Social Icons

Pages

Azzura Dayana

Azzura Dayana

Rabu, 07 Januari 2015

[Review ALTITUDE 3676] Kisah Backpacker: Tanjung Bira Hingga Puncak Tertinggi Jawa


Sebuah Review Novel Altitude 3676 Takhta Mahameru Karya Azzura Dayana

Oleh Afifah Afra


Lahirnya sebuah karya, memang cermin zamannya. Apa yang terjadi pada sebuah masa, terdokumentasi dari karya-karya yang tercipta di masa tersebut. Maka, pekerjaan seorang penulis, khususnya fiksi, sebenarnya tak sekadar menjahit kata menjadi lembaran cerita yang enak dibaca dan karenanya membuat kita terhibur. Tetapi, seorang penulis sejatinya juga pendokumentasi kehidupan.

Bahwa pernah ada sebuah masa saat anak-anak muda di negeri ini ‘keranjingan’ ber-bacpacker, salah satunya berhasil dijepret oleh Azzura Dayana, novelis muda yang tinggal di tepi Sungai Musi, Palembang, dan dicetak dalam sebuah potret karya bertajuk “Altitude 3676 (Takhta Mahameru)”. Tajuk tersebut adalah judul baru dari edisi lama “Takhta Mahameru”, sebuah novel yang berhasil memenangkan sayembara novel  yang diselenggarakan Harian Republika sebagai juara kedua. Ketika novel tersebut di-republish oleh Penerbit Indiva Media Kreasi, novel tersebut diganti judul menjadi “Altitude 3676”, dengan tetap menyertakan judul lama sebagai identitas, karena novel ini memang telah dikenal cukup luas di kalangan para pembaca novel Indonesia. Altitude artinya ketinggian, 3676 meter adalah ketinggian dari Gunung Semeru, alias Mahameru, puncak tertinggi di Pulau Jawa.

Azzura Dayana memang sedang berada di track para juara. Edisi republish ini kembali berhasil menggondol predikat Fiksi Dewasa Terbaik di ajang penghargaan “IKAPI-IBF Award 2014” di Senayan, Jakarta, 1 Maret kemarin. Sementara, di Anugerah Pena 2013 yang diselenggarakan FLP di Bali kemarin, novel ini ikut menjadi nominator novel terbaik. Apa sebenarnya yang membuat  novel ini mendapat sambutan positif bukan hanya dari kalangan pembaca, tetapi juga juri berbagai event?

Novel ini bercerita tentang 3 tokoh, yang masing-masing menggunakan sudut pandang orang pertama dalam bertutur: Raja Ikhsan, Faras dan Mareta. Pada sebuah perjalanan, Faras bertemu dengan Mareta, dan akhirnya menjadi teman perjalanan yang menyenangkan. Mereka bertemu di Borobudur, lalu menuju Sulawesi Selatan, Tanjung Bira. Untuk apa Faras melakukan perjalanan begitu jauh, meninggalkan rumahnya di lereng Gunung Mahameru? Ternyata Faras mengikuti jejak yang tertinggal dari sebuah email. Faras begitu ingin bertemu dengan sosok yang mengiriminya email. Tentu bukan karena kebetulan si pengirim email adalah seorang Raja Ikhsan yang beberapa kali bertemu dengannya saat melakukan pendakian di Mahameru (lebih lazim dikenal sebagai Gunung Semeru). Tetapi karena suatu sebab….

Bagian inilah yang paling mengesankan saya membuat saya terhenyak dan nyaris menahan napas dari novel ini.

Raja Ikhsan, sosok yang ‘remuk-redam’, meninggalkan ingar-bingar kehidupan perkotaan dan mencoba mencari kedamaian di sejuknya Ranu Pane dan Ranu Kumbolo.  Di tempat itulah dia bertemu dengan seorang gadis 'ndeso', 'hanya' lulusan SMA, namun pintar, puitis dan menyukai sajak-sajak Kahlil Gibran. Gadis itu bernama Faras, yang berkali-kali harus berhadapan dengan Ikhsan, si bad boy yang menyebalkan.

Meski menyebalkan, pertemuan itu meninggalkan kesan di hati keduanya. Namun, persoalan sepenting apa yang akhirnya membuat Faras rela mengejar Ikhsan dengan cara mengikuti jejak yang tertinggal lewat email? Email tanpa berita apapun, kecuali foto-foto lokasi yang diyakini Faras sedang dikunjungi Ikhsan. 

Sebegitu istimewakah sosok Ikhsan di mata gadis selugu Faras? 

Kisah Backpacker
Daya tarik dari novel ini selanjutnya adalah perjalanan Faras dan Mareta yang enak disimak. Bagi yang menggemari aktivitas backpacker, ini bab yang paling menggirangkan. Saya sendiri menikmati betul bagian ini. Makasar dan Tanjung Bira dipaparkan lumayan detil dalam novel ini, termasuk adat-istiadat masyarakat Bugis yang mengagumkan. Juga pembuatan perahu pinisi yang legendaris, serta kecintaan masyarakat bugis terhadap laut. Sayangnya, justru narasi yang terlalu panjang ini seperti agak menutupi usaha Yana dalam mengeksploitasi Ranu Pane, Ranu Kumbolo serta berbagai lokasi di Gunung Mahameru yang semestinya menjadi setting dominan di novel ini.

Bisa membaca Altitude tanpa skip, itu pertanda bahwa saya bisa masuk ke dalam novel ini, menikmati setiap diksinya, dan berkelindan dalam setting dan tenggelam dalam kisahnya. Tetapi, beberapa kali harus mengernyitkan kening, karena dalam beberapa kerikil kecil seakan menjadi pengganjal kehalusan kisah ini. Nama Faras, bagi saya aneh. Orang Jawa, apalagi ndeso, jarang yang menggunakan nama itu. Mengapa tidak Saras atau Saraswati? Lebih ‘njawani’. Logat dan bahasa Jawa yang digunakan juga beberapa terasa kurang pas. Faras yang digambarkan sangat lembut dan santun, mestinya tidak berbahasa ngoko, tetapi krama halus. 

Faras yang ‘pasrah’ terlalu baik, dan nyaris tak punya perlawanan juga menggemaskan. Jika ada sedikit gejolak yang dimunculkan, mungkin akan terasa lebih manusiawi dan diterima nalar, ketimbang saat dia ditampilkan ‘suci tanpa noda’.

Lepas dari berbagai kekurangan, saya suka dengan novel ini, dan yakin bahwa Azzura Dayana memiliki masa depan yang sangat cerah di dunia kepenulisan, khususnya fiksi, di Indonesia, bahkan dunia.

***

Sumber: http://www.afifahafra.net/2014/04/kisah-para-backpacker-dari-tanjung-bira.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar