengan kekayaan bangunan arsitektur dari salah satu kota tertua di Eropa ini, Salamanca memang termasuk kota favorit tujuan wisata di Spanyol. Dulunya, kota ini pernah berada dalam naungan kejayaan peradaban Islam Kerajaan Cordoba, namun kini jejak warisan Islam tak bisa ditemui barang secuil lagi di sini.

Secara keseluruhan, novel ini asyik untuk dibaca. Dengan diksinya yang ringan namun apik, membuatnya tidak membosankan.

Sebagai penutup, saya tuliskan kembali di sini beberapa dialog dan kalimat unik-cantik yang menjadi favorit saya:

"Kata mamaku, jangan pernah percaya pada laki-laki yang menyukai puisi."
"Kenapa?"
"Sebab laki-laki seperti itu biasanya kantongnya kosong." (hal 13)

"Seseorang baru matang jiwanya jika dia bergelut dengan api kehidupan, ditempa terus-menerus. Namun ada juga orang yang matang jiwanya hanya dengan berdiam diri dan menerima apa yang terjadi dengannya. Kadang kala bertahan, kadang kala hanyut." (hal 65)

"Saat kamu menarik senar busur menjauh dari busurmu, sebenarnya semua yang ada dalam dirimu baik yang berlawanan maupun yang searah justru berkumpul di suatu tempat. Kamu tahu di mana? Di batinmu. Mereka berkumpul untuk menentukan takdirmu." (hal 90)

"Aku ingin melakukan denganmu apa yang musim semi lakukan dengan pohon ceri." (penggalan Pablo Neruda, hal 96)


~αzzurα dαyαnα
Palembang, 20 Juli 2019

#flpsumsel
#WAGFLPSumselMenulis
#literasiberkeadaban

1 komentar: