perempuan berkalung sorban | for everyone |
Category: | Movies |
Genre: | Drama |
Meluruskan Jalan Sang Perempuan Berkalung Sorban
Walaupun orang-orang sudah hampir ‘melupakan’ film ini, dan saya pun sudah menanggung penyesalan berminggu-minggu karena tak sempat langsung menulis sesuatu yang super singkat sesaat setelah menonton film besutan Mas Hanung ini, sekitar dua minggu yang lalu—saya berharap, ini belum sangat terlambat :-D
Ada kata-kata ‘sebenarnya’ yang berkali-kali muncul di kepala saya, meski saya yakin sutradara, semua kru, dan tentu penulisnya sudah mengusahakan yang terbaik untuk sang Perempuan Berkalung Surban (PBS) ini.
1. Sebenarnya, jika ada lebih banyak orang (atau penonton) yang tahu dan mengerti bahwa tak semua pesantren se-ekstrem apa yang ditampilkan oleh Pesantren Al-Huda dalam PBS ini, maka tentunya kita bisa membantu mengurangi jumlah orang awam yang pastinya akan membuat kesimpulan negatif tentang pesantren selepas menonton film ini. Padahal, yang sebenarnya tentu, pesantren adalah tempat mendidik, bukan mengurung.
2. Sebenarnya Islam adalah agama yang paling memuliakan perempuan. Tak ada pemimpin perempuan dalam Islam, namun itu bukan berarti perempuan tidak boleh memiliki jiwa pemimpin, terutama jika ia telah berada dalam kondisi di mana para lelaki tak ada lagi, atau tak ada yang sekualitas pemimpin, atau ketika ia berada di suatu tempat di mana semua jama’ahnya adalah perempuan. Maka kepemimpinan perempuan pun menjadi pasti.
3. Sebenarnya, dalam ajaran Islam, tak ada cara mendidik anak yang begitu kasar seperti yang ditunjukkan oleh ayah Annisa. Sebagai seorang kyai yang kenyang ilmu agama, saya rasa agak janggal ketika mendapati ia yang begitu mudah marah (terhadap anak perempuannya, dan masih kecil pula—senakal apapun anak itu), mudah memukul dan menghukum dengan kejam (ingat ketika sang ayah menyeret Annisa kecil ke dalam kamar mandi, menutupnya, dan entah memberi hukuman dengan cara yang bagaimana, sehingga terdengar oleh kita teriakan-teriakan Annisa). Seharusnya ia ingat, tak pernah ada kisah seorang mukmin yang berlaku kejam terhadap perempuan muslim, terutama keluarga sendiri. Mendidik dalam Islam adalah dengan cara yang lembut. Tidak layak berlaku kasar. Bahkan memukul pun baru boleh dilakukan jika sang anak tidak mau mengerjakan shalat. Itu pun bukan memukul untuk menyakiti.
4. Sebenarnya, sedikit sulit ketika memaknai term perempuan berkalung surban (dan tanpa membaca novel aslinya, sekadar untuk memperjelas). Bagaimana sebenarnya Annisa memaknai surban itu dalam hidupnya? Ketika berkuda di pantai, ia memakai surban itu melapisi jilbab dan menutupi mukanya. Di akhir cerita, ia membuang surban itu ke pasir pantai ketika berkuda dengan santai bersama anaknya. Benda yang dulu pernah melilit lehernya ketika dituduh berzina oleh suaminya dan karenanya ia hampir diamuk warga. Dengan membuang surban yang beberapa kali ia kenakan ketika berkuda, adalah sama seperti menjatuhkan beban kesulitan hidup yang terus menderanya sejak kecil, dan makna ambigunya adalah bisa juga berarti ia menjatuhkan belitan pesantren (atau belitan kekerasan Islam?) dari hidupnya.
5. Sebenarnya, sebagai seseorang yang ingin perempuan pesantren tidak buta terhadap perkembangan dunia, Annisa agak salah dalam memilih buku-buku yang ‘pantas’ ia edarkan di pesantren. Apalagi mengingat, ada berbagai pesantren di nusantara yang memiliki koleksi perpustakaan yang beragam dan kadang jumlahnya pun tidak main-main. Dan apalagi, mengingat Annisa adalah sosok muslimah yang taat dan konsisten dengan jilbab lebarnya. Buku-buku fiksi dan nonfiksi bertema perjuangan, atau cinta, bolehlah dipinjamkan Annisa kepada adik-adiknya, tapi jika sudah novel-novel tentang cinta birahi dan sebagainya, saya rasa itu bukan Annisa.
6. Perempuan berkuda. Memang tak ada hukum haramnya tentang ini. Dan benar bahwa Aisyah istri Rasulullah saja pandai berkuda dan memimpin perang melawan Ali. Saya pikir tak ada haramnya jika perempuan memiliki keahlian sejenis ini, asal ia tak melawan kodratnya sebagai perempuan dan sebagai ibu.
7. Seharusnya, tak penting menunjukkan piramida-piramida dari balik kaca jendela Chudori, hanya untuk memberitahukan bahwa pemuda itu sedang berada di Mesir. Terlalu lucu untuk dilihat, sebab kita tahu sulit menemukan rumah yang memiliki pemandangan berhadapan langsung dengan piramida dari depan jendela.
But globally, for me, it’s truly a beautiful movie. I like it much. Seperti film-film relijius lainnya, film ini melawan arus, membicarakan Islam secara terang-terangan, walaupun lebih banyak menggunakan mikrofon hitam daripada mikrofon putihnya. Tidak di banyak layar kita bisa menyaksikan kibaran jilbab panjang dan suasana yang begitu santri. Dukungan latar: keademan rumah dan bangunan, pantai dan bukit pasir, kesederhanaan Jombang, keklasikan Yogyakarta juga membuat film ini ‘cantik’. Cantik yang unik dan sederhana.
Walaupun orang-orang sudah hampir ‘melupakan’ film ini, dan saya pun sudah menanggung penyesalan berminggu-minggu karena tak sempat langsung menulis sesuatu yang super singkat sesaat setelah menonton film besutan Mas Hanung ini, sekitar dua minggu yang lalu—saya berharap, ini belum sangat terlambat :-D
Ada kata-kata ‘sebenarnya’ yang berkali-kali muncul di kepala saya, meski saya yakin sutradara, semua kru, dan tentu penulisnya sudah mengusahakan yang terbaik untuk sang Perempuan Berkalung Surban (PBS) ini.
1. Sebenarnya, jika ada lebih banyak orang (atau penonton) yang tahu dan mengerti bahwa tak semua pesantren se-ekstrem apa yang ditampilkan oleh Pesantren Al-Huda dalam PBS ini, maka tentunya kita bisa membantu mengurangi jumlah orang awam yang pastinya akan membuat kesimpulan negatif tentang pesantren selepas menonton film ini. Padahal, yang sebenarnya tentu, pesantren adalah tempat mendidik, bukan mengurung.
2. Sebenarnya Islam adalah agama yang paling memuliakan perempuan. Tak ada pemimpin perempuan dalam Islam, namun itu bukan berarti perempuan tidak boleh memiliki jiwa pemimpin, terutama jika ia telah berada dalam kondisi di mana para lelaki tak ada lagi, atau tak ada yang sekualitas pemimpin, atau ketika ia berada di suatu tempat di mana semua jama’ahnya adalah perempuan. Maka kepemimpinan perempuan pun menjadi pasti.
3. Sebenarnya, dalam ajaran Islam, tak ada cara mendidik anak yang begitu kasar seperti yang ditunjukkan oleh ayah Annisa. Sebagai seorang kyai yang kenyang ilmu agama, saya rasa agak janggal ketika mendapati ia yang begitu mudah marah (terhadap anak perempuannya, dan masih kecil pula—senakal apapun anak itu), mudah memukul dan menghukum dengan kejam (ingat ketika sang ayah menyeret Annisa kecil ke dalam kamar mandi, menutupnya, dan entah memberi hukuman dengan cara yang bagaimana, sehingga terdengar oleh kita teriakan-teriakan Annisa). Seharusnya ia ingat, tak pernah ada kisah seorang mukmin yang berlaku kejam terhadap perempuan muslim, terutama keluarga sendiri. Mendidik dalam Islam adalah dengan cara yang lembut. Tidak layak berlaku kasar. Bahkan memukul pun baru boleh dilakukan jika sang anak tidak mau mengerjakan shalat. Itu pun bukan memukul untuk menyakiti.
4. Sebenarnya, sedikit sulit ketika memaknai term perempuan berkalung surban (dan tanpa membaca novel aslinya, sekadar untuk memperjelas). Bagaimana sebenarnya Annisa memaknai surban itu dalam hidupnya? Ketika berkuda di pantai, ia memakai surban itu melapisi jilbab dan menutupi mukanya. Di akhir cerita, ia membuang surban itu ke pasir pantai ketika berkuda dengan santai bersama anaknya. Benda yang dulu pernah melilit lehernya ketika dituduh berzina oleh suaminya dan karenanya ia hampir diamuk warga. Dengan membuang surban yang beberapa kali ia kenakan ketika berkuda, adalah sama seperti menjatuhkan beban kesulitan hidup yang terus menderanya sejak kecil, dan makna ambigunya adalah bisa juga berarti ia menjatuhkan belitan pesantren (atau belitan kekerasan Islam?) dari hidupnya.
5. Sebenarnya, sebagai seseorang yang ingin perempuan pesantren tidak buta terhadap perkembangan dunia, Annisa agak salah dalam memilih buku-buku yang ‘pantas’ ia edarkan di pesantren. Apalagi mengingat, ada berbagai pesantren di nusantara yang memiliki koleksi perpustakaan yang beragam dan kadang jumlahnya pun tidak main-main. Dan apalagi, mengingat Annisa adalah sosok muslimah yang taat dan konsisten dengan jilbab lebarnya. Buku-buku fiksi dan nonfiksi bertema perjuangan, atau cinta, bolehlah dipinjamkan Annisa kepada adik-adiknya, tapi jika sudah novel-novel tentang cinta birahi dan sebagainya, saya rasa itu bukan Annisa.
6. Perempuan berkuda. Memang tak ada hukum haramnya tentang ini. Dan benar bahwa Aisyah istri Rasulullah saja pandai berkuda dan memimpin perang melawan Ali. Saya pikir tak ada haramnya jika perempuan memiliki keahlian sejenis ini, asal ia tak melawan kodratnya sebagai perempuan dan sebagai ibu.
7. Seharusnya, tak penting menunjukkan piramida-piramida dari balik kaca jendela Chudori, hanya untuk memberitahukan bahwa pemuda itu sedang berada di Mesir. Terlalu lucu untuk dilihat, sebab kita tahu sulit menemukan rumah yang memiliki pemandangan berhadapan langsung dengan piramida dari depan jendela.
But globally, for me, it’s truly a beautiful movie. I like it much. Seperti film-film relijius lainnya, film ini melawan arus, membicarakan Islam secara terang-terangan, walaupun lebih banyak menggunakan mikrofon hitam daripada mikrofon putihnya. Tidak di banyak layar kita bisa menyaksikan kibaran jilbab panjang dan suasana yang begitu santri. Dukungan latar: keademan rumah dan bangunan, pantai dan bukit pasir, kesederhanaan Jombang, keklasikan Yogyakarta juga membuat film ini ‘cantik’. Cantik yang unik dan sederhana.
azzuradayana wrote on Feb 25, '09
masfathin said
Sebelum baca ulasan mbak Yana di sini, kebayang di pikiranku bakalan menghujat ini itu. Aku suka ulasannya, walau mengkritik tidak menggebu-gebu. Aku sendiri belom nonton. TFS ya mbak ;)
^_^
Banyak kok yang saay ngga suka (makanya para ulama jadi melarang film ini beredar, kan), belum lagi saya tuliskan hal2 kecilnya. Tapi tetap saja, bagi saya ini film yang bagus. Masih ada pelajaran yang bisa kita ambil, asal kita bijak dan kita sendiri cukup berilmu ketika disodorkan kesalahan2, sehingga kita bisa menyikapinya. |
azzuradayana wrote on Feb 25, '09, edited on Feb 25, '09
Iya, betul.
Pinter kamu, hehehe. |
faridrifai wrote on Feb 25, '09
deuh..bahasanya editor..enak dibaca..:d
|
arthepassion wrote on Feb 25, '09
beda banget sama review gue yak hahahaha... ;p
|
azzuradayana wrote on Feb 25, '09, edited on Feb 25, '09
faridrifai said
deuh..bahasanya editor..enak dibaca..:d
tsaah, bahagianya gue disapa ama artis, hehehe
|
azzuradayana wrote on Feb 25, '09
arthepassion said
beda banget sama review gue yak hahahaha... ;p
masa sih say? ^_^
|
azzuradayana wrote on Feb 25, '09
dponz said
aku juga ga sempet nonton...tapi suamiku bilang menonton film ini emang mesti "bijak bersikap"..hehe
betul ^_^
|
azzuradayana said
Tak ada pemimpin perempuan dalam Islam, namun itu bukan berarti perempuan tidak boleh memiliki jiwa pemimpin, terutama jika ia telah berada dalam kondisi di mana para lelaki tak ada lagi
Bagaimana dengan di LPPH sendiri Say, padahal yg dipimpin adalah laki2 dan perempuan, kita kan punyanya Ibu CEO lo :-D
*begitu juga dengan LSMku, kepala Pertamina skr, presiden, dll dll dll...* Ada banyak perempuan berkarakter dan kuat bisa didaulat menjadi pemimpin, tak lupa Queen Sheba disebutkan dalam al Qur'an kemuliaannya: Baldatun thayyibatun wa rabbun ghafuur :-) |
azzuradayana said
mengingat Annisa adalah sosok muslimah yang taat dan konsisten dengan jilbab lebarnya.
Kenapa dengan jilbab lebarnya Annisa? Kapan2 kamu kukenalin dengan Mba Abidah Muflihati, berjilbab sungguh lebar dan berjubah, tapi pemikirannya bisa 'kiri' dan 'kanan' tergantung konteksnya :-) Bahkan jauh lebih 'bebas' dan 'liar' dari sisi pemikiran dibandingkan aku :-)
*jangan sampe kita terjebak pada simbol2 Say* :-) |
azzuradayana wrote on Feb 25, '09
imazahra said
Bagaimana dengan di LPPH sendiri Say, padahal yg dipimpin adalah laki2 dan perempuan, kita kan punyanya Ibu CEO lo :-D
mbak punya kandidat lelaki untuk penggantinya?
kalo ga ada, ntar ya mba, kalo aku sudah dapat surat lulus belajar kepemimpinan, hehehe |
azzuradayana wrote on Feb 25, '09, edited on Feb 25, '09
imazahra said
Kenapa dengan jilbab lebarnya Annisa?
pada beberapa kesempatan, aku hanya terpesona pada jilbab-jilbab lebarnya revalina (anggun dan kharismatik) dan aku pun bertanya2 tentang kekonsistenan diriku sendiri.
meski tak berarti, yang berjilbab itu pastilah malaikat. |
azzuradayana wrote on Feb 25, '09
imazahra said
Kita tidak bisa memandang segala sesuatu secara hitam putih, bahkan di film ini sekalipun :-p
(Era 80-90 ya? Makasih sudah memberikan informasi pelengkap ^_^ )
Back to my global opinion about this movie: "It's truly a beautiful film." ^_^ |
azzuradayana wrote on Feb 26, '09
sya2 said
hmm ulasannya seorang penulis sekaliber Yana memang enak dibaca.. :)
biasa aja kok, mbak...
|
azzuradayana wrote on Feb 26, '09
imazahra said
maaf ya Say, gak ada maksud apa2 kok, cuma iseng challenge pernyataan2 Yana di atas
nothing for being apologized, kok. ^_^
|
azzuradayana wrote on Feb 26, '09
ireztia said
Oh,editor ya?pantesan enak dibaca.. :)
he-eh, editor amatiran sih.
|
mukhlisrais wrote on Mar 29, '09, edited on Mar 29, '09
Kalau mau bukti nyata seperti yang ditulis Yana di atas, silakan datang ke Pondok Pesantren Raudhatul Ulum Sakatiga Indralaya Ogan Ilir Sumsel. Anda akan melihat wanita yang benar-benar diwanitakan. Ya kan, Yana... Seni Beladiri? Ada diajarkan. Permainan Out Bond, apalagi! Mulai dari climbing, flying fox, dll. Nggak percaya juga? Dateng aja sendiri, sambil daftarkan saudara anda, keponakan atau famili satu kampung. Mumpung pendaftaran TP 2009-2010 baru saja dibuka :-)
|
azzuradayana wrote on Apr 2, '09
mukhlisrais said
Kalau mau bukti nyata seperti yang ditulis Yana di atas, silakan datang ke Pondok Pesantren Raudhatul Ulum Sakatiga Indralaya Ogan Ilir Sumsel. Anda akan melihat wanita yang benar-benar diwanitakan. Ya kan, Yana...
semangat tahun ajaran yaaa...^_^
i miss raudhatul ulum so much... |