36
MATI MUDA
“Nasib terbaik
adalah tidak pernah dilahirkan,” gumam Ikhsan lirih. “Yang kedua, dilahirkan,
tetapi mati muda.” Ia melanjutkan.
Demi
mendengar kalimatnya itu, aku menoleh dengan agak kaget. Jantungku berpacu
lebih kencang. “Kalimat yang bagus, walaupun terdengar cukup mengerikan di
sini,” kataku.
Dia
membicarakan tentang mati muda, sedangkan di hadapan kami jurang sedang
terbentang.
Perjalanan
pulang menuju Arcopodo masih terhitung jauh. Kami kini sedang meniti trek
menuruni lereng puncak. Matahari terpapar seolah tanpa penghalang, hawa panas
menjalar, meski kibasan angin tetap ganas. Inilah nuansa panas bercampur
dingin. Pasir lereng sedikit demi sedikit mulai gembur. Walaupun kami tak lagi
berada di titik tertinggi tanah Jawa, bukan berarti masa menegangkan telah
selesai. Pasir ini semakin tidak bersahabat untuk dilewati dengan mudah.
Ikhsan
tertawa pahit. “Itu kalimat Soe Hok
Gie.”
“Kita
sedang menuruni lereng curam, Mas,” kataku.
“Tentu saja. Tidak ada yang mengatakan kita
sedang di Ranu Pane, kan?” jawabnya. Wajahnya lurus menatap pusaran hitam di
atas Bromo, nun jauh di timur laut.
Kuatur
napas sebentar. “Maksudku, itu bukan kalimat motivasi yang baik untuk dikatakan
saat turun gunung dan menghadapi jurang seluas ini. Kecuali ada di antara kita
yang ingin mati muda.”
Mareta
tiba di belakang punggung Ikhsan, setelah tadi ia berada sekitar satu meter di
belakang Ikhsan. Sementara Bapak sedikit lebih jauh di belakangku. Mulai pertengahan
pendakian hingga saat ini, aku melihat interaksi yang sangat baik antara dua
kakak-adik itu. Ikhsan tidak lagi menggunakan tali webbing-nya seperti saat ia menarik Mareta ke atas tadi, dan kini ia
dengan sabar memimpin Mareta turun. Ditunjukkannya salah satu trik menuruni
kemiringan pasir, yaitu dengan menancapkan bagian ujung belakang telapak kaki
lalu mendorongnya turun di pasir, bergantian antara kaki kanan dan kiri, begitu
seterusnya.
Ikhsan
tidak merespons perkataanku sedikit pun. Melihat Mareta yang memandangi kami
tidak mengerti, ia lekas mengajak adiknya itu untuk melanjutkan turun.
Langkahku
tertahan setelah mengucapkan kalimat tadi. Sengaja kutunggu Bapak hingga berada
persis di sampingku. Aku benar-benar tidak mengerti apa maksud Ikhsan
mengatakan tentang mati di tempat seberbahaya ini. Semangat siapa yang ingin ia
matikan? Dipikirnya aku sekuat apa?
“Kamu
tidak apa-apa, Nduk?” tanya Bapak
yang melihatku terduduk diam dengan punggung bersandarkan gunung pasir itu.
Kuraih
sebelah tangan Bapak. “Ini… kakiku… agak gemetar, Pak.”
“Dua-duanya?”
tanya Bapak, lalu tanpa sempat kuiyakan dia sudah langsung membantuku memijat
kedua kakiku. Aku terharu merasakan kelembutan sikapnya yang seperti mewakili
sosok ibu bagiku, serta tetap bersikap sebagai bapak yang sabar dan melindungi
putrinya.
“Masih
kuat jalan?” tanyanya.
“Insya
Allah. Tapi tunggu sebentar lagi kayaknya ya, Pak.”
Bapak
mengangguk sambil tersenyum mengerti. Ini pertama kalinya kami berhenti lebih
dari lima menit saat break di lereng
pasir. Matahari telah naik sepenggalahan. Seharusnya, ini adalah dhuha yang
sangat indah.
Aku
bukan takut mati, Ya Rabb. Sungguh. Tapi aku tidak tahu apa yang sebenarnya
terjadi padaku.
“Dia
peduli padamu, Nduk,” kata Bapak,
tiba-tiba.
“Apa,
Pak?” tanyaku heran.
“Nak
Ikhsan itu. Dia menyayangimu.”
Aku
tersenyum kecut. “Bapak enggak usah bercanda…,” kataku. Menurutku kata-kata Ikhsan
sebelum melanjutkan turun bersama Mareta tadi sama sekali tidak membuktikan apa
yang diucapkan Bapak.
“Jelas
Bapak melihat kekecewaannya saat Bapak memberitahunya tentang kamu dan Nurdin
tempo hari.”
“Kami
saling menganggap sahabat satu sama lain, Pak. Tepatnya, dia yang sepertinya
baru benar-benar mengakuiku sebagai sahabat yang peduli padanya. Sayangnya,
tepat di saat itu pula, dia harus menemukan kenyataan bahwa hubungan kami mulai
sekarang akan berbeda dari sebelumnya.”
“Coba
beri Ikhsan kesempatan. Bapak lihat dia banyak berubah dari yang dulu. Nurdin
juga sahabatmu, dan kita belum menjawab apa-apa padanya, kan?”
“Kenapa
Bapak bicara begini?”
Bapak
tersenyum. Mungkin kami tampaknya begitu menikmati bentangan awan di hadapan
kami ini, padahal kami justru sedang memikirkan hal lain.
“Bapak
yakin, sebentar lagi Ikhsan akan kembali ke sini. Jika itu benar, menurut Bapak
kamu harus memberinya kesempatan.”
“Dia
tidak mungkin meninggalkan Mareta di bawah sana to, Pak….”
“Ya.
Perasaan sayang Ikhsan pada adiknya itu muncul sejak melihat kamu yang begitu
menyayangi Mareta. Kamu tahu itu, Nduk?”
Kupandangi
Bapak. Sejauh dan seluas ini ia berpikir rupanya. Tak terduga olehku. Aku
menggeleng.
“Dia akan meninggalkan Mareta sebentar di
tempat yang aman. Di bawah sana juga banyak pendaki lain yang sedang ngaso, Nduk.” Bapak meyakinkanku dengan
senyumnya.
Kuhela
napas panjang. Benarkah semua yang dikatakan Bapak? Mahameru, jawab aku, lirihku sambil menoleh ke belakang. Semburan
kawah Jonggring Saloka tiba-tiba membuat tanah sedikit bergetar. Kupegangi
tangan Bapak erat-erat.
Lima
menit. Sepuluh menit. Tiga puluh menit berlalu. Lautan awan masih seputih
kapas, matahari masih sehangat tadi. Dan tak ada siapa-siapa yang kami lihat
berjalan menuju kami. Pendaki yang hari ini tak banyak pun tampaknya sudah
turun semua ke bawah.
“Ayo,
Pak, kita turun,” kataku sambil bangkit. Bapak membantuku berdiri.
Kami akan kembali lagi, Mahameru.
Lalu,
saat kukembalikan pandangan kepada lereng yang menurun di hadapan kami, kulihat
satu titik bergerak. Terang dan cepat.
Bapak
menyunggingkan sedikit senyum. Kembali kuamati titik itu. Seseorang. Semakin
dekat. Begitu cepat seperti melesat. Hei, pasir telah segembur ini! Bagaimana
bisa semudah itu mendakinya? Kekuatan
apa yang mendukungnya hingga bisa secepat itu?
“Ada yang tertinggal di sini sampai-sampai
kamu naik lagi, Le?” sambut Bapak
padanya.
Ia
menyeka keringat yang membanjir di keningnya. “Ternyata… hhh, aku masih selalu
hidup bersama kesalahan-kesalahanku, Pak,” jawabnya, sambil sedikit terengah.
“Aku naik… hhh… untuk mengantarkan kata maaf.”
Aku
tidak berkomentar. Terima kasih telah
membuat kakiku gemetaran di lereng pasir.
Bapak
tidak menanyakan apa yang harus dimaafkan dari Ikhsan. Ia malah langsung
mengajak kami turun kembali. Katanya, supaya Mareta tidak lama menunggu kami di
bawah. Kasihan dia.
Tak
ada perbincangan sama sekali antara kami bertiga setelah itu. Aku dan Ikhsan
merayap turun bersebelahan, sementara Bapak di belakangku. Matahari makin
menyengat, menggosongkan kulit muka kami.
Akhirnya
kami tiba di kaki lereng pasir dan bertemu Mareta. Gadis itu menyambutku dengan
sebotol air segar yang disodorkannya padaku.
“Lu baik-baik saja, kan, Ras?” tanyanya. “Enggak
pernah gue lihat Mas Ikhsan segalau
tadi sampai-sampai dia memutuskan naik ke atas lagi. Gue rasa tadi dia sengaja melakukan kesalahan yang dikiranya kecil,
padahal ternyata besar. Dia menyesal, Ras. Dia khawatir banget sesuatu terjadi sama lu.”
Aku
diam saja. Pun Bapak, dan Ikhsan yang seolah tak mendengar apa-apa.
Perjalanan
kami lanjutkan lagi. Hanya rehat lima menit di Arcopodo, kami teruskan ke Kalimati.
Lagi-lagi tak banyak pembicaraan sepanjang turun itu. Ikhsan berjalan di depan,
Bapak di belakang. Aku dan Mareta di tengah, selalu berdekatan.
Galur-galur
bekas pelewatan air ini seolah lorong-lorong tanah sempit yang harus kami
lalui. Naik dan turun. Mendekati Kalimati, kebanyakan naik terus. Begitu kami muncul
di permukaan tanah, udara segar menyambut. Tanah luas dengan berbagai vegetasi,
sebagiannya kering… selamat datang kembali di Kalimati.
Bapak
berhenti sebentar di dekat pepohonan yang dililiti benalu. Melihat Bapak mulai
menggerut benalu dari batang, Mareta tertarik, lalu mendekat dan ikut
mengumpulkan benalu.
Sementara
aku lebih memilih menikmati bentangan luas Kalimati yang masih diselimuti
sedikit kabut. Suasana yang magis.
“Mungkin
saja benar, nasib terbaik adalah tidak pernah dilahirkan,” kata Ikhsan
tiba-tiba, sambil mendekat. “Sempat aku menyesali hidupku, Fa. Apalagi setelah
tahu kamu akan meninggalkanku karena seseorang. Kamu telah mati. Mati muda
dalam kehidupanku. Artinya, kamu mendapatkan nasib terbaik kedua seperti yang
dikategorikan Soe Hok Gie itu… Sedangkan aku… Aku dilahirkan. Setelah itu tidak
berhasil mati muda dalam perseteruan kelam keluargaku.”
Aku
tercengang. Cara dia berpikir memang seringkali mengagetkanku. Baru kupahami rupanya
seperti itu makna perkataannya di lereng tadi.
“Aku
telah mengatakan hal yang seharusnya tidak kukatakan di tempat serawan itu. Tapi
aku lega kamu baik-baik saja, Fa. Aku tidak menginginkan atau membiarkan hal
buruk terjadi padamu. Sama sekali tidak pernah ada niat seperti itu.”
“Tempat ini,” potongku. “Meski begitu magis,
dan meski bernama Kalimati, tapi terlalu indah kalau sekadar untuk diajak
bicara tentang kepahitan. Mari kita bicarakan tentang impian hidup yang akan
kita kejar dan kita sampaikan ke ketinggian langit. Bercita-cita setinggi
langit.”
“Hmm,
ya. Aku sepakat,” kata Ikhsan. “Kamu memaafkanku, Fa?”
Aku
mengangguk. “Rasanya pantas kumaafkan, karena telah mengkhawatirkanku sedemikian
rupa. Sampai-sampai aku keheranan bagaimana bisa lereng pasir curam dan gembur
bisa didaki secepat itu… Kekuatan apa…,” tanyaku, mendadak menggantung tanpa
kupahami.
“Kekuatan
cinta,” sahutnya. “Baru saja kurasakan. Begitulah.”
Semua
kosa kataku tiba-tiba hilang. Melayang ke atas menuju awan-awan.
“Dia
telah dikalahkan oleh kecintaanmu pada awan-awan,” katanya lagi. “Dan sekarang,
aku ingin menjadi seseorang yang bisa mengalahkan kecintaanmu pada awan-awan
itu.”
Teringat
aku pada kata-kata Bapak. Memberi sebuah
kesempatan. Menyambut rasa sayang yang melebihi cintaku pada awan-awan itu.
Menjelma.
Kuhela
napas dalam-dalam. “Awan-awanku telah menjelma menjadi bunga-bunga ini,”
ujarku, sambil menghampiri satu rerimbunan edelweiss yang setengah mekar. “Tebarkanlah
sebuah benih, dan bumi akan memberimu sekuntum bunga. Mimpikanlah impianmu ke
langit, dan dia akan membawakan kekasihmu.”
Ikhsan
terkesima. “Apakah itu Kahlil Gibran?”
Aku
mengiyakan. “Dan kurasa sangat tepat
sekarang.” Ya, itulah jawabanku.
Lalu
Ikhsan ikut memandangi kuntum edelweiss di dekat kami. Sementara Mareta dan
Bapak sudah selesai memetik benalu dan berjalan mendekati kami.
“Jadi,
kuntum bunga abadi ini… tidak akan mati muda dalam kehidupanku, ya. Syukurlaah…”
Ikhsan tersenyum, bersyukur sepenuh hati.
Tiba-tiba
padang Kalimati terasa sedikit lebih hangat…. Dan indah.
S E L E S A I